Jumat, 02 September 2016

Kembali ke Generasi Awal Islam


 Oleh : Muhammad Atim

Setiap umat memiliki sejarahnya. Dan kita umat Islam memiliki sejarah tersendiri. Yang disayangkan adalah banyak saat ini umat Islam yang bercermin bukan kepada sejarahnya, tetapi kepada sejarah umat lain. Tak sedikit dari umat Islam ini yang berpedoman kepada sejarah Barat, sejarah bangsa Eropa untuk membangun peradabannya hari ini. Mereka mengatakan, “Kita mesti mengikuti Barat kalau kita ingin maju.Mereka begitu silau dengan pencapaian kecanggihan teknologinya hari ini. Mereka tak peduli meski hal itu dibayar dengan meninggalkan agamanya. Mereka terkagum-kagum dengan kehebatannya, padahal mereka memiliki sejarahnya sendiri yang lebih hebat.
Kecanggihan teknologi bukanlah satu-satunya ukuran kehebatan dalam suatu peradaban manusia. Ada aspek lain yang tidak bisa disepelekan dalam peradaban manusia, yaitu aspek batin (ruhiyah), dimana manusia selain memiliki jasad, yang lebih penting adalah ia memiliki ruh. Untuk itulah yang disebut peradaban pada hakikatnya adalah kemampuan manusia untuk membangun hubungan yang baik dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya. Peradaban Barat hari ini hanya baru mampu memanfaatkan alam lingkungannya sehingga menjadi alat-alat teknologi untuk memudahan hidupnya dalam memenuhi kebutuhan jasadnya. Tetapi bagaimana dengan hubungan terhadap Tuhannya, dan akhlaq kepada manusia lainnya? Sedangkan peradaban yang dikehendaki oleh Islam adalah dengan membangun ketiga unsur tersebut secara maksimal dan seimbang.
Inilah keistimewaan kita sebagai umat Islam. Alloh SWT telah menegaskan:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ ...
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran dan kalian beriman kepada Alloh...” (QS. Ali Imron: 110).
Ayat ini pada awalnya ditujukan kepada generasi sahabat yang beriman bersama Rosululloh saw, tetapi kemudian berlaku untuk seluruh umat Islam. Hanya saja generasi sahabat adalah generasi yang paling baik dan istimewa dibanding generasi-generasi berikutnya. Rosululloh saw bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah zamanku, kemudian zaman setelahnya, kemudian zaman setelahnya” (HR. Bukhori, no.3377).
Untuk itulah kita diperintahkan untuk mengikuti jejak langkah mereka karena memang mereka mendapat pendidikan langsung dari Rosululloh saw. Bahkan jika kita ingin memperbaiki kondisi kita sebagai umat Islam di hari ini mesti mengikuti cara mereka dalam memperbaiki. Sebagaimana Imam Malik rohimahulloh berkata:
لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا بِمَا صَلَحَ بِهِ أَوَّلُهَا
“Tidak akan pernah baik akhir umat ini kecuali dengan cara yang telah membuat baik generasi awalnya.”
Cara hidup mereka yang senantiasa mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah dan berjuang dalam beriman dan beramal sholeh adalah teladan bagi kita. Jika kita mampu mengikuti jejaknya, maka kita akan mencapai keberhasilan sebagaimana mereka mencapainya.
Mari kita lihat contoh sejarah pembebasan Palestina.
Dalam sejarahnya, Palestina dapat dibebaskan oleh kaum muslimin sebanyak dua kali. Yang pertama oleh Umar bin Khottob rodiayallohu ‘anhu yang saat itu sebagai Amirul Mu’minin yang menerima langsung kunci Al-Quds. Dan yang kedua oleh Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh. Dan yang menarik adalah Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh melakukan cara sebagaimana dilakukan oleh Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu.
Sebagaimana Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu memasuki Baitul Maqdis dengan membawa keamanan dan kedamaian, seperti itu pula yang dilakukan oleh Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh. Prinsip menebarkan rahmat bagi seluruh alam menjadi ciri khas dari umat ini yang telah dipraktekkan oleh generasi awal Islam, dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya jika ingin mengulang kemenangan Islam. Dan tentu saja mereka mencontoh Rosululloh saw sebagaimana yang beliau lakukan saat Fathu Makkah.
Saat Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu menerima kunci Baitul Maqdis dan memasukinya, beliau berkata dalam surat perjanjiannya kepada penduduk Elia (Palestina) :
Bismillahirrahmanirrahim
Inilah yang diberikan oleh hamba Allah Amirul Mu’minin untuk penduduk Elia berupa keamanan. Ia memberikan kepada mereka keamanan pada diri dan harta mereka, gereja-gereja dan salib-salib mereka, yang sakit dan yang sehat, dan seluruh agamanya. Bahwa gereja-gereja mereka tidak boleh ditempati, dihancurkan dan direndahkan, tidak juga siapapun yang menghuninya demikian juga salib mereka, tidak juga sedikit pun dari harta ereka. Mereka tidak boleh dipaksa (meninggalkan) agama dan tidak boleh seorang pun dari mereka yang diganggu.
Tidak boleh seorang Yahudi pun yang tinggal bersama mereka di Elia. Penduduk Elia harus membayar jizyah seperti penduduk Madain. Mereka harus mengeluarkan orang-orang Romawi dan pencuri. Siapa saja dari mereka (masyarakat Romawi) yang keluar, dia mendapatkan keamanan pada diri dan hartanya hingga sampai tempat tujuannya. Tapi bagi yang ingin tetap tinggal, dia juga aman. Dan berkewajiban membayar Jizyah seperti kewajiban penduduk Elia.
Siapapun penduduk Elia yang hendak pergi membawa hartanya bersama Romawi dan mengosongkan gereja dan salib mereka, mereka dijamin aman atas diri, gereja dan salib mereka sampai di tempat tujuan.
Siapapun dari penduduk bumi padanya (Elia) sebelum pembunuhan fulan; yang mau tetap tinggal dibolehkan, dia membayar Jizyah seperti penduduk Elia.Siapa yang pergi bersama Romawi, juga diizinkan. Atau siapa yang mau kembali ke keluarganya, diizinkan. Tidak diambil darinya sedikitpun sampai memanen hasil panennya.
Isi perjanjian ini merupakan perjanjian Allah dan dalam tanggungan Rasulullah, para Khalifah dan mu’minin, jika mereka mau membayar Jizyah.
Disaksikan oleh: Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Abdurrahman bin Auf dan Muawiyah bin Abi Sufyan (sebagai penulis perjanjian). (Tarikh Ath-Thobari, hal.628-629).
Begitu pula Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh, ia mengulang kembali yang dilakukan Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu. Sholahuddin memberi tawaran damai, “Sesungguhnya saya benar-benar meyakini bahwa Jerussalem adalah rumah Alloh yang suci sebagaimana kalian yakini. Saya tidak ingin menimpakan kerusakan kepada rumah Alloh ini dengan memblokade atau menyerangnya.” Tetapi orang-orang Frank tidak mau memenuhi tawarannya. Akhirnya Sholahuddin bertekad untuk mengambil alih Jerussalem melalui peperangan dan perlawanan. Belum sampai sepekan dari perlawanan itu, Jerussalem menyerah. Orang-orang Frank akhirnya bersedia untuk berdamai. Diadakanlah persetujuan dengan ketentuan berikut: “Mereka dipersilahkan meninggalkan Jerussalem dalam jangka waktu empat puluh hari. Laki-laki di antara mereka harus menebus dirinya sebesar 10 dinar, perempuan 5 dinar, dan anak-anak dua dinar. Barangsiapa tidak mampu menebus diri, maka dia menjadi tawanan.” Namun dalam kenyataannya, karena kelemahlembutan dan kasih sayangnya, ribuan orang diizinkan untuk pergi dengan aman tanpa membayar tebusan sama sekali.
Begitulah sikap orang-orang muslim yang dicontohkan yang membuat kagum orang-orang kafir yang merasakannya. Pengalaman seorang prajurit Romawi menjadi bukti akan hal itu.
سَأَلَ هِرَقْلُ أَحَدَ جُنْدِهِ الَّذِي كَانَ أَسِيْرًا لَدَى الْمُسْلِمِيْنَ، ثُمَّ مَنَّوا عَلَيْهِ بِإِطْلَاقِهِ: أَخْبِرْنِي عَنْ هؤُلَاءِ الْقَوْمِ؟ فَقَالَ: أُحَدِّثُكَ كَأَنَّكَ تَنْظُرُ إِلَيْهِمْ، فُرْسُانٌ بِالنَّهَارِ وَرُهْبَانٌ بِاللَّيْلِ، مَا يَأْكُلُوْنَ فِي فِيِّ ذِمَّتِهِمْ إِلَّا بِالثَّمَنِ، وَلَا يَدْخُلُوْنَ إِلَّا بِسَلَامٍ، يَقِفُوْنَ عَلَى مَنْ حَارَبَهُمْ حَتَّى يَأْتُوْا عَلَيْهِ. فَقَالَ هِرَقْلُ : لَئِنْ كُنْتَ صَدَقْتَنِي لَيَرِثُنَّ مَا تَحْتَ قَدَمَي هَاتَيْنِ (تَارِيْخُ الطَّبَرِي)
Kaisar Romawi bertanya kepada salah satu stafnya yang pernah ditawan oleh muslimin. Kaisar bertanya tentang muslimin: Beritahukan kepadaku mereka itu siapa?
Staf itu menjawab,
“Saya beritahukan kepada Anda, seakan Anda bisa melihat mereka. Mereka adalah para ksatria di siang hari dan para rahib di malam hari. Mereka tidak makan sesuatu kecuali dengan harga. Mereka tidak masuk kecuali dengan membawa kedamaian. Mereka mengalahkan orang-orang yang mereka perangi sampai mereka datang untuk menguasai negeri itu.” (Tarikh Ath-Thobari)
Sholahuddin Al-Ayyubi rohimahulloh telah mengikuti jejak pendahulunya, Umar bin Khottob rodiyallohu ‘anhu, dan telah membuktikan pencapaian sebagaimana telah dicapai sebelumnya. Ini hanya salah satu contoh saja. Yang memberikan pelajaran kepada kita, jika kita ingin memperbaiki umat ini, ingin mencapai kepada jayaannya yang telah hilang, maka tak ada cara lain selain mengikuti jejak langkah para pendahulu kita, generasi para sahabat. Sebagaimana perkataan Imam Malik rohimahulloh yang telah disebutkan diatas, “Tidak akan pernah baik akhir umat ini kecuali dengan cara yang telah membuat baik generasi awalnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar