Senin, 07 Juni 2021

Apa makna belajar iman sebelum belajar Al-Qur’an ?

 


عَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ، فَتَعَلَّمْنَا الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ، ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ، فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا

“Dari Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Kami bersama Rasulullah saat kami adalah anak-anak yang telah kuat dan menjelang balig. Kami belajar iman sebelum kami belajar Al-Qur’an. Kemudian kami belajar Al-Qur’an, maka bertambahlah dengannya iman kami.” (HR. Ibnu Majah, no.61).[1]

Kata Hazawirah jama dari hazwar. Dalam Ash-Shihah disebutkan maknanya adalah “seorang anak apabila telah tegap, kuat dan dapat membantu.”[2] Sedangkan dalam An-Nihayah disebutkan : “seorang anak yang mendekati masa baligh”.[3]

Hadits Jundub tersebut juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no. 5292 dengan tambahan lafazh, “Dan sesungguhnya kalian (tabi’in) hari ini mempelajari Al-Qur’an sebelum iman”. 

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : إِنَّا قَوْمٌ أُوْتِيْنَا الْإِيْمَانَ قَبْلَ أَنْ نُؤْتَى القُرْآنَ، وَأَنَّكُمْ قَوْمٌ أُوْتِيْتُمْ القُرْآنَ قَبْلَ أَنْ تُؤْتُوا الْإِيْمَانَ

“Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Sesungguhnya  kami adalah kaum yang diberi iman sebelum diberi Al-Qur’an, sedangkan kalian (tabi’in) adalah kaum yang diberi Al-Qur’an sebelum diberi iman.” (HR. Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, no.5291).[4]

Apa yang dimaksud dengan belajar iman sebelum Al-Qur’an, padahal sumber pembelajaran iman itu sendiri juga dari Al-Qur’an? Yang dimaksud dengan belajar iman di sini adalah melalui ayat-ayat makiyyah dengan memahami makna-makna kandungannya yang memberi sentuhan penanaman iman. Sedangkan yang dimaksud dengan belajar Al-Qur’an adalah mempelajarinya secara lebih komprehensif dengan membaca dan menghapal lafazh-lafazhnya, memahami makna-maknanya secara mendetail, mempelajari hukum-hukum syariatnya yang diturunkan dalam periode Madaniyyah, serta menggali berbagai ilmu yang terkandung di dalamnya. Untuk itu Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhi secara lebih jelas menginformasikan kepada kita,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ : لَقَدْ عِشْنَا بُرْهَةً مِنْ دَهْرِنَا وَإِنَّ أَحْدَثَنَا يُؤْتَى الْإِيمَانَ قَبْلَ الْقُرْآنِ، وَتَنْزِلُ السُّورَةُ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ فَيَتَعَلَّمُ حَلَالَهَا وَحَرَامَهَا، وَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُوقَفَ عِنْدَهُ فِيهَا كَمَا تَعْلَمُونَ أَنْتُمُ الْقُرْآنَ، ثُمَّ قَالَ : لَقَدْ رَأَيْتُ رِجَالًا يُؤْتَى أَحَدُهُمُ الْقُرْآنَ فَيَقْرَأُ مَا بَيْنَ فَاتِحَتِهِ إِلَى خَاتِمَتِهِ مَا يَدْرِي مَا أَمْرُهُ وَلَا زَاجِرُهُ، وَلَا مَا يَنْبَغِي أَنْ يُوقَفَ عِنْدَهُ مِنْهُ يَنْثُرُهُ نَثْرَ الدَّقَلِ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Sungguh kami telah hidup pada suatu masa di zaman kami. Sesungguhnya yang paling muda dari kami diberikan iman sebelum Al-Qur’an. Dan turun surat kepada Muhammad , lalu ia mempelajari halal-haramnya dan apa yang mesti ia perhatikan dan amalkan darinya, sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur’an.” Kemudian ia berkata : “Sungguh, aku melihat orang-orang, salah seorang dari mereka diberikan Al-Qur’an, lalu ia membaca antara Al-Fatihah sampai akhirnya tanpa tahu apa perintah dan larangannya, dan apa yang mesti diperhatikan dan diamalkan darinya. Ia membuangnya begitu saja seperti membuang kurma yang jelek.” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrak, no.101).[5]

Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengisahkan,

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ : إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنَ المُفَصَّلِ، فِيهَا ذِكْرُ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الإِسْلاَمِ، نَزَلَ الحَلاَلُ وَالحَرَامُ، وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ : لاَ تَشْرَبُوا الخَمْرَ، لَقَالُوا : لاَ نَدَعُ الخَمْرَ أَبَدًا، وَلَوْ نَزَلَ : لاَ تَزْنُوا، لَقَالُوا : لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا، لَقَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ : ﴿ بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ ﴾ وَمَا نَزَلَتْ سُورَةُ البَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ إِلَّا وَأَنَا عِنْدَهُ.

Dari Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha  ia berkata : “Sesungguhnya yang paling awal turun dari Al-Qur’an adalah surat dari Mufashal, yang di dalamnya disebutkan surga dan neraka. Hingga apabila orang-orang telah kokoh kepada Islam, turunlah halal-haram. Kalaulah yang pertama turun adalah “Janganlah kalian minum khomer”, niscaya mereka berkata : “Kami tidak akan meninggalkan khomer sama sekali.” Kalaulah yang turun “Janganlah kalian berzina”, pasti mereka berkata : “Kami tidak akan meninggalkan zina sama sekali.” Sungguh telah turun di Makkah kepada Muhammad saat aku seorang anak gadis yang sedang bermain, “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” Tidaklah turun surat Al-Baqarah dan An-Nisa melainkan aku telah bersama beliau.” (HR. Bukhari, no. 4993).[6]

Dalam hadits di atas disebutkan pada zaman tabi’in mengalami penurunan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar bahwa di antara mereka ada yang membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa ada bekasnya, tanpa memahami apa yang diperintah dan apa yang dilarang, tanpa disertai dengan perenungan dan usaha dalam menerapkannya. Hal itu sebabnya, sebagaimana disebutkan oleh Jundub bin Abdillah dan Hudzaifah bin Al-Yaman, karena mereka belajar Al-Qur’an sebelum iman. Mereka salah dalam melakukan tahapan pembelajaran. Sehingga mereka belajar Al-Qur’an tanpa disertai perasaan iman. Ini menunjukkan pentingnya iman ditanamkan terlebih dahulu, karena ia akan mempengaruhi cara berinteraksi dengan Al-Qur’an, dan sejauh mana mendapatkan manfaat dan atsar melalui interaksi tersebut. 


[1] Al-Bushairi mengatakan : “Hadits ini shahih, para perowinya tsiqah”. Lihat Raid bin Shabri bin Abi Ulfah, Syuruh Sunan Ibnu Majah, Yordania: Dar Al-Afkar Ad-Dauliyyah, cet.1, Babun fil Iman, hal. 81

[2] Lihat Al-Jauhari, Ash-Shihah Tajul Lughah wa Shihahul ‘Arabiyyah, Beirut : Dar Al-Ilmi Al-Malayin, cet.2, hal.629

[3] Lihat Ibnu Atsir, An-Nihayah fii Gharib Al-Hadits, Mesir : Dar Ibnul Jauzi, hal. 205

[4] Lihat Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Kitab Ash-Shalah, Bab Al-Bayan annahu innama qila yaummuhum aqrauhum, Juz 3, hal. 171

[5] Hakim mengatakan : “Ini adalah hadits shahih sesuai syarat kedua syaikh (Bukhari dan Muslim), aku tidak mengetahui adanya illat padanya, hanya keduanya tidak meriwayatkannya”. Lihat Imam Hakim An-Naisaburi, Al-Mudtadrak ‘ala Ash-Shaihain, Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Kitab Iman, Juz 1, hal. 91

[6] Shahih Bukhari, Kitab Fadhail Al-Qur’an, Bab Ta’lif Al-Qur’an, Al-Azhar : Al-Quds, cet.1, hal.1038

Tidak ada komentar:

Posting Komentar