Oleh : Muhammad Atim
Setiap umat
memiliki sejarahnya. Dan kita umat Islam memiliki sejarah tersendiri. Yang
disayangkan adalah banyak saat ini umat Islam yang bercermin bukan kepada
sejarahnya, tetapi kepada sejarah umat lain. Tak sedikit dari umat Islam ini
yang berpedoman kepada sejarah Barat, sejarah bangsa Eropa untuk membangun
peradabannya hari ini. Mereka mengatakan, “Kita mesti mengikuti Barat kalau
kita ingin maju.” Mereka begitu silau dengan pencapaian kecanggihan
teknologinya hari ini. Mereka tak peduli meski hal itu dibayar dengan
meninggalkan agamanya. Mereka terkagum-kagum dengan kehebatannya, padahal
mereka memiliki sejarahnya sendiri yang lebih hebat.
Kecanggihan
teknologi bukanlah satu-satunya ukuran kehebatan dalam suatu peradaban manusia.
Ada aspek lain yang tidak bisa disepelekan dalam peradaban manusia, yaitu aspek
batin (ruhiyah), dimana manusia selain memiliki jasad, yang lebih penting
adalah ia memiliki ruh. Untuk itulah yang disebut peradaban pada hakikatnya
adalah kemampuan manusia untuk membangun hubungan yang baik dengan Tuhannya,
dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya. Peradaban Barat hari ini
hanya baru mampu memanfaatkan alam lingkungannya sehingga menjadi alat-alat
teknologi untuk memudahan hidupnya dalam memenuhi kebutuhan jasadnya. Tetapi
bagaimana dengan hubungan terhadap Tuhannya, dan akhlaq kepada manusia lainnya?
Sedangkan peradaban yang dikehendaki oleh Islam adalah dengan membangun ketiga
unsur tersebut secara maksimal dan seimbang.
Inilah keistimewaan
kita sebagai umat Islam. Alloh SWT telah menegaskan:
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ ...
“Kalian
adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada
yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran dan kalian beriman kepada Alloh...” (QS. Ali Imron: 110).
Ayat ini pada awalnya ditujukan kepada generasi sahabat yang beriman
bersama Rosululloh saw, tetapi kemudian berlaku untuk seluruh umat Islam. Hanya
saja generasi sahabat adalah generasi yang paling baik dan istimewa dibanding
generasi-generasi berikutnya. Rosululloh saw bersabda:
خَيْرُ
أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik
umatku adalah zamanku, kemudian zaman setelahnya, kemudian zaman setelahnya” (HR. Bukhori, no.3377).
Untuk itulah kita diperintahkan untuk mengikuti jejak langkah mereka karena
memang mereka mendapat pendidikan langsung dari Rosululloh saw. Bahkan jika
kita ingin memperbaiki kondisi kita sebagai umat Islam di hari ini mesti
mengikuti cara mereka dalam memperbaiki. Sebagaimana Imam Malik rohimahulloh
berkata:
لَنْ
يَصْلُحَ آخِرُ هذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا بِمَا صَلَحَ بِهِ أَوَّلُهَا
“Tidak akan pernah baik akhir umat ini kecuali dengan cara yang telah
membuat baik generasi awalnya.”
Cara hidup mereka yang senantiasa mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah
dan berjuang dalam beriman dan beramal sholeh adalah teladan bagi kita. Jika
kita mampu mengikuti jejaknya, maka kita akan mencapai keberhasilan sebagaimana
mereka mencapainya.
Mari kita lihat contoh sejarah pembebasan Palestina.
Dalam sejarahnya, Palestina dapat dibebaskan oleh kaum muslimin sebanyak
dua kali. Yang pertama oleh Umar bin Khottob rodiayallohu ‘anhu yang
saat itu sebagai Amirul Mu’minin yang menerima langsung kunci Al-Quds. Dan yang
kedua oleh Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh. Dan yang menarik adalah
Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh melakukan cara sebagaimana dilakukan
oleh Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu.
Sebagaimana Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu memasuki Baitul
Maqdis dengan membawa keamanan dan kedamaian, seperti itu pula yang dilakukan
oleh Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh. Prinsip menebarkan rahmat bagi
seluruh alam menjadi ciri khas dari umat ini yang telah dipraktekkan oleh
generasi awal Islam, dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya jika ingin
mengulang kemenangan Islam. Dan tentu saja mereka mencontoh Rosululloh saw
sebagaimana yang beliau lakukan saat Fathu Makkah.
Saat Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu menerima kunci Baitul Maqdis
dan memasukinya, beliau berkata dalam surat perjanjiannya kepada penduduk Elia
(Palestina) :
Bismillahirrahmanirrahim
Inilah yang diberikan oleh hamba
Allah Amirul Mu’minin untuk penduduk Elia berupa
keamanan. Ia memberikan kepada mereka keamanan pada diri
dan harta mereka,
gereja-gereja dan salib-salib mereka, yang sakit dan yang sehat, dan seluruh
agamanya. Bahwa gereja-gereja mereka tidak boleh ditempati, dihancurkan dan direndahkan, tidak juga siapapun yang menghuninya
demikian juga salib mereka, tidak juga sedikit pun dari harta ereka.
Mereka tidak boleh dipaksa (meninggalkan) agama dan tidak boleh seorang pun
dari mereka yang diganggu.
Tidak
boleh seorang Yahudi pun yang tinggal bersama mereka di Elia. Penduduk
Elia harus membayar jizyah seperti penduduk Madain. Mereka harus mengeluarkan
orang-orang Romawi dan pencuri. Siapa
saja dari mereka (masyarakat Romawi) yang keluar, dia mendapatkan keamanan pada diri dan hartanya
hingga sampai tempat tujuannya. Tapi bagi yang ingin tetap tinggal, dia juga
aman. Dan berkewajiban membayar Jizyah seperti kewajiban penduduk Elia.
Siapapun
penduduk Elia yang hendak pergi membawa hartanya bersama Romawi dan
mengosongkan gereja dan salib mereka, mereka dijamin aman atas diri, gereja dan
salib mereka sampai di tempat tujuan.
Siapapun dari penduduk bumi padanya (Elia) sebelum
pembunuhan fulan; yang mau tetap tinggal dibolehkan, dia membayar Jizyah
seperti penduduk Elia.Siapa yang pergi bersama Romawi, juga diizinkan. Atau
siapa yang mau kembali ke keluarganya, diizinkan. Tidak diambil darinya
sedikitpun sampai memanen hasil panennya.
Isi
perjanjian ini
merupakan perjanjian Allah dan dalam tanggungan Rasulullah, para Khalifah dan
mu’minin, jika mereka mau membayar Jizyah.
Disaksikan
oleh: Khalid bin Walid,
Amr bin Ash, Abdurrahman bin Auf dan Muawiyah bin Abi Sufyan (sebagai penulis
perjanjian). (Tarikh Ath-Thobari,
hal.628-629).
Begitu pula Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh, ia
mengulang kembali yang dilakukan Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu. Sholahuddin
memberi tawaran damai, “Sesungguhnya saya benar-benar meyakini bahwa Jerussalem
adalah rumah Alloh yang suci sebagaimana kalian yakini. Saya tidak ingin
menimpakan kerusakan kepada rumah Alloh ini dengan memblokade atau
menyerangnya.” Tetapi orang-orang Frank tidak mau memenuhi tawarannya. Akhirnya
Sholahuddin bertekad untuk mengambil alih Jerussalem melalui peperangan dan
perlawanan. Belum sampai sepekan dari perlawanan itu, Jerussalem menyerah.
Orang-orang Frank akhirnya bersedia untuk berdamai. Diadakanlah persetujuan
dengan ketentuan berikut: “Mereka dipersilahkan meninggalkan Jerussalem dalam
jangka waktu empat puluh hari. Laki-laki di antara mereka harus menebus dirinya
sebesar 10 dinar, perempuan 5 dinar, dan anak-anak dua dinar. Barangsiapa tidak
mampu menebus diri, maka dia menjadi tawanan.” Namun dalam kenyataannya, karena
kelemahlembutan dan kasih sayangnya, ribuan orang diizinkan untuk pergi dengan
aman tanpa membayar tebusan sama sekali.
Begitulah sikap orang-orang muslim yang dicontohkan yang
membuat kagum orang-orang kafir yang merasakannya. Pengalaman seorang prajurit
Romawi menjadi bukti akan hal itu.
سَأَلَ
هِرَقْلُ أَحَدَ جُنْدِهِ الَّذِي كَانَ أَسِيْرًا لَدَى الْمُسْلِمِيْنَ، ثُمَّ مَنَّوا
عَلَيْهِ بِإِطْلَاقِهِ: أَخْبِرْنِي عَنْ هؤُلَاءِ الْقَوْمِ؟ فَقَالَ: أُحَدِّثُكَ
كَأَنَّكَ تَنْظُرُ إِلَيْهِمْ، فُرْسُانٌ بِالنَّهَارِ وَرُهْبَانٌ بِاللَّيْلِ،
مَا يَأْكُلُوْنَ فِي فِيِّ ذِمَّتِهِمْ إِلَّا بِالثَّمَنِ، وَلَا يَدْخُلُوْنَ إِلَّا
بِسَلَامٍ، يَقِفُوْنَ عَلَى مَنْ حَارَبَهُمْ حَتَّى يَأْتُوْا عَلَيْهِ. فَقَالَ
هِرَقْلُ : لَئِنْ كُنْتَ صَدَقْتَنِي لَيَرِثُنَّ مَا تَحْتَ قَدَمَي هَاتَيْنِ
(تَارِيْخُ الطَّبَرِي)
Kaisar Romawi bertanya kepada salah satu stafnya yang
pernah ditawan oleh muslimin. Kaisar bertanya tentang muslimin: Beritahukan
kepadaku mereka itu siapa?
Staf itu menjawab,
“Saya beritahukan kepada Anda, seakan Anda bisa melihat
mereka. Mereka adalah para ksatria di siang hari dan para rahib di malam hari.
Mereka tidak makan sesuatu kecuali dengan harga. Mereka tidak masuk kecuali
dengan membawa kedamaian. Mereka mengalahkan orang-orang yang mereka perangi
sampai mereka datang untuk menguasai negeri itu.” (Tarikh Ath-Thobari)
Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh telah mengikuti
jejak pendahulunya, Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu, dan telah
membuktikan pencapaian sebagaimana telah dicapai sebelumnya. Ini hanya salah
satu contoh saja. Yang memberikan pelajaran kepada kita, jika kita ingin
memperbaiki umat ini, ingin mencapai kepada jayaannya yang telah hilang, maka
tak ada cara lain selain mengikuti jejak langkah para pendahulu kita, generasi
para sahabat. Sebagaimana perkataan Imam Malik rohimahulloh yang telah
disebutkan diatas, “Tidak akan pernah
baik akhir umat ini kecuali dengan cara yang telah membuat baik generasi
awalnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar