Minggu, 29 Oktober 2017

Syarat Menuntut Ilmu 2



Serial Kajian Muqaddimah Ilmu Syar'i - 2
Kedua, Rendah hati (tawadhu)
Ilmu adalah sesuatu yang paling berharga, maka untuk mendapatkannya seseorang harus bersikap tawadhu. Tidaklah seseorang bersikap tawadhu kecuali Allah SWT akan mengangkat derajatnya. Rasulullah saw bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah berkurang harta karena shadaqah, tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan sikap pemaaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang tawadhu karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah).
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian tawadhu, hingga tidak ada seorang pun yang berbangga diri terhadap yang lainnya, dan tidak ada seseorang yang memusuhi yang lainnya.” (HR. Muslim, dari ‘Iyadh bin Himar).
Orang yang sombong tidak akan pernah dapat meraih ilmu. Karena semakin orang bertambah ilmu, harusnya semakin menambah tawadhu, bagaikan padi yang semakin berisi semakin merunduk. Karena inti dari ilmu itu membuat orang semakin mengerti dan menyadari akan kekuasaan Allah, maka selanjutnya muncul perasaan semakin takut kepada Allah, lalu bersikap tawadhu karena Allah.
Hal ini dicontohkan oleh Nabi Musa as saat ia menuntut ilmu kepada Nabi Khidir as. Allah memberikan keteladanan kepada kita saat Musa as berkata kepada Khidir as,
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِي مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً
“Apakah aku boleh mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari yang telah diajarkan kepadamu berupa petunjuk.” (QS. Al-Kahfi : 66).
Dalam setiap untaian ayat dalam kisah Nabi Musa as bersama Khidir ini mengandung petunjuk tentang bagaimana seharusnya menuntut ilmu. Perkataan Nabi Musa as di atas mengandung ketawadhuan seorang murid kepada guru yang hendak belajar. Ia menggunakan bentuk pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu.” Sungguh ini suatu ketawadhuan. Tidak dengan bahasa perintah, apalagi pemaksaan. Lalu mengatakan “agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari yang telah diajarkan kepadamu berupa petunjuk”, ini juga bentuk ketawadhuan, memohon sebagian dari ilmu, tidak seluruh ilmu yang ada padanya.
Seperti iblis yang terlihat bodoh ketika bersikap sombong tidak mau sujud kepada Adam, padahal yang menyuruhnya adalah Allah yang Maha Kuasa. Lantas bukannya memohon ampun kepada Allah, ia malah menyalahkan Allah karena dia anggap telah menyesatkannya. Ia juga mengabadikan permusuhannya dengan manusia, hingga dicap menjadi penghuni neraka.
“Allah bertanya, apa yang menghalangimu (iblis) untuk bersujud ketika Aku perintahkan kamu. Ia menjawab, aku lebih baik dari dia (Adam), engkau ciptakan aku dari api dan engkau ciptakan dia dari tanah. Allah berfirman, turunlah kamu dari surga, tidak layak bagimu bersikap sombong di dalamnya, keluarlah kamu sesungguhnya kamu adalah makhluk yang hina. Ia berkata, tangguhkanlah aku hingga hari mereka dibangkitkan. Allah berfirman, sesungguhnya kamu termasuk yang ditangguhkan (tetap hidup). Ia berkata, karena engkau telah menyesatkan aku, aku benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.” (QS. Al-A’raf : 12-16).
Kesombongan akan membuat seseorang merasa dirinya serba cukup, tidak merasa butuh kepada orang lain, maka hal itu akan membuatnya enggan untuk belajar. Sebagaimana kita tahu, wahyu yang pertama turun kepada Rasulullah saw adalah perintah untuk belajar, menuntut ilmu. Tetapi kemudian ada orang-orang yang sombong seperti Abu Jahal yang enggan bahkan memusuhi Rasulullah saw. Maka kisahnya disebutkan dalam ayat-ayat selanjutnya dalam surat Al-‘Alaq sebagai pelajaran bagi kita. Padahal, sebelumnya ia dikenal sebagai orang yang cerdas, masih muda tetapi telah dimasukkan ke dalam kumpulan orang-orang terhormat di kalangan pembesar Quraisy karena kecerdasannya, sehingga ia dijuluki Abul Hakam (bapak kebijaksanaan), tetapi setelah Islam datang, karena kesombongannya, ia malah menjadi seperti orang yang kehilangan akal, sehingga Rasulullah saw menggelarinya dengan Abu Jahal (bapak kebodohan), bahkan sebagai Fir’aun di umat ini. Allah menyebutkan sikap kesombongan itu,
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
“Sekali-kali tidak. Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena ia memandang dirinya serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq : 6-7).
Ketiga, waro’.
Untuk meraih ilmu, seseorang mesti bersikap waro’, senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa sekecil apapun. Karena ilmu itu adalah cahaya yang berlawanan dengan kegelapan, sedangkan kemaksiatan adalah kegelapan. Ilmu tidak mungkin berdiam di dalam diri seorang pendosa atau orang kafir. Bisa saja ilmu itu mengalir di lisan mereka, tetapi sama sekali tidak melewati tenggorokan mereka, apalagi tembus ke dalam hati lalu menerangi kehidupan mereka. Seperti yang disebutkan oleh Rasulullah saw tentang orang-orang khawarij yang murtad dari Islam,
يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ
“Mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka.” (HR. Ahmad, Hakim, dari Ibnu Umar).
Sikap waro itu dituntut bagi setiap muslim kapan pun dan dimanapun, sebagaimana hadits yang telah terkenal,
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Siapa yang menjaga dari yang syubhat, sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya, dan siapa yang terjatuh kepada kesyubhatan, ia terjatuh kepada yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar batas, dikhawatirkan ia akan menerobosnya. Ketahuilah, bagi setiap raja ada batasan. Sesungguhnya batasan Allah itu adalah hal-hal yang diharamkan oleh-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal daging apabila ia baik maka seluruh tubuhnya baik, dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah dia adalah hati.” (Muttafaq ‘Alaih, dari Nu’man bin Basyir ra).
Dalam hadits tersebut terkandung makna, bahwa baiknya hati seseorang tergantung sikap waro’nya, semakin bertambah sikap waro’ seseorang maka semakin baiklah hatinya.
Suatu ketika Imam Syafi’i mengadukan tentang hapalannya yang sulit,
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ وَنُوْرُ اللهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي
“Aku mengadukan kepada Waki’ buruknya hapalanku, maka ia menunjukkanku agar aku meninggalkan maksiat. Dan memberitahu kepadaku bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang suka bermaksiat.”
Orang yang kurang waro’nya, maka ia akan  mengikuti hawa nafsunya, dan hawa nafsu itu akan mengarahkannya kepada yang diselisihi oleh ilmu. Sedangkan ilmu itu bersanding dengan kelelahan, kesulitan serta berlepas dan menentang hawa nafsu. Orang yang dapat bersabar dalam kesulitan menuntut ilmu itu adalah orang yang waro’. Sedangkan orang yang waro’nya kurang ia akan cenderung mengikuti hawa nafsu.
Rasulullah saw mendidik umatnya termasuk keluarganya untuk bersikap waro’ dalam hal makanan, minuman dan yang lainnya. Suatu ketika, cucunya, Hasan bin Ali ra mengambil satu butir kurma shadaqah dan menggigitnya. Maka beliau segera menyuruh hasan membuangnya, beliau berkata kikh..kikh... dan berusaha mengeluarkannya sampai beliau membuangnya. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya kami adalah ahlul bait, tidak halal bagi kami shadaqah.” Dalam shahih Bukhari dari hadits Anas ra diceritakan bahwa Rasulullah saw melewati kurma, beliau berkeinginan untuk memakannya, tetapi beliau khawatir itu merupakan kurma shadaqah, akhirnya beliau meninggalkannya.”  Itulah sikap waro’, menjaga diri agar jangan ada yang haram masuk ke dalam tubuh sedikit pun.
Begitupun yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Suatu ketika ia diberi makanan oleh budaknya, karena rasa lapar yang mengalahkannya, ia segera memakannya. Tetapi kemudian budaknya itu bertanya, “Wahai Abu Bakar, tahukah engkau darimana makanan itu? Abu Bakar menjawab, tidak. Ia berkata, “Aku dahulu menjadi dukun bagi suatu kaum jahiliyah, kaum itu melihatku lalu memberiku hadiah makanan ini”. Tak ayal Abu Bakar langsung memasukkan jarinya ke mulutnya dan mengeluarkan semua makanan yang telah ia makan.
Termasuk sikap waro’ juga menjaga setiap anggota badan dari perbuatan dosa, dari setiap yang diharamkan oleh Allah.
Keempat, merasa lapar
Pintu-pintu hawa nafsu selain banyak bicara dan banyak tidur, adalah banyak makan. Membiarkan perut selalu dalam keadaan kenyang, akan membuat orang malas untuk belajar, lebih condong kepada dunia dan ingin selalu menambah kenikmatannya. Maka ia menjadi penghalang didapatkannya ilmu. Para ulama mengatakan,
البِطْنَةُ تُذْهِبُ الْفِطْنَةَ
“Penuhnya perut itu  menghilagkan kecerdasan.”
Imam Syafi’i berkata,
مَا رَأَيْتُ سَمِيْنًا عَاقِلاً إِلَّا محمد بْنَ الْحَسَنِ الشَّيْبَانِي
“Aku tidak melihat orang gendut yang berakal (berilmu tinggi) kecuali Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (murid imam Abu Hanifah).”
Syarat ini didasarkan pada perkataan Nabi Musa as,
قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَباً
“Ia berkata kepada anak muda pembantunya, berikanlah makan siang kami, sungguh kami telah menemui kelelahan dalam perjalanan kami ini.” (QS. Al-Kahfi : 62).
Perjalanan menuntut ilmu yang dilakukan oleh Nabi Musa as telah sampai kepada rasa letih dan rasa lapar. Ini menjadi syarat tersendiri untuk dapat meraih ilmu.
Orang yang paling hapal terhadap hadits Nabi saw dari kalangan sahabat adalah Abu Hurairah ra. Bahkan disebutkan ia adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, yaitu sebanyak 5374 hadits, meskipun kebersamaannya dengan rasul cukup singkat yaitu sekitar tiga tahun. Ternyata hal itu disebabkan kefokusannya dalam menuntut ilmu dan menghapal hadits, yang dengan kefakirannya seringkali melalui hari-harinya dengan rasa lapar. Bahkan ia bertarung melawan dirinya karena rasa lapar. Tetapi dengan rasa lapar itu justeru dirinya disiapkan secara jernih untuk menghapal hadits-hadits Rasulullah saw.
Diriwayatkan bahwa imam Syafi’i dibawa ibunya ke Mekkah untuk menghadiri halaqah ilmu di Masjidil Haram. Ia menulis dari para ahli hadits seperti Sufyan bin ‘Uyainah dan yang lainnya. Ia mengumpulkan hadits dan menuliskannya di lembaran-lembaran kulit, hingga rumahnya dipenuhi lembaran-lembaran kulit itu. Ia tutup rumahnya, dan tidak keluar dari rumah kecuali telah menghapal seluruh yang ada di dalam lembaran-lembaran itu. Lalu ia keluar dalam keadaan yang sangat lapar, namun ia telah menghapal seluruh ilmu yang ia tuliskan, sehingga tak perlu membawa lembaran-lembaran itu.
Ternyata, lapar pada kenyataannya dapat membantu seseorang dalam menghapal ilmu. Orang-orang yang fakir itu lebih banyak para penghapal, sedangkan orang-orang kaya sedikit yang menjadi para penghapal. Menghapal sendiri adalah suatu wasilah yang mesti dilakukan dalam meraih ilmu. Untuk itu Allah SWT menjamin Rasulullah saw dapat menghapal Al-Qur’an,
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (١٦) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (٨ا) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (٩ا)
“Janganlah engkau menggerak-gerakkan lisanmu dengan Al-Qur’an agar engkau cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya kewajiban Kamilah engkau dapat menghapalnya dan membacanya. Apabila Kami telah membacakannya maka ikutilah bacaannya. Kemudian kewajiban Kami menjelaskannya.” (QS. Al-Qiyamah : 16-19).
Oleh karena itu, Rasulullah saw mendorong para sahabat untuk menghapalkan hadits-hadits yang diterima  darinya, begitu pula misalnya Umar bin Khattab ra, dan yang lainnya.
Imam Syafi’i berkata,
الأَدَبُ أَنْ تَكْتُبَ أَحْسَنَ مَا سَمِعْتَ، وَأَنْ تَحْفَظَ أَحْسَنَ مَا كَتَبْتَ، وَأَنْ تُحَدِّثَ بِأَحْسَنِ مَا حَفِظْتَ
“Merupakan adab adalah kamu menulis yang terbaik dari yang kamu dengar, menghapalkan yang terbaik dari yang kamu tulis, dan menyampaikan yang terbaik dari yang kamu hapal.”
Beliau mengatakan,
عِلْمِي مَعِي حَيْثُمَا يَمَّمْتُ يَتْبَعُنِي               قَلْبِي وِعَاءٌ لَهُ لَا جَوْفُ صُنْدُوْقِ
إِنْ كُنْتُ فِي الْبَيْتِ كَانَ الْعِلْمُ فِيْهِ مَعِي         أَوْ كُنْتُ فِي السُّوْقِ كَانَ الْعِلْمُ فِي السُّوْقِ
“Ilmuku bersamaku kemana saja aku pergi ia mengikutiku, hatiku adalah wadah baginya, bukan apa yang ada di dalam kotak
Jika aku di rumah maka ilmu di dalamnya bersamaku, atau aku di pasar maka ilmu pun di pasar
Ibnu Hazm Azh-Zhahiri juga mengatakan,
فَإِنْ يُحْرِقُوا الْقِرْطَاسَ لَا يُحْرَقُ الَّذِي تَضَمَّنَهُ الْقِرْطَاسُ بَلْ هُوَ فِي صَدْرِي يَسِيْرُ مَعِي حَيْثُ اِسْتَقَلَتْ رَكَائِبِي وَيَمْكُثُ إِنْ أَمْكُثُ وَيُدْفَنُ فِي قَبْرِي
“Jika mereka membakar kertas, tidak terbakar apa yang dikandung oleh kertas itu. Tetapi ia ada di dadaku, berjalan bersamaku kemana saja kendaraanku membawa. Ia diam jika aku diam, dan ia tertimbun dalam kuburanku.”
Para ulama mengatakan,
لَيْسَ بِعِلْمٍ مَا حَوَى الْقَمْطَرُ مَا الْعِلْمُ إِلَّا مَا حَوَاهُ الصَّدْرُ
“Bukanlah ilmu apa yang ada di dalam buku, ilmu itu tiada lain kecuali apa yang ada di dalam dada.”
Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu perlu menghapal agar dapat menghasilkan ilmu, agar akalnya menjadi kuat dalam mengumpulkan berbagai ilmu, sehingga menjadi bashirah (mata hati) dan keterampilan yang ada di dalam dirinya. Dan aktifitas menghapal itu tidak akan sempurna jika tidak melewati tahap rasa lapar ini. Namun yang dimaksud dengan rasa lapar di sini, bukanlah dalam rangka menyiksa diri sehingga membahayakan bagi kesehatan dan kekuatannya, dan menjadi penyebab timbulnya penyakit. Tetapi semata-mata sebagai sikap pertengahan, secukup apa yang dibutuhkan oleh perut, tidak memperbanyak dan berlebihan, tidak menjadikan makan sebagai urusan utamanya yang dipentingkan, dan tidak menghabiskan waktu terbaiknya semata-mata untuk persoalan perut. Ibnul Jauzi mengatakan,
وَاعْلَمْ أَنَّ الْعَاقِلَ يُحِبُّ أَنْ يَأْكُلَ لِيَبْقَى، وَالْجَاهِلُ يُؤَثِّرُ أَنْ يَبْقَى لِيَأْكُلَ
“Ketahuilah, orang berakal menyukai makan itu agar ia tetap hidup, sedangkan orang bodoh lebih mementingkan hidupnya untuk makan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar