Tafsir Al-Hujurot 3
Setelah disebutkan adab kepada Allah dan rasul-Nya agar ditaati dan
dijadikan sebagai penuntun jalan hidup, selanjutnya disebutkan adab kepada
Rasulullah saw secara khusus. Menariknya dalam surat Al-Hujurot ini, setiap
adab yang diajarkan kepada orang-orang beriman, selalu diawali dengan panggilan
"Wahai orang-orang beriman" agar menjadi perhatian secara khusus pada
masing-masing adab yang diajarkan, dan juga agar orang-orang beriman tersebut
menghidupkan imannya yang dibuktikan dengan mengaplikasikan adab-adab tersebut.
Ada lima panggilan terhadap orang beriman dalam surat ini. Pertama, berisi adab
kepada Allah dan rasul-Nya. Kedua, berisi adab kepada Rasulullah saw. Ketiga,
berisi adab terhadap orang beriman yang melenceng dari ketaatan (fasik).
Keempat, berisi adab kepada orang beriman sejati ketika hadir di hadapan.
Kelima, berisi adab kepada orang beriman sejati ketika tidak ada di hadapan.
Dari sekian banyak adab kepada Rasulullah saw, dalam ayat ini hanya
disebutkan adab agar tidak mengeraskan suara di majelis Rasulullah saw. Selain
memang sebagai koreksi bagi permasalahan yang terjadi, juga jika dipahami,
sikap ini adalah ketidakberadaban yang terendah kepada Rasulullah saw, sehingga
dapat diterapkan istidlal (cara berdalil) "mafhum muwafaqoh / fahwal
khitob" (logika "apalagi"). Artinya, kalau mengeraskan suara
saja tidak boleh, apalagi yang lebih dari itu. Dan tentu saja larangan yang
berlaku kepada orang-orang beriman secara umum, juga berlaku untuk beliau: melecehkan,
mencela, memanggil dengan panggilan buruk, berburung sangka, mencari-cari
kesalahan dan membicarakan kejelekannya. Di sini terlihat ada keistimewaan adab
kepada Rasulullah saw dibanding kepada orang-orang beriman secara umum. Dari
larangan ini berlaku perintah terhadap kebalikannya. Yaitu agar merendahkan
suara di majelisnya, memuliakan namanya termasuk membaca shalawat ketika
disebutkan namanya, mencintainya, menjadikannya teladan, membelanya, meneruskan
da'wahnya, dst.
Dalam pengajaran adab-adab ini, Allah menggunakan metode larangan dibanding
perintah, ini sesuai dengan kaidah yang dirumuskan oleh para ulama,
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ
مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
"Menolak kemafsadatan lebih diutamakan daripada mendatangkan
kemanfaatan"
Selain memang larangan tersebut mengandung perintah terhadap kebalikannya.
"Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mengeraskan suara di atas
suara Nabi dan janganlah mengeraskan suara kepadanya dengan suatu pembicaraan,
seperti mengeraskan sebagian dari kalian kepada sebagian lain, hal itu dapat
menyebabkan gugurnya amal-amal kalian sedangkan kalian tidak menyadarinya.
Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara mereka di sisi Rasulullah saw,
mereka itulah yang telah diuji hatinya oleh Allah kepada ketakwaan, bagi mereka
ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggilmu dari
balik kamar-kamar kebanyakan mereka tidak berakal. Kalaulah mereka bersabar
sampai engkau keluar kepada mereka niscaya itu lebih baik bagi mereka, dan
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurot : 2-5)
Dalam ayat di atas ada dua larangan, pertama: jangan mengeraskan suara di
majelis/tempat berada Rasulullah saw, kedua: jangan mengeraskan suara ketika
berbicara kepada beliau.
Melebihi suara beliau, maknanya tentu saja melebihi suara beliau yang
biasa. Larangan ini dikecualikan pada momen-momen yang memang diizinkan
seperti: adzan, takbir 'ied, termasuk ketika beliau menyuruh Abbas bin Abdul
Muttalib untuk memanggil para sahabat yang berlari di perang Hunain, Abbas
menyeru dengan suara yang sangat keras, dll.
Selanjutnya diberi peringatan, mengeraskan suara di tempat Rasulullah saw,
artinya tidak beradab kepada Rasulullah saw, dapat menyebabkan gugurnya
amal-amal.
Gugurnya amal-amal shaleh yang dilakukan, artinya menjadi sia-sia belaka
tidak mendatangkan pahala, tidak diterima di sisi Allah SWT, sebabnya adalah
kemusyrikan atau kekufuran yang membuat gugur iman seseorang alias murtad.
Rasulullah saw adalah perkara aqidah, salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Keberanian bersikap tidak beradab kepada Rasulullah saw sekecil apapun akan
mencederai aqidah yang secara perlahan akan menggerogoti aqidah tersebut
menjadi semakin besar. Jika seseorang berani mengeraskan suara di hadapan
Rasulullah saw, selanjutnya ia akan berani merendahkan beliau, mencela beliau,
dst, dan itu merupakan kemurtadan yang dapat menggugurkan amal-amal shaleh.
Proses penggerogotan aqidah yang semakin membesar tersebut tidak akan disadari
oleh pelakunya, untuk itulah Allah menyebutkan setelahnya "dan kalian
tidak menyadarinya".
Oleh karena itu, jika kita berada di suatu majelis orang-orang yang
memandang rendah apalagi mengolok-olok perkara-perkara agama dan itu merupakan
bentuk kemurtadan, kita disuruh untuk menghindarinya jika kita tidak mampu
menegurnya dan menghentikannya. Tentu saja, iman yang bersemayam di hati
seseorang akan mendorongnya untuk menolak dengan keras segala bentuk pelecehan
terhadap agama.
Ayat ini pada awalnya sebagai bentuk koreksi terhadap sikap yang salah dari
Abu Bakar dan Umar ra yang mengeraskan suara di majelis Rasulullah saw karena
berselisih tentang siapa pemimpin Bani Tamim. Begitu juga sikap Bani Tamim yang
disebutkan bahwa kebanyakan mereka tidak berakal karena memanggil-manggil
dengan panggilan yang tidak layak kepada Rasulullah saw dengan suara yang
keras.
Orang-orang beriman itu sangat tersentuh hatinya dengan ayat-ayat
Al-Qur'an. Kedua sahabat yang sangat mulia itu sangat menyesal atas
perbuatannya. Keduanya tidak pernah lagi mengeraskan suara melebihi suara
Rasulullah saw sepanjang hayat mereka, bahkan ketika mereka berbicara kepada
beliau seperti orang yang berbisik. Bahkan ketika Rasul saw telah tiada, Umar
pernah memarahi dua anak muda yang mengeraskan suara di masjid Nabi saw, ini
menunjukkan bahwa adab tidak mengeraskan suara di majelis Rasulullah saw itu
tidak hanya berlaku saat beliau masih hidup, tetapi juga setelah beliau tidak
ada.
Selain mereka berdua, ada sahabat lain yang sangat tersentuh dengan ayat
ini yaitu Tsabit bin Qais. Ia sangat merasa bahwa ayat itu turun menegur
dirinya yang punya karakter berbicara keras termasuk di hadapan Rasulullah saw.
Ia pun mengurung dirinya di rumahnya, sambil menangis dengan kesedihan yang
mendalam, ia tidak berani menemui Rasulullah saw kecuali beliau memaafkannya,
bahkan dia berkata bahwa dirinya termasuk penghuni neraka. Ketika Rasulullah
saw mengetahui ketidakhadirannya, belia menyuruh kepada sahabat lain untuk
mengecek ke rumahnya. Sahabat tersebut memberitahukan kondisi Tsabit dan
perkataannya, kemudian beliau menyuruh sahabat tersebut untuk memberikan kabar
gembira kepada Tsabit bahwa justru dia termasuk penghuni surga.
Orang-orang Arab baduy dari Bani Tamim yang berwatak keras dan tidak
beradab tersebut selain tidak beradab dalam memanggil Rasulullah saw, mereka
juga bersikap sombong dengan mengatakan, "Sesungguhnya pujian kami adalah
kebaikan dan celaan kami adalah keburukan, kami adalah semulia-mulia orang
Arab." Maka wajar mereka dicela dengan keras bahwa kebanyakan mereka tidak
berakal. Tetapi, teguran Allah SWT tidak hanya memberikan celaan, tetapi juga memberikan
arahan dan solusi yaitu jikalau mereka bersabar sampai Rasulullah saw keluar
tentu itu ada hal yang baik/ lebih baik bagi mereka. Jika mereka mau merubah
karakter mereka, yang tidak beradab menjadi orang yang beradab, tentu Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Wallahu A'lam.
(M. Atim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar