Apa itu ilmu?
Para ulama berbeda pendapat apakah ilmu itu sesuatu yang nazhari
(butuh kepada penelitian) sehingga perlu didefinisikan, ataukah sesuatu
yang dharuri/badihi (tidak butuh kepada penelitian) sehingga tidak perlu
didefinisikan, karena ia dapat dipahami dengan cepat ketika terlintas di
pikiran. Pada kenyataannya, tidak semua pengetahuan (ma’rifah) itu
dikategorikan sebagai ilmu. Itu menunjukkan bahwa ilmu memiliki kekhasan
tersendiri, sehingga perlu untuk didefinisikan. Untuk itu, ilmu lebih tepat
disebut sebagai sesuatu yang nazhari.
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli menunjukkan
bahwa ilmu itu adalah “mengetahui sesuatu sesuai hakikatnya secara yakin dan
menyingkapnya dengan penyingkapan yang sempurna/menyeluruh.”
Diantaranya imam Al-Ghazali[1] rahimahullah
mendefinisikan ilmu dengan,
مَعْرِفَةُ الشَّيْءِ عَلَى مَا هُوَ بِهِ
“Mengetahui sesuatu sesuai dengan apa yang
ada pada dirinya”[2]
Semakna dengan definisi di atas, dengan redaksi yang
sedikit berbeda imam Ar-Ragib Al-Ashfahani[3] rahimahullah
mendefinisikan,
إِدْرَاكُ الشَّيْءِ بِحَقِيْقَتِهِ
“Mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya”[4]
Sedangkan imam Al-Jurjani[5]
diantara berbagai definisi, beliau memilih definisi untuk disebutkan pertama
kali adalah,
الإِعْتِقَادُ الْجَازِمُ المُطَابِقُ لِلْوَاقِعِ
“Kepercayaan yang yakin yang sesuai dengan kenyataan”.[6]
Imam Asy-Syaukani rahimahullah menambahkan
definisi ilmu dengan karakternya yang dapat menyingkap sesuatu secara sempurna
atau menyeluruh,
صِفَةٌ يَنْكَشِفُ بِهَا الْطَلُوْبُ اِنْكِشَافًا تَامًّا
“Suatu sifat yang dengannya tersingkaplah sesuatu yang
dicari dengan penyingkapan yang sempurna/menyeluruh”.[7]
Dari definisi di atas dapat diketahui kekhasan dari ilmu
yaitu,
Pertama, mengetahui secara yakin. Ini
menunjukkan bahwa tidak semua pengetahuan itu disebut ilmu, karena yang dapat
disebut ilmu hanyalah pengetahuan yang diiringi dengan keyakinan. Maka ada
istilah-istilah lain yang digunakan untuk pengetahuan di bawah ilmu, yaitu :
Azh-Zhan (dugaan kuat), yaitu mengetahui
yang lebih kuat dari dua kemungkinan
Asy-Syak (ragu), yaitu mengetahui secara
seimbang dari dua kemungkinan
Al-Wahm (dugaan lemah), yaitu mengetahui yang lebih lemah dari
dua kemungkinan
Sedangkan tidak memiliki pengetahuan terhadap sesuatu
disebut dengan Al-Jahl (kebodohan). Al-Jahl dibagi dua,
Al-Jahl Al-Basit (kebodohan
sederhana), yaitu tidak ada pengetahuan sama sekali
Al-Jahl Al-Murokkab (kebodohan
bertingkat), yaitu mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang salah, yang
bertentangan dengan hakikat sebenarnya.
Kedua, sesuai dengan hakikatnya. Artinya
ilmu itu telah melalui proses pengujian. Ada bukti dan argumentasi yang kokoh untuk
membangunnya. Sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan dan diyakini sesuai
dengan hakikatnya.
Ketiga, menyingkap dengan penyingkapan yang
sempurna. Artinya, ketika kita telah memiliki ilmu terhadap
sesuatu, kita tidak hanya mengetahui apa yang tampak dari luarnya saja atau
salah satu bagiannya saja, tetapi kita mengetahuinya secara komprehensif. Tidak
seperti beberapa orang buta yang memegang gajah lalu menggambarkannya. Yang
memegang belalainya mengatakan gajah itu panjang, sedangkan yang memegang
telinganya menyebut bahwa gajah itu lebar, sementara yang memegang perutnya
menyebut bahwa gajah itu besar, dst.
Sedangkan wahyu yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
wahyu secara makna istilah yaitu,
كَلَامُ اللهِ تَعَالَى الْمُنَزَّلُ عَلَى نَبِيٍّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ
“Firman Allah ta’ala yang diturunkan kepada nabi.”[8]
Setelah kita mengetahui apa itu ilmu dan apa itu wahyu,
lalu bisakah dikatakan bahwa wahyu itu adalah ilmu?
Sebagaimana dalam pengertian ilmu yang sudah kita bahas,
yaitu “mengetahui sesuatu sesuai hakikatnya secara yakin dan menyingkapnya
dengan penyingkapan yang sempurna/menyeluruh”, dan kita meyakini bahwa
Allah itu Maha Mengetahui, dan dari-Nya pula ilmu-ilmu yang dimiliki oleh
manusia itu berasal, maka tentu saja wahyu yang diberikan kepada para nabi dan
rasul itu adalah ilmu. Bahkan ilmu yang hakiki. Untuk itulah para ulama membagi
ilmu itu kepada dua bagian, yaitu ilmu pemberian khusus dari Allah berupa wahyu
yang diturunkan kepada para nabi dan rasul, dan Dia memilih diantara
hamba-hambanya untuk diberikan wahyu tersebut. Dan ilmu hasil usaha manusia.
Jika melihat pengertian ilmu di atas, hanya ilmu wahyu
saja yang sampai kepada makna hakiki dari ilmu itu sendiri. Karena wahyu dari
Allah itu sudah dapat dipastikan kebenarannya, tidak pernah mengandung
kesalahan, sehingga ia dapat diyakini seratus persen. Kebenaran wahyu Allah ini
telah dikuatkan dengan berbagai mu’jizat yang diturunkan kepada para nabi, yang
membuat manusia yang menyaksikannya tercengang. Begitupun wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad shallallhu ‘alaihi wasallam, tak pernah ada dan tak
akan pernah ada yang mampu membuat suatu tandingan pun dengan ayat-ayat yang ada
di dalamnya. Kemukjizatannya terdapat di dalam semua sisinya, yang secara
perlahan akan terus tersingkap oleh orang-orang yang mentadaburinya.
Fakta-fakta yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dari zaman ke zaman
terus terbukti, dan semuanya telah tercatat di dalam perjalanan sejarah
manusia. Karena itu sudah janji Allah, bahwa Dia akan terus memperlihatkan
tanda-tanda kekuasaan-Nya, hingga orang yang melihat dan menyadarinya mau
beriman.
سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاق وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ، أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
شَهِيْدٌ
“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di seluruh alam
semesta dan di dalam diri mereka hingga menjadi jelas bagi mereka bahwa
Al-Qur’an itu adalah kebenaran, tidakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat : 53).
Sudah menjadi janji Allah pula bahwa wahyu yang terakhir
ini akan terus dijaga keasliannya, tak akan dapat dirubah oleh siapapun. Dan
itu telah terbukti dalam perjalanan sejarah hingga kini dan seterusnya. Allah
berjanji,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan “peringatan”
(Al-Qur’an), dan sungguh benar-benar Kamilah yang menjaganya” (QS.
Al-Hijr : 9).
لَا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ
“Tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari
depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Terpuji” (QS. Fushshilat : 42).
Sedangkan ilmu hasil dari usaha manusia ada yang sampai
kepada derajat qoth’i (dapat dipastikan kebenarannya), dan ada pula yang
hanya sampai kepada derajat zhanni (diduga kuat kebenarannya). Ilmu
manusia yang dapat dikategorikan sebagai qath’i adalah yang termasuk beberapa
hal berikut ini,
Pertama, Awwaliyat. Yaitu mengetahui
sesuatu dengan hanya sekali terlintas dalam pikiran. Misalnya seorang manusia
mengetahui keberadaan dirinya, “seluruhnya” lebih besar dari “sebagian”, satu
itu setengah dari dua, dsb.
Kedua, Mahsusat. Yaitu yang dapat
dijangkau oleh lima panca indra manusia. Misalnya salju itu putih, bulan itu
bulat, dsb.
Ketiga, Wijdaniyyah. Yaitu yang
dapat dijangkau oleh indra batin. Seperti rasa lapar itu menyakitkan, rasa
takut itu mengganggu, sukses itu menyenangkan, dsb.
Keempat, Tajribiyyat. Yaitu ilmu
yang diketahui dengan cara eksperimen yang berulang-ulang. Misalnya api itu
membakar, roti itu mengenyangkan, air itu menghilangkan rasa haus, dsb.
Kelima, Hadasiyyat. Yaitu ilmu yang
diketahui melalui intuisi yang kuat di dalam diri manusia. Misalnya bumi itu
bulat, bulan itu cahayanya berasal dari matahari, dsb.
Keenam, Mutawatirot. Yaitu ilmu yang
diketahui melalui berita yang tersebar pada manusia dengan jumlah yang banyak
yang dimustahilkan kebohongannya. Misalnya mengetahui adanya Ka’bah di Mekkah
melalui pembicaraan orang-orang, padahal kita belum pernah datang secara
langsung ke sana.
Ilmu manusia tersebut, baik yang qoth’i maupun zhanni,
masih tetap berkemungkinan salah. Misalnya ilmu yang diketahui melalui panca
indra, bisa saja panca indra tersebut tidak secara jelas dalam menjangkaunya,
penglihatan yang rabun, pendengaran yang kurang jelas, dsb. Atau yang diketahui
melalui eksperimen, bisa saja eksperimen tersebut dikatakan keliru dan
dikoreksi oleh eksperimen selanjutnya, dst. Imbasnya, ilmu wahyu yang bersifat
qoth’i, dipastikan kebenarannya, ketika dipahami oleh akal manusia, ada
lafazh-lafazh dalam wahyu tersebut yang memberi petunjuk makna (dalalah)
secara qath’i, dan ada pula yang memberi petunjuk makna secara zhanni, sehingga
menimbulkan pemahaman yang berbeda dari para ulama yang memahaminya.
Hal itu karena akal manusia itu sangat terbatas.
Kemampuan yang dimilikinya tidak sempurna. Dan ilmu yang diberikan kepadanya
sedikit.
وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيْلًا
“Dan tidaklah kalian diberi ilmu melainkan hanya
sedikit.” (QS. Al-Isro : 85).
Sedangkan ilmu Allah itu sangat luas tak terhingga.
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي
لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا
بِمِثْلِهِ مَدَدًا
“Katakanlah:
Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (QS. Al-Kahfi : 109).
Bandingannya, antara ilmu yang diberikan kepada manusia
dengan ilmu Allah yang luas itu, bagaikan satu tetes air dibandingkan dengan
lautan yang sangat luas. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nabi Khidir ‘alaihis
salam kepada Nabi Musa ‘alahis salam di dalam kisah mereka berdua.
“Nabi Khidir berlayar bersama Nabi Musa di lautan hingga
tiba di pertemuan lautan, dan tidak ada bumi yang paling banyak airnya kecuali
di laut tersebut. Allah mengutus seekor burung, burung tersebut mengambil air
dari laut tersebut dengan pelatuknya. Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa, “Berapa
banyak yang kamu lihat air yang didapat oleh burung ini? Nabi Musa
menjawab, “Alangkah sedikitnya air yang ia dapatkan.” Lalu Nabi Khidir berkata,
يَا مُوْسَى فَإِنَّ عِلْمِي وَعِلْمِكَ فِي عِلْمِ اللهِ
كَقَدْرِ مَا اسْتَقَى هذَا الْخُطَّافُ مِنْ هذَا الْمَاءِ
“Wahai Musa!
Sesungguhnya ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah seperti ukuran
air yang diambil oleh burung ini dibandingkan dengan air di lautan ini".[9]
Ilmu wahyu yang diberikan langsung oleh Allah kepada para
nabi, tentu saja lebih banyak dan lebih luas daripada ilmu yang dihasilkan
melalui usaha manusia. Walaupun semua ilmu pada hakikatnya berasal dari Allah.
Dialah yang membagi rizki ilmu kepada setiap manusia menurut kadar yang Ia
tentukan. Untuk itu, ketika menurunkan wahyu pertama, Allah mengingatkan bahwa
Dialah yang mengajarkan ilmu kepada manusia.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ.
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan
nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Dialah Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan
melalui pena (tulisan). Dia telah mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya". ” (QS.
Al-‘Alaq : 1-5).
Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan
Rasulullah ﷺ dan kita sebagai umatnya untuk
belajar dengan cara membaca. Bahkan membaca secara berulang. Mengingatkan
pentingnya tulisan sebagai media belajar, pentingnya belajar dan mengajar, dan
bahwa Dialah semata yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Namun, ilmu apa yang ditekankan dalam ayat ini untuk
dipelajari? Tentu saja ilmu wahyu yang Allah sampaikan. Ayat tersebut bermakna,
“Pelajarilah wahyu yang akan disampaikan kepadamu.” Adapun ilmu-ilmu
yang dihasilkan dari usaha manusia, itu dipelajari pada tahap selanjutnya, dan
juga semata-mata yang dapat memberi manfaat dalam rangka mengimplementasikan
ilmu wahyu tersebut.
Jika kita menyadari betapa luasnya ilmu wahyu yang Allah
turunkan, bahkan ia merupakan sumber dari segala ilmu, mengapa kita justeru
lebih banyak mempelajari ilmu-ilmu hasil usaha manusia bahkan yang hanya
berkaitan dengan keperluan duniawi dibanding mempelajari ilmu wahyu ini? Waktu
dan potensi untuk belajar yang Allah berikan, akan dipertanggungjawabkan di
akhirat kelak. Jika kita menyepelekan ilmu wahyu ini, kita termasuk orang yang
dicela oleh Allah melalui lisan Nabi Musa ‘alahis salam kepada Bani
Israil,
أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ
خَيْرٌ
“Apakah kalian
meminta ganti sesuatu yang lebih rendah (manfaat dan kebaikannya) dari sesuatu
yang lebih baik dan bermanfaat?” (QS. Al-Baqarah
: 61).
[1]
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad,
Hujjatul Islam, Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di Tawus tahun 450 H, beliau
mengambil ilmu dari imam Haromain Al-Juwaini, senantiasa menyertainya hingga ia
menjadi orang yang paling kuat pemikirannya di zamannya. Ia memiliki banyak
karya diantaranya Al-Mustashfa, Al-Mankhul, Al-Munqizh minadh dholal, Ihya
‘Ulumuddin, Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, dll. Wafat tahun 505 H.
[2] Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Beirut
: Dar Ibnu Hazm, 2005, hal.38
[3]
Abul Qasim Husain bin Muhammad bin
Mufadhdhol, dikenal dengan Ar-Ragib Al-Ashfahani, berasal dari Ashfahan,
tinggal di Bagdad, menulis karya tentang Tafsir, Adab dan Balagah, diantaranya Al-Mufrodat
fi Gharibil Qur’an, Jami’ut Tafsir, Hallu musytabihatil Qur’an, Muhadharatul Adibba,
Afaninu Balagah, dll. Wafat tahun 502 H
[4] Ar-Ragib Al-Asfahani, Al-Mufrodat fi
Gharibil Qur’an, Mesir: Dar Ibnul Jauzi,
2012, hal.377
[5] Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdurrahman bin
Muhammad Al-Jurjani,
[6] Abdul Qadir Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Beirut
: Maktabah Lubnan, 1985, hal.160
[7] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyadul
Fuhul ila tahqiqil haq min ‘ilmil Ushul, Riyadh : Darul Fadhilah, 2000,
hal.64
[8] Manna’ul Qoththan, Mabahits fii ‘Ulumil
Qur’an, Kairo : Maktabah Wahbah, 1995, hal.27
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, Mesir : Dar Ibnul Jauzi, 2009, Jilid 5, hal.118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar