Kamis, 09 Mei 2019

Hari-hari Yang Terhitung


Tadabur Ayat-ayat Shaum - 3

Oleh : Muhammad Atim

أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ، فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ، وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ، فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"(Yaitu) beberapa hari yang terhitung. Maka barangsiapa di antara kalian yang keadaannya sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu tidak shaum), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang ia tidak shaum) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati melakukan kebaikan (ibadah tambahan), maka itu lebih baik baginya, dan shaum itu baik/lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. " (QS. Al-Baqarah : 184).
Selanjutnya Allah menjelaskan waktu dan beberapa hukum berkenaan dengan shaum yang diwajibkan. Kapankah waktu dilaksanakan shaum yang diwajibkan itu? Allah memberi keterangan waktunya dengan kalimat “beberapa hari yang terhitung”. Ini suatu bentuk kesan kemudahan lain dari Allah tentang shaum ini, yaitu bahwa shaum ini dilakukan hanya beberapa hari yang terhitung saja, tidak lama. Kata “ma’dudat” (terhitung) adalah kinayah dari sedikit, karena yang sedikit itu terhitung, sedangkan banyak tidak terhitung. Namun meskipun terhitung, bentuk kata (مَعْدُوْدَاتٍ) di sini menggunakan jama’ muannats salim yang menunjukkan bilangan tiga ke atas, berbeda di ayat lain yang menggunakan bentuk mufrod (tunggal) misalnya,
وَقَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُوْدَةً
 “Dan mereka (orang-orang Yahudi) berkata, “Neraka tidak akan menyentuh kami melainkan hanya beberapa hari yang terhitung saja.” (QS. Al-Baqarah : 80).
Karena memang hari yang terhitung menurut orang Yahudi dalam ayat ini jumlahnya lebih sedikit.
Sedangkan hari-hari yang terhitung untuk pelaksanaan shaum ini maksudnya adalah 30 atau 29 hari, yaitu selama satu bulan Ramadhan sebagaimana akan dipertegas pada ayat selanjutnya. Mengapa hari-hari selama satu bulan Ramadhan ini dianggap sedikit? Karena memang hari-harinya akan berjalan tanpa terasa, tidak akan terasa lama. Juga karena saking besar pahala dan keistimewaan yang Allah berikan pada hari-hari di bulan Ramadhan ini, ia dianggap sedikit agar kita dapat benar-benar memaksimalkannya, jangan sampai lalai untuk mendapatkan keutamaannya, kesempatannya sangat terbatas. Betapa tidak sedikit orang yang berleha-leha di hari-hari bulan Ramadhan, lalu Ramadhan lewat begitu saja dan akhirnya dia pun menyesal.
Itulah kewajiban shaum yang bersifat azimah, yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Selanjutnya Allah menjelaskan suatu hukum rukhsah (keringanan) pada kondisi tertentu. Yaitu bagi orang yang sakit atau sedang dalam perjalanan dibolehkan untuk tidak melaksanakan shaum, maka ia wajib untuk mengqadha sejumlah hari yang ia tidak shaum pada hari-hari yang lain.
Para ulama berbeda pendapat tentang sakit yang membolehkan untuk berbuka. Imam Malik, imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i serta para pengikutnya berpendapat, meski dengan pengungkapan yang berbeda-beda, bahwa sakit tersebut yang dimaksud adalah jika ia tetap melaksanakan shaum akan memberi pengaruh dan kesulitan padanya baik sakitnya menjadi semakin parah, membuatnya semakin lemah, atau memperlambat penyembuhan. 
Sedangkan imam Ibnu Sirin, imam Atha bin Abi Rabah dan imam Bukhari berpendapat bahwa sakit apapun dapat membolehkan seseorang untuk berbuka meskipun tidak membuatnya parah atau sakitnya bertambah. Karena Allah menjadikan sakit secara mutlak sebagai sebab bolehnya berbuka sebagaimana menjadikan safar sebagai sebab bolehnya berbuka. Hingga diriwayatkan ada seseorang yang datang kepada imam Ibnu Sirin pada siang hari Ramadhan dan dia sedang makan, ketika selesai ia berkata, “Sesungguhnya jariku membuatku sakit maka aku pun berbuka”. Imam Bukhari berkata, “Aku sakit ringan di Naisabur pada saat Ramadhan, lalu Ishak bin Rohawaih menjengukku bersama sekelompok sahabatnya lalu ia berkata, “Engkau berbuka wahai Abu Abdillah?” Aku pun menjawab, “Ya”. Diriwayatkan Ibnu Juraij bertanya kepada imam Atha, “Dari sakit yang bagaimana aku boleh berbuka?” Ia menjawab, “Dari sakit yang bagaimana saja, sebagaimana Allah berfirman, “Maka barangsiapa di antara kalian keadaannya sakit.”
Berkenaan dengan safar, selama suatu perjalanan disebut safar secara kebiasaan, maka diperbolehkan untuk berbuka, sebagaimana juga diperbolehkan mengqashar shalat dan hukum lainnya. Dalam keadaan safar, apakah lebih baik shaum ataukah berbuka? Para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan shaum itu lebih baik seperti pendapat imam Malik dan Abu Hanifah, ada yang mengatakan berbuka lebih baik seperti pendapat imam Ahmad dan kelompok ulama lainnya, dan ada juga yang mengatakan keduanya adalah pilihan, tidak ada yang dianggap lebih afdhal salah satunya. Namun yang jelas perlu diperhatikan kondisi orang yang safar tersebut, jika ia merasa berat dengan shaum maka lebih baik untuk berbuka, bahkan dalam suatu kondisi yang menuntut dia untuk berbuka tetapi ia tetap memaksakan shaum, ia dianggap berdosa. Dan jika shaum itu terasa ringan baginya, maka bisa dianggap shaum lebih baik. Atau bisa dikatakan juga sebagai pilihan, tidak ada yang lebih baik jika kondisinya pertengahan. Dan dalam berbagai kondisi tersebut, secara prinsip tetap saja orang yang sedang safar dibolehkan untuk berbuka. Wallahu A’lam.
Selain karena sakit dan safar, orang yang wajib qadha karena meninggalkan shaum adalah wanita yang haid dan nifas. Hanya saja bagi mereka berdua sama sekali tidak boleh melaksanakan shaum. Sebagaimana hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda :
أَلَيْسَتْ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
“Bukankah apabila perempuan itu haid ia tidak shalat dan tidak shaum? Maka itulah suatu kekurangan dalam agamanya.” (HR. Bukhari, no. 1951).
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
Dari Mu'adzah dia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata; 'Kenapa wanita haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha' shalat?’ Aisyah menjawab; ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah?’ Aku menjawab; ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab; ‘Kami dahulu mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat'. (HR. Muslim, no. 335).
Kedua hadits di atas berkenaan dengan wanita yang haid, sedangkan wanita yang nifas diqiyaskan kepadanya karena terdapat persamaan di antara keduanya.
Selanjutnya adalah ayat,
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “yuthiqunahu”. Pertama, ada yang menafsirkan dengan makna “al-jahdu”  yang berarti merasa berat atau adanya kesulitan. Berdasarkan tafsir ini maka maknanya, “Dan terhadap orang-orang yang merasa berat melaksanakan shaum, maka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” Huruf “wawu” dalam ayat diatas adalah ‘athaf (penghubung) kepada ayat sebelumnya yaitu “‘alaikumush shiyam” , maka di sini juga dimaknai wajib membayar fidyah.
Orang-orang yang termasuk kategori berat dalam melaksanakan shaum ini adalah orang yang telah lanjut usia.  Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir ayat ini, “Yaitu berkenaan dengan orang yang lanjut usia yang tidak mampu shaum, kemudian ia lemah, maka ia diberi keringanan untuk memberi makan setiap harinya seorang miskin.”[1]
Selain orang tua yang telah lanjut usia, yang dapat dikategorikan orang yang boleh tidak shaum karena berat melakukannya dan wajib membayar fidyah adalah orang yang sakit tetapi tidak bisa diharapkan untuk sembuh, begitu pula orang sebagai pekerja berat. Jika diperhatikan, mereka memiliki kesamaan sifat yaitu berat melaksanakan shaum dan tidak memiliki kesempatan untuk mengqadhanya.
Adapun wanita yang hamil dan menyusui, jika mereka kuat untuk melaksanakan shaum, maka mereka terkena hukum asal wajibnya shaum. Namun jika tidak kuat, mereka boleh untuk berbuka. Lalu apakah mereka wajib qadha ataukan fidyah? Para ulama berbeda pendapat. Pertama, wajib fidyah tidak wajib qadha, pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Kedua, wajib qadha tidak wajib fidyah, ini pendapat imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Abu Ubaid dan Abu Tsaur. Ketiga, wajib qadha dan fidyah, ini pendapat imam Syafi’i. Keempat, wanita hamil wajib qadha tidak wajib fidyah, dan wanita menyusui wajib qadha dan fidyah.
Sebab perbedaan pendapat mereka adalah apakah wanita hamil dan menyusui itu lebih tepat disamakan kepada orang yang sakit ataukah kepada orang yang berat melaksanakan shaum. Jika lebih disamakan kepada orang yang sakit berarti wajib qadha, tidak wajib fidyah, dan jika lebih disamakan kepada orang yang berat melaksanakannya berarti wajib fidyah, tidak wajib qadha. Ulama yang memandang bahwa mereka berdua memiliki segi kesamaan dengan keduanya maka mereka wajib qadha dan fidyah. Dan ada juga yang membedakan di antara keduanya.
Yang jelas, hamil dan menyusui bukanlah sebab dibolehkannya berbuka karena tidak ada ayat Al-Qur’an ataupun hadits yang menyebutkan hal itu. Mereka dibolehkan berbuka itu karena suatu alasan, bisa karena ada rasa sakit, atau khawatir sakit baik bagi dirinya maupun bagi janinnya, atau khawatir bertambah sakit, maka alasan-alasan ini masuk kepada kategori orang yang sakit, sehingga hukumnya termasuk orang yang wajib qadha, tidak wajib fidyah. Adapun jika disamakan seperti orang tua lanjut usia yang tidak mampu shaum, tentu berbeda, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha shaum, sedangkan wanita hamil dan menyusui memiliki kesempatan untuk mengqadhanya. Wallahu A’lam.
Kedua, ada yang menafsirkan kata “yuthiqunahu” dengan makna “al-qudrah” (kemampuan). Berarti, “Dan terhadap orang-orang mampu melaksanakan shaum, maka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” Ini maksudnya adalah pada tahap awal kewajiban shaum Ramadhan yaitu dengan diberikan pilihan bagi orang yang mampu melaksanakan shaum untuk melaksanakan shaum ataupun tidak melaksanakannya, jika tidak melaksanakannya maka wajib membayar fidyah. Ketentuan ini berlaku di tahap awal saja, dan kemudian dinasakh (dihapus) hukumnya dengan ayat berikutnya bahwa siapapun yang mampu untuk shaum pada bulan Ramadhan maka wajib baginya shaum, tidak ada pilihan.
Sebagaimana diketahui bahwa tahap syariat shaum itu pertama kali kaum muslimin melaksanakan shaum tiga hari pertengahan bulan hijriyah yaitu tanggal 13,14 dan 15 yang disebut shaum ayyamul bidh (أَيَّامُ الْبِيْضِ), dan ini hukumnya sunnah. Dan juga shaum tanggal 10 Muharram yang disebut shaum ‘Asyura yang hukumnya wajib sejak tiba di Madinah. Ini tahap pertama. Lalu tahap kedua turunlah kewajiban shaum Ramadhan pada bulan Sya’ban tahun 2 Hijriyah sekaligus menasakh kewajiban shaum Asyura dan berubah menjadi sunnah. Namun di tahap kedua ini, kewajiban shaumnya masih diberi pilihan apakah melaksanakan shaum atau membayar fidyah. Lalu tahap ketiga, turunlah ayat berikutnya “Syahru Ramadhanaladzi...dst” yang menyebutkan kewajiban shaum Ramadhan tanpa ada pilihan. Shaum pada tahap ini ketentuannya ketika tiba waktu maghrib maka bolehlah makan, minum dan berhubungan suami istri, tetapi ketika telah tidur maka tidak boleh lagi sampai datangnya waktu maghrib berikutnya. Di sini terdapat kesulitan sehingga turunlah ayat berikutnya “Uhilla laum lailatash shiyamir rofatsu...dst” dan ini merupakan tahap terakhir maka sempurnalah syariat shaum dengan bolehnya makan, minum dan berhubungan suami istri pada waktu malam lalu disunnahkannya makan sahur.
Selanjutnya kalimat,
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
“Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati melakukan kebaikan (ibadah tambahan), maka itu lebih baik baginya”
Tathawwu’ artinya melakukan sesuatu dengan kerelaan hati tanpa ada paksaan. Kata tathawwu’ ini menjadi istilah lain dari sunnah menurut para ulama Ushul Fiqih. Ibadah tambahan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah berkenaan dengan orang yang membayar fidyah untuk satu orang miskin, jika ia membayarnya untuk lebih dari satu orang miskin maka itu lebih baik, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Atau juga bisa dimaknai, pada kewajiban shaum Ramadhan di tahap awal yang masih berupa pilihan, jika seseorang melaksanakan shaum lalu dibarengi dengan membayar fidyah, maka itu lebih baik, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri. Adapun pendapat Mujahid yang memaknai dengan memberikan fidyah lebih dari satu mud, ini pendapat yang jauh karena ukuran mud itu sendiri tidak ditetapkan dalam ayat tersebut.[2]
Kalimat,
وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“dan shaum itu baik/lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. "
Kata “khair” di atas bisa ditafsirkan kepada dua makna, yaitu pertama diartikan “baik” maka maknanya “Shaum itu baik bagi kalian jika kalian mengetahui”. Ini dalam posisi tidak dibandingkan, tetapi hanya menyatakan bahwa shaum itu baik bagi diri kita jika kita tahu ilmunya, maksudnya mengetahui keutamaan dan manfaat dari shaum itu sendiri.
Kedua, diartikan “lebih baik” maka ini dalam posisi dibandingkan, dan huruf “wawu” menjadi athaf (penghubung) kepada kalimat sebelumnya. Bisa dimaknai bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan yang tidak merasa sulit untuk shaum maka shaum itu lebih baik bagi mereka. Bisa juga pada tahap awal kewajiban shaum Ramadhan yang masih berupa pilihan antara shaum dan membayar fidyah, maka dalam ayat ini dinyatakan bahwa shaum itu lebih baik.
Wallahu A’lam.


[1] Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, hal. 318
[2] Lihat tafsir At-Tahrir wat Tanwir, Jilid 2, hal. 167

Tidak ada komentar:

Posting Komentar