Rabu, 16 Agustus 2017

Adakah kemerdekaan yang sesungguhnya itu?

Banyak manusia yang terbelenggu, tidak bebas, tidak merdeka. Ada orang yang terbelenggu oleh penjajahan atau perbudakan orang lain, tapi berapa banyak yang terbelenggu oleh dirinya sendiri baik dengan pikiran atau hawa nafsunya. Seringkali pikiran yang sempit dan tertutup membelenggu sikap orang bahkan memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Pikiran yang sempit pada akhirnya membelenggu pikiran itu sendiri untuk menjalankan fungsinya. Seperti orang yang menyangka bahwa patung-patung dan hewan-hewan itu adalah tuhan, ia tunduk dan merendah padanya, tanpa mau membuka pikiran, benarkah tuhan seperti itu? Seperti pula orang yang merasa sampai pada kebenaran dalam pikirannya lalu ia memaksakannya kepada orang lain, bahkan dengan segala anarkisme yang pernah terjadi dalam sejarah manusia.

Ada pula yang terbelenggu oleh hawa nafsunya. Segala keinginan yang dicampuri angan-angan selalu menjajah diri tanpa disadari, harta, tahta, bahkan keluarga, yang semua itu terkumpul dalam cinta buta, seringkali memperbudak manusia.

Maka, Islam menawarkan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebuah agama dengan wahyu yang terpelihara, dengan segala bukti yang tinggi.

Semua manusia diajak untuk memerdekakan diri dari segala penghambaan dan ketundukan kepada semua makhluk, untuk diarahkan kepada Sang Khaliq satu-satunya, menghamba dan tunduk hanya kepada-Nya.

Ajakan itu bukanlah paksaan. Maka jelas dalam prinsipnya, “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam”, “Siapa yang berkehendak silahkan beriman, dan siapa yang berkehendak silahkan kafir”. Tapi tentu setiap perbuatan itu ada balasan dan konsekwensinya. Kewajiban sebagai muslim hanyalah beribadah, berda’wah, dan juga secara khusus menjadi khalifah. Tunduk dan taat kepada Allah, mengajak tanpa memaksa, serta menjalankan peran di muka bumi ini dengan menegakkan aturan Allah, mengadakan perbaikan dan memakmurkan bumi. Untuk itu, dalam banyak ayat Allah mengingatkan kepada Rasul-Nya bahwa kewajibannya adalah memberi peringatan dan menyampaikan, bukan memaksa. Maka dalam mengajak pun kita diperintahkan agar melakukannya dengan cara yang paling baik.

Manusia diberikan kebebasan untuk berfikir, berpendapat, menentukan pilihan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi pada saat yang sama kezhaliman dan kejahatan itu tidak diizinkan, karena bisa jadi ia kebebasan bagi seseorang, tetapi justeru ia merupakan penistaan terhadap kebebasan orang lain. Jadi, kebebasan yang dikehendaki Islam adalah kebebasan secara bersama-sama. Dan itulah kebebasan yang sesungguhnya.

Renungkanlah apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam peristiwa Fathu Makkah. Ketika kekuasaan sudah di tangan kaum muslimin ketika itu. Meskipun sebelumnya beliau dan para sahabat disakiti oleh orang-orang musyrik Makkah. Beliau bertanya kepada mereka, “Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” “Engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia”, jawab mereka. Beliau memaafkan mereka seperti Nabi Yusuf as yang memaafkan saudara-saudaranya. Beliau berkata kepada mereka, “Pergilah kalian, kalian bebas”. Lihatlah, Rasulullah saw tidak memaksa mereka untuk masuk Islam, tetapi memberi kebebasan kepada mereka, tetapi dengan begitu secara sadar mereka berbondong-bondong masuk ke dalam Islam.

Inilah yang menjadi misi Islam, yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabat. Suatu ketika seorang sahabat, prajurit Islam, Rib’i bin ‘Amir ditanya oleh Rustum, panglima Persia tentang misi apa yang dibawanya. Ia menjawab, “Allah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan kepada Sang Khaliq, dari sempitnya dunia kepada keluasan dunia dan akhirat, dan dari kezhaliman agama-agama kepada keadilan Islam.” Untuk misi inilah, kaum muslimin terus berdakwah dan berjihad.

Lalu, apakah berda’wah itu tidak mengganggu kebebasan orang lain?

Tentu tidak. Yang mengganggu kebebasan orang lain adalah memaksa dan berbuat jahat kepadanya. Dalam kehidupan manusia sudah lumrah antara satu sama lain saling berinteraksi, bertransaksi, dan saling memberikan tawaran. Seperti halnya berdagang, menawarkan barang atau jasa kepada orang lain, selama tidak disertai pemaksaan, tentu itu adalah suatu hal yang wajar. Maka begitu pula berda’wah. Apalagi landasan da’wah adalah cinta dan kasih sayang, yaitu kita menginginkan agar orang lain itu selamat.

Lalu bagaimana dengan menerapkan aturan atau hukum Islam bukankah itu bisa mengganggu kebebasan orang lain khususnya non-muslim?

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kebebasan yang sesungguhnya bukanlah kebebasan orang perorang saja, tetapi kebebasan secara bersama-sama. Oleh karena keinginan dan pikiran setiap orang itu berbeda, maka perlu dibuat kesepakatan. Oleh karena itu, dalam Islam prinsip musyawarah sangat dijunjung tinggi. Jangan sampai suatu pihak mengklaim atas nama kebebasan, tetapi pada saat yang sama menistakan kebebasan orang lain. Seperti halnya orang non-muslim memiliki hak untuk menjalankan agamanya, orang Islam pun memiliki hak untuk menjalankan agamanya. Menjalankan seluruh aturan dan hukum Islam bagi orang Islam adalah hak sekaligus kewajiban. Namun dalam penerapannya tentu dengan rumusan-rumusan yang telah dipahami oleh para ulama.

Dalam sebuah negara yang majemuk, seperti halnya juga Madinah tempat Rasulullah saw memimpin yang kental dengan kemajemukannya, perlu dibuat kesepakatan dan perjanjian. Maka Rasulullah saw pun membuat kesepakatan dalam Piagam Madinah. Di sinilah hak setiap orang diberikan, dan berusaha secara bersama-sama menghilangkan kezhaliman. Jika suatu kezhaliman terjadi, maka tidak bisa dibiarkan, untuk itulah umat Islam diperintahkan untuk berjihad melawan kezhaliman tadi. Karena adanya jihad dalam arti perang itu disebabkan adanya kezhaliman.

Di sini perlu dipahami bersama, bahwa semua aturan dalam syariat Islam itu adalah untuk kemaslahatan seluruh manusia, bukan untuk orang Islam saja. Ada syariat Islam yang berkaitan dengan kewajiban individu muslim, dan itu dapat diterapkan oleh orang Islam saja, serta tidak boleh dipaksakan kepada non-muslim, namun ada juga syariat Islam yang berkaitan dengan hukum sosial dan pidana, ini bisa diterapkan secara bersama-sama dengan kesepakatan. Jika non-muslim dapat memahami dan menyetujuinya, ini dapat diterapkan. Dan berapa banyak non-muslim yang merasa tentram dengan sistem syariat Islam ini. Dan tugas kita adalah memahamkan manusia kepada sistem syariat Islam yang mulia ini.

Dengan kesepakatan itu, tentu suatu hal yang wajar jika sebuah sanksi diberlakukan kepada yang melanggar, dan itu bukanlah mengganggu kebebasan orang lain, justeru untuk menjaga kebebasan bersama. Untuk itulah Rasulullah saw mengusir orang-orang yahudi dari Madinah karena melanggar perjanjian yang sudah disepakati bersama. Untuk itulah orang-orang yang berbuat kriminal diberikan sanksi sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Allah. Termasuk mengapa orang yang murtad itu sanksinya harus dibunuh? Tentu setelah diminta untuk bertobat terlebih dahulu. Karena ia telah melanggar perjanjiannya, yaitu dengan masuk Islam ia berarti berjanji untuk tunduk kepada syariat Islam dan memegang teguh Islam, ketika ia murtad berarti ia melanggar perjanjiannya. Maka wajarlah jika sanksinya seperti itu.

Jika ada orang yang mencuri, tentu kita semua sepakat itu sebuah tindak kriminal yang mesti diberikan sanksi. Bagi orang Islam, sanksi untuk pencuri itu sudah ditentukan oleh Allah SWT dalam syariat-Nya, tidak bisa ditawar-tawar lagi, ia harus tunduk kepada aturan Allah yang mengandung hikmah besar bahwa sanksi yang ditentukan itulah yang dapat mengobati penyakit kriminal tersebut. Maka para pemimpin dan pejabat muslim di suatu negara ia berkewajiban untuk menerapkan hukum Allah dan memperjuangkannya. Dalam negara demokrasi, jika mayoritas menyetujuinya, apa yang menghalanginya untuk diterapkan? Tentu tidak masalah. Jika non-muslim punya hak untuk berjuang dalam negara demokrasi, maka umat Islam pun punya hak untuk berjuang menjalankan kewajibannya terhadap hukum Allah. Namun permasalahannya, ketika hak-hak umat Islam itu dijegal dan terus-terus dizhalimi, inilah yang menjadi alasan mengapa umat Islam harus berjihad. Tentu dengan cara yang tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar