Serial Menyusuri Jejak Iman
Oleh : Muhammad Atim
Tidak sulit untuk bisa beriman kepada Allah. Asalkan mau berpikir
secara jernih dan melapangkan hati untuk menerima kebenaran. Yang menjadi
penghalang dari sampainya iman adalah memperumit cara berpikir hingga berujung
pada keraguan dan hati yang dipenuhi kebencian dan kedengkian.
Kita tinggal membuka pikiran untuk merenungkan, bahkan terhadap
yang paling dekat dengan kita, alam sekitar kita, bahkan diri kita sendiri,
dengan mengamati fakta dan tabiatnya. Lalu bacalah ayat-ayat Al-Qur’an dengan
penuh penghayatan. Niscaya kita akan menemukan kebenaran di dalamnya. Ada
keserasian antara apa yang difirmankan oleh Allah di dalamnya dengan fakta yang
kita ketahui. Allah berbicara kepada fitrah kita, menyentuh kesadaran kita.
Untuk sampai kepada keyakinan mengesakan Allah (tauhid), tidak ada
tuhan yang berhak disembah selain Dia semata, tidak ada sekutu bagi-Nya,
sangatlah mudah, dapat dipahami oleh seluruh manusia dalam semua tingkatan akal
mereka. Yang paling rendah daya pikirnya sampai yang paling tinggi, yaitu para
ulama. Seorang Arab baduy yang tinggal di gurun pasir dan jauh dari peradaban
pun mampu memahami dan menerimanya. Para ulama ketika menafsirkan ayat,
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan
kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Yang telah
menjadikan bumi sebagai hamparan (siap untuk dihuni) dan langit sebagai
bangunan (atap yang kokoh), dan menurunkan air dari langit, lalu Dia
mengeluarkan dengannya di antara buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Maka
janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan padahal kalian
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 21-22).
Mereka berkata : “Sesungguhnya orang yang memperhatikan alam ini
baik di alam bawah maupun di alam atas dengan aneka bentuk, warna, tabiat,
manfaat dan ketelitian dalam menempatkan sesuai manfaatnya, maka ia akan mengetahui
kekuasaan Penciptanya, hikmah-Nya, ilmu-Nya, kehebatan-Nya dan keagungan
kekuasaan-Nya, sebagaimana perkataan orang Arab baduy ketika ia ditanya, “Apa
bukti atas keberadaan Allah ta’ala?” Ia berkata :
يَا
سُبْحَانَ اللهِ، إِنَّ الْبَعْرَةَ لَتَدُلُّ عَلَى الْبَعِيْرِ، وَإِنَّ أَثَرَ
الْأَقْدَامِ لَتَدُلُّ عَلَى الْمَسِيْرِ، فَسَمَاءٌ ذَاتُ أَبْرَاجٍ، وَأَرْضٌ
ذَاتُ فِجَاجٍ، وَبِحَارٌ ذَاتُ أَمْوَاجٍ، أَلَا تَدُلُّ عَلَى وُجُوْدِ
اللَّطِيْفِ الْخَبِيْرِ؟
“Wahai, Subhanallah! Sesungguhnya kotoran unta itu benar-benar
menunjukkan adanya unta, telapak kaki benar-benar menunjukkan adanya
perjalanan, maka langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki
jalan-jalan yang luas, dan lautan yang memiliki ombak, tidakkah itu menunjukkan
adanya Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui?”
Ini logika yang sangat simpel, mudah dipahami dan menyentuh fitrah
kita sebagai manusia. Akal manusia akan meyakini : “Setiap yang ada pasti
ada yang mengadakannya”, dan mustahil sesuatu ada dengan sendirinya tanpa
ada yang mengadakannya. Sang Arab baduy ini cukup menjadikan bukti apa
yang mudah ia lihat. Pemandangan padang pasir yang kerap kali dilihatnya itu sudah
cukup untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta. Kotoran unta yang
bertaburan dan telapak kaki di padang pasir itu, dengan pasti menunjukkan
adanya unta yang melewat dan orang yang melakukan perjalanan, meski tanpa
melihatnya secara langsung. Lalu bagaimana dengan alam yang besar seperti
langit, bumi dan lautan dengan berbagai keunikan dan keindahannya, tidak
mungkin ada dengan sendirinya, dan tidak mungkin manusia yang membuat dan
mengadakannya. Berarti hanya ada Sang Pencipta Tunggal, yaitu Allah azza
wajalla.
Begitu pun para ulama, saat mereka ditanya tentang bukti adanya
Allah, mereka menjadikan alam ini sebagai buktinya, dengan perenungan mereka
yang beragam.
Imam Malik rahimahullah ditanya oleh Ar-Rasyid tentang bukti
adanya Allah, maka ia menjawab :
بِاخْتِلَافِ
اللُّغَاتِ وَالْأَصْوَاتِ وَالنَّغَمَاتِ
“Dengan adanya perbedaan bahasa, suara dan irama.”
Imam Abu Hanifah rahimahullah ditanya oleh sebagian ahli
zindiq (yang menyimpang dari ajaran agama yang benar, termasuk orang munafik)
tentang keberadaan Allah, ia menjawab :
دَعُوْنِي
فَإِنِّي مُفَكِّرٌ فِي أَمْرٍ قَدْ أُخْبِرْتُ عَنْهُ ، ذَكَرُوْا لِي أَنَّ سَفِيْنَةً
فِي الْبَحْرِ مُوَقَّرَةٌ فِيْهَا أَنْوَاعٌ مِنَ الْمَتَاجِرِ وَلَيْسَ بِهَا أَحَدٌ
يَحْرِسُهَا وَلَا يَسُوْقُهَا، وَهِيَ مَعَ ذٰلِكَ تَذْهَبُ وَتَجِيْءُ وَتَسِيْرُ
بِنَفْسِهَا وَتَخْتَرِقُ الأَمْوَاجَ الْعِظَامَ حَتَّى تَتَخَلَّصَ مِنْهَا، وَتَسِيْرُ
حَيْثُ شَاءَتْ بِنَفْسِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسُوْقَهَا أَحَدٌ
“Biarkanlah aku memberi jawaban. Sesungguhnya
aku memikirkan suatu perkara yang pernah diberitahukan kepadaku. Mereka
menyebutkan kepadaku bahwa ada satu kapal di lautan yang terdapat di dalamnya
berbagai macam barang dagangan tetapi tidak ada seorang pun yang menjaganya dan
menjalankannya. Tapi meski begitu ia bisa pergi dan kembali, ia berjalan
sendiri, ia menembus ombak-ombak besar hingga ia mampu berlepas darinya. Ia berjalan
kemana saja yang ia mau dengan
sendirinya tanpa ada seorang pun yang menjalankannya.”
Mereka berkata :
هٰذَا
شَيْءٌ لَا يَقُوْلُهُ عَاقِلٌ
“Ini tidak mungkin dikatakan oleh satu pun
orang berakal”
Maka Abu Hanifah berkata kepada mereka :
وَيْحَكُمْ،
هٰذِهِ الْمَوْجُوْدَاتُ بِمَا فِيْهَا مِنَ الْعَالَمِ الْعُلُوِّي وَالسُّفُلِي
وَمَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ مِنَ الْأَشْيَاءِ الْمُحْكَمَةِ لَيْسَ لَهَا صَانِعٌ
!
“Celakalah kalian! Alam
semesta ini, baik alam atas maupun alam bawah dengan segala sesuatu yang sangat
menakjubkan yang ada padanya, apakah tidak ada penciptanya?!
Mereka pun terdiam. Akhirnya mereka kembali dari kesesatan mereka
dan masuk Islam ditangan Abu Hanifah.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ditanya tentang bukti
keberadaan Allah, ia menjawab :
هٰذَا
وَرَقُ التُّوْتِ طَعْمُهُ وَاحِدٌ تَأْكُلُهُ الدُّوْدُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الإِبْرِيْسِمُ،
وَتَأْكُلُهُ النَّحْلُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْعَسَلُ، وَتَأْكُلُهُ الشَّاةُ وَالْبَعِيْرُ
وَالْأَنْعَامُ فَتُلْقِيْهِ بَعْرًا وَرَوْثًا، وَتَأْكُلُهُ الظَّبَاءُ فَيَخْرُجُ
مِنْهَا الْمِسْكُ وَهُوَ شَيْءٌ وَاحِدٌ
“Ini daun murbei, rasanya satu. Ia dimakan oleh ulat, maka
keluarlah darinya sutra. Dimakan oleh lebah, maka keluarlah darinya madu. Dimakan
oleh kambing, unta dan hewan-hewan ternak, lalu hewan-hewan itu melemparkannya
sebagai kotoran. Dan dimakan oleh antelop/rusa jantan tidak bertanduk, maka
keluarlah darinya minyak kasturi. Padahal ia adalah satu hal yang sama.”
Imam Ahmad rahimahullah juga ditanya tentang bukti adanya
Allah, ia menjawab :
هَاهُنَا
حِصْنٌ حَصِيْنٌ أَمْلَسُ، لَيْسَ لَهُ بَابٌ وَلَا مَنْفَذٌ، ظَاهِرُهُ كَالْفِضَّةِ
الْبَيْضَاءِ، وَبَاطِنُهُ كَالذَّهَبِ الإِبْرِيْزِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذلِكَ إِذِ
انْصَدَعَ جِدَارُهُ فَخَرَجَ مِنْهُ حَيَوَانٌ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ ذُو شَكْلٍ حَسَنٍ
وَصَوْتٍ مَلِيْحٍ، يَعْنِي بِذٰلِكَ الْبَيْضَةُ إِذَا خَرَجَ مِنْهَا الدَّجَاجَةُ.
“Ini adalah benteng yang sangat melindungi yang licin, tidak ada
pintu dan tidak ada jendela. Luarnya seperti perak yang putih dan dalamnya
seperti emas murni. Dalam kondisi seperti itu tiba-tiba dindingnya pecah maka
keluarlah darinya hewan yang bisa mendengar dan melihat, yang memiliki bentuk
yang indah dan
suara yang merdu. Yang dimaksud dengan hal itu adalah telur apabila keluar
darinya seekor ayam.”
Ulama lain menambahkan, “Siapa yang memperhatikan langit-langit ini
dalam ketinggiannya, keluasannya dan yang ada padanya berupa bintang-bintang
yang besar dan kecil yang menerangi, yang berjalan dan yang menetap. Saksikanlah
ia bagaimana beredar pada peredaran yang besar di setiap sehari semalam, dan
masing-masingnya memiliki perjalanan yang khusus. Dan lihatlah lautan yang mengelilingi
bumi dari setiap penjuru. Gunung-gunung yang dipancangkan di bumi agar bumi
menjadi kuat dan penghuninya bisa tenang dengan berbagai macam bentuk dan
warnanya. Begitu pula sungai-sungai yang mengalir dari satu negeri ke negeri
lain untuk kemanfaatan manusia. Hewan-hewan yang beraneka ragam yang
dikembangbiakkan dan tumbuh-tumbuhan yang memiliki berbagai variasi rasa,
bentuk dan warna meskipun dengan karakter tanah dan air yang sama, niscaya ia
mengetahui adanya Sang Pencipta, kekuasaan-Nya yang besar, hikmah-Nya, kasih sayang-Nya,
kelembutan-Nya dan kebaikan-Nya. Tidak ada tuhan selan Dia, kepada-Nyalah
bertawakal dan bertaubat.”
Para ulama itu, semakin menambah ilmu mereka semakin mengenal
Allah, bertambah iman dan rasa takut kepada Allah. Untuk itu Allah ﷻ berfirman :
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ
مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا ۚ وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ
أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ. وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ
أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari
langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam
jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang
beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di
antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (QS. Fathir : 27-28).
Jadi, sisi manapun dari alam ini yang kita perhatikan, pasti kita
akan menemukan bukti adanya Allah, keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya. Karena memang
kata “alam” sendiri secara bahasa berasal dari kata ‘alamah yang berarti
tanda. Begitu mudah bukti ini dipahami, bagi setiap orang yang mau membuka
pikiran dan hatinya. Hanya orang yang tertutup hati dan pikirannya saja yang
tidak dapat memahaminya. Al-Mu’taz menyenandungkan sya’irnya :
فَيَا
عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الْإِلٰهُ أَمْ
يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ
وَفِي
كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ
عَلَى أَنَّهُ وَاحِدٌ
“Duhai, alangkah mengherankannya bagaimana
Tuhan didurhakai
Atau si pembangkang itu membangkang kepada-Nya
Padahal dalam segala sesuai terdapat tanda
Yang menunjukkan bahwa Dia itu Satu”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, hal.92-93).
Allah akan terus memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam
ini, hingga menjadi jelaslah kebenaran ini. Agar menjadi hujjah bagi orang yang
tidak mau beriman di akhirat kelak, bahwa mereka layak untuk mendapatkan
siksa-Nya.
سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاق
وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ، أَوَلَمْ يَكْفِ
بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di seluruh alam
semesta dan di dalam diri mereka sendiri, hingga menjadi jelas bagi
mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah kebenaran, tidakkah cukup bahwa sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat : 53).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar