Jumat, 27 Oktober 2017

Syarat Menuntut Ilmu 1



Serial Muqoddimah Ilmu Syar’i - 2

Menurut para ulama syarat yang dapat menghasilkan ilmu itu ada tujuh. Salah seorang ulama Mauritania yaitu Hammad bin Almin (1170-1256 H) mengumpulkannya dalam bait nazhomnya yang berisi nasihat penting untuk anak-anak muslimin. Beliau mengatakan :

لَهُ تَغَرَّبْ وَتَوَاضَعْ وَاتَّرِعْ وَجُعْ وَهُنْ وَاعْصِ هَوَاكَ وَاتَّبِعْ

“Untuk menuntut ilmu itu, hendaklah kamu berasing diri, rendah hati, waro’, merasa lapar, mengetahui pentingnya ilmu, mendurhakai hawa nafsu dan ikutilah (ilmu itu dengan amal). 

Pertama, Berasing diri (Al-Ghurbah)

Hendaklah penuntut ilmu syar’i berasing diri dalam arti tidak tersibukan oleh urusan keluarga dan mata pencaharian. Agar ia bisa fokus. Orang yang telah sibuk dalam satu urusan, ia bergumul dalam urusan itu, akan muncul dalam perasaannya sikap senioritas atau menjadi tuan. Sikap seperti ini yang akan menghalangi orang untuk mau bertalaqi (menerima ilmu). Oleh karena itu Umar bin Khattab berkata, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya, 

تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا

“Belajarlah kalian sebelum kalian menjadi tuan.”

Ketika orang sudah menjadi senior atau tuan di keluarganya, atau di tempat kerjanya, atau di suatu bidang tertentu, ini yang akan menghalanginya untuk tawadhu terhadap ilmu. Maka ia mesti mengasingkan diri dari kesenioritasannya itu. 

Dasar syarat ini adalah di dalam Al-Qur’an tentang kisah Nabi Musa as yang menuntut ilmu kepada Nabi Khidir as. Nabi Musa as harus meninggalkan kesenioritasan dan kepemimpinannya di tengah Bani Israil, dan melakukan perjalanan menuju Nabi Khidir, “Ingatlah ketika Musa berkata kepada anak muda pembantunya, “Aku tidak akan berhenti hingga sampai ke pertemuan dua lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (QS. Al-Kahfi: 60).  Begitu pun Nabi kita, Muhammad saw, beliau tidak mendapatkan ilmu dari Allah SWT sampai mengasingkan diri di gua Hira dengan membawa perbekalan dari rumahnya. 

Untuk dapat merealisasikan syarat mengasingkan diri dalam menuntut ilmu di zaman kita ini, barangkali dapat dimaknai dengan dua makna, yaitu gurbah haqiqiyyah (mengasingkan diri dengan makna sebenarnya) dan gurbah syu’uriyyah (mengasingkan diri secara perasaan). 

Dalam gurbah haqiqiyyah seorang penuntut ilmu keluar dari rumahnya, meninggalkan keluarganya dan pekerjaannya untuk secara khusus menuntut ilmu. Ini merupakan bentuk ibadah, ia keluar karena Allah. sebagaimana disebutkan dalam hadits,

مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ

“Siapa yang keluar dalam menuntut ilmu, ia berada di jalan Allah sampai ia pulang.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan, dari Anas bin Malik ra).

Dalam hal ini, ia harus memperhatikan niatnya mesti ikhlas karena Allah, sehingga setiap perjalanan yang dia lalui menjadi pahala yang besar. Bahkan para malaikat pun ikut mendoakan,
وَإِنَّ الْمَلئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًى بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي الْمَاءِ
“Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayap-sayapnya kepada penuntut ilmu karena ridha apa yang ia lakukan, dan sesungguhnya seorang yang berilmu itu dimintakan ampun oleh yang ada di langit dan yang ada di bumi hingga ikan di dalam air.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan shahih, dari Abu Darda ra).

Kemudian ia pulang dengan membawa peningkatan iman dan amal shaleh, kebersihan hati, dan sikap zuhud terhadap dunia. Ia telah mengetahui kadar dunia, bahwa dunia yang manusia berlomba-lomba di dalamnya itu, tidak ada apa-apanya dibanding yang ada di sisi Allah, ia menyadari kemuliaan ilmu yang akan mengantarkannya menuju surga. 

الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا إِلَّا ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا

“Dunia ini terlaknat (jauh dari rahmat Allah), terlaknat apa yang ada di dalamnya kecuali dzikir kepada Allah ta’ala, dan apa yang menyertainya (segala ketaatan kepada Allah) dan seorang yang berilmu atau penuntut ilmu.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan shahih, dari Abu Hurairah ra).

Dalam sejarah Islam, kita mengetahui banyak teladan dari para ulama yang melakukan perjalanan berat dalam menuntut ilmu. Di kalangan sahabat, ada Abdullah bin Unais yang melakukan perjalanan satu bulan hanya untuk mendapatkan satu hadits, begitu pun Anas bin Malik melakukan perjalanan satu bulan demi mendapat satu hadits, dan Jabir bin Abdillah pun sama melakukan perjalanan satu bulan demi beroleh satu hadits. Begitu pun para sahabat lainnya, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, tak sedikit dari mereka bersusah payah menempuh perjalanan jauh demi menuntut ilmu syar’i. Karena mereka meyakini,

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah ra).

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, 

مَا بَقِيَتْ مِنَ الدُّنْيَا حَاضِرَةٌ اشْتَهَرَ فِيْهَا الْحَدِيْثُ إِلَّا دَخَلْتُهَا

“Tidak ada kota yang tersisa di dunia ini yang terkenal di dalamnya ada hadits, kecuali aku telah memasukinya.”

Imam Bukhari pergi dari Naisabur menuju ke Yaman untuk mendapatkan riwayat dari Abdur Razaq bin Himam Ash-Shan’ani walaupun hadits Abdr Razaq telah sampai kepada Bukhari dengan jalur yang rendah, maka ia pergi menuju kepadanya. Ketika ia sampai di Mekkah, dikatakan kepadanya bahwa Abdur Razaq telah meninggal dunia. Ia berpikir untuk kembali ke Bashrah, sesampainya di Bashrah, dikatakan kepadanya bahwa Abdur Razaq masih hidup di Yaman. Ia pun kembali hingga sampai di Mekkah, lalu datanglah seseorang yang mengabarkan kepadanya tentang kematian Abdur Razaq. 

Begitupun Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in melakukan perjalanan dari Baghdad ke Shan’a dengan berjalan kaki tanpa menunggangi kendaraan dalam menuntut ilmu. Begitupun sejumlah besar para ulama lainnya melakukan hal yang sama.

Suhnun keluar dari Qairawan menuju Madinah dengan berjalan kaki untuk menuntut ilmu. Ia tinggal di Mesir selama tiga tahun mendapatkan riwayat dari Ibnul Qasim yang diperoleh dari Malik selama dua puluh tahun. Ketika Ibnul Qasim datang, ia berkata kepadanya, “Aku seorang yang faqir, aku tidak memiliki apa-apa, sedangkan negeriku membutuhkanku dan waktuku sempit. Allah telah mewajibkan aku berhaji, maka akupun berangkat menuju Baitullah. Aku ingin engkau memberikan kepadaku sebagian waktumu yang aku dapat mengkhususkan dengannya dalam menuntut ilmu selain dengan para penuntut ilmu yang lain. Aku ingin memperoleh apa yang telah engkau peroleh selama dua puluh tahun namun dengan waktu yang lebih pendek dari itu. Maka Ibnul Qasim pun mengkhususkan waktunya untuk Suhnun dan menyelesaikan riwayatnya dalam tempo tiga tahun.
Begitu pun para ulama setelahnya yang telah mengerahkan kesungguhan luar biasa dalam menuntut ilmu. Seperti Abu Zur’ah Ar-Razi, dan setelahnya Ad-Daruquthni, dan setelahnya Abu Nu’aim, mereka telah mengerahkan kesungguhan dalam mengumpulkan hadits. Terkenal juga setelahnya Al-Khatib Al-Baghdadi dan Abu Umar bin Abdul Bar, hafizh dari timur dan hafizh dari Barat, keduanya wafat di tahun yang sama. Mereka berdua telah mengumpulkan ilmu yang banyak.

Abu Umar bin Abdil Bar memfokuskan diri selama tiga puluh tahun dalam menyusun kitab A-Tamhid. Ia berkata,

سَمِيْرُ فُؤَادِي مُذْ ثَلَاثِيْنَ حَجَّةً وَكَاشِفُ هَمِّي وَالْمُنَفِّسُ عَنْ كَرْبِي جَمَعْتُ لَهُمْ فِيْهِ كَلَامَ نَبِيِّهِمْ

“Hatiku terjaga di malam hari selama tiga puluh tahun, tersingkaplah kegelisahanku dan terlerailah kesusahanku, aku telah mengumpulkan bagi mereka perkataan Nabi mereka.”

Di zaman ini, banyak orang yang menyepelekan aktifitas menuntut ilmu, mereka menyangka dengan belajar sekali dalam sepekan telah cukup untuk meraih ilmu. 

Suatu ketika Al-Auza’i dan teman-temannya datang kepada imam Malik bin Anas, ia telah menghapalkan Muwatha, mereka berkeinginan untuk mendengarnya langsung dari Malik, mereka ingin mendengarkannya selama empat puluh hari. Namun imam Malik berkata, “Sedikit sekali pemahaman kalian terhadapnya, kitab yang aku susun selama empat puluh tahun, kalian mengambilnya hanya dalam waktu empat puluh hari! Al-Auza’i meninggal sebelum imam Malik, sehingga ia dihitung dalam thabaqah sebelum imam Malik.

Sedangkan makna kedua yaitu gurbah syu’uriyyah (berasing diri secara perasaan), yaitu seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan keluarga dan pekerjaannya tetapi ia mengkhususkan suatu waktu yang terbaik untuk menuntut ilmu. Sebagaimana diketahui bahwa seorang muslim dalam memanaj maktu itu hendaklah memberikan tiga waktu khusus, yaitu waktu untuk beribadah, waktu untuk bermuhasabah dan waktu untuk menuntut ilmu. Tiga waktu inilah yang memberikan gizi bagi ruh, yang setiap manusia membutuhkannya. Dalam menuntut ilmu, hendaklah ia memilih waktu yang padanya ia dapat menjernihkan pikirannya dan dirinya dalam keadaan tentram, tanpa ada rasa kantuk dan sibuk dengan hal lain. Waktu yang terbaik misalnya pada akhir malam, atau di pagi hari yang merupakan waktu yang diberkahi untuk umat ini sebagaimana doa Nabi saw, 

اَللّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُوْرِهَا

“Ya Allah, berkahilah untuk umatku di waktu paginya” (HR. Abu Dawud dari Shokr Al-Ghamidi, dll).

Misalnya seseorang di tengah kesibukannya, ia mengkhususkan seperempat jam untuk menambah ilmunya, atau berapapun sesuai dengan kemampuannya. Lebih bagus lagi jika ia memiliki program yang efektif dalam menambah ilmu sesuai dengan pengalamannya, atau saran dari teman-temannya, atau dalam satu komunitas yang satu sama lain dapat membantu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar