Oleh : Muhammad Atim
Seperti seorang anak kecil yang dipercayakan
kepada orang tuanya, pada mulanya ia akan “dipaksa” dalam arti diarahkan untuk
melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya. Ia dipaksa mandi, misalnya,
untuk membersihkan badannya, meskipun terkadang ia enggan melakukannya, dan tak
jarang diiringi dengan tangisan-tangisan. Ia juga dipaksa untuk tidak memegang
hal-hal yang berbahaya, ataupun memasukkan sesuatu yang berbahaya ke dalam
mulutnya. Namun perlahan ia akan memahami, seiring akal yang terus bertumbuh
dan proses belajar yang terus berjalan, bahwa tindakan-tindakan yang dipaksakan
itu pada awalnya dalam rangka pengarahan dan pembiasaan ternyata memberi
manfaat bagi dirinya.
Begitupun seseorang yang menjalani proses
dalam beragama. Dengan modal iman dan keyakinan di awal, menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah dengan menyatakan kesiapan untuk tunduk dan patuh
seperti tercermin dalam dua kalimat syahadat “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Pada
mulanya ia seperti “dipaksa” untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai bentuk
penghambaan kepada Allah. Modal untuk sukses dalam menjalaninya, seperti
seorang anak kecil tadi dengan kepercayaan yang penuh kepada orang tuanya, bahwa
di dalam diri mereka tersimpan rasa cinta yang besar kepada anak-anaknya, maka
segala arahan-arahan itu tiada lain hanyalah sebagai bentuk kasih sayang.
Begitupun, keyakinan yang penuh kepada Allah, bahwa Dialah Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang, bahwa segala ketentuan syariat yang Ia tetapkan, tiada lain
melainkan sebagai bentuk kasih sayang untuk hamba-Nya. Seiring proses belajar
yang terus berjalan dan bertahap, seseorang itu akan memahaminya bahwa segala
bentuk syariat di dalam Islam itu semuanya mengandung kemaslahatan.
Untuk itu, tahapan belajar di dalam Islam,
setelah seseorang memahami meskipun pemahaman itu secara spontan dan meyakini
pernyataan keimanannya yang terkandung di dalam syahadat, yang ia nyatakan atas
dasar kesadaran dan bukan karena paksaan, ia mesti melalui proses belajar yang
pertama mempelajari ilmu inti dalam syariat yang oleh imam Abu Hamid Al-Ghazali
(w.505 H) disebut sebagai ilmu mu’amalah (transaksi dengan Allah) yang
meliputi tiga aspek yaitu keyakinan (i’tiqad), perbuatan yang dilakukan
(fi’il) dan yang ditinggalkan (tark).[1]
Ini adalah ilmu fardhu ‘ain karena terkait dengan tiga rukun agama, yaitu iman,
islam dan ihsan. Dalam keyakinan, ia mesti mempelajari konsekwensi dari
aqidahnya yang terkandung dalam rukun iman. Dalam perbuatan yang dilakukan, ia
mesti mempelajari kewajibannya yaitu shalat lima waktu, zakat, shaum ramadhan,
haji, dan seterusnya sesuai prioritas. Dan dalam hal yang ditinggalkan ia mesti mempelajari
hal-hal yang diharamkan sesuai prioritas mana yang lebih dekat ancaman
bahayanya, sesuai dengan tahap usianya serta kondisi lingkungan dan zamannya.
Aspek perbuatan ini tidak hanya berkaitan dengan amalan fisik yang merupakan
kategori ilmu fiqih, tetapi juga berkaitan dengan amalan hati yang merupakan
kategori ilmu akhlaq. Untuk itu, kita bisa melihat dalam khazanah keilmuan
Islam, para ulama telah menulis kurikulum pembelajaran ini melalui kitab-kitab
mereka dalam tahap ini. Bahkan tiga aspek ini disatukan dalam satu kitab kecil,
misalnya dalam madzhab maliki seperti matan Ibnu ‘Asyir (w.1040 H) yang diberi
nama “Al-Mursyid Al-Mu’in ‘ala Adh-Dharuri min ‘Ulumiddin atau matan
Ar-Risalah karya Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (w.386), yang diberi pendahuluan
intisari ilmu aqidah dan ditutup dengan intisari ilmu akhlaq atau adab, atau
mereka menyebutnya dengan ilmu Tasawuf. Setelah itu, tahap belajar mengenali
dalil-dalil (at-ta’arruf ‘ala ad-dalil), dan setelah itu tahap belajar
cara menyingkap makna dan menyimpulkan dari dalil-dalil (al-istinbath min
ad-dalil).
Ketika tahapan ini telah dilakukan, puncaknya
ia akan memahami secara mendalam adanya kemaslahatan dalam setiap syariat yang
ditetapkan, mengetahui tujuan utamanya (maqashid asy-syari’ah), dan
hikmah yang terkandung di dalamnya, karena Allah Al-Hakim, Maha
Bijaksana, terkandung hikmah yang besar dalam setiap perbuatan-Nya. Namun,
sedalam dan sejauh apapun manusia mempelajari, ia tetap tidak akan mampu
menguasai seluruh hikmah itu, ada saja hikmah yang belum diketahui dari suatu
syariat, hal itu karena keterbatasan ilmu manusia dan luasnya ilmu Allah, maka
ia terus menjadi mu’jizat sepanjang zaman yang membuka kesempatan bagi setiap
orang untuk mendapat bagian karunia menyingkap hikmah itu.
Maka dapat kita lihat dalam ilmu Ushul Fiqih,
sebagai ilmu paling utama yang dibutuhkan oleh seorang muslim untuk memahami
syariat, di dalamnya terdapat ilmu yang sangat membantu dalam proses belajar
ini. Inti kajian ilmu Ushul Fiqih adalah berkisar pada empat hal: hukum
syariat, dalil-dalil syariat, istinbath dari dalil-dalil dan karakteristik
orang yang beristinbath tersebut (mujtahid). Imam Al-Ghazali dalam kitab Ushul
Fiqihnya, Al-Mustashfa, membuat perumpamaan yang sangat indah dari keempat hal
ini, yaitu bagaikan suatu pohon. Hukum itu adalah buah yang dihasilkan dari
pohon (tsamaroh), dalil adalah pohon itu sendiri yang dapat menghasilkan
buah (mutsmir), istinbath dari dalil-dalil adalah cara memetik buah
tersebut (istitsmar) dan orang yang beristinbath itu adalah orang yang
memetik buah (mustatsmir). Beliau menyebut, memulai mempelajari keempat
hal itu dari hukum-hukum syariat karena dia adalah buahnya yang dicari adalah
lebih utama, dan setelah itu tidak ada yang lebih penting untuk dipelajari
kecuali mempelajari dalil-dalil yang menghasilkan buah itu, kemudian
mempelajari cara memetik buah dan mengenal karakteristik orang yang memetiknya.[2] Maka
inilah empat tahapan dalam mempelajari Islam sebagaimana yang telah disebutkan.
Jika tidak melalui tahapan ini, seseorang yang beragama akan terus seperti anak
kecil yang diarahkan tanpa pernah paham arahan tersebut.
Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah Kami
mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya :
107). “Dan tidaklah Dia menjadikan untuk kalian di dalam agama suatu
kesulitan.” (QS. Al-Hajj : 78). “Wahai orang-orang yang beriman,
penuhilah Allah dan Rasul-Nya apabila memanggil kalian kepada apa yang akan
menghidupkan kalian..” (QS. Al-Anfal : 24).
Imam Bukhari rahimahullah menafsirkan
ayat “apa yang akan menghidupkan kalian” yaitu “apa yang akan memberi
kemaslahatan kepada kalian”.[3]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata
: “Apabila kamu mendengar seruan Allah ta’ala maka angkatlah kepalamu, maka
engkau akan mendapatkannya mengajakmu kepada kebaikan atau memalingkanmu dari
keburukan.”[4]
Kemaslahatan, hikmah dan maqashid syariah
adalah pembahasan penting untuk memahami syariah secara komprehensif, dan ia
menjadi landasan di dalam melakukan istinbath hukum syariat dari
dalil-dalilnya. Para ulama terdahulu telah membahasnya secara menyatu baik di
dalam ilmu Ushul Fiqih maupun ilmu Qawa’id Fiqih. Yang membahasnya secara
menyatu dalam ilmu Ushul Fiqih misalnya Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa
dan Syifaul Ghalil, beliau lebih mengembangkan pembahasannya daripada
ulama sebelumnya. Kemudian dalam ilmu Qawa’id Fiqih dikenal imam ‘Izzuddin bin
Abdis Salam (w.660 H) secara kuat membahasnya dalam kitab Qawa’idul Ahkam fi
Mashalih Al-Anam, Al-Qawa’id Ash-Shugra dan Al-Fawaid fi Ikhtisharil
Maqashid, lalu diikuti oleh muridnya Syihabuddin Al-Qarafi (w.684 H) dalam
kitab Al-Furuq. Sampai datanglah Abu Ishak Asy-Syathibi (w.790 H)
sebagai imam dalam ilmu maqashid dalam kitab beliau Al-Muwafaqot fi Ushul
Asy-Syari’ah. Di zaman kontemporer kemudian dikembangkan oleh Muhammad
Thahir bin ‘Asyur (w.1393 H/1973 M) dalam kitab beliau Maqashid Asy-Syari’ah
Al-Islamiyyah dan beliau menjadi imam dalam ilmu ini, kemudian ‘Allal
Al-Fasi (w.1394 H/1974 M) yang sezaman dengan beliau dalam kitabnya Maqashid
Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah wa Makarimuha, dan diantara ulama kontemporer
yang masih hidup yang paling ahli dalam ilmu maqashid adalah Dr. Ahmad Raisuni
(lahir 1953 M), beliau adalah ketua Al-Ittahad Al-‘Alami li’ulamail muslimin
saat ini dalam berbagai kitab beliau diantaranya Nazhariyyatul Maqashid
‘inda al-imam Asy-Syathibi, Madkhal ila Maqashid Asy-Syari’ah dan Maqashidul
Maqashid.
Para ulama itu menegaskan bahwa seluruh
syariat ini adalah maslahat. Diantaranya Al-Ghazali berkata : “Kita
mengetahui dari dalil-dalil syariat bahwa Allah ta’ala dengan mengutus para
rasul dan membentangkan syariat, Ia menghendaki kemaslahatan urusan makhluk
dalam agama dan dunia mereka.”[5]
Asy-Syathibi berkata : “Sesungguhnya peletakan syariat-syariat hanyalah
untuk kemaslahatan para hamba baik di dunia maupun di akhirat secara
bersamaan.”[6]
Kemaslahatan di dalam syariat itu ada yang
nampak, dapat dipahami akal (ma’qulul ma’na) dan ada yang tersembunyi,
tidak dapat dipahami oleh akal (ghair ma’qulil ma’na). Kemaslahatan yang
nampak itu menjadi suatu ‘illat (alasan) diberlakukannya suatu hukum,
ini disebut syariat yang bersifat ta’alluli yang berlaku qiyas padanya,
sedangkan yang tersembunyi ia disebut syariat yang bersifat ta’abbudi, tidak
berlaku qiyas padanya.
Kemaslahatan yang ada di dalam syariat dapat
dihasilkan di dunia dan di akhirat. Hukum yang bersifat ta’alluli itu
berarti kemaslahatannya lebih dominan tertuju kepada dunia, sedangkan yang
bersifat ta’abbudi lebih dominan tertuju kepada akhirat. Namun, yang
lebih dominan tertuju kepada dunia itu, juga pasti mengandung nilai
kemaslahatan akhirat, dan sebaliknya, yang lebih dominan tertuju kepada
akhirat, pasti mengandung nilai kemaslahatan dunia.
Untuk memperjelas kaidah di atas, mari kita
pahami melalui suatu contoh hukum syariat, yaitu shalat dan perdagangan.
Shalat adalah syari’at ta’abbudi yang
lebih dominan kemaslahatannya tertuju kepada akhirat. Tetapi ia juga mengandung
kemaslahatan untuk dunia, kita bisa mengetahui kemaslahatannya untuk kesehatan
dan kekuatan fisik kita melalui shalat misalnya, menenangkan jiwa, dan lain
sebagainya. Kita bisa meneliti hikmah yang terkandung di dalamnya yang sangat
banyak tersebut. Tetapi tentu, dalam melaksanakan ibadah shalat ini niat kita
mesti ikhlas karena Allah, tidak boleh dibarengi dengan tujuan-tujuan
mendapatkan kemaslahatan dunia di atas, meskipun secara otomatis kemaslahatan
dunia itu akan kita dapatkan. Jadi, kemaslahatan dunia itu otomatis kita
dapatkan, tidak perlu menjadi niat.
Sedangkan perdagangan yang dihalalkan adalah
syariat ta’alluli yang lebih dominan kemaslahatannya tertuju kepada
dunia. Tetapi pada saat yang sama di dalamnya juga terkandung nilai
kemaslahatan akhirat. Dengan perdagangan, kita bisa mendapatkan rizki yang
halal, dan dari rizki yang halal itu kita dapat beribadah kepada Allah. Maka
dalam syariat semacam ini, niat kita dalam melakukannya jangan hanya tertuju kepada
kemaslahatan dunia, yaitu untuk mendapatkan keuntungan, tetapi perlu dibarengi
dengan niat ibadah kita kepada Allah, agar ia bernilai pahala.
Pembahasan maslahat dalam syariat sangat
penting di zaman ini ketika sikap islamphobia dan tuduhan radikalisme dan
terorisme masih santer diarahkan kepada syariat Islam. Bahwa tidak perlu ada
yang ditakutkan dalam syariat Islam, karena semuanya berisi kemaslahatan bagi
seluruh alam, termasuk bagi orang-orang non muslim sekalipun. Wallahu A’lam.
[1] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Dar
Ibnu Hazm, 2005, hal.22
[2] Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Al-Maktabah
At-Taufiqiyyah, 2010, hal.12
[3]
Shahih Bukhari, Kitab Tafsir, Bab
Surat Al-Anfal ayat 24, Syarikah Quds, hal. 937
[4]
Al-Qarafi, Adz-Dzahirah, Dar
Al-Gharbi Al-Islami, 1994, hal. 335
[5]
Al-Ghazali, Syifaul Ghalil fi
Bayan Asy-Syabah wal mukhil wa masalik at-ta’lil, Mathba’ah Al-Irsyad,
hal.204
[6] Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul
Asy-Syari’ah, Darul Hadits, 2005, Jilid 2, hal.262
Tidak ada komentar:
Posting Komentar