Belajar Parenting dari Para Nabi #1
“Pasangan
Yang Menentramkan”
Kisah
Awal Cinta Adam dan Hawa
Oleh
: Muhammad Atim Abu Afiya
Al-Qur’an dan Sunnah itu
petunjuknya luar biasa. Keduanya adalah wahyu Allah yang ilmunya
teramat luas. Luas tak bertepi. Tak pernah habis mu’jizat dan
petunjuknya digali. Meskipun lautan tinta para ulama habis untuk
menuliskannya, lisan para alim tak henti-hentinya mengungkap
ilmu-ilmunya. ia tetap menjadi mu’jizat hingga hari kiamat. Setiap
orang yang bersungguh-sungguh menggali petunjuknya akan mendapatkan
bagian mutiara ilmu sebagai rizki pemahaman yang diberikan. Bahkan
tak sedikit ilmu yang Allah simpan di dalamnya, yang dapat disingkap
oleh orang-orang pilihan Allah yang senantiasa mentadaburinya di
setiap zamannya. Maka rugi, orang yang beriman kepada wahyu Allah
ini, tetapi tidak mendapat bagian ilmu darinya dan tidak
menjadikannya petunjuk di dalam kehidupan.
Kisah-kisah yang diceritakan di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bukanlah dongeng orang-orang zaman dulu
(asathirul awwalin), yang hanya sebatas dongeng, dianggap
cerita biasa yang tidak membuat tertarik untuk direnungkan, dikaji
dan didalami petunjuk-petunjuknya. Sama sekali tidak! Justru Allah
banyak merinci petunjuk-Nya di dalam Al-Qur’an itu melalui kisah.
bahkan kisah memenuhi sepertiga Al-Qur’an. Maka marilah kita
belajar dari kisah-kisah itu tentang banyak hal, tentang kehidupan
kita agar kita mendapatkan petunjuk yang terang benderang. Tidak ada
yang lebih tahu dari Allah. Segala teori yang dibuat oleh manusia
tidak akan ada yang mampu mengguguli ilmu yang diberikan oleh Allah
ini. Termasuk dalam ilmu parenting, ilmu tentang bagaimana cara
mengelola keluarga, berperan dan menjalankan amanah di dalam
keluarga. Kisah-kisah para nabi khususnya, selain merupakan rukun
iman yang keempat yang wajib kita yakini, ternyata di dalamnya memuat
banyak petunjuk, termasuk dalam masalah keluarga, banyak kehidupan
keluarga yang dipotret di dalam kisah-kisah itu, dan tentunya menjadi
petunjuk yang sangat berharga.
Mari kita mulai dengan kisah
manusia pertama. Bagaimanakah awal mulanya sistem keluarga ini
dibangun.
Ketika Adam diciptakan, Allah
menempatkannya di dalam surga. Segala keni’matan surga yang tiada
terkira itu, ternyata masih menyisakan rasa kesepian pada diri Adam
tanpa adanya pasangan. Ini menunjukkan, bahwa secara fitrah
penciptaan, telah ditanamkan di dalam diri manusia rasa butuh kepada
pasangan. Dan memang secara jelas Allah menyebutkan di dalam
Al-Qur’an, “Dan Kami telah menciptakan kalian dalam keadaan
berpasang-pasangan.” (QS.
An-Naba : 8). Ibnu Katsir
menjelaskan, “Yakni laki-laki dan perempuan. Saling
merasakan kesenangan di antara satu sama lain. Dan terjadilah
reproduksi keturunan dengan hal itu.”
Kita bisa membayangkan, bagaimana jika tidak ada fitrah berpasangan
ini, tentu manusia tidak bisa berkembang biak dan menjadi punah.
Dalam
kondisi kesepian itulah Allah menciptakan Hawa sebagai pasangan bagi
Adam. Bagaimanakah hadirnya Hawa dalam kehidupan Adam? Mari kita ikut
langsung penuturan dari para
sahabat Nabi saw, yang diduga kuat mereka mendengar langsung dari
Nabi saw, karena kisah ini merupakan perkara ghaib, tidak mungkin
para sahabat berani menceritakannya tanpa sumber dari Nabi saw.
Dari
Ibnu Mas’ud dan sekelompok orang dari para sahabat, mereka berkata
: “Ketika
Adam ditempatkan di surga, ia berjalan dalam kesendirian, tidak punya
pasangan yang ia merasa tentram kepadanya. Lalu ia tertidur. Kemudian
bangun. Tiba-tiba di sisi kepalanya ada seorang perempuan yang sedang
duduk, yang telah diciptakan oleh Allah dari tulang rusuknya. Lalu ia
bertanya kepadanya, “Siapakah engkau?” Ia menjawab, “Aku
seorang perempuan”. Ia bertanya lagi, “Lalu kenapa engkau
diciptakan?” Ia menjawab, “agar engkau merasa tentram kepadaku.”
Para malaikat bertanya kepada Adam, mereka memperhatikan sesuai
pengetahuan yang sampai kepada mereka, “Siapakah namanya wahai
Adam?” Ia menjawab, “Hawa”. Mereka bertanya kembali, “Mengapa
engkau menamainya Hawa?” Ia menjawab, “Karena ia diciptakan dari
sesuatu yang hidup.” Maka Allah berfirman, “Wahai Adam, diamilah
oleh kamu dan istrimu surga ini ...”.1
Dari
perkataan Hawa “agar engkau merasa tentram kepadaku” kita bisa
tahu, bahwa ternyata seorang perempuan itu diciptakan agar
pasangannya bisa merasa tentram kepadanya. Meskipun Hawa diciptakan
dari bagian tubuh Adam, yaitu tulang rusuknya, Allah telah mendesain
penciptaan perempuan ini berbeda dengan laki-laki. Dengan
karakter kelembutan dan kepiawaian dalam melayani, perempuan itu
memang cocok menjadi pasangan yang mampu menentramkan bagi laki-laki
yang cenderung berkarakter tegas dalam mengambil sikap dan kuat dalam
memikul tanggung jawab. Dan untuk itulah lelaki menjadi pemimpin bagi
perempuan. Di samping, bahwa Hawa diciptakan berasal dari diri Adam
sendiri, agar tidak merasa asing kepada pasangannya itu, tetapi mudah
untuk akrab, serasi dan mampu saling melengkapi.
Berawal
dari fitrah berpasangan, lalu dengan izin dan syariat Allah bersatu
bersama pasangan. Inilah awal mula dibangun suatu sistem keluarga. Di
mulai dari sinilah bahtera rumah tangga itu akan berlayar. Oleh
karena itu, jika kita menginginkan untuk membangun suatu rumah tangga
yang baik, maka awalilah dengan memilih pasangan yang baik.
Maksimalkanlah memilih jodoh yang terbaik, meskipun pada kenyataannya
kita tidak akan mendapatkan yang sempurna seperti yang kita
bayangkan. Banyak faktor seorang lelaki menikahi perempuan, yaitu
karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya,
dan rasul menyarankan agar menikahi perempuan karena agamanya, karena
dengan itulah kita bisa selamat. Begitupun
seorang perempuan yang memilih lelaki pasangannya, agar memilih yang
diridhai dari segi agama dan akhlaknya. Mengapa? Karena ternyata
ketentraman itu letaknya di dalam hati bukan di mata. Bisa saja
harta, keturunan dan rupa menyenangkan pada pandangan mata, tetapi
belum tentu memberi ketentraman kepada hati. Tetapi, baiknya agama
dan akhlaqnya sudah dipastikan akan memberikan ketentraman pada hati.
Inilah tujuan kita mendapatkan pasangan, agar ada ketentraman di
dalam hati kita.
Allah
SWT berfirman,
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً
وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذلِكَ لَآيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk
kalian dari diri –diri kalian pasangan-pasangan agar kalian merasa
tentram kepadanya, dan menjadikan di antara kalian cinta dan kasih
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mentafakuri.”
(QS.
Ar-Rum : 21).
Renungkanlah
ayat ini. Allah memulai dengan kalimat “dan
di antara tanda-tanda
kekuasaan-nya..
“ lalu
mengakhiri dengan kalimat, “sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan allah) bagi
kaum yang memikirkan.”
Jadi
sangat tegas, bahkan dua kali Allah menegaskan, bahwa pasangan
manusia yang terdapat ketentraman, cinta dan kasih sayang yang
terikat di
dalam
pernikahan dan tatanan keluarga adalah tanda kekuasaan Allah. Jadi,
sistem keluarga adalah suatu hal yang sangat menakjubkan di dalam
kehidupan. Untuk
itu Allah memerintahkan kita untuk bertafakur, merenungkannya. Terus
menerus merenungkannya sembari bersyukur atas ni’mat keluarga dan
ni’mat pasangan yang diberikan. Karena tak jarang di luar rumah
orang akan mendapatkan banyak godaan, menjanjikan kesenangan sesaat,
tetapi kembali ke dalam rumah bersama keluarga, di sanalah terdapat
ketentraman yang sesungguhnya. Kembalilah ke rumah untuk menyukuri
ni’mat keluarga yang diberikan. Jadikanlah rumah sebagai tempat
yang senyaman mungkin, agar lahir ketentraman itu. Mulailah dengan
membina keshalehan dalam beragama dan memupuk akhlaq yang baik, dan
memulai akhlaq yang baik itu kepada pasangan antar satu sama lain.
Pahami
dan laksanakanlah peran masing-masing antar suami istri. Berorientasi
lah untuk saling memberi antar satu sama lain, sehingga terus
meningkatkan sikap yang terbaik, bukan dengan saling menuntut.
Hargailah ketulusan dan jerih payah pasangan kita, banggakan dan
kagumilah ia.
Kita
bisa belajar kepada Khadijah ra bagaimana cara memberikan ketentraman
kepada pasangan. Yaitu di saat Rasulullah saw menggigil ketakutan
karena bertemu dengan malaikat Jibril untuk pertama kalinya. Bahkan
dirundung kekhawatiran yang luar biasa, karena pada mulanya beliau
sama sekali tidak tahu akan menjadi nabi. Khadijah memberikan
sentuhan fisik dengan menyelimutinya dan menentramkan dengan
kata-kata,
“Tidak,
demi
allah! Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Sesungguhnya engkau
adalah orang yang menyambungkan tali silahurahim, ikut
memikul beban orang lain, memberi makan orang miskin, menjamu tamu
dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.
Lalu
mengambil tindakan sebagai solusi kongkrit
bagi
permasalahan yang sedang dihadapi, yaitu membawa beliau kepada
sepupunya Waraqah bin Naufal.
1
As-Suyuthi,
Ad-Durrul
Mantsur fii At-Tafsir bil Ma’tsur, 1/278-279,
Ibnu Katsir, Tafsri
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/234
Tidak ada komentar:
Posting Komentar