Jumat, 02 September 2016

Tujuan Pendidikan dalam Islam


Oleh : Muhammad Atim

Pendidikan adalah sistem sosial yang lahir dari falsafah setiap umat, ia yang dapat merealisasikan falsafah tersebut dan mewujudkannya ke dalam realita. Para ahli filsafat sejak awal telah menyadari betapa pentingnya proses pendidikan dalam setiap masyarakat.[1] Karena memang pendidikan berperan untuk mewariskan suatu peradaban baik berupa kepercayaan, adab, ilmu, seni, begitu pula keterampilan-keterampilan mata pencaharian (shina’ah).
Islam sebagai agama yang datang dari Allah melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw juga ditegakkan dengan proses pendidikan. Ketika umat manusia berada dalam kegelapan jahiliyah, Allah menurunkan cahaya Islam untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Wahyu yang pertama turun sebagai landasan ditegakkannya Islam adalah surat Al-‘Alaq 1-5 yang berisi perintah membaca dan isyarat pentingnya menulis dan menuntut ilmu, menunjukkan proses pendidikan. Maka jadilah Rasulullah saw sebagai guru pertama dalam Islam yang bertugas menyampaikan risalah dari Allah SWT. Beliau bersabda :
إِنَّ اللهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّفًا وَلكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai seorang yang bersikap keras, tetapi Dia mengutusku sebagai seorang guru yang memberikan kemudahan.” (HR. Ahmad no.14515 dan Nasai no.9164).
Tujuan pendidikan di dalam Islam adalah untuk menerapkan Islam itu sendiri. Karena Islam adalah agama yang memiliki sistem hidup (manhajul hayah) yang lengkap maka ia tidak memerlukan sistem-sistem yang lain. Jika ia dicampurbaurkan dengan sistem-sistem hidup yang lain, justru malah menjadi bertentangan dengan Islam itu sendiri. Untuk itu dalam hal pendidikan pun Islam memiliki tujuan tersendiri yang berbeda dari yang lainnya. Ketika Allah SWT memerintahkan “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” (QS. At-Tahrim: 6), artinya agar kita mendidik diri kita, keluarga kita dan orang-orang yang ada dalam tanggung jawab kita untuk melaksanakan ajaran Islam supaya dapat terhindar dari siksaan api neraka. Ali bin Abi Thalib menafsirkan ayat tersebut, “Ajarkanlah mereka adab, ajarkanlah mereka ilmu.”
Jika kita menelaah ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits maka jelaslah bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk manusia yang shaleh (al-insan ash-sholih). Karena semua sifat baik yang dikehendaki oleh Islam terangkum dalam satu kata yaitu shaleh. Allah SWT menyebut para Nabi itu adalah orang-orang shaleh. “Mereka semua (para Nabi) adalah orang-orang shaleh” (QS. Al-An’am: 85). Keturunan yang diharapkan adalah keturunan yang shaleh, seperti doa dan harapan Nabi Ibrohim as, “Wahai Tuhanku, anugerahilah aku keturunan yang shaleh.” (QS. Ash-Shoffat: 100). Bahkan teman yang diharapkan adalah teman-teman yang shaleh. “Dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.” (QS. Yusuf: 101).
Syekh Muhammad Quthb menjelaskan bahwa manusia shaleh dalam pandangan Islam adalah manusia yang memiliki keshalehan secara universal tanpa ada batasan ruang dan waktu. Untuk itu, pendidikannya tidak dimaksudkan untuk mencintai dan memakmurkan negeri tempat tinggalnya saja yang diungkapkan dengan istilah “menjadi warga negara yang baik (al-Muwathin ash-Sholih)”, dengan orientasi-orientasi duniawi belaka, tetapi semata-mata untuk melakukan perannya sebagai khalifah di muka bumi ini secara luas dengan melaksanakan petunjuk-petunjuk dari Allah, agar ia mengabdi kepada Allah Sang Penciptanya, bukan mengabdi kepada negerinya, sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan tugas orang shaleh. Inilah yang menjadi ciri khas ajaran Islam yang universal, karena sejak awal wahyu turun sebagai peringatan untuk seluruh alam. “Tiada lain dia itu kecuali peringatan bagi seluruh alam.” (At-Takwir : 27). [2]  
Dalam istilah lain Syed Naquib Al-Attas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menghasilkan manusia yang baik (good man), yaitu manusia yang beradab. Beliau mengatakan, "The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam therefore to produce a good man. What is meant by 'good' in our concept of good man? The fundamental element inherent in the islamic concept is the inculcation of adab.”[3] ["Tujuan mencari ilmu dalam Islam adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan dalam diri manusia sebagai manusia dan diri individu. Tujuan pendidikan dalam Islam karena itu untuk menghasilkan orang yang baik. Apa yang dimaksud dengan 'baik' dalam konsep kita tentang orang yang baik? Elemen mendasar yang melekat dalam konsep Islam adalah penanaman adab.”]
Oleh karena itu jelaslah bahwa dalam pendidikan Islam manusia yang dididik dilihat sebagai manusia secara utuh, tidak dikaitkan dengan tempat dimana dia berada dan tidak pula dilihat secara parsial. Bukan untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik, tentara yang baik, guru yang baik, karyawan yang baik, polisi yang baik, dokter yang baik, dst, tetapi menjadi manusia yang baik atau manusia shaleh. Hal ini sesuai dengan makna pendidikan (Tarbiyah) itu sendiri. Imam Rogib Al-Asfahani mendefinisikan tarbiyah dengan :
إِنْشَاءُ الشَّيْءِ حَالًا فَحَالًا إِلَى حَدِّ التَّمَامِ
 "Mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan kepada keadaan lain sampai ke batas kesempurnaan.”[4]
Al-Baidhowi mendefinisikan Tarbiyah :
تَبْلِيْغُ الشَّيْءِ إِلَى كَمَالِهِ شَيْئًا فَشَيْئًا
“Menyampaikan sesuatu kepada kesempurnaannya sedikit demi sedikit.”[5]
Maka, Dr. Kholid bin Hamid Al-Hazini mendefinisikan pendidikan Islam sebagai :  “Usaha mengembangkan manusia tahap demi tahap dalam setiap aspek pribadinya untuk  mendapat kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat dengan metode yang Islami.”[6] Dan juga Muhammad Natsir mendefinisikan pendidikan sebagai “Satu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya.”[7]
Saat ini masih banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan tujuan agar anaknya tersebut menjadi pintar, kaya, punya keahlian dan punya kedudukan. Padahal, berapa banyak orang pintar yang menipu, orang kaya yang sombong dan mementingkan diri sendiri, orang yang menjadikan keahliannya untuk kejahatan dan orang yang punya kedudukan tetapi menindas orang lain? Ketika sang anak telah mendapatkan itu semua, berapa banyak orang tua yang kemudian malah ditelantarkan? Semua orang tua harus menyadari bahwa yang mereka butuhkan sebenarnya adalah hanya agar anaknya menjadi orang SHALEH.
Jika anaknya shaleh, maka kepintarannya ia gunakan untuk berkarya yang bermanfaat, kekayaannya ia infakkan di jalan Allah, keahliannya ia gunakan untuk kebaikan dirinya dan orang lain dan kedudukannya ia yakini sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Seperti apapun keadaannya nanti, ia akan tetap berbakti kepada orang tuanya, dan itulah yang akan membahagiakannya. Bahkan saat telah tiada, selalu ada doa yang tersampaikan, dan kucuran amal shaleh yang terus dialirkan.
Tugas orang Shaleh
Setelah kita mengetahui tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia shaleh, berikutnya kita mesti mengetahui apa tugas orang shaleh itu? Tugas orang shaleh adalah menjadikan seluruh hidupnya untuk Ibadah kepada Allah. Allah SWT berfirman, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Dan menjadi Khalifah di muka bumi. Allah SWT berfirman, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqoroh: 30)[8]. Tugas ini dilihat dari dua sisi, secara vertikal beribadah kepada Allah dan secara horizontal menjadi khalifah di muka bumi.
Ibadah kepada Allah artinya menghambakan diri hanya kepada Allah, karena Ibadah bermakna, “Puncak ketundukan dan merendahkan diri”. Ini tidak kita lakukan kecuali hanya kepada Allah sesuai dengan pernyataan yang selalu kita ucapkan dalam Al-Fatihah, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” Dan Ibadah tidak terbatas pada aktifitas tertentu saja seperti sholat, shaum, haji, dst, tetapi mencakup seluruh aktifitas hidup kita di dunia ini, “Katakanlah, Sesungguhnya sholatku, qurbanku, hidupku dan matiku untuk Allah Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162). Untuk itulah Ibadah didefinisikan oleh para ulama sebagai,
العِبَادَةُ هِيَ اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ البَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ
Ibadah yaitu suatu nama yang mencakup setiap yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan dan perbuatan, baik yang tersembunyi maupun yang nampak.”[9]
Menjadi khalifah di muka bumi artinya menjadi pemimpin di bumi ini. Allah SWT menciptakan Nabi Adam as sebagai manusia pertama yang kemudian dilanjutkan oleh keturunan-keturunannya sebagai khalifah, pemimpin bumi. Karena manusia-lah dengan kelebihan yang Allah berikan, menjadi makhluk yang paling mulia dibanding makhluk yang lainnya. Manusia-lah yang diberikan amanah oleh Allah di muka bumi ini. Amanah yang dimaksud adalah taklif (beban syariat) yang secara garis besar meliputi: menegakkan hukum Allah, tidak berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya, dan memakmurkannya.
1.      Menegakkan hukum Allah. Sebagaimana firman Allah, “Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di muka bumi maka tegakkanlah hukum di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, maka ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah, bagi mereka adzab yang keras karena mereka telah melupakan hari perhitungan.” (QS. Shod: 26).

2.      Tidak berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya. Sebagaimana firman Allah, “Dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kalian kepadaNya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’rof: 56). Allah memperbaikinya maksudnya dengan mengutus para rosul, menurunkan kitab-kitabNya dan menetapkan syariat-syariat-Nya.[10]

3.      Memakmurkan bumi. Sebagaimana firman Allah, “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shaleh. Dia berkata: “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagi kalian selain Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi, dan menjadikan kalian pemakmurnya. Karena itu mohonlah ampunan kepadaNya, kemudian bertobatlah kepadaNya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat dan mengabulkan doa.” (QS. Hud: 61). Allah menjadikan kalian sebagai pemakmur bumi maksudnya “Dia menjadikan kalian khalifah (pemimpin atau pengelola)  padanya, memberikan kalian ni’mat-ni’mat baik yang tampak ataupun tersembunyi, meneguhkan kedudukan kalian di bumi, kalian membangun, menanam pepohonan (al-gors), menanam biji-bijian (az-zar’u), mengolah tanah (al-harts) sekehendak kalian, memanfaatkan kemanfaatannya dan mendayagunakan kemaslahatannya.”[11]
Tetapi kebanyakan manusia tidak mampu memikul amanah khilafah itu. “Sesungguhnya Kami telah menyodorkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72).
Hanya orang-orang beriman dan beramal shaleh-lah yang layak memikul amanah khilafah itu. “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman di antara kalian dan beramal shaleh bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka khalifah (penguasa) di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka khalifah, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukan sesuatu apapun denganKu. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. An-Nur: 55).
Untuk tugas ibadah dan khalifah itulah kita mendidik generasi kita. Maka semua yang kita ajarkan dan tanamkan kepada peserta didik mesti bertujuan agar mereka mampu mengemban tugas vertikal beribadah kepada Allah dan tugas horizontal sebagai khalifah yang mengelola bumi dengan sebaik-baiknya dengan apapun keahlian yang mereka mampu.        
Sifat Orang Shaleh
Sifat orang shaleh yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan merupakan sifat inti adalah beriman dan beramal shaleh. Beriman kepada Allah dan Rosul-Nya dan terhadap petunjuk yang telah diturunkan tanpa ada keraguan lagi, dan mengamalkan petunjuk tersebut.  Dalam Al-Qur’an, Allah SWT banyak menyebut sifat beriman dan beramal shaleh ini sebagai syarat memperoleh kebahagiaan dan meraih surga yang penuh dengan keni’matan. Diantaranya: “Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ro’du: 29).
Kedua sifat inilah yang berusaha kita tanamkan kepada peserta didik kita. Di tengah-tengah kondisi sekarang banyak orang yang belajar ilmu dan keterampilan tanpa diarahkan kepada iman apalagi amal shaleh. Ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Misalnya, seseorang mempelajari tentang tanaman, ia hanya asyik mengumpulkan informasi-informasi tentang tanaman dan cara-cara menanamnya tetapi tidak diarahkan untuk mengingat Allah yang menciptakannya, menumbuhkannya, mendesain dengan sangat indah keanekaragamannya, serta tidak diajarkan bagaimana petunjuk Allah dan Rosul-Nya dalam masalah tanaman yang akan melahirkan perasaan iman. Padahal Allah menggugah kita, “Apakah kalian tidak memperhatikan tentang yang kalian tanam? Kaliankah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya? Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering, maka jadilah kalian heran dan tercengang.” (QS. Al-Waqi’ah : 63-65). Ketika seseorang itu memiliki kemampuan untuk menanam ia hanya berpikir bagaimana dia menghasilkan uang dan keuntungan dari tanamannya itu, menjadi pengusaha besar dan kaya raya. Ia sama sekali tidak diajarkan untuk beramal shaleh dengan kemampuan yang ia miliki, memberikan manfaat untuk kehidupan. Padahal Rosululloh saw mengarahkan, “Tidaklah seorang muslim menanam suatu pohon atau tanaman, lalu dimakan oleh burung atau manusia atau hewan ternak, kecuali itu menjadi shodaqoh baginya.” (HR. Bukhori). Jadi, sifat orang shaleh yang mesti kita tanamkan setiap kali kita mendidik dan mengajar murid-murid kita, apapun pelajarannya, adalah sifat beriman dan beramal shaleh.
Tiga aspek dalam diri manusia
Syekh Muhammad Quthb mengatakan,
طَرِيْقَةُ الْإِسْلَامِ فِي التَّرْبِيَّةِ هِيَ مُعَالَجَةُ الْكَائِنِ الْبَشَرِي كُلِّهِ مُعَالَجَةً شَامِلَةً لَا تَتْرُكُ مِنْهُ شَيْئًا وَلَا تَغْفَلُ عَنْ شَيْءٍ، جِسْمَهُ وَعَقْلَهُ وَرُوْحَهُ، حَيَاتَهُ الْمَادِّيَّةَ وَالْمَعْنَوِيَّةَ وَكُلَّ نَشَاطِهِ عَلَى الْأَرْضِ
“Cara Islam dalam pendidikan adalah memperbaiki pribadi manusia secara keseluruhan dengan perbaikan yang lengkap, tidak meninggalkan sesuatupun dan tidak mengabaikan sesuatupun, yaitu jasadnya, akalnya dan ruhnya, kehidupannya secara materi dan secara ma’nawi, dan seluruh aktifitasnya di atas permukaan bumi.”[12]
Manusia memiliki tiga unsur dalam dirinya yaitu jasad, akal dan ruh. Karena pendidikan Islam itu mendidik manusia secara utuh maka proses pendidikannya menyentuh ketiga aspek tersebut tanpa mengabaikan salah satunya. Dalam bahasa yang populer sekarang, ruh itu adalah aspek afektif, akal adalah kognitif dan jasad adalah psikomotor.
Ada pendidikan yang hanya memperhatikan aspek ruhnya saja dengan melakukan latihan-latihan batin seperti aliran kebatinan, akhirnya mereka hanya asyik dengan wisata batinnya tetapi lupa akan kewajibannya dalam mengurus kehidupan, memenuhi kebutuhan materi, bekerja, dlsb.
Ada pula pendidikan yang hanya memperhatikan aspek akal saja, mereka bebas menggunakan logika-logika mereka tanpa batasan meski harus menentang syariat Allah, meski harus melupakan Allah sebagai Tuhannya yang mesti ditaati.
Dan ada pula pendidikan yang hanya memperhatikan aspek fisik saja, seperti dalam kemiliteran. Ruh dan akal mereka tidak diberikan pendidikan yang cukup. Fisik mereka kuat dan bugar, tetapi menjadi brutal, merasa diri berkuasa, semena-mena dan menzhalimi orang lain.  
Sedangkan dalam pendidikan Islam mesti diberikan porsi yang cukup untuk ketiga aspek tersebut agar terjadi keseimbangan dan tercapainya kesempurnaan pribadi manusia, tanpa ada ketimpangan.
Lalu bagaimana mengisi ketiga aspek manusia tersebut? Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita,
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam, benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi Ulul Albab (orang-orang yang cerdas). Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring, dan mentafakuri tentang penciptaan langit dan bumi, (seraya berkata) Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini sia-sia, maha suci Engkau. Maka peliharalah kami dari api neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191). 
Dalam ayat tersebut kita dapat mengambil petunjuk untuk diterapkan dalam proses pendidikan. Dengan mentadaburinya kita bisa memahami bahwa aspek ruh diisi dengan hubungan yang terus menerus dengan Allah, aspek akal diisi dengan mentafakuri alam semesta yang akan menghasilkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan aspek jasad diisi dengan berlomba dalam amal shaleh dengan tekad terhindar dari siksa neraka. Berikut penjelasannya :
Pertama, hubungan terus menerus dengan Allah. Ini dipahami dari ayat “mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring”, atau maksudnya dalam setiap keadaan. Pendidikan yang kita lakukan mesti mengarahkan setiap aktifitas peserta didik agar ruhnya selalu berhubungan dengan Allah, mengingat Allah. Mengingat Allah dalam arti mengingat nama-nama dan sifat-sifatNya, mengingat ni’mat-ni’mat-Nya, dan mengingat petunjuk-Nya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul-Nya. Berarti kita harus memulai dan seterusnya menjalankan aktifitas pendidikan kita dengan nama Allah, dengan kesadaran akan ni’mat-ni’mat-Nya dan dengan petunjuk-Nya. Dan itu artinya juga wajib dalam pendidikan kita untuk memahamkan petunjuk Allah.   
Kedua, mentafakuri ciptaan Allah. Selanjutnya kita diperintah untuk mengarahkan akal agar mempelajari dan meneliti ciptaan Allah baik kehidupan manusia itu sendiri maupun alam semesta yang luas ini. Namun bukan sekedar meneliti lalu hanya menjadikannya sebatas untuk memenuhi kesenangan dunia. Tetapi ia mesti melahirkan perasaan iman yang lebih mendalam, semakin menyadari kekuasaan Allah dengan bukti-bukti yang telah ia temukan di alam ini. Perasaan iman itu mengatakan, “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini sia-sia, maha suci Engkau.
Ketiga, bertekad agar selamat dari neraka. Setelah kita belajar banyak hal dengan selalu mengingat Allah, lalu apa yang kita harapkan? Kita berharap agar terhindar dari siksaan api neraka. Di sinilah terkandung tekad yang kuat yang mendorong jasad kita untuk beramal shaleh, yang kita persembahkan untuk Allah, agar Allah menyelamatkan kita dari neraka. Pendidikan kita mesti sampai kepada tahap ini. Inilah yang mendorong kuat kepada kita dan anak-anak didik kita agar berlomba-lomba untuk taat kepada Allah serta mempersembahkan amal shaleh apapun untuk Allah sesuai dengan kemampuan dan keahliannya agar memberikan manfaat yang besar.
Syekh Muhammad Quthb juga menjelaskan tentang bagaimana mendidik ruh, akal dan jasad. Beliau mengatakan bahwa ruh dididik dengan hubungan yang terus menerus dengan Allah (ash-Shillah ad-Daimah ma’Allah). Akal dididik dengan mentafakuri ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta. Dan jasad dididik dengan, pertama : memenuhi haknya berupa memberikan makan yang halal dan thoyib, memberikan istirahat yang cukup, memperhatikan kebersihannya, dan memperhatikan kesehatan dan kekuatannya. Kedua, menggunakannya untuk beramal shaleh.
Pembagian tiga aspek manusia tersebut bukan berarti satu sama lain terpisah, pembagian itu sebatas untuk memudahkan dalam memahaminya saja, tetapi pada prakteknya ketiga aspek tersebut menyatu dalam diri manusia. Syekh Muhammad Quthb menguraikan, “Saat ibadah, bukanlah kegiatan ruh semata, melainkan ia adalah gerakan jasad, gerakan akal dan pancaran ruh. Sholat adalah yang paling jelas menerangkan hakikat ini, ia mencakup jasad, akal dan ruh dalam satu waktu. Selanjutnya, semua amal dalam pengertian Islam adalah ibadah selama ditujukan oleh manusia kepada Allah.”[13]


[1] Dr. Ahmad Fuad Ahwani, At-Tarbiyyah fil Islam, hal.7
[2] Lihat Muhammad Quthb, Manhaj At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hal.13-14
[3] Syed Naquib Al-Attas, Islam and Secularisme, hal.150-151
[4] Ar-Rogib Al-Asfahani, Al-Mufrodat fi Ghoribil Qur’an, hal. 184
[5] Al-Baidowi, Anwarut Tanzil wa Asrorut Ta’wil, jilid 1 hal.13
[6] Ushul At-Tarbiyyah Al-Islamiyah, hal. 19
[7] Muhammad Natsir, Capita Selekta, Jilid 1 hal. 412
[8] Lihat pula QS. Al-An’am: 165, Al-A’rof: 129, An-Naml: 62
[9] Ibnu Taimiyyah, Al-‘Ubudiyyah, hal.1
[10] Asy-Syaukani, Fathul Qodir, hal.480
[11] Tafsir As-Sa’di, hal.443
[12] Muhammad Quthb, Manhaj At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hal.18
[13] Muhammad Quthb, Manhaj At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hal.24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar