Minggu, 29 Oktober 2017

Syarat Menuntut Ilmu 3



Serial Kajian Muqaddimah Ilmu Syar'i - 2
Kelima, mengetahui pentingnya ilmu
Mengetahui pentingnya ilmu artinya seorang penuntut ilmu menundukkan dirinya untuk menuntut ilmu. Karena orang yang tidak mengetahui pentingnya sesuatu, ia tidak akan mau menyibukkan dirinya pada sesuatu itu. Orang yang jahil terhadap sesuatu, akan cenderung memusuhinya. Orang yang menyadari betapa berharganya ilmu, ia akan merasakan kenikmatan darinya. Banyak orang yang telah mengecap nikmatnya ilmu, dianggap sebagai orang yang telah tenggelam dalam lautan ilmu, padahal mengecap nikmatnya ilmu itu belum tentu menunjukkan banyaknya ilmu yang telah ia raup, ia bisa saja meraup ilmu yang sedikit, tetapi yang sedikit itu ia benar-benar merasakan cita rasa darinya dan menjadi malakah dalam dirinya.
Orang yang mampu menyadari pentingnya ilmu akan merasa senang ketika telah meraih ilmu. Seperti para ulama salaf itu, tiada kegembiraan yang paling menggembirakan dalam hidup mereka kecuali setelah meraih ilmu. Semua jerih payah yang telah mereka kerahkan, meski harus melalui perjalanan jauh yang sangat melelahkan, semuanya terobati dengan kegembiraan setelah mereka berhasil meraih ilmu yang dituju.  
Nabi Musa as telah menundukkan dirinya untuk menuntut ilmu. Ia rela untuk meninggalkan tempat tinggalnya demi menempuh perjalanan jauh, kembali lagi ke tempat pertemuan dua laut setelah ia melewatinya, mengikuti ke mana pun Nabi Khidir pergi, ia rela melakukan apa saja untuk menuntut ilmu.
Mengetahui pentingnya ilmu sama halnya dengan memuliakan seluruh yang berkaitan dengan ilmu, baik itu guru, majlis-majlis ilmu, dan buku sebagai wadah disimpannya ilmu. Ibnu Abbas ra, yang dikenal sebagai lautan ilmu, setelah Rasulullah saw wafat, ia mendatangi sahabat-sahabat senior untuk belajar hadits. Ia biasa mendatangi rumah para sahabat dengan menunggu di luar, duduk di atas selendangnya hingga debu-debu melumuri tubuhnya. Ia tetap menunggu tanpa mengetuk pintu sampai sahabat itu keluar. Zaid bin Tsabit ra suatu ketika bertanya, “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membuatmu datang ke sini?! Mengapa engkau tidak berkirim surat saja sehingga aku datang kepadamu?” Ibnu Abbas menjawab, “Aku yang lebih pantas untuk datang kepadamu.Ketika Zaid hendak menaiki keledai, Ibnu Abbas segera berdiri untuk memegangi dan menuntunnya. Zaid segera melarangnya, “Hentikan wahai putra paman Rasulullah saw.” Namun ia menjawab dengan tenang, “Beginilah kami diperintahkan untuk bersikap terhadap orang-orang yang ahli ilmu.”
Suatu ketika khalifah Harun Ar-Rasyid mengutus orang kepada imam Malik bin Anas rahimahullah agar ia mau datang ke istana untuk mengajar kedua anaknya, Amin dan Ma’mun. Namun imam Malik menolak, ia berkata, “Sesungguhnya ilmu itu didatangi, tidak mendatangi.”  Akhirnya Harun Ar-Rasyid mengutus kembali, dan siap mengirimkan kedua anaknya itu untuk belajar di majelisnya. Imam Malik berkata, “Dengan syarat keduanya tidak melangkahi pundak orang-orang, dan duduk dimana saja keduanya mendapat tempat duduk.” Keduanya pun hadir dengan syarat tersebut.
Bahkan Syu’bah berkata,
كُلُّ مَنْ سَمِعْتُ مِنْهُ حَدِيْثًا فَأَنَا عَبْدٌ لَهُ
“Setiap orang yang aku dengar hadits darinya, aku menjadi budak baginya.”
Begitu pun pemuliaan terhadap buku yang berisi ilmu, Abu Thahir bin Abi Shaqr berkata,
هذِهِ كُتُبِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ وَزْنِهَا ذَهَبًا
“Buku-bukuku ini lebih aku sukai dari pada emas yang sama dengan beratnya.”
Keenam, mendurhakai hawa nafsu
Orang yang mengikuti hawa nafsu, pasti akan diserbu oleh angan-angan dan pikiran-pikiran pendek, atau pragmatis dan prasangka-prasangka. Sedangkan orang yang mampu menahan hawa nafsunya, ketika ia condong kepada sesuatu, ia segera mempertimbangkannya dan menuduh diri telah berbuat salah. Orang seperti inilah yang akan mampu menempuh jalan menuntut ilmu dan dapat meraihnya.
Seperti Abu Ashim An-Nabil, ketika ia mendengar hadits dari Syu’bah, datanglah seekor gajah dari Sawad Iraq. Maka para penuntut ilmu hadits ketika itu keluar melihat gajah tersebut. Syu’bah berkata kepada Abu Ashim, “kenapa engkau tidak keluar melihat gajah?” Ia menjawab, “Aku datang ke sini bukan untuk melihat gajah tetapi untuk menulis hadits.” Karena hal itulah ia diberi gelar An-Nabil (orang yang mulia). Maka ia dikenal dengan nama Abu Ashim An-Nabil.
Disebutkan kisah tentang imam As-Suyuthi rahimahullah bahwa ia memiliki jendela yang dapat memanjangkan pandangan ke arah sungai nil. Banyak orang yang datang dari tempat-tempat yang jauh untuk sekedar menyaksikan sungai nil mengalir. Sang imam tinggal di sana selama enam belas tahun, tetapi selama itu ia tidak pernah membuka jendelanya untuk melihat air sungai nil yang mengalir setiap tahun karena kesibukan dia dalam ilmu selama enam belas tahun itu.
Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu harus berusaha untuk tidak mengikuti hawa nafsu sampai hal-hal yang mubah sekalipun, agar dapat meraih ilmu sebagai penggantinya.   
Ketujuh, mengamalkan ilmu.
Sesungguhnya ilmu itu, sebagaimana kata Sufyan bin ‘Uyainah, memanggil untuk diamalkan. Jika dipenuhi, ia akan tetap hadir, namun jika tidak ia akan pergi. Siapa yang tidak mengamalkan ilmunya, ia malah akan menjadi penuntut terhadapnya di akhirat kelak, namun siapa yang mengamalkan ilmunya, Allah akan memberinya rizki dengan ilmu yang belum dia ketahui. Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَاناً (الأنفال: ٢٩)
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan bagi kalian furqan (pembeda). (QS. Al-Anfal : 29).
Furqan adalah yang membuat manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang batil. Ia merupakan ilmu yang datang dari sisi Allah. Ali bin Abi Thalib ra menjelaskan,
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَلْ عِنْدَكُمْ كِتَابٌ قَالَ لَا إِلَّا كِتَابُ اللهِ أَوْ فَهْمٌ أُعْطِيَهُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ أَوْ مَا فِي هذِهِ الصَّحِيْفَةِ قَالَ قُلْتُ فَمَا فِي هذِهِ الصَّحِيْفَةِ قَالَ العَقْلُ وَفِكَاكُ الْأَسِيْرِ وَلَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Dari Abi Juhaifah ia berkata, Aku bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, “Apakah kalian memiliki kitab?” Ia menjawab, “Tidak, kecuali Kitab Allah atau pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim, atau apa yang ada pada lembaran ini.” Aku katakan, “Apa yang ada dalam lembaran ini?” Dia menjawab, “Tebusan, membebaskan tawanan, dan jangan seorang muslim dibunuh karena membunuh seorang kafir (yang berhak dibunuh).” (HR. Bukhari, Kitab Al-Ilmi Bab Kitabatul Ilmi, no.111).
Pemahaman yang diberikan oleh Allah kepada seorang muslim itulah yang disebut ilmu Ladunni (ilmu yang langsung dari sisi Allah). Ilmu ini didapatkan oleh sebab seseorang bertakwa kepada Allah dalam rangka mengamalkan ilmunya. Karena dalam hal ini ilmu terbagi dua, ilmu yang didapatkan dengan kesungguhan (al-jiddu) dan ilmu yang didapatkan dengan pemberian Allah langsung (al-jaddu) dan ia merupakan hasil dari ilmu pertama yang diamalkan. Seperti halnya Nabi Sulaiman as,
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ. فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلاًّ آتَيْنَا حُكْماً وَعِلْماً (الأنبياء: ٧٨-٧٩)
 “Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu. Maka Kami memberikan pemahaan kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat), dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu... (QS. Al-Anbiya : 78-79).
Pemahaman ini merupakan tiupan rabbani, cahaya ilahi yang disusupkan ke dalam hati Sulaiman yang membuat Sulaiman dapat menentukan hukum tersebut. Ini juga bisa didapatkan oleh manusia biasa selain Nabi, yaitu oleh sebab seseorang bertakwa dalam rangka mengamalkan ilmunya. Seperti tak sedikit ilmu yang telah didapatkan oleh para ulama terdahulu. Dengan ilmu pemberian Allah ini, banyak hal-hal yang rumit yang kemudian dapat dipecahkan. Oleh karena itu Ibnu Malik berkata dalam muqoddimah kitab Tashilnya,
وَإِذَا كَانَتِ الْعُلُوْمُ مِنَحًا إِلهِيَّةً، وَمَوَاهِبَ اِخْتِصَاصِيَّةً، فَغَيْرُ مُسْتَبْعَدٍ أَنْ يُدَّخَرَ لِبَعْضِ الْمُتَأَخِّرِيْنَ مَا عُسِرَ عَلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ
“Apabila ilmu-ilmu itu adalah pemberian Allah dan karunia keistemewaan, maka tidak aneh jika disimpan untuk sebagian orang-orang belakangan apa yang terasa sulit bagi kebanyakan orang-orang terdahulu.” (At-Tashil, hal.2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar