Serial Muqoddimah
Ilmu Syar’i - 1
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam
senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah saw, keluarganya dan
sahabat-sahabatnya, serta umatnya yang mengikuti jejak langkahnya. Amma ba’du.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui (‘Alim)
dan Maha Mengabarkan (Khabir), segala ilmu itu berasal dari-Nya, Dia
mengutus para rasul-Nya untuk mengajarkan mereka apa yang dapat memperbaiki
kehidupan dunia dan akhirat meraka, dan menurunkan kitab-kitab-Nya kepada
mereka yang berisi segala ilmu yang dibutuhkan oleh manusia. Ilmu yang
diturunkan itu tidaklah menyamai sedikitnya saja dari ilmu yang ada di
sisi-Nya, meskipun dengan ilmu itu manusia terus menggalinya dan memperluasnya.
Milyaran kalau tidak triliunan kitab yang telah ditulis oleh para ulama
berkenaan dengan ilmu syar’i yang telah diturunkan Allah itu, adalah secuil
ilmu yang Allah berikan, sebagaimana firman Allah, “Tidaklah kalian diberi
ilmu kecuali hanya sedikit.” (QS. Al-Isra: 85).
Ilmu yang Allah turunkan ini tujuannya bukanlah untuk ditumpuk-tumpuk
sebanyak mungkin, untuk berhias dan berbangga diri, bukan pula untuk
menghabiskan waktu dan menyibukkan diri dengannya belaka, tetapi tujannya
semata-mata adalah untuk DIAMALKAN. Maka pada asalnya ilmu yang selanjutnya tidak
melahirkan amal shaleh adalah ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang tidak
bermanfaat itu tidak layak menjadi kesibukan orang yang berakal, karena umur
itu pendek, dan umur manusia lebih berharga daripada sebatas disibukkan dengan
sesuatu yang tidak melahirkan amal shaleh. Maka dalam menuntut ilmu yang banyak
pun mesti disusun prioritas mempelajarinya, mana yang harus didahulukan untuk
diamalkan, dalam hal ini para ulama mengatakan, “Al-‘Ilmu Katsir wal ‘Umru
Qashir” (ilmu itu banyak sedangkan umur itu pendek). Karena yang akan
ditimbang di hari kiamat kelak adalah amal, bukan ilmu, “Siapa yang beramal
kebaikan seberat biji dzaroh, dia akan melihat hasilnya, dan siapa yang beramal
keburukan seberat biji dzaroh, ia akan melihat hasilnya.” (QS. Al-Zalzalah:
7-8).
Allah SWT telah melebihkan manusia dari makhluk lainnya, bersamaan dengan
itu Allah masih mengajak mereka untuk naik lagi ke derajat yang tinggi dengan
ilmu, “Allah menaikan orang-orang beriman dari kalian dan orang-orang yang
diberi ilmu kepada beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah : 11). Oleh karena
itu, orang berilmu sangat tinggi kedudukannya. Mereka dijadikan saksi dalam
kesaksian yang paling besar, yaitu kesaksian akan keesaan Allah setelah Allah
sendiri menjadi saksi, kemudian para malaikat dan disusul oleh para ahli ilmu, “Allah
menjadi saksi bahwa tiada tuhan selain Dia, dan para malaikat dan orang-orang
yang diberi ilmu.” (QS. Ali Imran: 18). Allah mengabarkan bahwa merekalah
yang sampai kepada derajat paling takut kepada Allah, “Hanyalah yang sangat
takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fathir :
28). Allah menilai keshalehan orang yang berilmu dibanding selain mereka, “Katakanlah
apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu,
hanya saja yang dapat mengambil pelajaran itu adalah orang-orang yang memiliki
pemikiran mendalam.” (QS. Az-Zumar: 9). Allah memberitahukan bahwa hanya
merekalah yang dapat menerima pengajaran dari-Nya dan dapat memahami
firman-firman-Nya, “Dan itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami buat untuk
manusia, dan tidak ada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”
(QS. Al-‘Ankabut : 43).
Rasulullah saw menjelaskan kedudukan orang-orang yang berilmu, dalam hadits
yang shahih beliau bersabda, “Ulama adalah pewaris para Nabi”. Beliau juga
bersabda, “Siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Dia akan membuatnya
paham dalam agama.” Hadits dari Utsman dalam shahih Bukhari Rasulullah saw
bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan
mengajarkannya.” Begitu pula Rasulullah saw membuat perumpamaan bagi orang
yang belajar dan mengajar, orang yang belajar tetapi tidak mampu mengajar, dan
orang yang berpaling, seperti dikeluarkan oleh imam Bukhari dari Abu Musa Al-‘Asy’ari,
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah kirimkan untukku seperti hujan
yang menimpa bumi.” Beliau menjelaskan bahwa ilmu tidak bisa diraih kecuali
dengan belajar, sebagaimana hadits yang disebutkan oleh Bukhari secara ta’liq
dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah, bahwa Nabi saw bersabda, “Ilmu
itu hanyalah didapatkan dengan belajar, dan sifat lemah lembut itu didapatkan
dengan berlemah lembut.”
Beliau juga menjelaskan bahwa Allah memilih sekelompok orang dari setiap
zaman yang akan menjadi saksi bagi Allah terhadap orang-orang yang ada pada
zaman itu. Mereka adalah orang-orang yang dipercaya sebagai saksi bagi-nya yang
memikul wahyu-Nya. Allah tidak menjadikan wahyu-Nya di dalam diri orang-orang
yang hina, karena wahyu adalah sesuatu yang paling terbaik di muka bumi ini,
Allah tidak memilih orang-orang yang kurang ketaatannya kepada-Nya yang tidak
layak menempati level ini. Tetapi Allah memilih orang-orang yang terbaik untuk
mengemban wahyu-Nya di muka bumi ini. Maka siapa yang Allah pilih sebagai
pemegang amanah untuk mengemban wahyu-Nya, sungguh Allah memuliakannya dengan
kemuliaan yang besar. Oleh karena itu, imam Bukhari menyebutkan dari sebagian
salaf, bahwa mereka berkata, “Tidak sepantasnya bagi orang yang dalam
dirinya ada sesuatu dari ilmu ini untuk menyia-nyiakan dirinya.” Yang dimaksud
dengan menyia-nyiakan diri adalah beberapa hal berikut: (1) Tidak beramal
dengan ilmunya, karena hal itu adalah kerugian di dunia dan di akhirat. (2) Menghinakan
diri kepada orang lain dengan menjadi pelayan mereka, maka dengan hal itu ia
melenyapkan kedudukan dan keilmuannya. (3) Menghindar dari manusia dan tidak
mengajarkan ilmu yang diamanahkan kepadanya. Ini menyia-nyiakan dirinya, ilmu
dan amanah Allah.
Allah telah mengambil perjanjian yang kuat dari orang yang diberi amanah
untuk menyampaikan amanah-Nya, bahkan ada ancaman yang keras bagi orang yang
tidak menunaikannya, “Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian yang
besar dari orang-orang yang diberikan kitab, hendaklah kalian benar-benar
menyampaikannya kepada manusia dan janganlah kalian menyembunyikannya.” (QS.
Ali Imran : 187). Rasulullah saw menjelaskan, “Siapa yang menyembunyikan
ilmu, pada hari kiamat mulutnya akan diikat dengan pengikat besi dari neraka.” Maka
beliau mendorong untuk menyampaikan ilmu, sebagaimana telah shahih dalam
Shahihain beliau bersabda, “Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat, dan ceritakanlah
dari Bani Israil, tidak ada masalah.” Beliau juga bersabda, “Hendaklah
yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir, berapa banyak orang yang
diberitahu melalui penyampaian lebih memahami daripada yang mendengar langsung.”
Juga dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ashab As-Sunan, imam
As-Suyuthi dan yang lainnya memasukkannya ke dalam hadits yang mutawatir, Rasulullah
saw bersabda, “Allah senang kepada seseorang yang mendengar perkataanku,
lalu ia menghapalnya, lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya,
berapa banyak orang yang membawa fiqih (pemahaman) sedangkan ia tidak paham,
berapa banyak yang menyampaikan pemahaman kepada orang yang lebih paham
darinya.”
Siapa yang mampu untuk bergabung dalam kafilah para ahli ilmu ini dan
menempuh jalannya, tetapi kemudian ia tidak melakukannya, sungguh itu adalah
orang yang paling rugi. Karena telah dibukakan kesempatan baginya untuk meraih
yang terbaik di muka bumi ini, namun ia malah sibuk dengan yang lain. Allah SWT
berfirman, “Apakah kalian mengganti sesuatu yang baik dengan sesuatu yang rendahan.”
(QS. Al-Baqarah : 61). Yang terbaik di muka bumi ini adalah wahyu yang
diturunkan dari sisi Allah, maka orang yang mampu untuk menjadi ahlinya dan
pengemban amanah wahyu tersebut lalu ia tidak melakukannya, sungguh ia menjadi
orang yang paling rugi. Allah tidak butuh kepada selain-Nya, sedangkan selain-Nya
butuh kepada-Nya. Sedangkan orang yang menyibukkan diri untuk mempelajari ilmu
syar’i ini dan berkhidmat dengannya, Allah akan menjamin kebutuhannya di dunia.
Sebagaimana dalam hadits, “Siapa yang menuntut ilmu, Allah menjamin rizkinya.”
(HR. Syihab, dll).
Menuntut ilmu juga merupakan ibadah kepada Allah meskipun penuntutnya tidak
sempat mengamalkannya apabila ia meniatkan untuk mengamalkannya dan menjaganya
untuk orang-orang. Oleh karena itu, Abu Abdillah Malik bin Anas ditanya, jika
tersisa waktu sesaat saja bagi seseorang menjelang ajal, “ibadah apa yang layak
ia lakukan?” Ia menjawab, “Ilmu yang ia pelajari.” Kemudian ditanyakan
lagi, “Wahai Abu Abdillah, ia belum mengamalkannya?” Ia menjawab, “Mempelajarinya
lebih baik daripada mengamalkannya.” Imam Asy-Syafi’i berkata, “Menuntut
ilmu lebih baik daripada shalat sunnah.” Ia memandang bahwa sibuknya
orang-orang dengan ilmu lebih baik daripada sibuknya orang-orang yang melakukan
shalat setiap malam. Imam As-Suyuthi berkata dalam Al-Kaukab As-Sathi’, “Ilmu
itu lebih baik dari pada shalat sunnah, sungguh Allah menyegerakan dengan rizki
yang terjamin.”
Imam Baihaqi mengeluarkan dalam Sunannya, Abu Umar Ibnu Abdil Bar dalam
muqaddimah kitab Tamhidnya, Al-Hafizh Al-Baghdadi dalam kitab Syarof Ashabil
Hadits dengan 11 jalur, dan diriwayatkan dari imam Ahmad bahwa ia
menshahihkannya, dari Ibnu Mas’ud ra,
يَحْمِلَ هذَا الْعِلْمَ مِنْ
كُلِّ خَلْفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ
الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
“Membawa ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang
yang dipercaya darinya, mereka melenyapkan dari ilmu itu penyelewengan
orang-orang yang ghuluw (melampau batas), klaim para pendusta dan ta’wil
orang-orang yang jahil.”
Ilmu syariat yang mulia ini dengan segala keistimewaan dan keutamaan sebagaimana
yang telah disebutkan, tidaklah diraih oleh setiap orang yang menyibukkan diri
dengannya, tetapi mesti dengan manhaj dan cara yang seimbang. Seimbang dalam
ilmu dan pengamalannya, seimbang dalam macam-macamnya, maqashid dan wasailnya,
seimbang dalam hasil dan kesungguhan yang dikerahkan. Keseimbangan dalam segala
hal adalah dituntut secara syariat. Sedangkan ghuluw (berlebihan dan melampaui
batas) dalam menuntut ilmu adalah seseorang yang tidak mencapai tujuan
sebenarnya. Seperti orang yang hanya menelusuri yang aneh-aneh saja dalam ilmu.
Begitu pula orang yang berpaling dari menuntut ilmu, seperti orang yang
menyibukkan diri dengan da’wah tetapi pada saat yang sama membiarkan dirinya
tidak menambah ilmu, seperti juga orang yang sibuk mengumpulkan harta dan
melupakan ilmu, mereka merasa cukup dengan yang paling sedikit dari ilmu. Begitu
pun orang yang hanya sibuk dengan satu ilmu saja sambil menelantarkan yang
lainnya, padahal semua ilmu dari Allah, ilmu itu –khususnya ilmu syar’i- satu
sama lain saling menyempurnakan. Merupakan kelemahan manhaj menuntut ilmu sekarang
adalah dengan adanya spesialisasi, ia menjadikan orang hanya belajar satu
bagian dari ilmu sembari menelantarkan ilmu lainnya, padahal ilmu yang lain itu
merupakan syarat untuk dapat mencapai karya dalam ilmu yang sedang ia geluti
tersebut. Akhirnya banyak pencapaian ilmu yang cacat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar