Menggali petunjuk QS. Ash-Shaff
Hidup ini
adalah pertarungan antara haq dan batil. Ini menjadi sunnatullah yang terus
bergulir, karena setiap ada kebenaran yang ditegakkan di bumi ini, pasti ada
kebatilan yang menentangnya. Jika ditelusuri ke pangkalnya, kita akan tahu
bahwa pertarungan itu ada sejak manusia diciptakan oleh Allah untuk mengemban
tugas ibadah dan khilafah di muka bumi, maka Iblis segera mendengki dan
mengumumkan permusuhannya yang terus menerus hingga hari kebangkitan, bahkan ia
bersumpah untuk senantiasa menggoda manusia bersama bala tentaranya agar
menjadi pengikutnya. Untuk itulah Allah menciptakan surga bagi orang-orang yang
berpegang teguh kepada petunjuk Allah dan neraka bagi Iblis dan para
pengikutnya.
Para nabi dan
rasul bersama para pengikutnya telah sejak dulu menghadapi penentangan dari
orang-orang yang tergoda oleh Iblis. Ketika mereka mengajak kepada jalan Allah,
maka orang-orang tersebut mendurhakai dan memeranginya. Maka sudah menjadi
keharusan bagi orang yang beriman kepada Allah untuk berjuang di jalan-Nya
menghadapi mereka. Banyak dari orang-orang shaleh itu yang telah mendapatkan
janji Allah berupa kemenangan serta kemuliaan mati sebagai syahid di sisi-Nya.
Nabi Musa as
telah disakiti oleh kaumnya dari Bani Israil padahal wahyu Allah berupa taurat
telah diturunkan kepadanya sebagai rasul, begitu pula Nabi Isa as telah
ditentang dengan keras, disebut sebagai penyihir dan wahyu Allah yang dibawanya
berupa Injil disebut sebagai sihir. Kaum Bani Israil telah berlalu dengan
penentangannya, menyisakan dua penyimpangan agama; Yahudi dan Kristen. Kemudian
datanglah Islam sebagai agama akhir yang diturunkan oleh Allah. Kabar
kedatangannya telah diberitahukan oleh semua rasul termasuk oleh Nabi Isa as
yang akan datang setelahnya.
Sunnatullah
tidak akan berubah. Rasulullah saw dan para pengukitnya mendapatkan penentangan
dari orang-orang yang ingkar. Mereka berusaha terus menerus untuk memadamkan
cahaya Allah, padahal Allah menyempurnakan cahaya-Nya, akan selalu menegakkan
agama-Nya di muka bumi ini. Maka Allah menawarkan kepada kita selaku
orang-orang beriman, suatu perdagangan yang tidak akan pernah ada kerugian,
yang akan menyelamatkan kita dari siksa yang pedih, yaitu bersungguh-sungguh
beriman dan berjihad di jalan-Nya dan menjadi pembela bagi agama-Nya. Oleh
karena itu, syariat jihad yang ditetapkan oleh Allah akan selalu ada di setiap
zaman, karena menegakkan agama Allah di muka bumi ini selalu membutuhkan
perjuangan.
Pada saat ini
Islam dilecehkan, umat Islamnya dijajah dan dibinasakan di berbagai tempat.
Sudah tentu Allah menagih janji iman kita agar mau berjihad di jalan-Nya.
Beriman itu tak cukup sekedar kata-kata, tetapi mesti dibuktikan dengan
perbuatan dan perjuangan. Karena Allah sangat membenci orang yang pandai
mengemukakan janji-janji, tetapi tidak berkomitmen melakukannya. Perjuangan di
jalan Allah itu tidaklah dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi mesti dengan
berjama’ah, bahkan membentuk barisan yang teratur laksana bangunan yang tegak
dan kokoh. Maka surat Ash-Shaff yang berarti barisan ini menjadi petunjuk
penggerak bagi kita agar segera bergabung di dalam barisan pejuang di jalan
Allah.
Komitmen keimanan
“Apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah, dan Dialah Yang Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Betapa besar kebencian Allah kamu
mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff : 1-3).
Keyakinan kita
harus semakin kuat karena Islam yang kita imani dan perjuangkan ini adalah
agama yang haq yang juga diikuti oleh seluruh apa yang ada di bumi selain
orang-orang yang ingkar dan apa yang ada di langit, mereka semua bertasbih
kepada Allah, tunduk di bawah kekuasaan-Nya.
Selanjutnya
Allah memberikan sebuah pertanyaan yang bertujuan untuk mengecam (taubikh),
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak
kamu kerjakan? .” Keimanan yang ada di dalam diri kita, jika memang benar,
tidak akan mengemukakan kata-kata kosong tanpa pembuktian. Ini adalah pelajaran
bagi kita agar komitmen terhadap kata-kata yang kita ucapkan.
Ayat di atas
merupakan kecaman bagi orang yang omongannya besar, banyak berkata ini dan itu,
ingin terlihat hebat, tetapi pada kenyataannya tidak sesuai. Qatadah dan
Adh-Dhahhaq berkata : “Ayat tersebut turun sebagai kecaman bagi suatu kaum yang
berkata, “Kami telah berperang, kami telah memukul, kami telah menghunuskan
pedang, kami telah berbuat”, padahal mereka tidak melakukan semua itu.” Ayat
ini tidak dimaksudkan untuk mengecam orang yang berda’wah menyampaikan
kebenaran -sebagaimana anggapan sebagian orang- yang berakibat orang menjadi
enggan untuk berda’wah, padahal da’wah itu sendiri merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakan. Jika seorang da’i belum mampu mengamalkan semua yang
disampaikannya, paling tidak dia sudah berusaha, dan itu tidak tercela.
Ali bin Abi
Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang Asbabun nuzul ayat tersebut. Ibnu
Abbas berkata, “Sebagian orang-orang beriman sebelum diwajibkan jihad berkata,
“Kami sangat ingin bahwa Allah menunjukkan kepada kami terhadap amalan yang
paling dicintai-Nya, maka kami akan mengamalkannya. Maka Allah memberitahukan
kepada Nabi-Nya bahwa amalan yang paling dicintai-Nya adalah beriman kepada-Nya
tanpa ada keraguan, berjihad melawan ahli maksiat yang menentang keimanan dan
tidak mengakuinya. Ketika turun perintah jihad, sebagian orang beriman tidak menyukainya
dan berat bagi mereka melaksanakannya, maka Allah berfirman, “Wahai
orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan?”.[1]
Jika mencermati
Asbabun nuzul di atas, menunjukkan bahwa ayat yang berisi kecaman tersebut
turun setelah adanya perintah berjihad baik yang terdapat di surat lain maupun
di surat Ash-Shaff sendiri. Ini menunjukkan bahwa ayat dua dan tiga meskipun di
awal tetapi turunnya belakangan. Seperti yang dikatakan oleh Muqatil bin
Hayyan, “Orang-orang beriman berkata, “Kalaulah kami mengetahui amalan yang
paling dicintai oleh Allah niscaya kami akan mengamalkannya. Maka Allah
menunjukkan mereka kepada amalan yang paling dicintai tersebut, Allah
berfirman, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di
jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka laksana bangunan yang tersusun
kokoh.” (QS. Ash-Shaff: 4). Lalu mereka diuji pada hari perang Uhud dengan
hal itu, tetapi mereka malah melarikan diri, maka Allah menurunkan ayat “Wahai
orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan?”. Al-Kalbi juga mengatakan bahwa mereka berkata, “Kalaulah kami
mengetahui amalan yang paling dicintai oleh Allah, niscaya kami bersegera
mengamalkannya.” Maka turunlah ayat “Apakah kalian mau Aku tunjukkan suatu
perdagangan yang menyelamatkan kalian dari siksa yang pedih? dst..” (QS.
Ash-Shaff : 10-14). Lalu mereka diuji di hari perang Uhud, maka turunlah
ayat “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan?”.[2]
Pendidikan
komitmen terhadap kata-kata yang diucapkan sangat diperhatikan sekecil apapun.
Sampai seorang ibu tidak boleh berbicara sembarangan kepada anaknya atau
menjanjikan sesuatu kepadanya tanpa ada bukti hanya karena agar si anak tersebut
mau mengikuti perintahnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah ia
berkata, “Telah datang kepada kami Rasulullah saw di rumah kami dan aku masih
kanak-kanak. Aku berkata, maka aku pergi keluar untuk bermain, ibuku berkata,
“Wahai Abdullah, kemarilah aku akan memberimu!” Maka Rasulullah saw berkata
kepadanya, “Apa yang akan kamu beri kepadanya?” Ia menjawab, “Kurma”. Maka
beliau bersabda, “Jika engkau tidak melakukannya, telah dicatat suatu kedustaan
pada dirimu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).[3]
Hal itu
dikarenakan tidak komitmen terhadap kata-kata adalah sifat dari kemunafikan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda : “Ciri
orang munafik ada tiga; apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia
mengingkari dan apabila diberi amanah ia berkhianat.” (Muttafaq ‘Alaih)
Barisan jihad yang teratur
“Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang
teratur, mereka laksana bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff : 4).
Ayat tersebut
sebagai jawaban dari pertanyaan para sahabat tentang amalan yang paling
dicintai oleh Allah. Jelaslah bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah
adalah jihad yang makna khususnya adalah berperang di jalan Allah. Dalam hadits
juga disebutkan dari Abu Dzar ra ia berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah,
amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad
di jalan-Nya”. (Muttafaq ‘Alaih).[4]
Dan jihad merupakan puncak ajaran tertinggi di dalam Islam. Diriwayatkan dari
Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw bersabda : “Pokok dari berbagai urusan
adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak ajarannya adalah jihad di jalan
Allah.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Jihad menurut
bahasa adalah “mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan”. Menurut istilah
syariat ada pengertian umum dan khusus. Pengertian umumnya adalah “Seorang
muslim bersungguh-sungguh dengan memohon pertolongan kepada Allah dalam
mencapai setiap yang mendekatkan kepada Allah dan menjauhi segala yang dilarang
oleh-Nya.” Sedangkan pengertian khususnya jihad adalah melawan musuh-musuh
Islam dengan tujuan meninggikan kalimat Allah.
Ibnul Qoyyim
Al-Jauziyyah membagi jihad kepada empat tingkatan, yaitu: jihad melawan hawa
nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang-orang kafir dan jihad melawan
orang-orang munafik. Jihad melawan hawa nafsu ada empat tingkatan, yaitu: Pertama,
bersungguh-sungguh mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, bersungguh-sungguh
di dalam mengamalkannya. Ketiga, bersungguh-sungguh dalam menda’wahkannnya.
Keempat, bersungguh-sungguh untuk bersabar di dalamnya. Jihad melawan
syetan terbagi dua, yaitu pertama, jihad melawan godaannya berupa
syubhat, yaitu kerancuan-kerancuan yang diberikan untuk menyesatkan pemikiran
dan keyakinan dan kedua jihad melawan godaannya berupa syahwat. Jihad
melawan orang-orang kafir dan munafik ada tingkatannya yaitu dengan hati,
lisan, harta dan jiwa. Jihad melawan orang-orang kafir dominannya dengan tangan
yaitu dengan memeranginya sedangkan jihad melawan orang-orang munafik
dominannya dengan lisan yaitu dengan memberikan hujjah-hujjah yang kuat. Dan
berjihad ketika melihat sebuah kemungkaran, tahapannya jika mampu merubahnya
dengan tangan (kekuasaan), jika tidak mampu maka dengan lisan, dan jika tidak
mampu maka dengan hati yang mengingkari dan itu selemah-lemah iman, karena
da’wah adalah bagian dari jihad.[5]
Secara khusus
jihad adalah melawan orang-orang kafir dan itu merupakan tingkatan yang paling
tinggi. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan keutamaannya. Jihad melawan
orang kafir ada dua macam yaitu jihad difa’ dan jihad tholab. Jihad
difa’ adalah membela diri ketika di serang musuh, sedangkan jihad thalab
adalah memerangi orang-orang yang menghalangi da’wah Islam dan menghalangi
tegaknya syariat Islam di muka bumi ini.
Berdasarkan
penjelasan tentang jihad di atas, ternyata banyak jalan jihad yang dapat kita
lakukan. Karena pada intinya jihad itu bertujuan untuk meninggikan dan
menegakkan agama Allah. Diriwayatkan dari Abu Musa ra bahwa seorang Arab badui
datang kepada Rasulullah saw, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang
yang berperang untuk mendapatkan gonimah, ada orang yang berperang agar ia
disebut-sebut, ada orang yang berperang agar dilihat kedudukannya, -dalam satu
riwayat disebutkan- berperang karena ingin disebut pemberani, dan berperang
karena ingin disebut pahlawan, -dalam riwayat lain disebutkan- berperang karena
rasa marah, maka siapakah yang berperang di jalan Allah? Maka Rasulullah saw
menjawab, “Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itu menjadi tinggi,
maka dia di jalan Allah.” (Muttafaq ‘Alaih).[6]
Dalam ayat di atas disebutkan “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka laksana bangunan
yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff : 4). Maka jihad itu jangan dilakukan
secara sembarangan tetapi ia harus dilakukan secara teratur dan terorganisir.
Kata barisan yang teratur adalah kinayah yang maksudnya adalah
agar jihad itu dilakukan dengan manajemen yang baik, dalam berperang pun bukan
berarti harus selalu berbaris tetapi adakalanya berpencar tergantung kepada
strateginya. Kita bisa banyak belajar kepada Rasulullah saw tentang jihad
beliau yang dilakukan dengan teratur dan manajemen yang baik. Manajemen itu
intinya adalah memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan, kebersamaan
yang kokoh, strategi yang baik, pembagian tugas yang tepat, kemampuan
menghadapi permasalahan dan selalu berharap kepada Allah.
Musa dan Isa ‘alaihimassalam telah
menghadapi penentangan Bani Israil
“Dan (ingatlah)
ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Mengapa kamu menyakitiku,
padahal kamu sungguh mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?”
Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. Dan ingatlah ketika
Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah
kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan
memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku yang
namanya Ahmad (Muhammad).” Namun ketika rasul itu datang kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata”. (QS. Ash-Shaff : 5-6).
Nabi Muas as
dan Nabi Isa as telah menjadi saksi terhadap penentangan orang-orang yang
ingkar, dalam hal ini Bani Israil. Musa as telah disakiti oleh mereka dan
mereka menjadi kaum yang berpaling dari kebenaran hingga sekarang. Begitu pula
Isa as telah ditolak da’wahnya. Ia memanggil dengan panggilan “Wahai Bani
Israil!” Berbeda dengan Musa as yang memanggil dengan panggilan “Wahai
kaumku!”. Hal itu karena Nabi Isa as tidak memiliki nasab terhadap mereka
karena ia lahir dari seorang ibu tanpa ayah. Ia pun memberikan kabar gembira akan
datangnya rasul terakhir yang bernama Ahmad (Muhammad) karena Ahmad adalah
salah satu nama beliau. Beliau bersabda: “Aku memiliki lima nama : aku
adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Al-Hasyir yang mana manusia
dikumpulkan di atas kedua kakiku, aku adalah Al-Mahi yang Allah menghapus
kekufuran melaluiku, dan aku adalah Al-‘Aqib. (HR. Bukhari dan Muslim).
Al-‘Aqib artinya tidak ada lagi nabi setelah beliau.[7]
Jika Nabi Musa
as dan Nabi Isa as telah mendapatkan penentangan da’wah, begitu pula Rasulullah
saw, dan begitu pula kita jika ingin mengikuti jejak langkahnya. Maka mau tak
mau kita mesti menghadapinya dengan jihad.
Usaha musuh yang pasti gagal dan kemenangan
Islam
“Dan siapakah
yang lebih zalim dari pada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
padahal dia diajak kepada (agama) Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim. Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah
dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun
orang-orang kafir membencinya. Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama
meskipun orang-orang musyrik membencinya”. (QS. Ash-Shaff : 7-9).
Ini adalah
janji Allah yang pasti benar. Allah akan memenangkan agama-Nya. Meski
orang-orang kafir terus berusaha memadamkan cahaya Allah tetapi Allah tetap
menyempurnakan cahaya-Nya. Disebutkan dengan kata mulut-mulut mereka, yang
berarti dengan lisan kata-kata mereka, ibaratnya mereka berusaha memadamkan
cahaya matahari yang besar dengan tiupan dari mulut-mulut mereka, hal itu
mustahil dapat padam.
Transaksi jihad dengan Allah
“Wahai
orang-orang yang beriman! Maukah kamu
aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang
pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan
Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahui. Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal
yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung. Dan (ada lagi)
karunia lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang
dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mu’min”. (QS. Ash-Shaff : 10-13).
Janji Allah itu
tidak datang begitu saja tetapi ada syarat dan proses yang mesti dilalui, maka
dalam proses itu Allah menawarkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan
mereka dari siksa yang pedih, yaitu agar orang-orang beriman mau menjual harta
dan jiwa mereka untuk berjihad di jalan-Nya, maka Allah membelinya dengan
ampunan dan surga yang penuh dengan keni’matan. Di dalamnya terdapat tempat-tempat
tinggal yang baik untuk beristirahat. Perdagangan ini tidak akan pernah ada
kerugian, jika mati maka menjadi syahid, dan jika masih diberikan hidup, akan
berada dalam kemuliaan dan mendapatkan pertolongan dan kemenangan yang
diberikan oleh Allah yang sudah dekat waktunya.
Jadilah pembela agama Allah
“Wahai
orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah
sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang
setia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama)
Allah? Pengikut-pengikutnya yang setia itu berkata, “Kamilah penolong-penolong
(agama) Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang
lain) kafir, lalu Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman
terhadap musuh-musuh mereka, sehingga mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. Ash-Shaff : 14).
Ini
adalah seruan terakhir dalam surat ini agar kita mau berjihad dan menjadi
pembela agama Allah. Lalu diberikan teladan dari para pengikut setia (al-Hawariyyun)
Nabi Isa as yang ketika ditanya, “Siapakah yang akan menjadi
penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah? Mereka menjawab dengan
penuh keyakinan, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah”. Ketika kita
sudah menyatakan tekad kita menjadi pembela agama Allah, maka tidak peduli
setelah itu ada orang yang mengikuti dan ada pula orang yang menolaknya. Kita
akan menghadapi semua itu, tetapi yang jelas Allah akan memberikan kekuatan
kepada kita dalam menghadapi musuh dan menjadikan kita sebagai para pemenang (the
Winners).
[1] Ibnu Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, Jilid
28, hal.172
[2] Ibnu Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, Jilid
28, hal.172-173
[3] Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, hal.106
[4] Riyadhush Shalihin, bab keutamaan Jihad,
hadits no.1287
[5]
Lihat Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, Zadul Ma’ad, Jilid 3, hal.9-10
[6] Riyadhush Shalihin, bab keutamaan jihad,
hadits no.1343
[7] Shafwatut Tafasir, Jilid 3, hal.362
Tidak ada komentar:
Posting Komentar