Serial Kajian Muqaddimah Ilmu Syar'i - 2
Kedua, Rendah hati (tawadhu)
Ilmu adalah sesuatu yang
paling berharga, maka untuk mendapatkannya seseorang harus bersikap tawadhu.
Tidaklah seseorang bersikap tawadhu kecuali Allah SWT akan mengangkat
derajatnya. Rasulullah saw bersabda,
مَا نَقَصَتْ
صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا
تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah berkurang harta
karena shadaqah, tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan sikap pemaaf
kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang tawadhu karena Allah kecuali Allah
akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah).
إِنَّ اللهَ
أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا
يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah
mewahyukan kepadaku agar kalian tawadhu, hingga tidak ada seorang pun yang
berbangga diri terhadap yang lainnya, dan tidak ada seseorang yang memusuhi
yang lainnya.” (HR.
Muslim, dari ‘Iyadh bin Himar).
Orang yang sombong tidak
akan pernah dapat meraih ilmu. Karena semakin orang bertambah ilmu, harusnya
semakin menambah tawadhu, bagaikan padi yang semakin berisi semakin merunduk.
Karena inti dari ilmu itu membuat orang semakin mengerti dan menyadari akan
kekuasaan Allah, maka selanjutnya muncul perasaan semakin takut kepada Allah, lalu
bersikap tawadhu karena Allah.
Hal ini dicontohkan oleh
Nabi Musa as saat ia menuntut ilmu kepada Nabi Khidir as. Allah memberikan
keteladanan kepada kita saat Musa as berkata kepada Khidir as,
هَلْ
أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِي مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً
“Apakah aku boleh
mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari yang telah diajarkan
kepadamu berupa petunjuk.” (QS. Al-Kahfi : 66).
Dalam setiap untaian ayat
dalam kisah Nabi Musa as bersama Khidir ini mengandung petunjuk tentang
bagaimana seharusnya menuntut ilmu. Perkataan Nabi Musa as di atas mengandung
ketawadhuan seorang murid kepada guru yang hendak belajar. Ia menggunakan
bentuk pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu.” Sungguh ini suatu
ketawadhuan. Tidak dengan bahasa perintah, apalagi pemaksaan. Lalu mengatakan “agar
engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari yang telah diajarkan kepadamu berupa
petunjuk”, ini juga bentuk ketawadhuan, memohon sebagian dari ilmu, tidak
seluruh ilmu yang ada padanya.
Seperti iblis yang terlihat
bodoh ketika bersikap sombong tidak mau sujud kepada Adam, padahal yang
menyuruhnya adalah Allah yang Maha Kuasa. Lantas bukannya memohon ampun kepada
Allah, ia malah menyalahkan Allah karena dia anggap telah menyesatkannya. Ia
juga mengabadikan permusuhannya dengan manusia, hingga dicap menjadi penghuni
neraka.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ
مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ (12) قَالَ فَاهْبِطْ
مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ
الصَّاغِرِينَ (13) قَالَ أَنظِرْنِي
إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ (14) قَالَ إِنَّكَ مِنَ
الْمُنظَرِينَ (15) قَالَ فَبِمَا
أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ (16)
“Allah bertanya, apa yang
menghalangimu (iblis) untuk bersujud ketika Aku perintahkan kamu. Ia menjawab,
aku lebih baik dari dia (Adam), engkau ciptakan aku dari api dan engkau
ciptakan dia dari tanah. Allah berfirman, turunlah kamu dari surga, tidak layak
bagimu bersikap sombong di dalamnya, keluarlah kamu sesungguhnya kamu adalah
makhluk yang hina. Ia berkata, tangguhkanlah aku hingga hari mereka
dibangkitkan. Allah berfirman, sesungguhnya kamu termasuk yang ditangguhkan
(tetap hidup). Ia berkata, karena engkau telah menyesatkan aku, aku benar-benar
akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.” (QS. Al-A’raf : 12-16).
Kesombongan akan membuat
seseorang merasa dirinya serba cukup, tidak merasa butuh kepada orang lain,
maka hal itu akan membuatnya enggan untuk belajar. Sebagaimana kita tahu, wahyu
yang pertama turun kepada Rasulullah saw adalah perintah untuk belajar,
menuntut ilmu. Tetapi kemudian ada orang-orang yang sombong seperti Abu Jahal
yang enggan bahkan memusuhi Rasulullah saw. Maka kisahnya disebutkan dalam
ayat-ayat selanjutnya dalam surat Al-‘Alaq sebagai pelajaran bagi kita.
Padahal, sebelumnya ia dikenal sebagai orang yang cerdas, masih muda tetapi
telah dimasukkan ke dalam kumpulan orang-orang terhormat di kalangan pembesar
Quraisy karena kecerdasannya, sehingga ia dijuluki Abul Hakam (bapak
kebijaksanaan), tetapi setelah Islam datang, karena kesombongannya, ia malah
menjadi seperti orang yang kehilangan akal, sehingga Rasulullah saw
menggelarinya dengan Abu Jahal (bapak kebodohan), bahkan sebagai Fir’aun di
umat ini. Allah menyebutkan sikap kesombongan itu,
كَلَّا إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
“Sekali-kali tidak.
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena ia memandang dirinya
serba cukup.” (QS.
Al-‘Alaq : 6-7).
Ketiga, waro’.
Untuk meraih ilmu, seseorang
mesti bersikap waro’, senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa sekecil
apapun. Karena ilmu itu adalah cahaya yang berlawanan dengan kegelapan,
sedangkan kemaksiatan adalah kegelapan. Ilmu tidak mungkin berdiam di dalam
diri seorang pendosa atau orang kafir. Bisa saja ilmu itu mengalir di lisan
mereka, tetapi sama sekali tidak melewati tenggorokan mereka, apalagi tembus ke
dalam hati lalu menerangi kehidupan mereka. Seperti yang disebutkan oleh
Rasulullah saw tentang orang-orang khawarij yang murtad dari Islam,
يَقْرَؤُوْنَ
الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ
“Mereka membaca Al-Qur’an
tetapi tidak melewati tenggorokan mereka.” (HR. Ahmad, Hakim, dari Ibnu Umar).
Sikap waro itu dituntut bagi
setiap muslim kapan pun dan dimanapun, sebagaimana hadits yang telah terkenal,
إِنَّ الْحَلَالَ
بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ
كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ
وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى
حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى
أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا
صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا
وَهِيَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya yang halal
itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara
yang syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Siapa yang menjaga
dari yang syubhat, sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya, dan
siapa yang terjatuh kepada kesyubhatan, ia terjatuh kepada yang haram, seperti
seorang penggembala yang menggembala di sekitar batas, dikhawatirkan ia akan
menerobosnya. Ketahuilah, bagi setiap raja ada batasan. Sesungguhnya batasan
Allah itu adalah hal-hal yang diharamkan oleh-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya di
dalam tubuh itu ada segumpal daging apabila ia baik maka seluruh tubuhnya baik,
dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah dia adalah hati.” (Muttafaq ‘Alaih, dari Nu’man bin Basyir
ra).
Dalam hadits tersebut
terkandung makna, bahwa baiknya hati seseorang tergantung sikap waro’nya,
semakin bertambah sikap waro’ seseorang maka semakin baiklah hatinya.
Suatu ketika Imam Syafi’i
mengadukan tentang hapalannya yang sulit,
شَكَوْتُ إِلَى
وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي
إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي
بِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ وَنُوْرُ
اللهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي
“Aku mengadukan kepada
Waki’ buruknya hapalanku, maka ia menunjukkanku agar aku meninggalkan maksiat.
Dan memberitahu kepadaku bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak
diberikan kepada orang yang suka bermaksiat.”
Orang yang kurang waro’nya,
maka ia akan mengikuti hawa nafsunya,
dan hawa nafsu itu akan mengarahkannya kepada yang diselisihi oleh ilmu. Sedangkan
ilmu itu bersanding dengan kelelahan, kesulitan serta berlepas dan menentang
hawa nafsu. Orang yang dapat bersabar dalam kesulitan menuntut ilmu itu adalah
orang yang waro’. Sedangkan orang yang waro’nya kurang ia akan cenderung
mengikuti hawa nafsu.
Rasulullah saw mendidik
umatnya termasuk keluarganya untuk bersikap waro’ dalam hal makanan, minuman
dan yang lainnya. Suatu ketika, cucunya, Hasan bin Ali ra mengambil satu butir
kurma shadaqah dan menggigitnya. Maka beliau segera menyuruh hasan membuangnya,
beliau berkata kikh..kikh... dan berusaha mengeluarkannya sampai beliau
membuangnya. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya kami adalah ahlul bait,
tidak halal bagi kami shadaqah.” Dalam shahih Bukhari dari hadits Anas ra
diceritakan bahwa Rasulullah saw melewati kurma, beliau berkeinginan untuk
memakannya, tetapi beliau khawatir itu merupakan kurma shadaqah, akhirnya
beliau meninggalkannya.” Itulah sikap
waro’, menjaga diri agar jangan ada yang haram masuk ke dalam tubuh sedikit
pun.
Begitupun yang dilakukan
oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Suatu ketika ia diberi makanan oleh budaknya,
karena rasa lapar yang mengalahkannya, ia segera memakannya. Tetapi kemudian
budaknya itu bertanya, “Wahai Abu Bakar, tahukah engkau darimana makanan itu?
Abu Bakar menjawab, tidak. Ia berkata, “Aku dahulu menjadi dukun bagi suatu
kaum jahiliyah, kaum itu melihatku lalu memberiku hadiah makanan ini”. Tak ayal
Abu Bakar langsung memasukkan jarinya ke mulutnya dan mengeluarkan semua
makanan yang telah ia makan.
Termasuk sikap waro’ juga
menjaga setiap anggota badan dari perbuatan dosa, dari setiap yang diharamkan
oleh Allah.
Keempat, merasa lapar
Pintu-pintu hawa nafsu
selain banyak bicara dan banyak tidur, adalah banyak makan. Membiarkan perut
selalu dalam keadaan kenyang, akan membuat orang malas untuk belajar, lebih
condong kepada dunia dan ingin selalu menambah kenikmatannya. Maka ia menjadi
penghalang didapatkannya ilmu. Para ulama mengatakan,
البِطْنَةُ
تُذْهِبُ الْفِطْنَةَ
“Penuhnya perut itu menghilagkan kecerdasan.”
Imam Syafi’i berkata,
مَا رَأَيْتُ
سَمِيْنًا عَاقِلاً إِلَّا محمد بْنَ الْحَسَنِ الشَّيْبَانِي
“Aku tidak melihat orang
gendut yang berakal (berilmu tinggi) kecuali Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani
(murid imam Abu Hanifah).”
Syarat ini didasarkan pada
perkataan Nabi Musa as,
قَالَ
لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَباً
“Ia berkata kepada anak
muda pembantunya, berikanlah makan siang kami, sungguh kami telah menemui
kelelahan dalam perjalanan kami ini.” (QS. Al-Kahfi : 62).
Perjalanan menuntut ilmu
yang dilakukan oleh Nabi Musa as telah sampai kepada rasa letih dan rasa lapar.
Ini menjadi syarat tersendiri untuk dapat meraih ilmu.
Orang yang paling hapal
terhadap hadits Nabi saw dari kalangan sahabat adalah Abu Hurairah ra. Bahkan
disebutkan ia adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, yaitu
sebanyak 5374 hadits, meskipun kebersamaannya dengan rasul cukup singkat yaitu
sekitar tiga tahun. Ternyata hal itu disebabkan kefokusannya dalam menuntut
ilmu dan menghapal hadits, yang dengan kefakirannya seringkali melalui
hari-harinya dengan rasa lapar. Bahkan ia bertarung melawan dirinya karena rasa
lapar. Tetapi dengan rasa lapar itu justeru dirinya disiapkan secara jernih
untuk menghapal hadits-hadits Rasulullah saw.
Diriwayatkan bahwa imam
Syafi’i dibawa ibunya ke Mekkah untuk menghadiri halaqah ilmu di Masjidil
Haram. Ia menulis dari para ahli hadits seperti Sufyan bin ‘Uyainah dan yang
lainnya. Ia mengumpulkan hadits dan menuliskannya di lembaran-lembaran kulit,
hingga rumahnya dipenuhi lembaran-lembaran kulit itu. Ia tutup rumahnya, dan
tidak keluar dari rumah kecuali telah menghapal seluruh yang ada di dalam
lembaran-lembaran itu. Lalu ia keluar dalam keadaan yang sangat lapar, namun ia
telah menghapal seluruh ilmu yang ia tuliskan, sehingga tak perlu membawa
lembaran-lembaran itu.
Ternyata, lapar pada
kenyataannya dapat membantu seseorang dalam menghapal ilmu. Orang-orang yang
fakir itu lebih banyak para penghapal, sedangkan orang-orang kaya sedikit yang
menjadi para penghapal. Menghapal sendiri adalah suatu wasilah yang mesti
dilakukan dalam meraih ilmu. Untuk itu Allah SWT menjamin Rasulullah saw dapat
menghapal Al-Qur’an,
لَا تُحَرِّكْ
بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (١٦) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧) فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (٨ا) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (٩ا)
“Janganlah engkau
menggerak-gerakkan lisanmu dengan Al-Qur’an agar engkau cepat-cepat
menguasainya. Sesungguhnya kewajiban Kamilah engkau dapat menghapalnya dan membacanya.
Apabila Kami telah membacakannya maka ikutilah bacaannya. Kemudian kewajiban
Kami menjelaskannya.” (QS.
Al-Qiyamah : 16-19).
Oleh karena itu, Rasulullah
saw mendorong para sahabat untuk menghapalkan hadits-hadits yang diterima darinya, begitu pula misalnya Umar bin
Khattab ra, dan yang lainnya.
Imam Syafi’i berkata,
الأَدَبُ أَنْ
تَكْتُبَ أَحْسَنَ مَا سَمِعْتَ، وَأَنْ تَحْفَظَ أَحْسَنَ مَا كَتَبْتَ، وَأَنْ تُحَدِّثَ
بِأَحْسَنِ مَا حَفِظْتَ
“Merupakan adab adalah
kamu menulis yang terbaik dari yang kamu dengar, menghapalkan yang terbaik dari
yang kamu tulis, dan menyampaikan yang terbaik dari yang kamu hapal.”
Beliau mengatakan,
عِلْمِي مَعِي
حَيْثُمَا يَمَّمْتُ يَتْبَعُنِي قَلْبِي
وِعَاءٌ لَهُ لَا جَوْفُ صُنْدُوْقِ
إِنْ كُنْتُ فِي
الْبَيْتِ كَانَ الْعِلْمُ فِيْهِ مَعِي أَوْ
كُنْتُ فِي السُّوْقِ كَانَ الْعِلْمُ فِي السُّوْقِ
“Ilmuku bersamaku kemana
saja aku pergi ia mengikutiku, hatiku adalah wadah baginya, bukan apa yang ada
di dalam kotak
Jika aku di rumah maka
ilmu di dalamnya bersamaku, atau aku di pasar maka ilmu pun di pasar
Ibnu Hazm Azh-Zhahiri juga
mengatakan,
فَإِنْ يُحْرِقُوا
الْقِرْطَاسَ لَا يُحْرَقُ الَّذِي تَضَمَّنَهُ الْقِرْطَاسُ بَلْ هُوَ فِي صَدْرِي
يَسِيْرُ مَعِي حَيْثُ اِسْتَقَلَتْ رَكَائِبِي وَيَمْكُثُ إِنْ أَمْكُثُ وَيُدْفَنُ
فِي قَبْرِي
“Jika mereka membakar
kertas, tidak terbakar apa yang dikandung oleh kertas itu. Tetapi ia ada di
dadaku, berjalan bersamaku kemana saja kendaraanku membawa. Ia diam jika aku
diam, dan ia tertimbun dalam kuburanku.”
Para ulama mengatakan,
لَيْسَ بِعِلْمٍ
مَا حَوَى الْقَمْطَرُ مَا الْعِلْمُ إِلَّا مَا حَوَاهُ الصَّدْرُ
“Bukanlah
ilmu apa yang ada di dalam buku, ilmu itu tiada lain kecuali apa yang ada di
dalam dada.”
Oleh karena itu, seorang
penuntut ilmu perlu menghapal agar dapat menghasilkan ilmu, agar akalnya
menjadi kuat dalam mengumpulkan berbagai ilmu, sehingga menjadi bashirah (mata
hati) dan keterampilan yang ada di dalam dirinya. Dan aktifitas menghapal itu
tidak akan sempurna jika tidak melewati tahap rasa lapar ini. Namun yang
dimaksud dengan rasa lapar di sini, bukanlah dalam rangka menyiksa diri sehingga
membahayakan bagi kesehatan dan kekuatannya, dan menjadi penyebab timbulnya
penyakit. Tetapi semata-mata sebagai sikap pertengahan, secukup apa yang
dibutuhkan oleh perut, tidak memperbanyak dan berlebihan, tidak menjadikan
makan sebagai urusan utamanya yang dipentingkan, dan tidak menghabiskan waktu
terbaiknya semata-mata untuk persoalan perut. Ibnul Jauzi mengatakan,
وَاعْلَمْ أَنَّ
الْعَاقِلَ يُحِبُّ أَنْ يَأْكُلَ لِيَبْقَى، وَالْجَاهِلُ يُؤَثِّرُ أَنْ يَبْقَى
لِيَأْكُلَ
“Ketahuilah, orang
berakal menyukai makan itu agar ia tetap hidup, sedangkan orang bodoh lebih
mementingkan hidupnya untuk makan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar