Oleh : Muhammad Atim
Pendidikan
adalah sistem sosial yang lahir dari falsafah setiap
umat, ia yang dapat merealisasikan falsafah tersebut dan mewujudkannya ke dalam
realita. Para ahli filsafat sejak awal telah menyadari betapa pentingnya proses
pendidikan dalam setiap masyarakat.[1]
Karena memang pendidikan berperan untuk mewariskan suatu peradaban baik berupa
kepercayaan, adab, ilmu, seni, begitu pula keterampilan-keterampilan mata
pencaharian (shina’ah).
Islam sebagai agama yang datang dari Allah melalui wahyu yang diturunkan
kepada Rasulullah saw juga ditegakkan dengan proses pendidikan. Ketika umat
manusia berada dalam kegelapan jahiliyah, Allah menurunkan cahaya Islam untuk
disampaikan kepada seluruh manusia. Wahyu yang pertama turun sebagai landasan
ditegakkannya Islam adalah surat Al-‘Alaq 1-5 yang berisi perintah membaca dan
isyarat pentingnya menulis dan menuntut ilmu, menunjukkan proses pendidikan.
Maka jadilah Rasulullah saw sebagai guru pertama dalam Islam yang bertugas
menyampaikan risalah dari Allah SWT. Beliau bersabda :
إِنَّ اللهَ لَمْ يَبْعَثْنِي
مُعَنِّفًا وَلكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا
“Sesungguhnya
Allah tidak mengutusku sebagai seorang yang bersikap keras, tetapi Dia
mengutusku sebagai seorang guru yang memberikan kemudahan.” (HR. Ahmad no.14515 dan Nasai no.9164).
Tujuan pendidikan di dalam Islam adalah untuk menerapkan Islam itu sendiri.
Karena Islam adalah agama yang memiliki sistem hidup (manhajul hayah) yang
lengkap maka ia tidak memerlukan sistem-sistem yang lain. Jika ia
dicampurbaurkan dengan sistem-sistem hidup yang lain, justru malah menjadi
bertentangan dengan Islam itu sendiri. Untuk itu dalam hal pendidikan pun Islam
memiliki tujuan tersendiri yang berbeda dari yang lainnya. Ketika Allah SWT
memerintahkan “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka!” (QS. At-Tahrim: 6), artinya agar kita mendidik diri kita,
keluarga kita dan orang-orang yang ada dalam tanggung jawab kita untuk
melaksanakan ajaran Islam supaya dapat terhindar dari siksaan api neraka. Ali
bin Abi Thalib menafsirkan ayat tersebut, “Ajarkanlah mereka adab, ajarkanlah
mereka ilmu.”
Jika kita menelaah ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits
maka jelaslah bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk manusia
yang shaleh (al-insan
ash-sholih). Karena semua sifat baik yang dikehendaki oleh Islam
terangkum dalam satu kata yaitu shaleh. Allah SWT menyebut para Nabi itu adalah orang-orang shaleh. “Mereka
semua (para Nabi) adalah orang-orang shaleh” (QS. Al-An’am: 85). Keturunan
yang diharapkan adalah keturunan yang shaleh, seperti doa dan harapan Nabi
Ibrohim as, “Wahai Tuhanku, anugerahilah aku keturunan yang shaleh.” (QS.
Ash-Shoffat: 100). Bahkan teman yang diharapkan adalah teman-teman yang shaleh.
“Dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.” (QS.
Yusuf: 101).
Syekh Muhammad Quthb menjelaskan bahwa manusia shaleh dalam pandangan Islam
adalah manusia yang memiliki keshalehan secara universal tanpa ada batasan
ruang dan waktu. Untuk itu, pendidikannya tidak dimaksudkan untuk mencintai dan
memakmurkan negeri tempat tinggalnya saja yang diungkapkan dengan istilah
“menjadi warga negara yang baik (al-Muwathin ash-Sholih)”, dengan
orientasi-orientasi duniawi belaka, tetapi semata-mata untuk melakukan perannya
sebagai khalifah di muka bumi ini secara luas dengan melaksanakan
petunjuk-petunjuk dari Allah, agar ia mengabdi kepada Allah Sang Penciptanya,
bukan mengabdi kepada negerinya, sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan
tugas orang shaleh. Inilah yang menjadi ciri khas ajaran Islam yang universal,
karena sejak awal wahyu turun sebagai peringatan untuk seluruh alam. “Tiada
lain dia itu kecuali peringatan bagi seluruh alam.” (At-Takwir : 27). [2]
Dalam istilah lain Syed Naquib Al-Attas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah untuk menghasilkan manusia yang baik (good man), yaitu
manusia yang beradab. Beliau mengatakan, "The purpose for seeking
knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and
individual self. The aim of education in Islam therefore to produce a good man.
What is meant by 'good' in our concept of good man? The fundamental element
inherent in the islamic concept is the inculcation of adab.”[3] ["Tujuan mencari ilmu dalam Islam adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan dalam
diri manusia sebagai manusia dan
diri individu. Tujuan pendidikan dalam Islam karena
itu untuk menghasilkan orang yang
baik. Apa yang dimaksud dengan 'baik'
dalam konsep kita tentang orang yang baik? Elemen mendasar yang melekat dalam
konsep Islam adalah penanaman adab.”]
Oleh karena itu
jelaslah bahwa dalam pendidikan Islam manusia yang dididik dilihat sebagai
manusia secara utuh, tidak dikaitkan dengan tempat dimana dia berada dan tidak
pula dilihat secara parsial. Bukan untuk menjadi warga negara Indonesia yang
baik, tentara yang baik, guru yang baik, karyawan yang baik, polisi yang baik,
dokter yang baik, dst, tetapi menjadi manusia yang baik atau manusia shaleh.
Hal ini sesuai dengan makna pendidikan (Tarbiyah) itu sendiri. Imam Rogib
Al-Asfahani mendefinisikan tarbiyah dengan :
إِنْشَاءُ الشَّيْءِ حَالًا فَحَالًا إِلَى حَدِّ
التَّمَامِ
"Mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan
kepada keadaan lain sampai ke batas kesempurnaan.”[4]
Al-Baidhowi mendefinisikan
Tarbiyah :
تَبْلِيْغُ الشَّيْءِ إِلَى كَمَالِهِ شَيْئًا فَشَيْئًا
“Menyampaikan sesuatu
kepada kesempurnaannya sedikit demi sedikit.”[5]
Maka, Dr.
Kholid bin Hamid Al-Hazini mendefinisikan pendidikan Islam sebagai : “Usaha mengembangkan manusia tahap demi
tahap dalam setiap aspek pribadinya untuk mendapat kebahagiaan baik di dunia maupun di
akhirat dengan metode yang Islami.”[6]
Dan juga Muhammad Natsir mendefinisikan pendidikan sebagai “Satu
pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya
sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya.”[7]
Saat ini masih
banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan tujuan agar anaknya tersebut
menjadi pintar, kaya, punya keahlian dan punya kedudukan. Padahal, berapa
banyak orang pintar yang menipu, orang kaya yang sombong dan mementingkan diri
sendiri, orang yang menjadikan keahliannya untuk kejahatan dan orang yang punya
kedudukan tetapi menindas orang lain? Ketika sang anak telah mendapatkan itu
semua, berapa banyak orang tua yang kemudian malah ditelantarkan? Semua orang
tua harus menyadari bahwa yang mereka butuhkan sebenarnya adalah hanya agar
anaknya menjadi orang SHALEH.
Jika anaknya shaleh, maka kepintarannya ia gunakan untuk berkarya
yang bermanfaat, kekayaannya ia infakkan di jalan Allah, keahliannya ia gunakan
untuk kebaikan dirinya dan orang lain dan kedudukannya ia yakini sebagai amanah
yang akan dipertanggungjawabkan. Seperti
apapun keadaannya nanti, ia akan tetap berbakti kepada orang tuanya, dan itulah
yang akan membahagiakannya. Bahkan saat telah tiada, selalu ada doa yang
tersampaikan, dan kucuran amal shaleh yang terus dialirkan.
Tugas orang Shaleh
Setelah kita mengetahui tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk
manusia shaleh, berikutnya kita mesti mengetahui apa tugas orang shaleh itu? Tugas
orang shaleh adalah menjadikan seluruh hidupnya untuk Ibadah kepada Allah.
Allah SWT berfirman, “Tidaklah Aku menciptakan jin
dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz-Dzariyat: 56). Dan menjadi Khalifah di muka bumi. Allah SWT berfirman, “Dan
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan
menciptakan seorang khalifah di muka bumi.” (QS.
Al-Baqoroh: 30)[8]. Tugas ini dilihat dari dua sisi, secara
vertikal beribadah kepada Allah dan secara horizontal menjadi khalifah di muka
bumi.
Ibadah kepada Allah
artinya menghambakan diri hanya kepada Allah, karena Ibadah bermakna, “Puncak
ketundukan dan merendahkan diri”. Ini tidak kita lakukan kecuali hanya
kepada Allah sesuai dengan pernyataan yang selalu kita ucapkan dalam
Al-Fatihah, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” Dan
Ibadah tidak terbatas pada aktifitas tertentu saja seperti sholat, shaum, haji,
dst, tetapi mencakup
seluruh aktifitas hidup kita di dunia ini, “Katakanlah, Sesungguhnya
sholatku, qurbanku, hidupku dan matiku untuk Allah Tuhan semesta alam.” (QS.
Al-An’am: 162). Untuk itulah Ibadah didefinisikan oleh para ulama sebagai,
العِبَادَةُ هِيَ اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ
اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ البَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ
“Ibadah yaitu suatu
nama yang mencakup setiap yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan dan
perbuatan, baik yang tersembunyi maupun yang nampak.”[9]
Menjadi khalifah
di muka bumi artinya menjadi pemimpin di bumi ini. Allah SWT menciptakan Nabi Adam as sebagai manusia pertama yang
kemudian dilanjutkan oleh keturunan-keturunannya sebagai khalifah, pemimpin
bumi. Karena manusia-lah dengan kelebihan yang Allah berikan, menjadi makhluk
yang paling mulia dibanding makhluk yang lainnya. Manusia-lah yang diberikan
amanah oleh Allah di muka bumi ini. Amanah yang dimaksud adalah taklif (beban
syariat) yang secara garis besar meliputi: menegakkan hukum Allah, tidak
berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya, dan memakmurkannya.
1.
Menegakkan
hukum Allah. Sebagaimana firman Allah, “Wahai
Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di muka bumi maka tegakkanlah
hukum di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
maka ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah, bagi mereka adzab yang keras karena mereka telah
melupakan hari perhitungan.” (QS. Shod: 26).
2.
Tidak
berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya. Sebagaimana firman Allah, “Dan
janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya,
dan berdoalah kalian kepadaNya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya
rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS.
Al-A’rof: 56). Allah memperbaikinya maksudnya dengan mengutus para rosul,
menurunkan kitab-kitabNya dan menetapkan syariat-syariat-Nya.[10]
3. Memakmurkan bumi. Sebagaimana firman Allah, “Dan
kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shaleh. Dia berkata: “Wahai kaumku!
Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagi kalian selain Dia. Dia telah menciptakan
kalian dari bumi, dan menjadikan kalian pemakmurnya. Karena itu mohonlah
ampunan kepadaNya, kemudian bertobatlah kepadaNya. Sesungguhnya Tuhanku sangat
dekat dan mengabulkan doa.” (QS. Hud: 61). Allah menjadikan kalian sebagai pemakmur
bumi maksudnya “Dia menjadikan kalian khalifah (pemimpin atau pengelola) padanya, memberikan kalian ni’mat-ni’mat baik
yang tampak ataupun tersembunyi, meneguhkan kedudukan kalian di bumi, kalian
membangun, menanam pepohonan (al-gors), menanam biji-bijian (az-zar’u),
mengolah tanah (al-harts) sekehendak kalian, memanfaatkan kemanfaatannya
dan mendayagunakan kemaslahatannya.”[11]
Tetapi
kebanyakan manusia tidak mampu memikul amanah khilafah itu. “Sesungguhnya
Kami telah menyodorkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72).
Hanya
orang-orang beriman dan beramal shaleh-lah yang layak memikul amanah khilafah
itu. “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman di antara kalian
dan beramal shaleh bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka khalifah
(penguasa) di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka khalifah, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhoiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah
kepadaKu dan tidak menyekutukan sesuatu apapun denganKu. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS.
An-Nur: 55).
Untuk tugas
ibadah dan khalifah itulah kita mendidik generasi kita. Maka semua yang kita ajarkan dan tanamkan kepada peserta
didik mesti bertujuan agar mereka mampu mengemban tugas vertikal beribadah
kepada Allah dan tugas horizontal sebagai khalifah yang mengelola bumi dengan
sebaik-baiknya dengan apapun keahlian yang mereka mampu.
Sifat Orang Shaleh
Sifat orang shaleh
yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan
merupakan sifat inti adalah beriman
dan beramal shaleh. Beriman kepada Allah dan Rosul-Nya dan terhadap
petunjuk yang telah diturunkan tanpa ada keraguan lagi, dan mengamalkan
petunjuk tersebut. Dalam
Al-Qur’an, Allah SWT banyak menyebut sifat beriman dan beramal shaleh ini
sebagai syarat memperoleh kebahagiaan dan meraih surga yang penuh dengan
keni’matan. Diantaranya: “Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi
mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ro’du: 29).
Kedua sifat
inilah yang berusaha kita tanamkan kepada peserta didik kita. Di tengah-tengah
kondisi sekarang banyak orang yang belajar ilmu dan keterampilan tanpa diarahkan kepada iman apalagi amal shaleh. Ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
Misalnya, seseorang mempelajari tentang tanaman, ia hanya asyik mengumpulkan
informasi-informasi tentang tanaman dan cara-cara menanamnya tetapi tidak
diarahkan untuk mengingat Allah yang menciptakannya, menumbuhkannya, mendesain
dengan sangat indah keanekaragamannya, serta tidak diajarkan bagaimana petunjuk
Allah dan Rosul-Nya dalam masalah tanaman yang akan melahirkan perasaan iman.
Padahal Allah menggugah kita, “Apakah kalian tidak memperhatikan tentang yang
kalian tanam? Kaliankah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?
Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering, maka
jadilah kalian heran dan tercengang.” (QS. Al-Waqi’ah : 63-65). Ketika
seseorang itu memiliki kemampuan untuk menanam ia hanya berpikir bagaimana dia
menghasilkan uang dan keuntungan dari tanamannya itu, menjadi pengusaha besar
dan kaya raya. Ia sama sekali tidak diajarkan untuk beramal shaleh dengan
kemampuan yang ia miliki, memberikan manfaat untuk kehidupan. Padahal
Rosululloh saw mengarahkan, “Tidaklah seorang muslim menanam suatu pohon
atau tanaman, lalu dimakan oleh burung atau manusia atau hewan ternak, kecuali
itu menjadi shodaqoh baginya.” (HR. Bukhori). Jadi, sifat orang shaleh yang
mesti kita tanamkan setiap kali kita mendidik dan mengajar murid-murid kita,
apapun pelajarannya, adalah sifat beriman dan beramal shaleh.
Tiga aspek
dalam diri manusia
Syekh Muhammad Quthb mengatakan,
طَرِيْقَةُ الْإِسْلَامِ فِي التَّرْبِيَّةِ هِيَ
مُعَالَجَةُ الْكَائِنِ الْبَشَرِي كُلِّهِ مُعَالَجَةً شَامِلَةً لَا تَتْرُكُ
مِنْهُ شَيْئًا وَلَا تَغْفَلُ عَنْ شَيْءٍ، جِسْمَهُ وَعَقْلَهُ وَرُوْحَهُ،
حَيَاتَهُ الْمَادِّيَّةَ وَالْمَعْنَوِيَّةَ وَكُلَّ نَشَاطِهِ عَلَى الْأَرْضِ
“Cara Islam dalam pendidikan adalah memperbaiki pribadi manusia secara
keseluruhan dengan perbaikan yang lengkap, tidak meninggalkan sesuatupun dan
tidak mengabaikan sesuatupun, yaitu jasadnya, akalnya dan ruhnya, kehidupannya
secara materi dan secara ma’nawi, dan seluruh aktifitasnya di atas permukaan
bumi.”[12]
Manusia memiliki tiga unsur dalam dirinya yaitu jasad, akal dan ruh. Karena
pendidikan Islam itu mendidik manusia secara utuh maka proses pendidikannya
menyentuh ketiga aspek tersebut tanpa mengabaikan salah satunya. Dalam bahasa
yang populer sekarang, ruh itu adalah aspek afektif, akal adalah kognitif dan
jasad adalah psikomotor.
Ada pendidikan yang hanya memperhatikan aspek ruhnya saja dengan melakukan
latihan-latihan batin seperti aliran kebatinan, akhirnya mereka hanya asyik
dengan wisata batinnya tetapi lupa akan kewajibannya dalam mengurus kehidupan,
memenuhi kebutuhan materi, bekerja, dlsb.
Ada pula pendidikan yang hanya memperhatikan aspek akal saja, mereka bebas
menggunakan logika-logika mereka tanpa batasan meski harus menentang syariat Allah,
meski harus melupakan Allah sebagai Tuhannya yang mesti ditaati.
Dan ada pula pendidikan yang hanya memperhatikan aspek fisik saja, seperti
dalam kemiliteran. Ruh dan akal mereka tidak diberikan pendidikan yang cukup.
Fisik mereka kuat dan bugar, tetapi menjadi brutal, merasa diri berkuasa, semena-mena
dan menzhalimi orang lain.
Sedangkan dalam pendidikan Islam mesti diberikan porsi yang cukup untuk ketiga aspek
tersebut agar terjadi keseimbangan dan tercapainya kesempurnaan pribadi
manusia, tanpa ada ketimpangan.
Lalu bagaimana mengisi ketiga aspek manusia tersebut? Allah SWT memberikan
petunjuk kepada kita,
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
siang dan malam, benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi Ulul Albab
(orang-orang yang cerdas). Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan
berdiri, duduk dan berbaring, dan mentafakuri tentang penciptaan langit dan
bumi, (seraya berkata) Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini sia-sia,
maha suci Engkau. Maka peliharalah kami dari api neraka.” (QS.
Ali Imron: 190-191).
Dalam ayat
tersebut kita dapat mengambil petunjuk
untuk diterapkan dalam proses pendidikan. Dengan mentadaburinya kita bisa
memahami bahwa aspek ruh diisi dengan hubungan yang
terus menerus dengan Allah, aspek akal diisi dengan mentafakuri alam semesta
yang akan menghasilkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan aspek jasad diisi dengan
berlomba dalam amal shaleh dengan tekad terhindar dari siksa neraka. Berikut
penjelasannya :
Pertama, hubungan terus menerus dengan Allah. Ini dipahami dari ayat “mengingat Allah
dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring”, atau maksudnya dalam setiap
keadaan. Pendidikan yang kita lakukan mesti mengarahkan setiap aktifitas
peserta didik agar ruhnya selalu berhubungan dengan Allah,
mengingat Allah. Mengingat Allah dalam arti mengingat nama-nama dan
sifat-sifatNya, mengingat ni’mat-ni’mat-Nya, dan mengingat petunjuk-Nya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul-Nya. Berarti kita harus memulai dan seterusnya menjalankan
aktifitas pendidikan kita dengan nama Allah, dengan kesadaran akan
ni’mat-ni’mat-Nya dan dengan
petunjuk-Nya. Dan itu
artinya juga wajib dalam pendidikan kita untuk memahamkan petunjuk Allah.
Kedua, mentafakuri
ciptaan Allah. Selanjutnya kita diperintah untuk mengarahkan akal agar mempelajari dan
meneliti ciptaan Allah baik kehidupan manusia itu sendiri maupun alam semesta
yang luas ini. Namun bukan sekedar meneliti lalu hanya menjadikannya sebatas untuk
memenuhi kesenangan dunia. Tetapi ia mesti melahirkan perasaan iman yang lebih
mendalam, semakin menyadari kekuasaan Allah dengan bukti-bukti yang telah ia
temukan di alam ini. Perasaan iman itu mengatakan, “Wahai Tuhan kami,
tidaklah Engkau menciptakan ini sia-sia, maha suci Engkau.
Ketiga, bertekad
agar selamat dari neraka. Setelah kita belajar banyak hal
dengan selalu mengingat Allah, lalu apa yang kita harapkan? Kita berharap agar
terhindar dari siksaan api neraka. Di sinilah terkandung tekad yang kuat yang mendorong jasad kita untuk beramal shaleh,
yang kita persembahkan untuk Allah, agar Allah menyelamatkan kita dari neraka. Pendidikan kita mesti sampai kepada tahap
ini. Inilah yang mendorong kuat kepada kita dan anak-anak didik kita agar
berlomba-lomba untuk taat kepada Allah serta mempersembahkan amal shaleh apapun
untuk Allah sesuai dengan kemampuan dan keahliannya agar memberikan manfaat
yang besar.
Syekh Muhammad Quthb juga menjelaskan tentang bagaimana mendidik ruh, akal
dan jasad. Beliau mengatakan bahwa ruh dididik dengan hubungan yang terus
menerus dengan Allah (ash-Shillah ad-Daimah ma’Allah). Akal dididik
dengan mentafakuri ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta. Dan jasad dididik
dengan, pertama : memenuhi haknya berupa memberikan makan yang halal dan
thoyib, memberikan istirahat yang cukup, memperhatikan kebersihannya, dan
memperhatikan kesehatan dan kekuatannya. Kedua, menggunakannya untuk
beramal shaleh.
Pembagian
tiga aspek manusia tersebut bukan berarti satu sama lain terpisah, pembagian
itu sebatas untuk memudahkan dalam memahaminya saja, tetapi pada prakteknya
ketiga aspek tersebut menyatu dalam diri manusia. Syekh Muhammad Quthb menguraikan,
“Saat ibadah, bukanlah kegiatan ruh semata, melainkan ia adalah gerakan jasad,
gerakan akal dan pancaran ruh. Sholat adalah yang paling jelas menerangkan
hakikat ini, ia mencakup jasad, akal dan ruh dalam satu waktu. Selanjutnya,
semua amal dalam pengertian Islam adalah ibadah selama ditujukan oleh manusia
kepada Allah.”[13]
[1] Dr. Ahmad Fuad Ahwani, At-Tarbiyyah fil
Islam, hal.7
[2] Lihat Muhammad Quthb, Manhaj At-Tarbiyyah
Al-Islamiyyah, hal.13-14
[3] Syed Naquib Al-Attas, Islam and
Secularisme, hal.150-151
[4] Ar-Rogib Al-Asfahani, Al-Mufrodat fi Ghoribil Qur’an,
hal. 184
[5] Al-Baidowi, Anwarut Tanzil wa Asrorut Ta’wil,
jilid 1 hal.13
[6] Ushul At-Tarbiyyah Al-Islamiyah, hal. 19
[8] Lihat pula QS. Al-An’am: 165, Al-A’rof:
129, An-Naml: 62
[9] Ibnu Taimiyyah, Al-‘Ubudiyyah, hal.1
[10] Asy-Syaukani, Fathul Qodir, hal.480
[11] Tafsir As-Sa’di, hal.443
[12] Muhammad Quthb, Manhaj At-Tarbiyyah
Al-Islamiyyah, hal.18
[13] Muhammad Quthb, Manhaj At-Tarbiyyah
Al-Islamiyyah, hal.24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar