Sabtu, 16 Maret 2019

Ilmu Wahyu

Oleh Muhammad Atim

Apa itu ilmu?
Para ulama berbeda pendapat apakah ilmu itu sesuatu yang nazhari (butuh kepada penelitian) sehingga perlu didefinisikan, ataukah sesuatu yang dharuri/badihi (tidak butuh kepada penelitian) sehingga tidak perlu didefinisikan, karena ia dapat dipahami dengan cepat ketika terlintas di pikiran. Pada kenyataannya, tidak semua pengetahuan (ma’rifah) itu dikategorikan sebagai ilmu. Itu menunjukkan bahwa ilmu memiliki kekhasan tersendiri, sehingga perlu untuk didefinisikan. Untuk itu, ilmu lebih tepat disebut sebagai sesuatu yang nazhari.
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli menunjukkan bahwa ilmu itu adalah “mengetahui sesuatu sesuai hakikatnya secara yakin dan menyingkapnya dengan penyingkapan yang sempurna/menyeluruh.”
Diantaranya imam Al-Ghazali[1] rahimahullah mendefinisikan ilmu dengan,
مَعْرِفَةُ الشَّيْءِ عَلَى مَا هُوَ بِهِ
“Mengetahui sesuatu sesuai dengan apa yang ada pada dirinya”[2]
Semakna dengan definisi di atas, dengan redaksi yang sedikit berbeda imam Ar-Ragib Al-Ashfahani[3] rahimahullah mendefinisikan,
إِدْرَاكُ الشَّيْءِ بِحَقِيْقَتِهِ
“Mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya”[4]
Sedangkan imam Al-Jurjani[5] diantara berbagai definisi, beliau memilih definisi untuk disebutkan pertama kali adalah,
الإِعْتِقَادُ الْجَازِمُ المُطَابِقُ لِلْوَاقِعِ
“Kepercayaan yang yakin yang sesuai dengan kenyataan”.[6]
Imam Asy-Syaukani rahimahullah menambahkan definisi ilmu dengan karakternya yang dapat menyingkap sesuatu secara sempurna atau menyeluruh,
صِفَةٌ يَنْكَشِفُ بِهَا الْطَلُوْبُ اِنْكِشَافًا تَامًّا
“Suatu sifat yang dengannya tersingkaplah sesuatu yang dicari dengan penyingkapan yang sempurna/menyeluruh”.[7]
Dari definisi di atas dapat diketahui kekhasan dari ilmu yaitu,
Pertama, mengetahui secara yakin. Ini menunjukkan bahwa tidak semua pengetahuan itu disebut ilmu, karena yang dapat disebut ilmu hanyalah pengetahuan yang diiringi dengan keyakinan. Maka ada istilah-istilah lain yang digunakan untuk pengetahuan di bawah ilmu, yaitu :
Azh-Zhan (dugaan kuat), yaitu mengetahui yang lebih kuat dari dua kemungkinan
Asy-Syak (ragu), yaitu mengetahui secara seimbang dari dua kemungkinan
Al-Wahm (dugaan lemah), yaitu mengetahui yang lebih lemah dari dua kemungkinan
Sedangkan tidak memiliki pengetahuan terhadap sesuatu disebut dengan Al-Jahl (kebodohan). Al-Jahl dibagi dua,
Al-Jahl Al-Basit (kebodohan sederhana), yaitu tidak ada pengetahuan sama sekali
Al-Jahl Al-Murokkab (kebodohan bertingkat), yaitu mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang salah, yang bertentangan dengan hakikat sebenarnya.
Kedua, sesuai dengan hakikatnya. Artinya ilmu itu telah melalui proses pengujian. Ada bukti dan argumentasi yang kokoh untuk membangunnya. Sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan dan diyakini sesuai dengan hakikatnya.  
Ketiga, menyingkap dengan penyingkapan yang sempurna. Artinya, ketika kita telah memiliki ilmu terhadap sesuatu, kita tidak hanya mengetahui apa yang tampak dari luarnya saja atau salah satu bagiannya saja, tetapi kita mengetahuinya secara komprehensif. Tidak seperti beberapa orang buta yang memegang gajah lalu menggambarkannya. Yang memegang belalainya mengatakan gajah itu panjang, sedangkan yang memegang telinganya menyebut bahwa gajah itu lebar, sementara yang memegang perutnya menyebut bahwa gajah itu besar, dst.
Sedangkan wahyu yang dimaksud dalam tulisan ini adalah wahyu secara makna istilah yaitu,
كَلَامُ اللهِ تَعَالَى الْمُنَزَّلُ عَلَى نَبِيٍّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ
“Firman Allah ta’ala yang diturunkan kepada nabi.”[8]
Setelah kita mengetahui apa itu ilmu dan apa itu wahyu, lalu bisakah dikatakan bahwa wahyu itu adalah ilmu?
Sebagaimana dalam pengertian ilmu yang sudah kita bahas, yaitu “mengetahui sesuatu sesuai hakikatnya secara yakin dan menyingkapnya dengan penyingkapan yang sempurna/menyeluruh”, dan kita meyakini bahwa Allah itu Maha Mengetahui, dan dari-Nya pula ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia itu berasal, maka tentu saja wahyu yang diberikan kepada para nabi dan rasul itu adalah ilmu. Bahkan ilmu yang hakiki. Untuk itulah para ulama membagi ilmu itu kepada dua bagian, yaitu ilmu pemberian khusus dari Allah berupa wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul, dan Dia memilih diantara hamba-hambanya untuk diberikan wahyu tersebut. Dan ilmu hasil usaha manusia.
Jika melihat pengertian ilmu di atas, hanya ilmu wahyu saja yang sampai kepada makna hakiki dari ilmu itu sendiri. Karena wahyu dari Allah itu sudah dapat dipastikan kebenarannya, tidak pernah mengandung kesalahan, sehingga ia dapat diyakini seratus persen. Kebenaran wahyu Allah ini telah dikuatkan dengan berbagai mu’jizat yang diturunkan kepada para nabi, yang membuat manusia yang menyaksikannya tercengang. Begitupun wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallhu ‘alaihi wasallam, tak pernah ada dan tak akan pernah ada yang mampu membuat suatu tandingan pun dengan ayat-ayat yang ada di dalamnya. Kemukjizatannya terdapat di dalam semua sisinya, yang secara perlahan akan terus tersingkap oleh orang-orang yang mentadaburinya. Fakta-fakta yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dari zaman ke zaman terus terbukti, dan semuanya telah tercatat di dalam perjalanan sejarah manusia. Karena itu sudah janji Allah, bahwa Dia akan terus memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, hingga orang yang melihat dan menyadarinya mau beriman.
سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاق وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ، أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di seluruh alam semesta dan di dalam diri mereka hingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah kebenaran, tidakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat : 53).
Sudah menjadi janji Allah pula bahwa wahyu yang terakhir ini akan terus dijaga keasliannya, tak akan dapat dirubah oleh siapapun. Dan itu telah terbukti dalam perjalanan sejarah hingga kini dan seterusnya. Allah berjanji,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan “peringatan” (Al-Qur’an), dan sungguh benar-benar Kamilah yang menjaganya” (QS. Al-Hijr : 9).
لَا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ
“Tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (QS. Fushshilat : 42).
Sedangkan ilmu hasil dari usaha manusia ada yang sampai kepada derajat qoth’i (dapat dipastikan kebenarannya), dan ada pula yang hanya sampai kepada derajat zhanni (diduga kuat kebenarannya). Ilmu manusia yang dapat dikategorikan sebagai qath’i adalah yang termasuk beberapa hal berikut ini,
Pertama, Awwaliyat. Yaitu mengetahui sesuatu dengan hanya sekali terlintas dalam pikiran. Misalnya seorang manusia mengetahui keberadaan dirinya, “seluruhnya” lebih besar dari “sebagian”, satu itu setengah dari dua, dsb.
Kedua, Mahsusat. Yaitu yang dapat dijangkau oleh lima panca indra manusia. Misalnya salju itu putih, bulan itu bulat, dsb.
Ketiga, Wijdaniyyah. Yaitu yang dapat dijangkau oleh indra batin. Seperti rasa lapar itu menyakitkan, rasa takut itu mengganggu, sukses itu menyenangkan, dsb.
Keempat, Tajribiyyat. Yaitu ilmu yang diketahui dengan cara eksperimen yang berulang-ulang. Misalnya api itu membakar, roti itu mengenyangkan, air itu menghilangkan rasa haus, dsb.
Kelima, Hadasiyyat. Yaitu ilmu yang diketahui melalui intuisi yang kuat di dalam diri manusia. Misalnya bumi itu bulat, bulan itu cahayanya berasal dari matahari, dsb.
Keenam, Mutawatirot. Yaitu ilmu yang diketahui melalui berita yang tersebar pada manusia dengan jumlah yang banyak yang dimustahilkan kebohongannya. Misalnya mengetahui adanya Ka’bah di Mekkah melalui pembicaraan orang-orang, padahal kita belum pernah datang secara langsung ke sana.
Ilmu manusia tersebut, baik yang qoth’i maupun zhanni, masih tetap berkemungkinan salah. Misalnya ilmu yang diketahui melalui panca indra, bisa saja panca indra tersebut tidak secara jelas dalam menjangkaunya, penglihatan yang rabun, pendengaran yang kurang jelas, dsb. Atau yang diketahui melalui eksperimen, bisa saja eksperimen tersebut dikatakan keliru dan dikoreksi oleh eksperimen selanjutnya, dst. Imbasnya, ilmu wahyu yang bersifat qoth’i, dipastikan kebenarannya, ketika dipahami oleh akal manusia, ada lafazh-lafazh dalam wahyu tersebut yang memberi petunjuk makna (dalalah) secara qath’i, dan ada pula yang memberi petunjuk makna secara zhanni, sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda dari para ulama yang memahaminya.
Hal itu karena akal manusia itu sangat terbatas. Kemampuan yang dimilikinya tidak sempurna. Dan ilmu yang diberikan kepadanya sedikit.
وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيْلًا
“Dan tidaklah kalian diberi ilmu melainkan hanya sedikit.” (QS. Al-Isro : 85).
Sedangkan ilmu Allah itu sangat luas tak terhingga.
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (QS. Al-Kahfi : 109).
Bandingannya, antara ilmu yang diberikan kepada manusia dengan ilmu Allah yang luas itu, bagaikan satu tetes air dibandingkan dengan lautan yang sangat luas. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nabi Khidir ‘alaihis salam kepada Nabi Musa ‘alahis salam di dalam kisah mereka berdua.
“Nabi Khidir berlayar bersama Nabi Musa di lautan hingga tiba di pertemuan lautan, dan tidak ada bumi yang paling banyak airnya kecuali di laut tersebut. Allah mengutus seekor burung, burung tersebut mengambil air dari laut tersebut dengan pelatuknya. Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa, “Berapa banyak yang kamu lihat air yang didapat oleh burung ini? Nabi Musa menjawab, “Alangkah sedikitnya air yang ia dapatkan.”  Lalu Nabi Khidir berkata,
يَا مُوْسَى فَإِنَّ عِلْمِي وَعِلْمِكَ فِي عِلْمِ اللهِ كَقَدْرِ مَا اسْتَقَى هذَا الْخُطَّافُ مِنْ هذَا الْمَاءِ
“Wahai Musa! Sesungguhnya ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah seperti ukuran air yang diambil oleh burung ini dibandingkan dengan air di lautan ini".[9]
Ilmu wahyu yang diberikan langsung oleh Allah kepada para nabi, tentu saja lebih banyak dan lebih luas daripada ilmu yang dihasilkan melalui usaha manusia. Walaupun semua ilmu pada hakikatnya berasal dari Allah. Dialah yang membagi rizki ilmu kepada setiap manusia menurut kadar yang Ia tentukan. Untuk itu, ketika menurunkan wahyu pertama, Allah mengingatkan bahwa Dialah yang mengajarkan ilmu kepada manusia.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Dialah Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan melalui pena (tulisan). Dia telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya". (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Rasulullah dan kita sebagai umatnya untuk belajar dengan cara membaca. Bahkan membaca secara berulang. Mengingatkan pentingnya tulisan sebagai media belajar, pentingnya belajar dan mengajar, dan bahwa Dialah semata yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Namun, ilmu apa yang ditekankan dalam ayat ini untuk dipelajari? Tentu saja ilmu wahyu yang Allah sampaikan. Ayat tersebut bermakna, “Pelajarilah wahyu yang akan disampaikan kepadamu.” Adapun ilmu-ilmu yang dihasilkan dari usaha manusia, itu dipelajari pada tahap selanjutnya, dan juga semata-mata yang dapat memberi manfaat dalam rangka mengimplementasikan ilmu wahyu tersebut.
Jika kita menyadari betapa luasnya ilmu wahyu yang Allah turunkan, bahkan ia merupakan sumber dari segala ilmu, mengapa kita justeru lebih banyak mempelajari ilmu-ilmu hasil usaha manusia bahkan yang hanya berkaitan dengan keperluan duniawi dibanding mempelajari ilmu wahyu ini? Waktu dan potensi untuk belajar yang Allah berikan, akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Jika kita menyepelekan ilmu wahyu ini, kita termasuk orang yang dicela oleh Allah melalui lisan Nabi Musa ‘alahis salam kepada Bani Israil,
أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Apakah kalian meminta ganti sesuatu yang lebih rendah (manfaat dan kebaikannya) dari sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat?(QS. Al-Baqarah : 61).


[1] Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, Hujjatul Islam, Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di Tawus tahun 450 H, beliau mengambil ilmu dari imam Haromain Al-Juwaini, senantiasa menyertainya hingga ia menjadi orang yang paling kuat pemikirannya di zamannya. Ia memiliki banyak karya diantaranya Al-Mustashfa, Al-Mankhul, Al-Munqizh minadh dholal, Ihya ‘Ulumuddin, Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, dll. Wafat tahun 505 H.
[2] Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Beirut : Dar Ibnu Hazm,  2005, hal.38
[3] Abul Qasim Husain bin Muhammad bin Mufadhdhol, dikenal dengan Ar-Ragib Al-Ashfahani, berasal dari Ashfahan, tinggal di Bagdad, menulis karya tentang Tafsir, Adab dan Balagah, diantaranya Al-Mufrodat fi Gharibil Qur’an, Jami’ut Tafsir, Hallu musytabihatil Qur’an, Muhadharatul Adibba, Afaninu Balagah, dll. Wafat tahun 502 H
[4] Ar-Ragib Al-Asfahani, Al-Mufrodat fi Gharibil Qur’an, Mesir: Dar Ibnul Jauzi,  2012, hal.377
[5] Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Jurjani, 
[6] Abdul Qadir Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Beirut : Maktabah Lubnan, 1985, hal.160
[7] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila tahqiqil haq min ‘ilmil Ushul, Riyadh : Darul Fadhilah, 2000, hal.64
[8] Manna’ul Qoththan, Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an, Kairo : Maktabah Wahbah, 1995, hal.27
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Mesir : Dar Ibnul Jauzi, 2009, Jilid 5, hal.118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar