Minggu, 07 April 2019

Milik siapakah wilayah ini?

Oleh : Muhammad Atim

Suasana Mekah makin ramai dengan pembicaraan orang-orang terhadap nabi akhir zaman yang baru muncul. Sejak diangkatnya Muhammad saw secara resmi menjadi nabi, dengan turunnya wahyu pertama saat ia ber-tahanus di gua Hiro di usianya yang menginjak empat puluh tahun. Satu persatu keluarga beliau serta sahabat-sahabatnya menyatakan diri masuk Islam. Tak sulit bagi mereka menerima kebenaran yang dibawa oleh Muhammad saw, karena sudah lumrah diketahui bahwa ia adalah sosok yang jujur, sangat dipercaya dan tidak pernah berbohong. Belum lama penduduk Mekah menggelari beliau dengan Al-Amiin, orang yang sangat dipercaya. Wahyu yang pertama turun surat Al-‘Alaq ayat 1 sampai 5, berisi ajakan agar manusia mau belajar, membaca apa yang Allah turunkan kepada mereka berupa kebenaran, pentingnya tulisan yang menjadi perantara sampainya ilmu, dan mengingatkan bahwa Allahlah pada hakikatnya yang memberikan ilmu, agar manusia dapat keluar dari kejahiliyahan. Sementara orang-orang yang enggan untuk belajar, lebih memilih mempertahankan kejahiliyahannya. Mereka tidak mau menerima Islam meskipun kejujuran Muhammad saw tidak lagi diragukan dalam diri mereka. Semata-mata mereka terhalangi oleh perasaan gengsi dalam diri mereka karena kedudukan yang telah mereka sandang di tengah kaumnya. Diantaranya pemimpin mereka yaitu Abu Jahal, bapak dari kejahiliyahan. Dengan angkuhnya ia melarang Rasulullah saw shalat, menghalangi da’wahnya, bahkan mengancam karena merasa banyak pengikut. Untuk itu Allah menurunkan ayat-ayat berikutnya dalam surat Al-‘Alaq berkenaan dengannya yang menegaskan bahwa perbuatannya itu akan dibalas dengan siksa yang pedih. Oleh sebab itu, Abu Jahal disebut oleh Rasul sebagai Fir’aun di umat ini.
Terlepas dari hiruk pikuk pergesekan antara orang-orang yang beriman dengan para penentangnya, nun jauh di sana, di luar kota Mekah, ada seorang anak  penggembala kambing. Ia tak ambil pusing dengan apa yang terjadi di tengah masyarakatnya. Ia lebih senang berada di kesunyian bersama kambing-kambingnya. Meski sebenarnya kabar munculnya seorang nabi itu telah sampai ke telinganya. Ia adalah seorang anak remaja yang sedang berusaha mandiri dengan bekerja menggembalakan kambing milik orang lain, agar ia dapat menyambung hidup dengan upah yang diperolehnya itu. Ia tidak merasa terhina dengan pekerjaannya itu. Ia adalah Abdullah bin Mas’ud. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Ibnu Ummi ‘Abd.
Saat duduk termenung menyaksikan kambing-kambinya yang lahap menyantap makanan, tiba-tiba lamunannya terbuyarkan oleh dua sosok manusia yang menghampirinya. Meski tak lagi muda, kedua orang tersebut masih terlihat gagah. Sepertinya mereka berasal dari kalangan terhormat. Keduanya terlihat kelelahan dan kehausan, karena baru saja lari dari kejaran orang-orang kafir Quraisy.
“Wahai anak muda, tolonglah perahkan susu kambing-kambingmu untuk melenyapkan dahaga dan membasahi urat-urat tubuh kami!” pinta kedua orang tersebut.
“Aku tidak bisa melakukannya sebab kambing-kambing ini bukan milikku. Aku diberi amanah oleh pemiliknya untuk memeliharanya” jawab Ibnu Mas’ud.
Kedua lelaki itu tidak gusar oleh penolakan Abdullah bin Mas’ud, bahkan mereka tampak kagum dan gembira. Kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Tunjukkan padaku kambing gibas yang belum dikawinkan dengan pejantan!”
Ibnu Mas’ud tak berpikir lama untuk memenuhi permintaan kedua ini. Karena ia pikir toh tidak akan dapat mengeluarkan susu. Setelah ditunjukkan, lelaki itu menambatkannya dan mengusap-usap puting susunya sambil membaca doa dengan nama Allah. Si penggembala muda itu memandangnya dengan heran. “Mana mungkin kambing betina yang masih muda dan belum pernah dikawinkan bisa menghasilkan susu?” gumamnya dalam hati.
Namun dugaan Ibnu Mas’ud meleset. Puting susu kambing itu membengkak dengan cepat lalu memancarkan susu dengan deras. Sedangkan lelaki yang satunya lagi mencari batu yang cekung di bagian tengahnya untuk menampung susu perahannya. Orang itu meminum susu bergantian dengan kawannya. Ibnu Mas’ud pun mendapat bagian. Sampai ketiganya telah meminum dengan puas, orang tersebut kembali mengusap-usap puting susu kambing tersebut lalu berkata “Menutuplah seperti semula”, maka puting susu itu pun menjadi seperti yang diperintahkannya. Ibnu Mas’ud masih belum percaya dengan peristiwa yang menakjubkan sekaligus mengherankan yang terjadi di hadapannya. Suatu kejadian di luar kebiasaan. Dalam usianya yang belia, pikirannya menerawang dan menilai bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan.
Itulah interaksi pertama Abdullah bin Mas’ud dengan Islam. Orang tersebut adalah Rasulullah saw, dan kawan yang bersamanya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Peristiwa tersebut yang mengantarkannya untuk memeluk Islam. Tak lama kemudian, ia mendatangi Rasulullah saw untuk menyatakan keislamannya, lalu minta diajarkan kata-kata yang diucapkan beliau saat berdoa itu. Dan juga minta diajarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Rasulullah saw mengusap kepalanya seraya berkata, “Engkau adalah anak muda yang pandai dan terdidik.”
Ibnu Mas’ud tumbuh dalam naungan Nubuwah. Ia kemudian tinggalkan penggembalaannya untuk menjadi pembantu setia Rasulullah saw yang senantiasa menyertainya. Ia yang menyiapkan sandal dan tongkatnya ketika hendak pergi. Ketika sampai di majelis yang Rasulullah saw tuju, ia yang melepaskan sandalnya dan memasukkannya ke lengannya serta menyimpan tongkatnya. Ia juga yang menyiapkan siwak beliau. Ia sering menemani beliau dalam perjalanan, sampai menjadi hijab dikala beliau mandi dan bersuci. Bahkan melayani beliau hingga beliau masuk rumah, menyiapkan tempat tidurnya dan membangunkannya pada waktu beliau harus bangun. Sampai ada yang mengira bahwa ia dan ibunya termasuk ahli bait Nabi saw karena seringnya masuk dan keluar rumah beliau.[1] Hingga ia menjadi pemegang rahasia Rasulullah saw. Bahkan ia dikenal sebagai orang yang paling mirip prilaku dan petunjuknya dengan beliau. Ia paling bagus bacaan Al-Qur’annya dan banyak mengetahui tafsirnya. Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang ingin membaca Al-Qur’an dengan segar seperti baru diturunkan maka bacalah seperti bacaan Ibnu Ummi ‘Abd.”[2] Maka tak heran kemudian Ibnu Mas’ud menjadi di antara orang yang paling dekat wasilah (kedudukan)nya dengan Rasulullah saw di surga.
Namun, dalam pandangan orang-orang jahiliyyah, orang seperti Ibnu Mas’ud tidaklah dianggap hebat. Mereka lebih memandang dengan pandangan duniawi yang sempit. Ibnu Mas’ud yang bertubuh tipis dan pendek serta tidak kaya, dan menjadi buruh penggembala kambing dari salah seorang pemuka Quraisy yaitu Uqbah bin Abi Mu’aith, seringkali ia mendapatkan penghinaan dari orang-orang kafir. Tak terkecuali dedengkot mereka, Abu Jahal. Abu Jahal biasa memanggil Ibnu Mas’ud dengan “si bocah penggembala kambing”. Pernah suatu ketika Abu Jahal menangkapnya lalu menyiksanya dan memukulinya. Ibnu Mas’ud meski dengan bodi kecil, tentu ia merasakan sakit dari pukulan-pukulan itu, namun sama sekali tak pernah membuat bergeming karena keimanan yang kokoh di hatinya.
Di sini kita bisa membandingkan antara kedua orang tersebut. Abu Jahal dengan segala harta kekayaannya, kedudukannya dan kesempurnaan fisiknya, sementara Ibnu Mas’ud dengan penampilan yang terbatas, bukan seorang pejabat dan kekurangan harta. Namun bagaimanakah akhir dari keduanya? Kita akan melihat indahnya Islam yang tidak meletakkan kemuliaan pada tampilan luar baik berupa fisik, harta kekayaan dan jabatan, tetapi meletakkannya pada hati yang mau beriman dan raga yang mau beramal shaleh, bagaimana pun kondisi orangnya. Rasulullah saw memandang Ibnu Mas’ud begitu mulia di sisi Allah. Pernah suatu ketika Ibnu Mas’ud memanjat pohon Arok untuk memetik siwak, keadaan betisnya sangat tipis, angin berhembus membuat kedua betisnya tersingkap. Maka sekelompok orang yang ada di situ tertawa melihatnya. Rasulullah saw berkata kepada mereka, “Karena apa kalian tertawa?” Mereka menjawab, “Wahai Nabi Allah, karena tipisnya kedua betisnya!”. Maka Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang diriku ada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya kedua betisnya itu lebih berat dalam timbangan (di hari kiamat) dibandingkan bukit Uhud.”[3]
Abu Jahal merasa gengsi mengikuti ajaran Muhammad saw, meskipun ia sebenarnya kagum terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang sering dibacakan oleh beliau. Beberapa malam ia mencuri-curi dengar bacaan dari Nabi. Namun kesombongan dalam dirinya itu menutupi hatinya dan yang tersisa hanyalah kebencian. Ia tidak mau kalah pamor jabatan dan kekuasaan. Ia merasa paling berkuasa terhadap wilayah yang ditinggalinya, kota Mekah yang memang telah ditetapkan sebagai tanah suci oleh Allah SWT. Ia menjadi semakin beringas dalam memusuhi Islam. Orang-orang yang mengenalnya dahulu sebagai orang yang tajam berfikir dan bijaksana, untuk itu ia digelari dengan Abu Hakam (bapak kebijaksanaan), namun ternyata setelah diutusnya Rasulullah saw, ia seperti orang yang kehilangan akal sehat.
Dengan pongahnya Abu Jahal menindas setiap orang yang masuk Islam. Jika orang tersebut memiliki kedudukan dan kekuatan, ia memarahi dan mengancamnya, ia berkata, “Kamu telah meninggalkan agama bapakmu padahal dia lebih baik darimu, pasti kami akan membodohkan angan-anganmu, merendahkan pendapatmu, dan menurunkan kemuliaanmu.” Jika seorang pedagang, ia berkata, “Pasti kami akan membangkrutkan perdaganganmu dan membinasakan hartamu.” Dan jika seorang yang lemah ia akan memukul dan menyiksanya.[4] 
Maka tak heran Abu Jahal adalah orang yang sangat berambisi ingin menghabisi Muhammad saw dan ajarannya. Ketika mereka berkumpul di Darun Nadwah, tempat membicarakan masalah penting, satu persatu di antara mereka mengusulkan bagaimana menghentikan tersebarnya ajaran Muhammad saw. Ada yang mengusulkan untuk memenjarakannya, ada pula yang mengusulkan agar membuangnya ke tempat lain, tetapi Abu Jahal dengan pikiran jahatnya, ia mengusulkan bahwa tidak ada lagi yang dapat menghentikan da’wah Muhammad saw kecuali dengan membunuhnya, yaitu dengan cara mengirimkan dari setiap kabilah seorang pemuda yang gagah untuk sama-sama menumpahkan darahnya dengan sekali tebas agar darahnya tercecer di setiap kabilah sehingga tidak menimbulkan permalasahan di kemudian hari. Idenya ini disetujui oleh seorang kakek jelmaan iblis yang saat itu hadir. Abu Jahal sendiri yang memimpin operasi pembunuhan Nabi saw bersama sepuluh pemuda lainnya di malam yang gelap. Dengan menyelinap dan pedang yang terasah tajam di tangan, mereka menunggu waktu yang tepat untuk menyergap. Namun dengan pertolongan Allah, Rasulullah saw berhasil lolos dari kepungan mereka tanpa dapat mereka lihat. Kemudian beliau menyusul Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk berhijrah ke Madinah bersamanya.
Kalau Abu Jahal begitu berani menentang Islam, Abdullah bin Mas’ud justru berani dalam menegakkan Islam. Fisiknya yang kecil tak mejadi penghalang untuk menjadi sang pemberani dengan tekad membaja. Ia tercatat sebagai orang pertama setelah Rasulullah saw dalam membaca Al-Qur’an secara terang-terangan di depan Ka’bah di hadapan orang-orang kafir. Zubair bin Awwam ra menceritakan, “Orang yang pertama menjaharkan Al-Qur’an di Mekah setelah Rasulullah saw adalah Abdullah bin Mas’ud. Suatu hari para sahabat Rasulullah saw berkumpul. Mereka berkata, “Demi Allah, orang-orang Quraisy tidak mendengarkan Al-Qur’an ini dijaharkan di hadapan mereka, siapakah orang yang bersedia memperdengarkannya kepada mereka?”. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Saya”. Mereka berkata, “Kami mengkhawatirkanmu dari mereka, sesungguhnya kami menginginkan orang yang memiliki kerabat yang dapat menolong jika mereka hendak menyerang.” Ibnu Mas’ud berkata, “Biarkan aku, Allahlah yang akan menolongku.”
Tanpa keraguan Ibnu Mas’ud melangkahkan kaki di pagi hari menuju Ka’bah. Ia begitu yakin bahwa Ka’bah ini milik Allah, kota Mekah ini milik Allah. Saat sampai di dekat Ka’bah ia membaca dengan suara sangat lantang, “Bismillahirrahmanirrahiim... Ar-Rahman...’Allamal Qur’an... Sementara orang-orang kafir Qurasiy sedang duduk-duduk di tempat perkumpulan mereka. Perlahan mereka mulai mendengar. “Apa yang dibaca oleh Ibnu Ummi ‘Abd?” tanya mereka heran. Ibnu Mas’ud menghadap ke arah mereka sambil terus membaca. Sejurus kemudian mereka sadar bahwa apa yang dibaca oleh Ibnu Mas’ud adalah bagian dari wahyu yang dibawa Muhammad saw. Mereka segera menghampiri, dan tak ayal mereka langsung memukuli wajahnya sampai babak belur. Namun Ibnu Mas’ud tetap saja berusaha membacanya sepanjang ia mampu. Setelah itu ia berpaling kepada para sahabatnya. Mereka berkata, “Inilah yang kami khawatirkan atasmu.” Namun dengan tenang Ibnu Mas’ud menjawab, “Tidaklah musuh-musuh Allah itu lebih hina bagiku daripada sekarang ini. Jika kalian mau, niscaya aku akan pergi kepada mereka dengan yang seperti ini esok hari!” Para sahabat melarangnya, “Tidak. Cukuplah bagimu, engkau telah memperdengarkan kepada mereka apa yang mereka benci.”[5]   
***
Kepergian Rasulullah saw bersama para sahabatnya ke Madinah, tidak membuat ambisi orang-orang kafir untuk menghabisi Islam berhenti. Mereka terus berusaha meneror kaum muslimin. Hingga Rasulullah saw tak tenang dalam tidurnya. Sampai Allah memberikannya penjagaan khusus. Sampai tiba suatu waktu, orang-orang beriman untuk kesekian kalinya melakukan penghadangan terahadap kafilah dagang Quraisy terutama saat mereka pulang dari Syam, yang secara otomatis mereka akan melewati jalur Madinah. Ini sebuah strategi jitu dari Rasulullah saw untuk melemahkan kekuatan mereka yang tak kunjung berhenti memerangi. Saat itu Rasulullah saw memimpin langsung pasukan yang berjumlah 313 orang. Abu Sufyan bin Harb yang memimpin kafilah dagang Quraisy berhasil lolos dari hadangan kaum muslimin. Namun ia terlanjur  memberitahu para pembesar Quraisy atas penghadangan tersebut. Dan mereka telah siap dengan 1300 orang dalam pasukan. Meski kafilah dagang mereka berhasil lolos, tetapi para pembesar kekafiran itu yang sejak awal ingin menghabisi muslimin, urat-urat mereka mendidih untuk tetap melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan 300 orang mengikuti saran Akhnas bin Syarik agar kembali ke Mekah karena tak ada lagi kepentingan untuk pergi karena kafilah dagang mereka telah lolos. Namun Abu Jahal tetap membara, tanpa merasa takut memusuhi Allah dan Rasul-Nya. 1000 orang dalam pasukan itu bersikukuh memerangi muslimin. Mereka datang dengan membawa kemurkaan dan kedengkian. Allah menggambarkan, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi dari jalan Allah. Dan ilmu Allah meliputi setiap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal : 47). Maka meletuslah perang Badar, perang besar pertama yang menjadi kemenangan bagi muslimin pada tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H.
Abu Jahal mati di puncak kemarahannya. Seperti firman Allah, “Matilah kalian dengan kemarahan kalian” (QS. Ali Imran : 119). Orang yang paling angkuh, fir’aun di zaman umat Nabi Muhammad saw ini, ternyata mati justru di tangan dua anak muda belia. Mereka adalah Mu’adz bin Amr bin Al-Jamuh dan Mu’awwidz bin Afra, dari kalangan Anshar.
Abdurrahman bin Auf menceritakan, “Tatkala aku sedang berada di tengah barisan perang Badar, aku menengok ke arah kanan dan kiriku. Kulihat ada dua anak muda yang masih belia. Aku berharap berada pada posisi mereka menjadi paling kuat di antara keduanya.[6] Salah seorang di antara mereka mengerdipkan matanya kepadaku dan berkata, “Wahai paman, apakah kamu mengenal Abu Jahal?”
“Ya”, jawabku. “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?” tanyaku.
“Kudengar dia suka mencaci maki Rasulullah saw. Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya, jika aku sudah melihatnya, maka diriku tak akan berpisah darinya hingga siapakah di antara kami yang lebih dahulu mati!”
Aku tertegun mendengar perkataannya. Lalu pemuda yang satunya lagi mengerdipkan matanya kepadaku dan bertanya seperti itu pula kepadaku. Tak lama kemudian aku melihat Abu Jahal berputar-putar di tengah orang-orang kafir. Lalu aku katakan kepada kedua anak tadi, “Apakah kalian melihat? Itu dia sasaran yang kalian tanyakan.”
Lalu dua pemuda itu bersigap menyerbu dengan menghunus pedang masing-masing lalu keduanya menebas Abu Jahal hingga (hampir) tewas. Kemudian keduanya menemui Rasulullah saw dan mengabarkannya, maka beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian berdua yang telah membunuhnya?” Maka masing-masing dari keduanya menjawab, “Akulah yang membunuhnya”. Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian telah membersihkan pedang kalian?”. Keduanya menjawab, “Belum”. Maka beliau melihat pedang keduanya lalu berkata, “Kalau begitu kalian berdua yang telah membunuhnya dan salabnya (harta benda yang melekat pada tubuh musuh saat dibunuh) untuk Mu’adz bin Amr bin Al-Jamuh.” Kedua anak itu namanya Mu’adz bin Afra dan Mu’adz bin Amr bin Al-Jamuh.”[7]  
Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapakah yang bersedia melihat bagaimana kondisi Abu Jahal?”. Beliau memberi petunjuk dalam pencariannya di tengah-tengah korban, “Jika tak terlihat oleh kalian di antara jasad-jasad yang terbunuh, lihatlah oleh kalian ke bekas luka di lututnya. Sesungguhnya pada suatu hari aku pernah berdesakan dengannya dalam jamuan hidangan Abdullah bin Jud’an, kita berdua saat itu masih kanak-kanak. Aku sedikit lebih besar darinya, aku dorong dia sampai terjatuh dengan kedua lututnya, salah satu lututnya tersebut terluka yang bekasnya masih tetap ada.”[8]
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Saya, wahai Rasulullah!
Ibnu Mas’ud mencarinya di tengah-tengah jasad orang-orang kafir yang terbunuh. Ia menemukannya dalam keadaan sekarat karena tertebas oleh dua anak muda yang telah berlomba membunuhnya itu. “Aku menemukannya di sisa-sisa hidupnya. Aku mengenalinya, lalu aku letakkan kakiku di atas lehernya.” Begitu yang dilakukan Ibnu Mas’ud saat mendapatinya. Ibnu Mas’ud teringat akan pengalaman dirinya bersamanya. “Dahulu, pernah suatu kali ia menangkapku saat di Mekah, lalu ia menyiksaku dan memukulku.”
“Kau Abu Jahal! Apakah Allah telah menghinakanmu wahai musuh Allah?! seloroh Ibnu Mas’ud sambil menarik jenggotnya untuk mendongakkan kepalanya.
Dalam kondisi seperti itu Abu Jahal menjawab, “Dengan apa ia menghinakanku? Apakah aku lebih celaka dari seseorang yang telah kalian bunuh? Atau orang yang kalian bunuh itu justru lebih terhormat? Andaikan saja bukan seorang pembajak tanah yang telah membunuhku.”
Abu Jahal menyadari ia sangat terhina karena dibunuh oleh kalangan Anshar yang memang pekerjaannya adalah petani, bahkan oleh anak muda yang usianya masih belia, yang dalam pandangannya hanyalah orang rendahan.
Ia kemudian bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku, milik siapakah wilayah ini hari ini?”
Ibnu Mas’ud dengan tegas menjawab, “Milik Allah dan Rasul-Nya.”
“Aku sudah menaiki tangga yang sulit wahai bocah penggembala kambing!”
Di saat-saat terakhirnya itu, Abu Jahal masih teringat saja akan kedudukan dan pekerjaan Ibnu Mas’ud semasa di Mekah, dimana ia sering memanggilnya dengan sebutan “si bocah penggembala kambing”.
Setelah dialog itu, Abdullah bin Mas’ud menarik kepalanya dan membawanya ke hadapan Rasulullah saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah kepala musuh Allah, Abu Jahal!
“Allah, tiada tuhan selain Dia”, beliau mengucapkan itu tiga kali. “Allah maha besar. Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya dan mengalahkan pasukan musuh-Nya” lanjut beliau. Lalu beliau bersabda, “Inilah fir’aun umat ini!”
Abu Jahal mati dalam keadaan terhina. Ia telah menemui siksaan Allah yang telah lama menantinya. Begitulah akhir dari kesombongan, keengganan membuka diri untuk menerima hidayah Allah padahal telah nyata dan terang benderang di hadapannya.
Abdullah bin Mas’ud dengan segala keserhanaan dan ketawadhuannya, ia tapaki petunjuk dan bimbingan dari Allah dan rasul-Nya, hingga ia menjadi sahabat Rasulullah saw yang mulia. Bahkan ia menjadi ulama dan termasuk orang yang ikut serta dalam mengemban amanah mengurus wilayah yang kemudian menjadi kekuasaan Islam.
Sedangkan orang yang sok berkuasa terhadap suatu wilayah, berbuat sewenang-wenang, menganiaya orang-orang beriman dan memusuhi Islam dengan sekeras-kerasnya, pada akhirnya Allah menghinakannya. Sangat mudah bagi Allah untuk membinasakannya. Karena semuanya adalah milik Allah. Bumi ini milik Allah, wilayah yang ditempati oleh orang-orang zhalim seperti itu juga milik Allah, sehingga tidak ada hak bagi mereka untuk berlaku sewenang-wenang dengan membuat aturan sesuai kesenangan hawa nafsu mereka. Dengan kepemimpinan orang-orang beriman, semuanya harus tunduk kepada Allah, tunduk pada hukum Allah yang mengatur bumi ini. Ia harus dijadikan acuan dalam mengelola dan mengurus bumi dan manusia yang menempatinya, karena hanya Allahlah yang maha tahu akan kemaslahatan seluruh makhluknya.
Setinggi apapun keangkuhan orang-orang yang merasa berkuasa di muka bumi, karena seluruh wilayah ini milik Allah, Allah akan memenangkan hamba-hamba-Nya yang bertekad untuk menegakkan hukum-Nya. Fir’aun memang akan selalu muncul di setiap zaman, tetapi sudah pasti, dengan kesungguhan orang beriman, pada akhirnya ia akan tumbang.


[1] Yaitu Abu Musa Al-‘Asy’ari berkata, “Aku datang bersama saudaraku dari Yaman lalu aku tinggal beberapa waktu, dan kami tidak mengira Ibnu Mas’ud dan ibunya kecuali termasuk Ahli bait Nabi saw karena seringnya masuk dan keluar ke rumah beliau.” Lihat Siyar A’lam An-Nubala, jilid 1, hal.468
[2] Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala, jilid 1, hal. 476
[3] Lihat Shafwatush-Shafwah, hal.145
[4] Lihat Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam, hal.147
[5] Lihat Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam, hal.144-145
[6] Ini makna dari baina adhla’in minhuma sebagaimana dijelaskan dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih, Jilid 7, hal.538
[7] Muttafaq ‘alaih, shahih Bakhari no.3141 dan shahih Muslim no.1752, nama sebenarnya Mu’awwidz bin Afra tetapi karena dinisbatkan kepada rekannya disebut secara sama menjadi Mu’adz bin Afra, lihat Fathul Bari, Jilid 7, hal.369. Rasulullah saw memberikan salabnya kepada Mu’adz bin Amr bin Al-Jamuh karena keputusan beliau melihat bahwa ia lebih berpengaruh dalam pembunuhannya, lihat Fathul Bari Jilid 6, hal.297, atau juga dikarenakan Mu’awwidz bin Afra terus berperang hingga meninggal setelah itu, lihat Ar-Rahiqul Makhtum, hal.190
[8] Lihat Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam, hal.304

Tidak ada komentar:

Posting Komentar