Senin, 30 Desember 2019

Hukum Allah dalam Segala Sesuatu

Oleh : Muhammad Atim

Allah menciptakan manusia tidak begitu saja dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Maka, segala yang dilakukan oleh manusia tak lepas dari hukum Allah. Untuk itulah Allah menurunkan syariat-Nya yang sempurna mengatur semua aspek kehidupan manusia. Allah berfirman, “Ketahuilah, hanya milik Allah lah penciptaan dan perintah” (QS. Al-A’rof: 54). As-Sa’di menjelaskan, “Penciptaan (al-khalqu) terkandung di dalamnya hukum-hukum kauni taqdiri (alam-takdir), dan perintah (al-amru) terkandung di dalamnya hukum-hukum dini tasyri’i (agama-syariat).” (Tafsir As-Sa’di, hal. 328). Allah juga berfirman, “Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja?” (QS. Al-Qiyamah : 36). Artinya, “Dibiarkan begitu saja (hamalan), tidak dikenai taklif syari’at, tidak dihisab.” (Tafsir Jalalain, hal. 577). Atas dasar inilah kita meyakini bahwa dalam segala sesuatu terdapat hukum Allah yang mengikatnya.
Hukum Allah yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah itu bersifat abadi dan lengkap, ia menjelaskan hukum segala sesuatu. “Dan Kami telah menurunkan kitab sebagai penjelas bagi segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.” (QS. An-Nahl : 89). Tidaklah Kami luput di dalam kitab (Al-Qur’an) dari sesuatu apapun” (QS. Al-An’am : 38)
Al-Qur’an yang berjumlah 6236 ayat (menurut riwayat Hafsh dari ‘Ashim) dan ayat hukumnya sebanyak 500 ayat sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali dan lainnya, dikutip dan dibahas secara khusus oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Iklil fi istinbathi At-Tanzil, dan hadits jika dikumpulkan –terlepas dari statusnya apakah shahih, hasan, dhaif atau maudhu, marfu, mauquf atau maqthu’- mencapai sekitar 750.000 hadits -jumlah terbanyak yang disebutkan oleh para ulama sepengetahuan penulis- seperti yang dikatakan oleh imam Ahmad, “Aku mengumpulkan dalam musnad hadist-hadits yang aku seleksi dari 750.000 hadits lebih.” (Tadribur Rawi, hal. 64) dan hadits yang shahih dalam dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim) tanpa pengulangan, menurut Ibnu Hajar, sekitar 7000 hadits (An-Nakt ‘ala Ibn Ash-Shalah, hal. 298) dan ditambah dengan hadits-hadits shahih dan hasan di kitab lain, secara keseluruhannya mampu menjelaskan hukum segala sesuatu sekaligus memberikan petunjuk bagi setiap permasalahan. Hanya saja, petunjuk tersebut ada yang bersifat wadhih (jelas) dan ada yang bersifat khofi (tersembunyi). Yang tersembunyi inilah yang disingkap oleh para ulama melalui ijtihad mereka.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah sebagai peletak awal ilmu Ushul Fiqih, dan ia merupakan ilmu yang dirancang untuk mampu melakukan istinbat (menyimpulkan) hukum, dalam kitabnya “Ar-Risalah”, di dalam muqaddimah beliau mengemukakan bahwa ilmu mengenai hukum Allah dapat dihasilkan dari dua hal: dari nash (disebutkan secara jelas di dalam nash) dan dari istinbat/istidlal (melalui usaha menyimpulkan). Beliau mengatakan,
Semestinya bagi para penuntut ilmu hendaklah sampai pada puncak kesungguhan mereka dalam memperbanyak ilmunya, sabar atas segala rintangan yang menghalangi pencariannya, mengikhlaskan niat untuk Allah dalam mendapatkan ilmunya : baik secara nash dan juga secara istinbat, berharap kepada Allah agar memberi pertolongan atasnya, karena tidak akan didapatkan suatu kebaikan melainkan dengan pertolongannya.
Maka sesungguhnya orang yang mendapatkan ilmu hukum-hukum Allah di dalam kitab-Nya baik secara nash dan juga istidlal, Allah memberinya taufiq kepada perkataan dan pengamalan dengan ilmu dari-Nya itu, ia meraih keutamaan di dalam agama dan dunianya, hilanglah keraguan darinya, bersinarlah hikmah di dalam hatinya, dan ia berhak menempati posisi kepemimpinan di dalam agama.” (Ar-Risalah, hal. 19).
Lalu beliau menegaskan,
لَيْسَتْ تَنْزِلُ بِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللهِ نَازِلَةٌ إِلَّا وَفِي كِتَابِ اللهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْهُدَى فِيْهَا
Tidak ada suatu peristiwa/kasus yang menimpa seseorang dari pemeluk agama Allah kecuali di dalam kitab Allah terdapat dalil yang memberi jalan petunjuk padanya.” (Ar-Risalah, hal.20).
Pada bab pertama beliau menguraikan bagaimanakah bentuk penjelasan (al-bayan) yang Allah sampaikan di dalam kitab-Nya. Beliau menjelaskan dua bentuk bayan yang telah disebutkan diatas (yaitu secara nash dan istinbat/istidlal) dan memberikan contoh-contohnya. Pertama, yang dijelaskan secara tegas di dalam nash seperti kewajiban shalat, zakat, shaum, haji dan keharaman khomer, memakan bangkai, darah, daging babi, wudhu dan sebagainya. Kewajiban yang disebutkan di dalam Al-Qur’an itu kemudian dirinci di dalam sunnah rasul seperti jumlah shalat, zakat, waktu-waktunya dan yang lainnya. Ada juga yang disebutkan secara jelas di dalam nash sunnah Rasulullah saw tetapi tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an, ini juga mesti diterima karena di dalam Al-Qur’an ada perintah mengikuti rasul.
Kedua, penjelasan yang dapat dipahami melalui istinbat/istidlal. Allah mewajibkan orang-orang yang mampu (para ulama) untuk melakukan ijtihad dalam hal ini. Dan menguji manusia untuk mengikuti ijtihad mereka. Beliau mencontohkan dalam hal menghadap ke arah kiblat di dalam shalat.
Di sini perlu dipahami, bahwa para ulama itu tidaklah membuat hukum tapi mereka semata-mata menyingkap hukum Allah yang tersembunyi tersebut melalui ijtihad. Ketika para ulama menentukan suatu hukum, hakikatnya itu adalah hukum Allah. Para ulama tidaklah memiliki otoritas mutlak dalam menentukan hukum, melainkan mesti ada pijakannya dari wahyu Allah itu. Bahkan, Nabi sendiri sebenarnya hanya sebagai penyampai wahyu dan hukum dari Allah.
Hukum Allah yang mengikat kehidupan manusia ini mencakup seluruh dimensinya, baik secara individu, keluarga, masyarakat maupun negara. Baik hubungan vertikal dengan Allah (ibadah mahdoh) maupun hubungan horizontal dengan sesama manusia termasuk lingkungan sekitarnya (ibadah ghair mahdoh/mu’amalah). Pada seluruhnya itu berlaku hukum Allah. Semuanya tidak akan keluar, sebagaimana dirumuskan di dalam ilmu Ushul Fiqih, dari lima hukum taklifi (yang dibebankan kepada manusia), yaitu wajib, wandub/sunnah, haram, makruh dan mubah. Dan hukum wadh’i (sebagai tanda yang terkait dengan hukum taklifi) yang berjumlah sebelas, yaitu sabab, ‘illat, syarat, mani’, shahih, fasid, ‘azimah, rukhsoh, ada, qadha dan i’adah.
Di sinilah peran penting para ulama dalam menyingkap hukum Allah yang berlaku untuk manusia. Tidak hanya pada perkara yang disebutkan secara jelas di dalam nash, tetapi juga pada perkara yang tidak disebutkan, dan hal ini memerlukan kesungguhan yang lebih, sikap ketelitian dan kehati-hatian. Karena, para ulama yang memahami hakikat syariat dan memiliki rasa takut kepada Allah, akan sangat takut untuk menentukan suatu hukum atau berbicara atas nama agama yang artinya juga atas nama Allah tanpa dasar ilmu yang jelas, dan hal itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Berbicara atas nama agama tanpa dasar ilmu yang jelas adalah termasuk dosa besar yang disebutkan oleh Allah,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’rof : 33).
Tetapi, ketika para ulama itu telah mendapatkan ilmu tentang suatu hukum Allah, ia harus menyampaikannya dan diancam dari menyembunyikannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.” (QS. Al-Baqarah : 159).
Maka, para ulama mesti berperan aktif untuk menyingkap hukum Allah dalam setiap perkara dan permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Melakukan ijtihad terhadap permasalahan-permasalahan baru, karena permasalahan yang dihadapi manusia itu sangat banyak dan tidak ada hentinya, maka peran ulama sangat penting untuk membimbing manusia dalam kehidupannya agar tidak terlepas dari hukum Allah. Hukum Allah itu bisa disampaikan baik melalui pengajaran, fatwa maupun qadha. Bedanya, fatwa adalah hukum Allah yang disampaikan dalam bentuk tidak ada kemestian untuk melakukannya kecuali bagi orang yang memang mengikatkan diri pada fatwa tersebut, orang yang mampu mengeluarkan fatwa ini disebut mufti. Sedangkan qadha adalah hukum Allah yang disampaikan yang mengandung kemestian untuk dilaksanakan pada suatu negeri, jika orang di negeri tersebut tidak melaksanakannya maka layak untuk dikenai sanksi, orang yang mengeluarkan qadha (keputusan hukum) disebut qadhi (hakim).
Allah menyebutkan peran para ulama ini di dalam firman-Nya,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
Dan apabila sampai kepada mereka suatu perkara tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri (ulama) diantara mereka, niscaya orang-orang yang melakukan istinbat (menyimpulkan hukum) akan mengetahuinya. Kalaulah bukan karena karunia Allah atas kalian dan rahmatnya, niscaya kalian benar-benar mengikuti syetan kecuali sedikit saja.” (QS. An-Nisa : 83).
Suatu perkara/berita/permasalahan, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas, baik berkenaan dengan kondisi aman, dalam arti kondisi biasa yang dihadapi manusia, maupun berkenaan dengan kondisi ketakutan dalam arti kondisi tidak biasa yang dihadapi manusia, janganlah disebarkan dengan cepat, diberi opini, penilaian dan dihukumi secara serampangan, tetapi hendaklah diserahkan kepada rasul, baik secara langsung saat beliau masih hidup, atau kepada sunnahnya ketika beliau telah wafat, begitu pula kepada para ulama yang memiliki pemahaman mendalam, merekalah kemudian yang mampu menyimpulkan hukum dalam perkara tersebut. Agama Islam ini merupakan karunia bagi orang-orang beriman, dan syariatnya merupakan rahmat. Jika syariat ini tidak diikuti, maka mereka tentu akan mengikuti syetan. Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa ayat ini merupakan landasan yang besar di dalam istinbat dan ijtihad (Al-Iklil fi istinbat at-tanzil, hal. 77).
Hukum Allah yang telah disingkap oleh para ulama, khususnya pada perkara yang dihadapi oleh manusia pada saat ini mesti diikuti dan ditegakkan di dalam kehidupan baik dalam lingkup individu, keluarga, masyarakat maupun negara, karena hal itu merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Jika hukum Allah ini, baik yang disebutkan secara tegas di dalam nash maupun melalui ijtihad ulama, diabaikan dan tidak ada usaha untuk menegakkannya, maka ini merupakan dosa besar. Apalagi jika diperangi, anti terhadap syariat Islam, phobia dan sinis, dianggap bahwa syariat Islam tidak boleh masuk ke dalam aspek ekonomi, hukum, politik, ketatanegaraan, tidak boleh bersentuhan dengan wilayah sosial dan publik dan hanya boleh berkutat pada wilayah privat, tentu ini adalah sebuah kekufuran, karena syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan mansuia. Jika pemimpin suatu negeri itu seorang muslim, seharusnya ia menyadari tanggungjawab dan kewajiban untuk menjalan hukum Allah sebagai konsekwensi dari keimanannya, begitupun setiap muslim lainnya dibebani tanggungjawab sesuai kemampuannya, dan orang yang tidak menjalankan hukum Allah bisa terjerumus ke dalam kefasikan, kezaliman dan kekafiran. Dan meyakini bahwa hukum Allah adalah hukum terbaik untuk kemaslahatan seluruh manusia, bahkan bagi seluruh alam semesta. “Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah, bagi kaum yang yakin.” (QS. Al-Maidah : 50).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar