Serial Muqoddimah
Ilmu Syar’i - 2
Menurut para ulama syarat yang dapat menghasilkan ilmu itu ada tujuh. Salah
seorang ulama Mauritania yaitu Hammad bin Almin (1170-1256 H) mengumpulkannya dalam bait nazhomnya yang berisi nasihat penting untuk anak-anak muslimin. Beliau mengatakan :
لَهُ تَغَرَّبْ وَتَوَاضَعْ وَاتَّرِعْ وَجُعْ وَهُنْ
وَاعْصِ هَوَاكَ وَاتَّبِعْ
“Untuk menuntut ilmu itu, hendaklah kamu berasing
diri, rendah hati, waro’, merasa lapar, mengetahui pentingnya ilmu, mendurhakai
hawa nafsu dan ikutilah (ilmu itu dengan amal).
Pertama, Berasing diri (Al-Ghurbah)
Hendaklah penuntut ilmu syar’i berasing diri dalam arti tidak tersibukan
oleh urusan keluarga dan mata pencaharian. Agar ia bisa fokus. Orang yang telah
sibuk dalam satu urusan, ia bergumul dalam urusan itu, akan muncul dalam
perasaannya sikap senioritas atau menjadi tuan. Sikap seperti ini yang akan
menghalangi orang untuk mau bertalaqi (menerima ilmu). Oleh karena itu Umar bin
Khattab berkata, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya,
تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا
“Belajarlah kalian sebelum kalian menjadi tuan.”
Ketika orang sudah menjadi senior atau tuan di keluarganya, atau di tempat
kerjanya, atau di suatu bidang tertentu, ini yang akan menghalanginya untuk
tawadhu terhadap ilmu. Maka ia mesti mengasingkan diri dari kesenioritasannya
itu.
Dasar syarat ini adalah di dalam Al-Qur’an tentang kisah Nabi Musa as yang
menuntut ilmu kepada Nabi Khidir as. Nabi Musa as harus meninggalkan
kesenioritasan dan kepemimpinannya di tengah Bani Israil, dan melakukan
perjalanan menuju Nabi Khidir, “Ingatlah ketika Musa berkata kepada anak
muda pembantunya, “Aku tidak akan berhenti hingga sampai ke pertemuan dua
lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (QS. Al-Kahfi: 60). Begitu pun Nabi kita, Muhammad saw, beliau
tidak mendapatkan ilmu dari Allah SWT sampai mengasingkan diri di gua Hira
dengan membawa perbekalan dari rumahnya.
Untuk dapat merealisasikan syarat mengasingkan diri dalam menuntut ilmu di
zaman kita ini, barangkali dapat dimaknai dengan dua makna, yaitu gurbah
haqiqiyyah (mengasingkan diri dengan makna sebenarnya) dan gurbah
syu’uriyyah (mengasingkan diri secara perasaan).
Dalam gurbah haqiqiyyah seorang penuntut ilmu keluar dari rumahnya,
meninggalkan keluarganya dan pekerjaannya untuk secara khusus menuntut ilmu. Ini
merupakan bentuk ibadah, ia keluar karena Allah. sebagaimana disebutkan dalam
hadits,
مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيْلِ
اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Siapa yang keluar dalam menuntut ilmu, ia berada
di jalan Allah sampai ia pulang.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan, dari Anas bin Malik ra).
Dalam hal ini, ia harus memperhatikan niatnya mesti ikhlas karena Allah,
sehingga setiap perjalanan yang dia lalui menjadi pahala yang besar. Bahkan para
malaikat pun ikut mendoakan,
وَإِنَّ الْمَلئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ
الْعِلْمِ رِضًى بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي الْمَاءِ
“Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan
sayap-sayapnya kepada penuntut ilmu karena ridha apa yang ia lakukan, dan
sesungguhnya seorang yang berilmu itu dimintakan ampun oleh yang ada di langit
dan yang ada di bumi hingga ikan di dalam air.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata: hadits
hasan shahih, dari Abu Darda ra).
Kemudian ia pulang dengan membawa peningkatan iman dan amal shaleh,
kebersihan hati, dan sikap zuhud terhadap dunia. Ia telah mengetahui kadar
dunia, bahwa dunia yang manusia berlomba-lomba di dalamnya itu, tidak ada
apa-apanya dibanding yang ada di sisi Allah, ia menyadari kemuliaan ilmu yang
akan mengantarkannya menuju surga.
الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا إِلَّا
ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Dunia ini terlaknat (jauh dari rahmat Allah),
terlaknat apa yang ada di dalamnya kecuali dzikir kepada Allah ta’ala, dan apa
yang menyertainya (segala ketaatan kepada Allah) dan seorang yang berilmu atau
penuntut ilmu.” (HR.
Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan shahih, dari Abu Hurairah ra).
Dalam sejarah Islam, kita mengetahui banyak teladan dari para ulama yang
melakukan perjalanan berat dalam menuntut ilmu. Di kalangan sahabat, ada
Abdullah bin Unais yang melakukan perjalanan satu bulan hanya untuk mendapatkan
satu hadits, begitu pun Anas bin Malik melakukan perjalanan satu bulan demi
mendapat satu hadits, dan Jabir bin Abdillah pun sama melakukan perjalanan satu
bulan demi beroleh satu hadits. Begitu pun para sahabat lainnya, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in, tak sedikit dari mereka bersusah payah menempuh perjalanan
jauh demi menuntut ilmu syar’i. Karena mereka meyakini,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ
اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari
ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah ra).
Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
مَا بَقِيَتْ مِنَ الدُّنْيَا حَاضِرَةٌ اشْتَهَرَ
فِيْهَا الْحَدِيْثُ إِلَّا دَخَلْتُهَا
“Tidak ada kota yang tersisa di dunia ini yang
terkenal di dalamnya ada hadits, kecuali aku telah memasukinya.”
Imam Bukhari pergi dari Naisabur menuju ke Yaman untuk mendapatkan riwayat
dari Abdur Razaq bin Himam Ash-Shan’ani walaupun hadits Abdr Razaq telah sampai
kepada Bukhari dengan jalur yang rendah, maka ia pergi menuju kepadanya. Ketika
ia sampai di Mekkah, dikatakan kepadanya bahwa Abdur Razaq telah meninggal
dunia. Ia berpikir untuk kembali ke Bashrah, sesampainya di Bashrah, dikatakan
kepadanya bahwa Abdur Razaq masih hidup di Yaman. Ia pun kembali hingga sampai
di Mekkah, lalu datanglah seseorang yang mengabarkan kepadanya tentang kematian
Abdur Razaq.
Begitupun Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in melakukan perjalanan dari
Baghdad ke Shan’a dengan berjalan kaki tanpa menunggangi kendaraan dalam
menuntut ilmu. Begitupun sejumlah besar para ulama lainnya melakukan hal yang
sama.
Suhnun keluar dari Qairawan menuju Madinah dengan berjalan kaki untuk
menuntut ilmu. Ia tinggal di Mesir selama tiga tahun mendapatkan riwayat dari
Ibnul Qasim yang diperoleh dari Malik selama dua puluh tahun. Ketika Ibnul
Qasim datang, ia berkata kepadanya, “Aku seorang yang faqir, aku tidak memiliki
apa-apa, sedangkan negeriku membutuhkanku dan waktuku sempit. Allah telah
mewajibkan aku berhaji, maka akupun berangkat menuju Baitullah. Aku ingin
engkau memberikan kepadaku sebagian waktumu yang aku dapat mengkhususkan
dengannya dalam menuntut ilmu selain dengan para penuntut ilmu yang lain. Aku ingin
memperoleh apa yang telah engkau peroleh selama dua puluh tahun namun dengan
waktu yang lebih pendek dari itu. Maka Ibnul Qasim pun mengkhususkan waktunya
untuk Suhnun dan menyelesaikan riwayatnya dalam tempo tiga tahun.
Begitu pun para ulama setelahnya yang telah mengerahkan kesungguhan luar
biasa dalam menuntut ilmu. Seperti Abu Zur’ah Ar-Razi, dan setelahnya
Ad-Daruquthni, dan setelahnya Abu Nu’aim, mereka telah mengerahkan kesungguhan
dalam mengumpulkan hadits. Terkenal juga setelahnya Al-Khatib Al-Baghdadi dan
Abu Umar bin Abdul Bar, hafizh dari timur dan hafizh dari Barat, keduanya wafat
di tahun yang sama. Mereka berdua telah mengumpulkan ilmu yang banyak.
Abu Umar bin Abdil Bar memfokuskan diri selama tiga puluh tahun dalam
menyusun kitab A-Tamhid. Ia berkata,
سَمِيْرُ فُؤَادِي مُذْ ثَلَاثِيْنَ حَجَّةً وَكَاشِفُ
هَمِّي وَالْمُنَفِّسُ عَنْ كَرْبِي جَمَعْتُ لَهُمْ فِيْهِ كَلَامَ نَبِيِّهِمْ
“Hatiku terjaga di malam hari selama tiga puluh
tahun, tersingkaplah kegelisahanku dan terlerailah kesusahanku, aku telah
mengumpulkan bagi mereka perkataan Nabi mereka.”
Di zaman ini, banyak orang yang menyepelekan aktifitas menuntut ilmu,
mereka menyangka dengan belajar sekali dalam sepekan telah cukup untuk meraih
ilmu.
Suatu ketika Al-Auza’i dan teman-temannya datang kepada imam Malik bin
Anas, ia telah menghapalkan Muwatha, mereka berkeinginan untuk mendengarnya
langsung dari Malik, mereka ingin mendengarkannya selama empat puluh hari. Namun
imam Malik berkata, “Sedikit sekali pemahaman kalian terhadapnya, kitab yang
aku susun selama empat puluh tahun, kalian mengambilnya hanya dalam waktu empat
puluh hari! Al-Auza’i meninggal sebelum imam Malik, sehingga ia dihitung dalam thabaqah
sebelum imam Malik.
Sedangkan makna kedua yaitu gurbah syu’uriyyah (berasing diri secara
perasaan), yaitu seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan keluarga dan
pekerjaannya tetapi ia mengkhususkan suatu waktu yang terbaik untuk menuntut
ilmu. Sebagaimana diketahui bahwa seorang muslim dalam memanaj maktu itu
hendaklah memberikan tiga waktu khusus, yaitu waktu untuk beribadah, waktu
untuk bermuhasabah dan waktu untuk menuntut ilmu. Tiga waktu inilah yang
memberikan gizi bagi ruh, yang setiap manusia membutuhkannya. Dalam menuntut
ilmu, hendaklah ia memilih waktu yang padanya ia dapat menjernihkan pikirannya
dan dirinya dalam keadaan tentram, tanpa ada rasa kantuk dan sibuk dengan hal
lain. Waktu yang terbaik misalnya pada akhir malam, atau di pagi hari yang
merupakan waktu yang diberkahi untuk umat ini sebagaimana doa Nabi saw,
اَللّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُوْرِهَا
“Ya Allah, berkahilah untuk umatku di waktu
paginya” (HR. Abu Dawud
dari Shokr Al-Ghamidi, dll).
Misalnya seseorang di tengah kesibukannya, ia mengkhususkan seperempat jam
untuk menambah ilmunya, atau berapapun sesuai dengan kemampuannya. Lebih bagus
lagi jika ia memiliki program yang efektif dalam menambah ilmu sesuai dengan
pengalamannya, atau saran dari teman-temannya, atau dalam satu komunitas yang
satu sama lain dapat membantu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar