Selasa, 07 Mei 2019

Shiyam Yang Diwajibkan


Tadabur Ayat-ayat Shaum - 2

Oleh : Muhammad Atim

Allah memberikan kewajiban shaum dengan bahasa yang ringan agar ibadah yang “cukup berat” ini terasa ringan. Perhatikanlah, bahasa yang digunakan “Telah dituliskan/ditetapkan atas kalian puasa”, dan makna “dituliskan/ditetapkan” adalah “diwajibkan” sebagaimana telah maklum di kalangan ulama, tidak dengan kata perintah secara langsung misalnya “Puasalah!”, atau dengan menyebutkan, “Allah telah mewajibkan kepada kalian puasa”, tetapi dengan bahasa yang pasif, meskipun tentu kita tahu bahwa yang mewajibkan adalah Allah . Meringankan bahasa seperti ini, secara psikologis tentu akan memberikan dampak kepada jiwa agar dapat menerimanya secara ringan sehingga siap dan mampu untuk melakukannya, dan tentu Allah tidak akan memberikan beban syariat di luar kemampuan kita, semua syariat yang Allah turunkan pasti kita mampu untuk melakukannya.
Allah memilih kata shiyam (الصِّيَامُ) dibanding kata shaum (الصَّوْمُ) meskipun keduanya adalah sinonim yang menunjukkan makna yang sama dan sama-sama merupakan bentuk mashdar dari kata shoma-yashumu, tetapi pada kata shiyam terdapat tambahan huruf “alif” sedangkan huruf “ya” asalnya adalah huruf “wawu” yang berubah karena sebelumnya berharokat kasroh untuk penyesuaian, sebagaimana telah maklum di kalangan para ulama bahasa bahwa adanya tambahan bentuk menunjukkan adanya tambahan makna (ziyadatul mabna tadullu ‘ala ziyadatil ma’na). Kata “shiyam”, yang dari segi ilmu tashrif bisa dikategorikan sebagai bentuk mubalaghah, memiliki makna yang lebih yaitu adanya makna mubalaghah itu sendiri yang berarti kesungguhan, dan makna musyarokah, adanya keikutsertaan. Artinya, puasa yang diwajibkan tidak sekedar menahan lapar, dahaga dan berhubungan suami istri saja, tetapi dilakukan dengan penuh kesungguhan dan adanya keikutsertaan antara fisik dan jiwa, sesuai target yang ingin dicapai yang menjadi orang yang bertakwa.
Kata shiyam atau shaum secara bahasa biasa digunakan oleh orang-orang Arab untuk makna menahan (al-imsak). Sedangkan secara istilah yaitu menahan dari makan, minum dan berhubungan suami istri, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Shaum dengan makna ini telah dikenal dan telah disyariatkan sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalam, hanya tatacara dan waktunya yang berbeda-beda di setiap zaman. Shiyam yang disebutkan dalam ayat ini tentu yang dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad , sebagaimana akan dirinci pada ayat-ayat berikutnya. Jika didefinisikan secara lebih khusus di dalam syariat Islam, maka shaum adalah “menahan dari makan, minum dan berhubungan suami istri dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dari sejak terbit fajar (waktu shubuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib).
Nuansa keringanan dan kemudahan yang Allah tampilkan dalam syariat shaum ini, sejak redaksi pertama yang digunakan lalu kandungan ayat-ayat berikutnya dan tahapan-tahapan pensyariatannya, bahkan secara tegas dalam ayat yang akan datang disebutkan “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian” adalah cerminan kasih sayang Allah yang begitu besar kepada umat Nabi Muhammad ini serta keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada mereka, meski syariat shaum ini telah diberikan juga kepada umat-umat terdahulu sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalam, sebagaimana terkandung di dalam ayat “sebagaimana telah dituliskan/ditetapkan (diwajibkan) kepada orang-orang sebelum kalian.”
Perumpamaan yang terdapat di dalam ayat di atas tidaklah menunjukkan sama persis dalam segala halnya, tetapi sama secara asal syariatnya yaitu shaum, namun berbeda dari segi kaifiyat dan waktunya, dan ini menjadi ciri khas dan keistimewaan bagi umat Nabi Muhammad . Perumpamaan tersebut dikemukakan, paling tidak memiliki tiga tujuan :
Pertama, memberikan perhatian akan pentingnya ibadah shaum ini yang dapat memberikan kemaslahatan kepada diri seorang mu’min karena sejak dahulu juga telah disyariatkan. Orang-orang beriman ini memiliki jiwa kompetitif yang tinggi, sebagaimana hal itu tercermin dalam sikap saling berlomba-lomba di antara mereka dan juga sikap ingin mengungguli umat lain, dan faktanya memang umat Islam adalah umat paling unggul dibanding umat lain, seperti ketika diketahui bahwa orang-orang Yahudi melaksanakan shaum Asyuro (10 Muharram) karena hari tersebut adalah hari diselamatkannya Nabi Musa ‘alaihis salam, Rasulullah bersabda : “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian” dan beliau memerintahkan umatnya untuk shaum Asyura. Orang-orang beriman sebenarnya tidak puas dengan shaum Asyura tersebut yang sama dengan orang-orang Yahudi, mereka mengharapkan shaum lain yang lebih istimewa dan turunlah syariat shaum Ramadhan, dan shaum Asyura pun pada saat berikutnya karena tidak ingin sama dengan orang-orang Yahudi, Rasulullah berencana menambahnya dengan tanggal sembilannya sehingga dikenal dengan shaum tasu’a asyura (9-10 Muharram).
Kedua, memberikan dorongan yang kuat agar orang-orang yang merasa berat terhadap shaum merasa kerdil/hina karena orang-orang terdahulupun melaksanakan shaum.
Ketiga, memberikan suntikan tekad yang kuat agar orang-orang beriman ini dapat maksimal melaksanakan ibadah shaum dan menjadi lebih baik dari umat-umat terdahulu.
Kalimat “agar kalian bertakwa” adalah target yang ingin dicapai dari ibadah shaum. Bertakwa dalam arti menjaga diri agar terhindar dari perbuatan maksiat. Shaum adalah sarana yang paling kuat yang dapat membuat seorang mu’min menahan dirinya dari perbuatan maksiat. Ia marupakan suatu riyadhah (latihan) bagi jiwa. Di dalam hadits dikatakan,
الصَّوْمُ جُنَّةٌ
“Shaum adalah tameng.” (HR. Bukhari, no. 7492).
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai kawula muda! Siapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan berumah tangga, maka menikahlah. Karena sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum memiliki kemampuan, hendaklah ia melaksanakan shaum, karena sesungguhnya shaum itu adalah pengekang gejolak syahwat. ” (HR. Muslim, no. 1400).
Hal itu karena perbuatan maksiat itu ada yang dapat dihindari hanya dengan tafakur, memikirkan manfaat dari meninggalkannya dan madharot dari melakukannya misalnya meminum khamer, judi dan mencuri, dan ada juga yang tidak dapat dihindari hanya dengan tafakur karena maksiat tersebut muncul dari dorongan tabiat yang ada di dalam diri manusia misalnya marah, dua syahwat yaitu perut dan kemaluan. Menghindarinya mesti dengan riyadhah (latihan) dan latihan tersebut adalah shaum. Dengan melaksanakan shaum, kita akan menjadi terlatih menjadi orang yang sabar menahan gejolak syahwat, baik syahwat perut, kemaluan maupun kemarahan. Karena di dalam diri manusia terdapat dua kekuatan, yaitu kekuatan hewani (القُوَّةُ الْحَيَوَانِيَّة) yang memunculkan syahwat-syahwat tersebut, dan kekuatan ruhani (القُوَّةُ الرُّوْحَانِيَّة) yang membuat orang bisa bersabar. Dengan mengurangi asupan terhadap kekuatan hewani tersebut, maka muncullah gejolak kekuatan ruhani yang besar yang akan membuat orang menjadi semakin dekat dan taat kepada Allah dan mampu menjadi orang yang bertakwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar