Jumat, 02 September 2016

Barisan pejuang di jalan Allah



Menggali petunjuk QS. Ash-Shaff
Oleh : Muhammad Atim

Download audio kajiannya :  Barisan Pejuang di jalan Allah (Ash-Shaff)
Hidup ini adalah pertarungan antara haq dan batil. Ini menjadi sunnatullah yang terus bergulir, karena setiap ada kebenaran yang ditegakkan di bumi ini, pasti ada kebatilan yang menentangnya. Jika ditelusuri ke pangkalnya, kita akan tahu bahwa pertarungan itu ada sejak manusia diciptakan oleh Allah untuk mengemban tugas ibadah dan khilafah di muka bumi, maka Iblis segera mendengki dan mengumumkan permusuhannya yang terus menerus hingga hari kebangkitan, bahkan ia bersumpah untuk senantiasa menggoda manusia bersama bala tentaranya agar menjadi pengikutnya. Untuk itulah Allah menciptakan surga bagi orang-orang yang berpegang teguh kepada petunjuk Allah dan neraka bagi Iblis dan para pengikutnya.
Para nabi dan rasul bersama para pengikutnya telah sejak dulu menghadapi penentangan dari orang-orang yang tergoda oleh Iblis. Ketika mereka mengajak kepada jalan Allah, maka orang-orang tersebut mendurhakai dan memeranginya. Maka sudah menjadi keharusan bagi orang yang beriman kepada Allah untuk berjuang di jalan-Nya menghadapi mereka. Banyak dari orang-orang shaleh itu yang telah mendapatkan janji Allah berupa kemenangan serta kemuliaan mati sebagai syahid di sisi-Nya.
Nabi Musa as telah disakiti oleh kaumnya dari Bani Israil padahal wahyu Allah berupa taurat telah diturunkan kepadanya sebagai rasul, begitu pula Nabi Isa as telah ditentang dengan keras, disebut sebagai penyihir dan wahyu Allah yang dibawanya berupa Injil disebut sebagai sihir. Kaum Bani Israil telah berlalu dengan penentangannya, menyisakan dua penyimpangan agama; Yahudi dan Kristen. Kemudian datanglah Islam sebagai agama akhir yang diturunkan oleh Allah. Kabar kedatangannya telah diberitahukan oleh semua rasul termasuk oleh Nabi Isa as yang akan datang setelahnya.
Sunnatullah tidak akan berubah. Rasulullah saw dan para pengukitnya mendapatkan penentangan dari orang-orang yang ingkar. Mereka berusaha terus menerus untuk memadamkan cahaya Allah, padahal Allah menyempurnakan cahaya-Nya, akan selalu menegakkan agama-Nya di muka bumi ini. Maka Allah menawarkan kepada kita selaku orang-orang beriman, suatu perdagangan yang tidak akan pernah ada kerugian, yang akan menyelamatkan kita dari siksa yang pedih, yaitu bersungguh-sungguh beriman dan berjihad di jalan-Nya dan menjadi pembela bagi agama-Nya. Oleh karena itu, syariat jihad yang ditetapkan oleh Allah akan selalu ada di setiap zaman, karena menegakkan agama Allah di muka bumi ini selalu membutuhkan perjuangan.
Pada saat ini Islam dilecehkan, umat Islamnya dijajah dan dibinasakan di berbagai tempat. Sudah tentu Allah menagih janji iman kita agar mau berjihad di jalan-Nya. Beriman itu tak cukup sekedar kata-kata, tetapi mesti dibuktikan dengan perbuatan dan perjuangan. Karena Allah sangat membenci orang yang pandai mengemukakan janji-janji, tetapi tidak berkomitmen melakukannya. Perjuangan di jalan Allah itu tidaklah dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi mesti dengan berjama’ah, bahkan membentuk barisan yang teratur laksana bangunan yang tegak dan kokoh. Maka surat Ash-Shaff yang berarti barisan ini menjadi petunjuk penggerak bagi kita agar segera bergabung di dalam barisan pejuang di jalan Allah.
Komitmen keimanan
“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah, dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Betapa besar kebencian Allah kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff : 1-3).
Keyakinan kita harus semakin kuat karena Islam yang kita imani dan perjuangkan ini adalah agama yang haq yang juga diikuti oleh seluruh apa yang ada di bumi selain orang-orang yang ingkar dan apa yang ada di langit, mereka semua bertasbih kepada Allah, tunduk di bawah kekuasaan-Nya.
Selanjutnya Allah memberikan sebuah pertanyaan yang bertujuan untuk mengecam (taubikh), “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? .” Keimanan yang ada di dalam diri kita, jika memang benar, tidak akan mengemukakan kata-kata kosong tanpa pembuktian. Ini adalah pelajaran bagi kita agar komitmen terhadap kata-kata yang kita ucapkan.
Ayat di atas merupakan kecaman bagi orang yang omongannya besar, banyak berkata ini dan itu, ingin terlihat hebat, tetapi pada kenyataannya tidak sesuai. Qatadah dan Adh-Dhahhaq berkata : “Ayat tersebut turun sebagai kecaman bagi suatu kaum yang berkata, “Kami telah berperang, kami telah memukul, kami telah menghunuskan pedang, kami telah berbuat”, padahal mereka tidak melakukan semua itu.” Ayat ini tidak dimaksudkan untuk mengecam orang yang berda’wah menyampaikan kebenaran -sebagaimana anggapan sebagian orang- yang berakibat orang menjadi enggan untuk berda’wah, padahal da’wah itu sendiri merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika seorang da’i belum mampu mengamalkan semua yang disampaikannya, paling tidak dia sudah berusaha, dan itu tidak tercela.
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang Asbabun nuzul ayat tersebut. Ibnu Abbas berkata, “Sebagian orang-orang beriman sebelum diwajibkan jihad berkata, “Kami sangat ingin bahwa Allah menunjukkan kepada kami terhadap amalan yang paling dicintai-Nya, maka kami akan mengamalkannya. Maka Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya bahwa amalan yang paling dicintai-Nya adalah beriman kepada-Nya tanpa ada keraguan, berjihad melawan ahli maksiat yang menentang keimanan dan tidak mengakuinya. Ketika turun perintah jihad, sebagian orang beriman tidak menyukainya dan berat bagi mereka melaksanakannya, maka Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”.[1]   
Jika mencermati Asbabun nuzul di atas, menunjukkan bahwa ayat yang berisi kecaman tersebut turun setelah adanya perintah berjihad baik yang terdapat di surat lain maupun di surat Ash-Shaff sendiri. Ini menunjukkan bahwa ayat dua dan tiga meskipun di awal tetapi turunnya belakangan. Seperti yang dikatakan oleh Muqatil bin Hayyan, “Orang-orang beriman berkata, “Kalaulah kami mengetahui amalan yang paling dicintai oleh Allah niscaya kami akan mengamalkannya. Maka Allah menunjukkan mereka kepada amalan yang paling dicintai tersebut, Allah berfirman, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka laksana bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff: 4). Lalu mereka diuji pada hari perang Uhud dengan hal itu, tetapi mereka malah melarikan diri, maka Allah menurunkan ayat “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”. Al-Kalbi juga mengatakan bahwa mereka berkata, “Kalaulah kami mengetahui amalan yang paling dicintai oleh Allah, niscaya kami bersegera mengamalkannya.” Maka turunlah ayat “Apakah kalian mau Aku tunjukkan suatu perdagangan yang menyelamatkan kalian dari siksa yang pedih? dst..” (QS. Ash-Shaff : 10-14). Lalu mereka diuji di hari perang Uhud, maka turunlah ayat “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”.[2]
Pendidikan komitmen terhadap kata-kata yang diucapkan sangat diperhatikan sekecil apapun. Sampai seorang ibu tidak boleh berbicara sembarangan kepada anaknya atau menjanjikan sesuatu kepadanya tanpa ada bukti hanya karena agar si anak tersebut mau mengikuti perintahnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah ia berkata, “Telah datang kepada kami Rasulullah saw di rumah kami dan aku masih kanak-kanak. Aku berkata, maka aku pergi keluar untuk bermain, ibuku berkata, “Wahai Abdullah, kemarilah aku akan memberimu!” Maka Rasulullah saw berkata kepadanya, “Apa yang akan kamu beri kepadanya?” Ia menjawab, “Kurma”. Maka beliau bersabda, “Jika engkau tidak melakukannya, telah dicatat suatu kedustaan pada dirimu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).[3] 
Hal itu dikarenakan tidak komitmen terhadap kata-kata adalah sifat dari kemunafikan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda : “Ciri orang munafik ada tiga; apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila diberi amanah ia berkhianat.” (Muttafaq ‘Alaih)
Barisan jihad yang teratur
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka laksana bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff : 4).
Ayat tersebut sebagai jawaban dari pertanyaan para sahabat tentang amalan yang paling dicintai oleh Allah. Jelaslah bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah jihad yang makna khususnya adalah berperang di jalan Allah. Dalam hadits juga disebutkan dari Abu Dzar ra ia berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad di jalan-Nya”. (Muttafaq ‘Alaih).[4] Dan jihad merupakan puncak ajaran tertinggi di dalam Islam. Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw bersabda : “Pokok dari berbagai urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak ajarannya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Jihad menurut bahasa adalah “mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan”. Menurut istilah syariat ada pengertian umum dan khusus. Pengertian umumnya adalah “Seorang muslim bersungguh-sungguh dengan memohon pertolongan kepada Allah dalam mencapai setiap yang mendekatkan kepada Allah dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya.” Sedangkan pengertian khususnya jihad adalah melawan musuh-musuh Islam dengan tujuan meninggikan kalimat Allah.
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah membagi jihad kepada empat tingkatan, yaitu: jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang-orang kafir dan jihad melawan orang-orang munafik. Jihad melawan hawa nafsu ada empat tingkatan, yaitu: Pertama, bersungguh-sungguh mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, bersungguh-sungguh di dalam mengamalkannya. Ketiga, bersungguh-sungguh dalam menda’wahkannnya. Keempat, bersungguh-sungguh untuk bersabar di dalamnya. Jihad melawan syetan terbagi dua, yaitu pertama, jihad melawan godaannya berupa syubhat, yaitu kerancuan-kerancuan yang diberikan untuk menyesatkan pemikiran dan keyakinan dan kedua jihad melawan godaannya berupa syahwat. Jihad melawan orang-orang kafir dan munafik ada tingkatannya yaitu dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad melawan orang-orang kafir dominannya dengan tangan yaitu dengan memeranginya sedangkan jihad melawan orang-orang munafik dominannya dengan lisan yaitu dengan memberikan hujjah-hujjah yang kuat. Dan berjihad ketika melihat sebuah kemungkaran, tahapannya jika mampu merubahnya dengan tangan (kekuasaan), jika tidak mampu maka dengan lisan, dan jika tidak mampu maka dengan hati yang mengingkari dan itu selemah-lemah iman, karena da’wah adalah bagian dari jihad.[5]
Secara khusus jihad adalah melawan orang-orang kafir dan itu merupakan tingkatan yang paling tinggi. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan keutamaannya. Jihad melawan orang kafir ada dua macam yaitu jihad difa’ dan jihad tholab. Jihad difa’ adalah membela diri ketika di serang musuh, sedangkan jihad thalab adalah memerangi orang-orang yang menghalangi da’wah Islam dan menghalangi tegaknya syariat Islam di muka bumi ini.
Berdasarkan penjelasan tentang jihad di atas, ternyata banyak jalan jihad yang dapat kita lakukan. Karena pada intinya jihad itu bertujuan untuk meninggikan dan menegakkan agama Allah. Diriwayatkan dari Abu Musa ra bahwa seorang Arab badui datang kepada Rasulullah saw, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang yang berperang untuk mendapatkan gonimah, ada orang yang berperang agar ia disebut-sebut, ada orang yang berperang agar dilihat kedudukannya, -dalam satu riwayat disebutkan- berperang karena ingin disebut pemberani, dan berperang karena ingin disebut pahlawan, -dalam riwayat lain disebutkan- berperang karena rasa marah, maka siapakah yang berperang di jalan Allah? Maka Rasulullah saw menjawab, “Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itu menjadi tinggi, maka dia di jalan Allah.” (Muttafaq ‘Alaih).[6] 
 Dalam ayat di atas disebutkan “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka laksana bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff : 4). Maka jihad itu jangan dilakukan secara sembarangan tetapi ia harus dilakukan secara teratur dan terorganisir. Kata barisan yang teratur adalah kinayah yang maksudnya adalah agar jihad itu dilakukan dengan manajemen yang baik, dalam berperang pun bukan berarti harus selalu berbaris tetapi adakalanya berpencar tergantung kepada strateginya. Kita bisa banyak belajar kepada Rasulullah saw tentang jihad beliau yang dilakukan dengan teratur dan manajemen yang baik. Manajemen itu intinya adalah memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan, kebersamaan yang kokoh, strategi yang baik, pembagian tugas yang tepat, kemampuan menghadapi permasalahan dan selalu berharap kepada Allah.
Musa dan Isa ‘alaihimassalam telah menghadapi penentangan Bani Israil             
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Mengapa kamu menyakitiku, padahal kamu sungguh mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?” Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku yang namanya Ahmad (Muhammad).” Namun ketika rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata”. (QS. Ash-Shaff : 5-6).
Nabi Muas as dan Nabi Isa as telah menjadi saksi terhadap penentangan orang-orang yang ingkar, dalam hal ini Bani Israil. Musa as telah disakiti oleh mereka dan mereka menjadi kaum yang berpaling dari kebenaran hingga sekarang. Begitu pula Isa as telah ditolak da’wahnya. Ia memanggil dengan panggilan “Wahai Bani Israil!” Berbeda dengan Musa as yang memanggil dengan panggilan “Wahai kaumku!”. Hal itu karena Nabi Isa as tidak memiliki nasab terhadap mereka karena ia lahir dari seorang ibu tanpa ayah. Ia pun memberikan kabar gembira akan datangnya rasul terakhir yang bernama Ahmad (Muhammad) karena Ahmad adalah salah satu nama beliau. Beliau bersabda: “Aku memiliki lima nama : aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Al-Hasyir yang mana manusia dikumpulkan di atas kedua kakiku, aku adalah Al-Mahi yang Allah menghapus kekufuran melaluiku, dan aku adalah Al-‘Aqib. (HR. Bukhari dan Muslim). Al-‘Aqib artinya tidak ada lagi nabi setelah beliau.[7]
Jika Nabi Musa as dan Nabi Isa as telah mendapatkan penentangan da’wah, begitu pula Rasulullah saw, dan begitu pula kita jika ingin mengikuti jejak langkahnya. Maka mau tak mau kita mesti menghadapinya dengan jihad.
Usaha musuh yang pasti gagal dan kemenangan Islam             
“Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah padahal dia diajak kepada (agama) Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya”. (QS. Ash-Shaff : 7-9).
Ini adalah janji Allah yang pasti benar. Allah akan memenangkan agama-Nya. Meski orang-orang kafir terus berusaha memadamkan cahaya Allah tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya. Disebutkan dengan kata mulut-mulut mereka, yang berarti dengan lisan kata-kata mereka, ibaratnya mereka berusaha memadamkan cahaya matahari yang besar dengan tiupan dari mulut-mulut mereka, hal itu mustahil dapat padam.
Transaksi jihad dengan Allah             
“Wahai orang-orang yang  beriman! Maukah kamu aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung. Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mu’min”. (QS. Ash-Shaff : 10-13).
Janji Allah itu tidak datang begitu saja tetapi ada syarat dan proses yang mesti dilalui, maka dalam proses itu Allah menawarkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan mereka dari siksa yang pedih, yaitu agar orang-orang beriman mau menjual harta dan jiwa mereka untuk berjihad di jalan-Nya, maka Allah membelinya dengan ampunan dan surga yang penuh dengan keni’matan. Di dalamnya terdapat tempat-tempat tinggal yang baik untuk beristirahat. Perdagangan ini tidak akan pernah ada kerugian, jika mati maka menjadi syahid, dan jika masih diberikan hidup, akan berada dalam kemuliaan dan mendapatkan pertolongan dan kemenangan yang diberikan oleh Allah yang sudah dekat waktunya.
Jadilah pembela agama Allah             
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah? Pengikut-pengikutnya yang setia itu berkata, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir, lalu Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, sehingga mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. Ash-Shaff : 14).
Ini adalah seruan terakhir dalam surat ini agar kita mau berjihad dan menjadi pembela agama Allah. Lalu diberikan teladan dari para pengikut setia (al-Hawariyyun) Nabi Isa as yang ketika ditanya, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah? Mereka menjawab dengan penuh keyakinan, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah”. Ketika kita sudah menyatakan tekad kita menjadi pembela agama Allah, maka tidak peduli setelah itu ada orang yang mengikuti dan ada pula orang yang menolaknya. Kita akan menghadapi semua itu, tetapi yang jelas Allah akan memberikan kekuatan kepada kita dalam menghadapi musuh dan menjadikan kita sebagai para pemenang (the Winners).


[1] Ibnu Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, Jilid 28, hal.172
[2] Ibnu Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, Jilid 28, hal.172-173
[3] Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, hal.106
[4] Riyadhush Shalihin, bab keutamaan Jihad, hadits no.1287
[5] Lihat Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, Zadul Ma’ad, Jilid 3, hal.9-10
[6] Riyadhush Shalihin, bab keutamaan jihad, hadits no.1343
[7] Shafwatut Tafasir, Jilid 3, hal.362

Tidak ada komentar:

Posting Komentar