Oleh
: Muhammad Atim
Allah
menciptakan manusia tidak begitu saja dibiarkan tanpa
pertanggungjawaban. Maka, segala yang dilakukan oleh manusia tak
lepas dari hukum Allah. Untuk itulah Allah menurunkan syariat-Nya
yang sempurna mengatur semua aspek kehidupan manusia. Allah
berfirman, “Ketahuilah,
hanya milik Allah lah penciptaan dan perintah”
(QS. Al-A’rof: 54). As-Sa’di menjelaskan, “Penciptaan
(al-khalqu) terkandung di dalamnya hukum-hukum kauni taqdiri
(alam-takdir), dan perintah (al-amru) terkandung di dalamnya
hukum-hukum dini tasyri’i (agama-syariat).” (Tafsir As-Sa’di,
hal. 328). Allah juga berfirman, “Apakah
manusia mengira akan dibiarkan begitu saja?” (QS.
Al-Qiyamah : 36). Artinya, “Dibiarkan begitu saja (hamalan),
tidak dikenai taklif syari’at, tidak dihisab.” (Tafsir Jalalain,
hal. 577). Atas dasar inilah kita meyakini bahwa dalam segala sesuatu
terdapat hukum Allah yang mengikatnya.
Hukum
Allah yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah itu bersifat
abadi dan lengkap, ia menjelaskan hukum segala sesuatu. “Dan
Kami telah menurunkan kitab sebagai penjelas bagi segala sesuatu,
petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.”
(QS. An-Nahl : 89). “Tidaklah
Kami luput di dalam kitab (Al-Qur’an) dari sesuatu apapun” (QS.
Al-An’am : 38)
Al-Qur’an
yang berjumlah 6236 ayat (menurut riwayat Hafsh dari ‘Ashim) dan
ayat hukumnya sebanyak 500 ayat sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali
dan lainnya, dikutip dan dibahas secara khusus oleh As-Suyuthi dalam
kitabnya Al-Iklil
fi istinbathi At-Tanzil,
dan hadits jika dikumpulkan –terlepas dari statusnya apakah shahih,
hasan, dhaif atau maudhu, marfu, mauquf atau maqthu’- mencapai
sekitar 750.000 hadits -jumlah terbanyak yang disebutkan oleh para
ulama sepengetahuan penulis- seperti yang dikatakan oleh imam Ahmad,
“Aku
mengumpulkan dalam
musnad hadist-hadits yang aku seleksi
dari 750.000 hadits lebih.” (Tadribur
Rawi, hal. 64) dan hadits yang shahih
dalam dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim) tanpa pengulangan,
menurut Ibnu Hajar, sekitar 7000 hadits (An-Nakt
‘ala Ibn Ash-Shalah, hal. 298) dan ditambah dengan hadits-hadits
shahih dan hasan di kitab lain,
secara keseluruhannya mampu menjelaskan hukum segala sesuatu
sekaligus memberikan petunjuk bagi setiap permasalahan. Hanya saja,
petunjuk tersebut ada yang bersifat wadhih
(jelas)
dan ada yang bersifat khofi
(tersembunyi). Yang tersembunyi inilah yang disingkap oleh para ulama
melalui ijtihad mereka.
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah
sebagai
peletak awal ilmu Ushul Fiqih, dan ia merupakan ilmu yang dirancang
untuk mampu melakukan
istinbat
(menyimpulkan) hukum, dalam kitabnya “Ar-Risalah”, di dalam
muqaddimah beliau mengemukakan bahwa ilmu mengenai hukum Allah dapat
dihasilkan dari dua hal: dari nash
(disebutkan
secara jelas di dalam nash) dan dari
istinbat/istidlal
(melalui
usaha menyimpulkan). Beliau mengatakan,
“Semestinya
bagi para penuntut ilmu hendaklah sampai pada puncak kesungguhan
mereka dalam memperbanyak ilmunya, sabar atas segala rintangan yang
menghalangi pencariannya, mengikhlaskan niat untuk Allah dalam
mendapatkan ilmunya : baik secara nash
dan juga secara istinbat,
berharap kepada Allah agar memberi pertolongan atasnya, karena tidak
akan didapatkan suatu kebaikan melainkan dengan pertolongannya.
Maka
sesungguhnya orang yang mendapatkan ilmu hukum-hukum Allah di dalam
kitab-Nya baik secara nash
dan
juga istidlal,
Allah
memberinya taufiq kepada perkataan dan pengamalan dengan ilmu
dari-Nya itu, ia meraih keutamaan di dalam agama dan dunianya,
hilanglah keraguan darinya, bersinarlah hikmah di dalam hatinya, dan
ia berhak menempati posisi kepemimpinan di dalam agama.”
(Ar-Risalah,
hal. 19).
Lalu
beliau menegaskan,
لَيْسَتْ
تَنْزِلُ بِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ
اللهِ نَازِلَةٌ إِلَّا وَفِي كِتَابِ
اللهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ
الْهُدَى فِيْهَا
“Tidak
ada suatu peristiwa/kasus yang menimpa seseorang dari pemeluk agama
Allah kecuali di dalam kitab Allah terdapat dalil yang memberi jalan
petunjuk padanya.” (Ar-Risalah,
hal.20).
Pada
bab pertama beliau menguraikan bagaimanakah bentuk penjelasan
(al-bayan)
yang Allah sampaikan di dalam kitab-Nya. Beliau menjelaskan dua
bentuk bayan yang telah disebutkan diatas (yaitu secara nash
dan
istinbat/istidlal)
dan memberikan contoh-contohnya. Pertama, yang dijelaskan secara
tegas di dalam nash seperti kewajiban shalat, zakat, shaum, haji dan
keharaman khomer, memakan bangkai, darah, daging babi, wudhu dan
sebagainya. Kewajiban yang disebutkan di dalam Al-Qur’an itu
kemudian dirinci di dalam sunnah rasul seperti jumlah shalat, zakat,
waktu-waktunya dan yang lainnya. Ada juga yang disebutkan secara
jelas di dalam nash sunnah Rasulullah saw tetapi tidak disebutkan di
dalam Al-Qur’an, ini juga mesti diterima karena di dalam Al-Qur’an
ada perintah mengikuti rasul.
Kedua,
penjelasan yang dapat dipahami melalui istinbat/istidlal.
Allah mewajibkan orang-orang yang mampu (para ulama) untuk melakukan
ijtihad dalam hal ini. Dan menguji manusia untuk mengikuti ijtihad
mereka. Beliau mencontohkan dalam hal menghadap ke arah kiblat di
dalam shalat.
Di
sini perlu dipahami, bahwa para ulama itu tidaklah membuat hukum tapi
mereka semata-mata menyingkap hukum Allah yang tersembunyi tersebut
melalui ijtihad. Ketika
para ulama menentukan suatu hukum, hakikatnya itu adalah hukum Allah.
Para ulama tidaklah memiliki otoritas mutlak dalam menentukan hukum,
melainkan mesti ada pijakannya dari wahyu Allah itu. Bahkan, Nabi
sendiri sebenarnya hanya sebagai penyampai wahyu dan hukum dari
Allah.
Hukum
Allah yang mengikat kehidupan manusia ini mencakup seluruh
dimensinya, baik secara individu, keluarga, masyarakat maupun
negara.
Baik hubungan vertikal dengan Allah (ibadah
mahdoh)
maupun hubungan horizontal dengan sesama manusia termasuk lingkungan
sekitarnya (ibadah
ghair mahdoh/mu’amalah).
Pada seluruhnya itu berlaku hukum Allah. Semuanya tidak akan keluar,
sebagaimana dirumuskan di dalam ilmu Ushul Fiqih, dari lima hukum
taklifi
(yang
dibebankan kepada manusia),
yaitu wajib, wandub/sunnah, haram, makruh dan mubah. Dan
hukum wadh’i
(sebagai tanda yang terkait dengan hukum taklifi)
yang berjumlah
sebelas, yaitu sabab, ‘illat, syarat, mani’, shahih, fasid,
‘azimah, rukhsoh, ada, qadha dan i’adah.
Di
sinilah peran penting para ulama dalam menyingkap hukum Allah yang
berlaku untuk manusia. Tidak hanya pada perkara yang disebutkan
secara jelas di dalam nash, tetapi juga pada perkara yang tidak
disebutkan, dan hal ini memerlukan kesungguhan yang lebih, sikap
ketelitian dan kehati-hatian. Karena, para ulama yang memahami
hakikat syariat dan memiliki rasa takut kepada Allah, akan sangat
takut untuk menentukan suatu hukum atau berbicara atas nama agama
yang artinya juga atas nama Allah tanpa dasar ilmu yang jelas, dan
hal itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Berbicara atas
nama agama tanpa dasar ilmu yang jelas adalah termasuk dosa besar
yang disebutkan oleh Allah,
قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ
مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ
الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا
وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا
تَعْلَمُونَ
“Katakanlah
Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan keji yang terlihat
dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan
yang benar, dan (mengharamkan) kalian menyekutukan Allah dengan
sesuatu sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan
(mengharamkan) kalian berbicara tentang
Allah apa yang tidak kalian ketahui.”
(QS.
Al-A’rof : 33).
Tetapi,
ketika para ulama itu telah mendapatkan ilmu tentang suatu hukum
Allah, ia harus menyampaikannya dan diancam dari menyembunyikannya.
Allah
SWT berfirman, “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada
manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itulah yang dilaknat Allah
dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.” (QS.
Al-Baqarah : 159).
Maka,
para ulama mesti berperan aktif untuk menyingkap hukum Allah dalam
setiap perkara dan permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Melakukan
ijtihad terhadap permasalahan-permasalahan baru, karena permasalahan
yang dihadapi manusia itu sangat banyak dan tidak ada hentinya, maka
peran ulama sangat penting untuk membimbing manusia dalam
kehidupannya agar tidak terlepas dari hukum Allah. Hukum Allah itu
bisa disampaikan baik melalui pengajaran, fatwa maupun qadha.
Bedanya, fatwa adalah hukum Allah yang disampaikan dalam bentuk tidak
ada kemestian untuk melakukannya kecuali bagi orang yang memang
mengikatkan diri pada fatwa tersebut, orang yang mampu mengeluarkan
fatwa ini disebut mufti. Sedangkan qadha adalah hukum Allah yang
disampaikan yang mengandung kemestian untuk dilaksanakan pada suatu
negeri, jika orang di negeri tersebut tidak melaksanakannya maka
layak untuk dikenai sanksi, orang yang mengeluarkan qadha (keputusan
hukum) disebut qadhi (hakim).
Allah
menyebutkan peran para ulama ini di dalam firman-Nya,
وَإِذَا
جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ
الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ
رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ
أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ
إِلَّا قَلِيلًا
“Dan
apabila sampai kepada mereka suatu perkara tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. Kalaulah mereka
menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri (ulama) diantara mereka,
niscaya orang-orang yang melakukan istinbat (menyimpulkan hukum) akan
mengetahuinya. Kalaulah bukan karena karunia Allah atas kalian dan
rahmatnya, niscaya kalian benar-benar mengikuti syetan kecuali
sedikit saja.” (QS.
An-Nisa : 83).
Suatu
perkara/berita/permasalahan, sebagaimana disebutkan pada ayat di
atas, baik berkenaan dengan kondisi aman, dalam arti kondisi biasa
yang dihadapi manusia, maupun berkenaan dengan kondisi ketakutan
dalam arti kondisi tidak biasa yang dihadapi manusia, janganlah
disebarkan dengan cepat, diberi opini, penilaian dan dihukumi secara
serampangan, tetapi hendaklah diserahkan kepada rasul, baik secara
langsung saat beliau masih hidup, atau kepada sunnahnya ketika beliau
telah wafat, begitu pula kepada para ulama yang memiliki pemahaman
mendalam, merekalah kemudian yang mampu menyimpulkan hukum dalam
perkara tersebut. Agama Islam ini merupakan karunia bagi orang-orang
beriman, dan syariatnya merupakan rahmat. Jika syariat ini tidak
diikuti, maka mereka tentu akan mengikuti syetan. Imam As-Suyuthi
menyebutkan bahwa ayat ini merupakan landasan yang besar di dalam
istinbat dan ijtihad (Al-Iklil fi istinbat at-tanzil, hal. 77).
Hukum
Allah yang telah disingkap oleh para ulama, khususnya pada perkara
yang dihadapi oleh manusia pada saat ini mesti diikuti dan ditegakkan
di dalam kehidupan baik dalam lingkup individu, keluarga, masyarakat
maupun negara, karena hal itu merupakan bentuk ketaatan kepada Allah
dan rasul-Nya. Jika hukum Allah ini, baik yang disebutkan secara
tegas di dalam nash maupun melalui ijtihad ulama, diabaikan dan tidak
ada usaha untuk menegakkannya, maka ini merupakan dosa besar. Apalagi
jika diperangi, anti terhadap syariat Islam, phobia dan sinis,
dianggap bahwa syariat Islam tidak boleh masuk ke dalam aspek
ekonomi, hukum, politik, ketatanegaraan, tidak boleh bersentuhan
dengan wilayah sosial dan publik dan hanya boleh berkutat pada
wilayah privat, tentu ini adalah sebuah kekufuran, karena syariat
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan mansuia. Jika pemimpin suatu
negeri itu seorang muslim, seharusnya ia menyadari tanggungjawab dan
kewajiban untuk menjalan hukum Allah sebagai konsekwensi dari
keimanannya, begitupun setiap muslim lainnya dibebani tanggungjawab
sesuai kemampuannya, dan orang yang tidak menjalankan hukum Allah
bisa terjerumus ke dalam kefasikan, kezaliman dan kekafiran. Dan
meyakini bahwa hukum Allah adalah hukum terbaik untuk kemaslahatan
seluruh manusia, bahkan bagi seluruh alam semesta. “Apakah
hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik
hukumnya daripada hukum Allah, bagi kaum yang yakin.” (QS.
Al-Maidah : 50).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar