Sabtu, 21 Desember 2019

Syariat adalah Maslahat





Oleh : Muhammad Atim

Seperti seorang anak kecil yang dipercayakan kepada orang tuanya, pada mulanya ia akan “dipaksa” dalam arti diarahkan untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya. Ia dipaksa mandi, misalnya, untuk membersihkan badannya, meskipun terkadang ia enggan melakukannya, dan tak jarang diiringi dengan tangisan-tangisan. Ia juga dipaksa untuk tidak memegang hal-hal yang berbahaya, ataupun memasukkan sesuatu yang berbahaya ke dalam mulutnya. Namun perlahan ia akan memahami, seiring akal yang terus bertumbuh dan proses belajar yang terus berjalan, bahwa tindakan-tindakan yang dipaksakan itu pada awalnya dalam rangka pengarahan dan pembiasaan ternyata memberi manfaat bagi dirinya.
Begitupun seseorang yang menjalani proses dalam beragama. Dengan modal iman dan keyakinan di awal, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dengan menyatakan kesiapan untuk tunduk dan patuh seperti tercermin dalam dua kalimat syahadat “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Pada mulanya ia seperti “dipaksa” untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Modal untuk sukses dalam menjalaninya, seperti seorang anak kecil tadi dengan kepercayaan yang penuh kepada orang tuanya, bahwa di dalam diri mereka tersimpan rasa cinta yang besar kepada anak-anaknya, maka segala arahan-arahan itu tiada lain hanyalah sebagai bentuk kasih sayang. Begitupun, keyakinan yang penuh kepada Allah, bahwa Dialah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, bahwa segala ketentuan syariat yang Ia tetapkan, tiada lain melainkan sebagai bentuk kasih sayang untuk hamba-Nya. Seiring proses belajar yang terus berjalan dan bertahap, seseorang itu akan memahaminya bahwa segala bentuk syariat di dalam Islam itu semuanya mengandung kemaslahatan. 
Untuk itu, tahapan belajar di dalam Islam, setelah seseorang memahami meskipun pemahaman itu secara spontan dan meyakini pernyataan keimanannya yang terkandung di dalam syahadat, yang ia nyatakan atas dasar kesadaran dan bukan karena paksaan, ia mesti melalui proses belajar yang pertama mempelajari ilmu inti dalam syariat yang oleh imam Abu Hamid Al-Ghazali (w.505 H) disebut sebagai ilmu mu’amalah (transaksi dengan Allah) yang meliputi tiga aspek yaitu keyakinan (i’tiqad), perbuatan yang dilakukan (fi’il) dan yang ditinggalkan (tark).[1] Ini adalah ilmu fardhu ‘ain karena terkait dengan tiga rukun agama, yaitu iman, islam dan ihsan. Dalam keyakinan, ia mesti mempelajari konsekwensi dari aqidahnya yang terkandung dalam rukun iman. Dalam perbuatan yang dilakukan, ia mesti mempelajari kewajibannya yaitu shalat lima waktu, zakat, shaum ramadhan, haji, dan seterusnya sesuai prioritas. Dan dalam  hal yang ditinggalkan ia mesti mempelajari hal-hal yang diharamkan sesuai prioritas mana yang lebih dekat ancaman bahayanya, sesuai dengan tahap usianya serta kondisi lingkungan dan zamannya. Aspek perbuatan ini tidak hanya berkaitan dengan amalan fisik yang merupakan kategori ilmu fiqih, tetapi juga berkaitan dengan amalan hati yang merupakan kategori ilmu akhlaq. Untuk itu, kita bisa melihat dalam khazanah keilmuan Islam, para ulama telah menulis kurikulum pembelajaran ini melalui kitab-kitab mereka dalam tahap ini. Bahkan tiga aspek ini disatukan dalam satu kitab kecil, misalnya dalam madzhab maliki seperti matan Ibnu ‘Asyir (w.1040 H) yang diberi nama “Al-Mursyid Al-Mu’in ‘ala Adh-Dharuri min ‘Ulumiddin atau matan Ar-Risalah karya Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (w.386), yang diberi pendahuluan intisari ilmu aqidah dan ditutup dengan intisari ilmu akhlaq atau adab, atau mereka menyebutnya dengan ilmu Tasawuf. Setelah itu, tahap belajar mengenali dalil-dalil (at-ta’arruf ‘ala ad-dalil), dan setelah itu tahap belajar cara menyingkap makna dan menyimpulkan dari dalil-dalil (al-istinbath min ad-dalil).
Ketika tahapan ini telah dilakukan, puncaknya ia akan memahami secara mendalam adanya kemaslahatan dalam setiap syariat yang ditetapkan, mengetahui tujuan utamanya (maqashid asy-syari’ah), dan hikmah yang terkandung di dalamnya, karena Allah Al-Hakim, Maha Bijaksana, terkandung hikmah yang besar dalam setiap perbuatan-Nya. Namun, sedalam dan sejauh apapun manusia mempelajari, ia tetap tidak akan mampu menguasai seluruh hikmah itu, ada saja hikmah yang belum diketahui dari suatu syariat, hal itu karena keterbatasan ilmu manusia dan luasnya ilmu Allah, maka ia terus menjadi mu’jizat sepanjang zaman yang membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mendapat bagian karunia menyingkap hikmah itu.
Maka dapat kita lihat dalam ilmu Ushul Fiqih, sebagai ilmu paling utama yang dibutuhkan oleh seorang muslim untuk memahami syariat, di dalamnya terdapat ilmu yang sangat membantu dalam proses belajar ini. Inti kajian ilmu Ushul Fiqih adalah berkisar pada empat hal: hukum syariat, dalil-dalil syariat, istinbath dari dalil-dalil dan karakteristik orang yang beristinbath tersebut (mujtahid). Imam Al-Ghazali dalam kitab Ushul Fiqihnya, Al-Mustashfa, membuat perumpamaan yang sangat indah dari keempat hal ini, yaitu bagaikan suatu pohon. Hukum itu adalah buah yang dihasilkan dari pohon (tsamaroh), dalil adalah pohon itu sendiri yang dapat menghasilkan buah (mutsmir), istinbath dari dalil-dalil adalah cara memetik buah tersebut (istitsmar) dan orang yang beristinbath itu adalah orang yang memetik buah (mustatsmir). Beliau menyebut, memulai mempelajari keempat hal itu dari hukum-hukum syariat karena dia adalah buahnya yang dicari adalah lebih utama, dan setelah itu tidak ada yang lebih penting untuk dipelajari kecuali mempelajari dalil-dalil yang menghasilkan buah itu, kemudian mempelajari cara memetik buah dan mengenal karakteristik orang yang memetiknya.[2] Maka inilah empat tahapan dalam mempelajari Islam sebagaimana yang telah disebutkan. Jika tidak melalui tahapan ini, seseorang yang beragama akan terus seperti anak kecil yang diarahkan tanpa pernah paham arahan tersebut.
Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya : 107). “Dan tidaklah Dia menjadikan untuk kalian di dalam agama suatu kesulitan.” (QS. Al-Hajj : 78). “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah Allah dan Rasul-Nya apabila memanggil kalian kepada apa yang akan menghidupkan kalian..” (QS. Al-Anfal : 24).
Imam Bukhari rahimahullah menafsirkan ayat “apa yang akan menghidupkan kalian” yaitu “apa yang akan memberi kemaslahatan kepada kalian”.[3]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Apabila kamu mendengar seruan Allah ta’ala maka angkatlah kepalamu, maka engkau akan mendapatkannya mengajakmu kepada kebaikan atau memalingkanmu dari keburukan.”[4]
Kemaslahatan, hikmah dan maqashid syariah adalah pembahasan penting untuk memahami syariah secara komprehensif, dan ia menjadi landasan di dalam melakukan istinbath hukum syariat dari dalil-dalilnya. Para ulama terdahulu telah membahasnya secara menyatu baik di dalam ilmu Ushul Fiqih maupun ilmu Qawa’id Fiqih. Yang membahasnya secara menyatu dalam ilmu Ushul Fiqih misalnya Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil, beliau lebih mengembangkan pembahasannya daripada ulama sebelumnya. Kemudian dalam ilmu Qawa’id Fiqih dikenal imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam (w.660 H) secara kuat membahasnya dalam kitab Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al-Anam, Al-Qawa’id Ash-Shugra dan Al-Fawaid fi Ikhtisharil Maqashid, lalu diikuti oleh muridnya Syihabuddin Al-Qarafi (w.684 H) dalam kitab Al-Furuq. Sampai datanglah Abu Ishak Asy-Syathibi (w.790 H) sebagai imam dalam ilmu maqashid dalam kitab beliau Al-Muwafaqot fi Ushul Asy-Syari’ah. Di zaman kontemporer kemudian dikembangkan oleh Muhammad Thahir bin ‘Asyur (w.1393 H/1973 M) dalam kitab beliau Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah dan beliau menjadi imam dalam ilmu ini, kemudian ‘Allal Al-Fasi (w.1394 H/1974 M) yang sezaman dengan beliau dalam kitabnya Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah wa Makarimuha, dan diantara ulama kontemporer yang masih hidup yang paling ahli dalam ilmu maqashid adalah Dr. Ahmad Raisuni (lahir 1953 M), beliau adalah ketua Al-Ittahad Al-‘Alami li’ulamail muslimin saat ini dalam berbagai kitab beliau diantaranya Nazhariyyatul Maqashid ‘inda al-imam Asy-Syathibi, Madkhal ila Maqashid Asy-Syari’ah dan Maqashidul Maqashid.
Para ulama itu menegaskan bahwa seluruh syariat ini adalah maslahat. Diantaranya Al-Ghazali berkata : “Kita mengetahui dari dalil-dalil syariat bahwa Allah ta’ala dengan mengutus para rasul dan membentangkan syariat, Ia menghendaki kemaslahatan urusan makhluk dalam agama dan dunia mereka.”[5] Asy-Syathibi berkata : “Sesungguhnya peletakan syariat-syariat hanyalah untuk kemaslahatan para hamba baik di dunia maupun di akhirat secara bersamaan.”[6]
Kemaslahatan di dalam syariat itu ada yang nampak, dapat dipahami akal (ma’qulul ma’na) dan ada yang tersembunyi, tidak dapat dipahami oleh akal (ghair ma’qulil ma’na). Kemaslahatan yang nampak itu menjadi suatu ‘illat (alasan) diberlakukannya suatu hukum, ini disebut syariat yang bersifat ta’alluli yang berlaku qiyas padanya, sedangkan yang tersembunyi ia disebut syariat yang bersifat ta’abbudi, tidak berlaku qiyas padanya. 
Kemaslahatan yang ada di dalam syariat dapat dihasilkan di dunia dan di akhirat. Hukum yang bersifat ta’alluli itu berarti kemaslahatannya lebih dominan tertuju kepada dunia, sedangkan yang bersifat ta’abbudi lebih dominan tertuju kepada akhirat. Namun, yang lebih dominan tertuju kepada dunia itu, juga pasti mengandung nilai kemaslahatan akhirat, dan sebaliknya, yang lebih dominan tertuju kepada akhirat, pasti mengandung nilai kemaslahatan dunia.
Untuk memperjelas kaidah di atas, mari kita pahami melalui suatu contoh hukum syariat, yaitu shalat dan perdagangan.
Shalat adalah syari’at ta’abbudi yang lebih dominan kemaslahatannya tertuju kepada akhirat. Tetapi ia juga mengandung kemaslahatan untuk dunia, kita bisa mengetahui kemaslahatannya untuk kesehatan dan kekuatan fisik kita melalui shalat misalnya, menenangkan jiwa, dan lain sebagainya. Kita bisa meneliti hikmah yang terkandung di dalamnya yang sangat banyak tersebut. Tetapi tentu, dalam melaksanakan ibadah shalat ini niat kita mesti ikhlas karena Allah, tidak boleh dibarengi dengan tujuan-tujuan mendapatkan kemaslahatan dunia di atas, meskipun secara otomatis kemaslahatan dunia itu akan kita dapatkan. Jadi, kemaslahatan dunia itu otomatis kita dapatkan, tidak perlu menjadi niat.
Sedangkan perdagangan yang dihalalkan adalah syariat ta’alluli yang lebih dominan kemaslahatannya tertuju kepada dunia. Tetapi pada saat yang sama di dalamnya juga terkandung nilai kemaslahatan akhirat. Dengan perdagangan, kita bisa mendapatkan rizki yang halal, dan dari rizki yang halal itu kita dapat beribadah kepada Allah. Maka dalam syariat semacam ini, niat kita dalam melakukannya jangan hanya tertuju kepada kemaslahatan dunia, yaitu untuk mendapatkan keuntungan, tetapi perlu dibarengi dengan niat ibadah kita kepada Allah, agar ia bernilai pahala.
Pembahasan maslahat dalam syariat sangat penting di zaman ini ketika sikap islamphobia dan tuduhan radikalisme dan terorisme masih santer diarahkan kepada syariat Islam. Bahwa tidak perlu ada yang ditakutkan dalam syariat Islam, karena semuanya berisi kemaslahatan bagi seluruh alam, termasuk bagi orang-orang non muslim sekalipun. Wallahu A’lam.


[1] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Dar Ibnu Hazm, 2005, hal.22
[2] Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2010, hal.12
[3] Shahih Bukhari, Kitab Tafsir, Bab Surat Al-Anfal ayat 24, Syarikah Quds, hal. 937
[4] Al-Qarafi, Adz-Dzahirah, Dar Al-Gharbi Al-Islami, 1994, hal. 335
[5] Al-Ghazali, Syifaul Ghalil fi Bayan Asy-Syabah wal mukhil wa masalik at-ta’lil, Mathba’ah Al-Irsyad, hal.204
[6] Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syari’ah, Darul Hadits, 2005, Jilid 2, hal.262

Tidak ada komentar:

Posting Komentar