Serial Kajian Muqaddimah Ilmu Syar'i - 2
Kelima, mengetahui
pentingnya ilmu
Mengetahui pentingnya ilmu
artinya seorang penuntut ilmu menundukkan dirinya untuk menuntut ilmu. Karena orang
yang tidak mengetahui pentingnya sesuatu, ia tidak akan mau menyibukkan dirinya
pada sesuatu itu. Orang yang jahil terhadap sesuatu, akan cenderung
memusuhinya. Orang yang menyadari betapa berharganya ilmu, ia akan merasakan
kenikmatan darinya. Banyak orang yang telah mengecap nikmatnya ilmu, dianggap
sebagai orang yang telah tenggelam dalam lautan ilmu, padahal mengecap
nikmatnya ilmu itu belum tentu menunjukkan banyaknya ilmu yang telah ia raup,
ia bisa saja meraup ilmu yang sedikit, tetapi yang sedikit itu ia benar-benar
merasakan cita rasa darinya dan menjadi malakah dalam dirinya.
Orang yang mampu menyadari
pentingnya ilmu akan merasa senang ketika telah meraih ilmu. Seperti para ulama
salaf itu, tiada kegembiraan yang paling menggembirakan dalam hidup mereka
kecuali setelah meraih ilmu. Semua jerih payah yang telah mereka kerahkan,
meski harus melalui perjalanan jauh yang sangat melelahkan, semuanya terobati
dengan kegembiraan setelah mereka berhasil meraih ilmu yang dituju.
Nabi Musa as telah
menundukkan dirinya untuk menuntut ilmu. Ia rela untuk meninggalkan tempat
tinggalnya demi menempuh perjalanan jauh, kembali lagi ke tempat pertemuan dua
laut setelah ia melewatinya, mengikuti ke mana pun Nabi Khidir pergi, ia rela
melakukan apa saja untuk menuntut ilmu.
Mengetahui pentingnya ilmu
sama halnya dengan memuliakan seluruh yang berkaitan dengan ilmu, baik itu
guru, majlis-majlis ilmu, dan buku sebagai wadah disimpannya ilmu. Ibnu Abbas
ra, yang dikenal sebagai lautan ilmu, setelah Rasulullah saw wafat, ia
mendatangi sahabat-sahabat senior untuk belajar hadits. Ia biasa mendatangi
rumah para sahabat dengan menunggu di luar, duduk di atas selendangnya hingga
debu-debu melumuri tubuhnya. Ia tetap menunggu tanpa mengetuk pintu sampai
sahabat itu keluar. Zaid bin Tsabit ra suatu ketika bertanya, “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membuatmu
datang ke sini?! Mengapa engkau tidak berkirim surat saja
sehingga aku datang kepadamu?” Ibnu
Abbas menjawab, “Aku
yang lebih pantas untuk datang kepadamu.” Ketika
Zaid hendak menaiki keledai, Ibnu Abbas segera berdiri untuk memegangi dan
menuntunnya. Zaid segera melarangnya, “Hentikan wahai putra paman Rasulullah
saw.” Namun ia menjawab dengan tenang, “Beginilah kami diperintahkan
untuk bersikap terhadap orang-orang yang ahli ilmu.”
Suatu ketika khalifah Harun
Ar-Rasyid mengutus orang kepada imam Malik bin Anas rahimahullah agar ia mau
datang ke istana untuk mengajar kedua anaknya, Amin dan Ma’mun. Namun imam
Malik menolak, ia berkata, “Sesungguhnya ilmu itu didatangi, tidak
mendatangi.” Akhirnya Harun
Ar-Rasyid mengutus kembali, dan siap mengirimkan kedua anaknya itu untuk
belajar di majelisnya. Imam Malik berkata, “Dengan syarat keduanya tidak
melangkahi pundak orang-orang, dan duduk dimana saja keduanya mendapat tempat
duduk.” Keduanya pun hadir dengan syarat tersebut.
Bahkan Syu’bah berkata,
كُلُّ مَنْ سَمِعْتُ
مِنْهُ حَدِيْثًا فَأَنَا عَبْدٌ لَهُ
“Setiap orang yang aku
dengar hadits darinya, aku menjadi budak baginya.”
Begitu pun pemuliaan
terhadap buku yang berisi ilmu, Abu Thahir bin Abi Shaqr berkata,
هذِهِ كُتُبِي
أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ وَزْنِهَا ذَهَبًا
“Buku-bukuku ini lebih
aku sukai dari pada emas yang sama dengan beratnya.”
Keenam, mendurhakai hawa
nafsu
Orang yang mengikuti hawa
nafsu, pasti akan diserbu oleh angan-angan dan pikiran-pikiran pendek, atau
pragmatis dan prasangka-prasangka. Sedangkan orang yang mampu menahan hawa
nafsunya, ketika ia condong kepada sesuatu, ia segera mempertimbangkannya dan
menuduh diri telah berbuat salah. Orang seperti inilah yang akan mampu menempuh
jalan menuntut ilmu dan dapat meraihnya.
Seperti Abu Ashim An-Nabil, ketika
ia mendengar hadits dari Syu’bah, datanglah seekor gajah dari Sawad Iraq. Maka
para penuntut ilmu hadits ketika itu keluar melihat gajah tersebut. Syu’bah
berkata kepada Abu Ashim, “kenapa engkau tidak keluar melihat gajah?” Ia
menjawab, “Aku datang ke sini bukan untuk melihat gajah tetapi untuk menulis
hadits.” Karena hal itulah ia diberi gelar An-Nabil (orang yang mulia). Maka ia
dikenal dengan nama Abu Ashim An-Nabil.
Disebutkan kisah tentang
imam As-Suyuthi rahimahullah bahwa ia memiliki jendela yang dapat memanjangkan
pandangan ke arah sungai nil. Banyak orang yang datang dari tempat-tempat yang
jauh untuk sekedar menyaksikan sungai nil mengalir. Sang imam tinggal di sana
selama enam belas tahun, tetapi selama itu ia tidak pernah membuka jendelanya
untuk melihat air sungai nil yang mengalir setiap tahun karena kesibukan dia
dalam ilmu selama enam belas tahun itu.
Oleh karena itu, seorang
penuntut ilmu harus berusaha untuk tidak mengikuti hawa nafsu sampai hal-hal
yang mubah sekalipun, agar dapat meraih ilmu sebagai penggantinya.
Ketujuh, mengamalkan
ilmu.
Sesungguhnya ilmu itu,
sebagaimana kata Sufyan bin ‘Uyainah, memanggil untuk diamalkan. Jika dipenuhi,
ia akan tetap hadir, namun jika tidak ia akan pergi. Siapa yang tidak
mengamalkan ilmunya, ia malah akan menjadi penuntut terhadapnya di akhirat
kelak, namun siapa yang mengamalkan ilmunya, Allah akan memberinya rizki dengan
ilmu yang belum dia ketahui. Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَاناً (الأنفال: ٢٩)
“Wahai orang-orang yang
beriman! Jika kalian bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan bagi kalian
furqan (pembeda). (QS. Al-Anfal
: 29).
Furqan adalah yang membuat
manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang batil. Ia merupakan ilmu
yang datang dari sisi Allah. Ali bin Abi
Thalib ra menjelaskan,
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَلْ
عِنْدَكُمْ كِتَابٌ قَالَ لَا إِلَّا كِتَابُ اللهِ أَوْ فَهْمٌ أُعْطِيَهُ رَجُلٌ
مُسْلِمٌ أَوْ مَا فِي هذِهِ الصَّحِيْفَةِ قَالَ قُلْتُ فَمَا فِي هذِهِ
الصَّحِيْفَةِ قَالَ العَقْلُ وَفِكَاكُ الْأَسِيْرِ وَلَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ
بِكَافِرٍ
“Dari Abi Juhaifah ia berkata,
Aku bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, “Apakah kalian memiliki kitab?” Ia
menjawab, “Tidak, kecuali Kitab Allah atau pemahaman yang diberikan kepada
seorang muslim, atau apa yang ada pada lembaran ini.” Aku katakan, “Apa
yang ada dalam lembaran ini?” Dia menjawab, “Tebusan, membebaskan tawanan, dan
jangan seorang muslim dibunuh karena membunuh seorang kafir (yang berhak
dibunuh).” (HR. Bukhari, Kitab
Al-Ilmi Bab Kitabatul Ilmi, no.111).
Pemahaman yang diberikan oleh Allah kepada
seorang muslim itulah yang disebut ilmu Ladunni (ilmu yang langsung dari sisi
Allah). Ilmu ini didapatkan oleh sebab seseorang bertakwa kepada Allah dalam
rangka mengamalkan ilmunya. Karena dalam hal ini ilmu terbagi dua, ilmu yang
didapatkan dengan kesungguhan (al-jiddu) dan ilmu yang didapatkan dengan
pemberian Allah langsung (al-jaddu) dan ia merupakan hasil dari ilmu
pertama yang diamalkan. Seperti halnya Nabi Sulaiman as,
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ
إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا
لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ. فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ
وَكُلاًّ آتَيْنَا حُكْماً وَعِلْماً (الأنبياء: ٧٨-٧٩)
“Dan
(ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan
mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik
kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu. Maka Kami
memberikan pemahaan kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat), dan
kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu... (QS. Al-Anbiya :
78-79).
Pemahaman ini merupakan tiupan rabbani,
cahaya ilahi yang disusupkan ke dalam hati Sulaiman yang membuat Sulaiman dapat
menentukan hukum tersebut. Ini juga bisa didapatkan oleh manusia biasa selain
Nabi, yaitu oleh sebab seseorang bertakwa dalam rangka mengamalkan ilmunya. Seperti
tak sedikit ilmu yang telah didapatkan oleh para ulama terdahulu. Dengan ilmu
pemberian Allah ini, banyak hal-hal yang rumit yang kemudian dapat dipecahkan. Oleh
karena itu Ibnu Malik berkata dalam muqoddimah kitab Tashilnya,
وَإِذَا كَانَتِ الْعُلُوْمُ مِنَحًا إِلهِيَّةً، وَمَوَاهِبَ
اِخْتِصَاصِيَّةً، فَغَيْرُ مُسْتَبْعَدٍ أَنْ يُدَّخَرَ لِبَعْضِ
الْمُتَأَخِّرِيْنَ مَا عُسِرَ عَلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ
“Apabila ilmu-ilmu itu adalah pemberian Allah
dan karunia keistemewaan, maka tidak aneh jika disimpan untuk sebagian
orang-orang belakangan apa yang terasa sulit bagi kebanyakan orang-orang
terdahulu.” (At-Tashil, hal.2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar