Ini bukanlah permasalahan baru yang nampak belakangan,
tetapi telah dibicarakan oleh ulama terdahulu khususnya dalam madzhab Syafi’i
dan Hanbali, sedangkan dalam madzhab lain tidak ditemukan perincian dalam
masalah ini. Madzhab Syafi’i dan Hanbali sepakat bahwa posisi kedua tumit dalam
sujud itu direnggangkan, dan ia merupakan sunnah.
An-Nawawi menukil, Asy-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya
berkata, “Disunnahkan bagi orang yang bersujud untuk merenggangkan kedua
lututnya dan kedua kaki (qodam)nya.” Al-Qadhi Abu Thayyib berkata dalam
Ta’liqnya, “Sahabat-sahabat kami berkata, “Antara kedua kaki itu seukuran satu
jengkal.” (Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, Penerbit Mimbariyah, 3/408).
Dalam madzhab Hanbali, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Suatu
pasal. Dan disunnahkan untuk merenggangkan antara kedua lutut dan kedua kaki,
karena hadits yang diriwayatkan oleh Abu Humaid ra, ia berkata : “Dan apabila beliau
sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya, tanpa membebankan perutnya pada
pahanya sedikitpun.” (Al-Mughni, Penerbit Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi, 1/308).
Alasan kesimpulan di atas adalah didasari hadits
sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Qudamah, secara lengkapnya sebagai
berikut :
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ
فِي صِفَةِ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ
غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ
Dari
Abu Humaid as-Sa’idi tentang sifat (salat) Rasulullah saw., ia mengatakan, “Dan
apabila (Nabi) sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya tanpa membebankan
perutnya pada pahanya sedikit pun.”
(HR. Abu Dawud, No.735).
Dalam hadits tersebut hanya disebutkan “merenggangkan
kedua pahanya”. Meski disebutkan hanya paha, tetapi jika dipahami, lafazh
tersebut memberikan petunjuk (dilalah) secara iltizam, bahwa jika
paha direnggangkan maka secara otomatis lutut dan betis pun direnggangkan,
karena tidak terbayang dalam pikiran kita jika paha direnggangkan lalu lutut
dan betis dirapatkan. Adapun kedua tumit atau kaki bagian bawah (qodam),
apakah juga secara otomatis direnggangkan? Ini yang masih menimbulkan
kemungkinan bisa saja dirapatkan. Dan inilah yang menjadi celah munculnya
pendapat bahwa tumit itu dirapatkan. Namun jika mengamati pendalilan para ulama
khususnya dalam madzhab Syafi’i dan Hanbali, mereka memahami bahwa hadits ini memberi
petunjuk direnggangkannya tumit karena tumit itu mengikut kepada kedua betis
dan kedua lutut. Bisa juga diperkuat dengan dalil istishhab, yaitu
posisi asal kaki itu sendiri pada saat berdiri, ruku dan i’tidal yang
direnggangkan. Asy-Syaukani bahkan menegaskan bahwa merenggangkan kedua paha
maksudnya adalah termasuk juga merenggangkan kedua lutut dan kedua kakinya, “Beliau
merenggangkan kedua pahanya” maksudnya merenggangkan kedua pahanya, kedua
lututnya dan kedua kakinya.” (Nailul Authar, Penerbit Darul Hadits, 2/297).
Pendapat merapatkan tumit dalam sujud dikatakan oleh Al-Albani
dan Ibnu Utsaimin, sebagaimana
juga dijadikan judul oleh Al-Baihaqi dalam kitab Sunannya “Bab apa yang
datang dalam menggabungkan kedua tumit dalam sujud.” Begitu pula oleh Ibnu
Khuzaimah dalam kitab Shahihnya “Bahwa Rasulullah saw merapatkan kedua
tumitnya.” Ibnu Utsaimin menjelaskan alasannya, “Akan tetapi yang nampak
bagiku dalam sunnah bahwa kedua kaki (qodam) itu keadaannya dirapatkan,
yakni kedua kaki itu satu sama lain dirapatkan, sebagaimana dalam shahih
(Muslim) dari hadits Aisyah ketika ia kehilangan Nabi saw lalu tangannya
menyentuh kedua telapak kakinya, kedua kaki itu tegak dan beliau dalam keadaan
sujud. Satu tangan itu tidak menyentuh kedua telapak kaki kecuali dalam keadaan
dirapatkan. Dan sungguh hal itu juga telah datang dalam Shahih Ibnu Khuzaimah
dalam hadits Aisyah yang telah lalu, “Bahwa Rasul saw merapatkan kedua
tumitnya.” Oleh karena itu, sunnah dalam kedua kaki adalah dirapatkan berbeda
dengan kedua lutut dan kedua tangan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, Penerbit Dar Ibnu
Jauzi, 3/122).
Alasan pendapat ini perlu diteliti ulang (fiihi nazhor).
Pertama, berdalil dengan hadits,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ : فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ
الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى
الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ
« اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ
سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى
ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Dari Abu Hurairah, dari Aisyah, ia berkata : “Pada suatu
malam aku kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur. Lalu aku mencarinya di
mesjid, maka tanganku menyentuh bagian perut (dampal) kedua telapak kaki beliau
dalam keadaan tegak berdiri, dan beliau berdoa, “Ya Allah! Aku berlindung
kepada ridha-Mu dari kemurkaan-Mu dan kepada ampunan-Mu dari siksaan-Mu, dan
aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu
sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu.” (HR.
Muslim, No.486).
Kesimpulan “satu tangan tidak bisa menyentuh kedua
telapak kaki kecuali dalam keadaan dirapatkan” tidak dapat dipastikan karena
masih memberi kemungkinan kedua telapak kaki itu direnggangkan dan dapat diraba
dengan satu tangan, juga karena makna “yad” itu bukan hanya dibatasi dengan
makna telapak tangan tetapi juga berlaku untuk keseluruhan tangan, dan bisa juga
dari kata iltamasa yang berarti mencarinya berkemungkinan rabaan Aisyah
itu terjadi tidak hanya sekali. Maka dengan berbagai kemungkinan itu, jika
tidak ada qarinah (keterangan pendukung), gugurlah pendalilan tersebut. Sebagaimana
dalam kaidah ushul dikatakan,
مَعَ الْإِحْتِمَالِ سَقَطَ الْإِسْتِدْلَالُ
“Bersamaan dengan adanya kemungkinan, maka gugurlah
pendalilan.”
Kedua, mencoba untuk mendatangkan qarinah bahkan secara
sharih dengan hadits berikut,
عَنْ
عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ
مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ القِبْلَةَ
Dari urwah bin Zubair dari Aisyah, isteri
Nabi saw. berkata, “Saya kehilangan Rasulullah saw., padahal ia bersama saya di
atas tempat tidur. Lalu saya mendapatkan sedang sujud, beliau merapatkan kedua
tumitnya sambil menghadapkan ujung jari-jari (kaki) ke kiblat…” (HR. Al-Baihaqi, Al-Hakim, Ibnu
Hiban dan Ibnu Khuzaimah)
Hadits
tersebut gharib muthlaq atau fardhu muthlaq (bersanad
tunggal), meskipun diriwayatrkan oleh empat mukharrij (periwayat
hadits), karena hanya diriwayatkan oleh Aisyah, dan yang meriwayatkan dari
Aisyah hanya Urwah bin al-Zubair saja. Dari urwah pun hanya diriwayatkan oleh
Abu Nadir saja. Dari Abu Nadr diriwayatkan oleh Amarah bin ghaziyyah saja. Dari
Amarah hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Ayyub. Dari Yahya diriwayatkan oleh
Sa’ad bin Abu Maryam saja.
Selain
itu, dalam sanadnya terdapat rowi yang dhaif yaitu Yahya bin ayyub
Al-Ghafiqi Abul Abbas al-Mishri. Ia di-jarh
oleh beberapa ulama hadits, meskipun ada sebagian ulama yang men-ta’dil-kannya,
namun karena disebutkan alasan kedhaifannya, maka sesuai dengan kaidah ilmu
hadits “Al-Jarhu muqoddamun ‘ala At-Ta’dil” (Jarh lebih didahulukan
daripada Ta’dil). Dengan demikian, karena hadits ini dhaif, tidak bisa
dijadikan hujjah.
Maka penulis
berkesimpulan, dalam masalah ini yang rajih adalah merenggangkan kedua tumit
dalam sujud. Wallahu A’lam.
(Muhammad Atim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar