Kamis, 26 Oktober 2017

Keutamaan Ilmu dan Ulama



Serial Muqoddimah Ilmu Syar’i - 1

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah saw, keluarganya dan sahabat-sahabatnya, serta umatnya yang mengikuti jejak langkahnya. Amma ba’du. 

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui (‘Alim) dan Maha Mengabarkan (Khabir), segala ilmu itu berasal dari-Nya, Dia mengutus para rasul-Nya untuk mengajarkan mereka apa yang dapat memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat meraka, dan menurunkan kitab-kitab-Nya kepada mereka yang berisi segala ilmu yang dibutuhkan oleh manusia. Ilmu yang diturunkan itu tidaklah menyamai sedikitnya saja dari ilmu yang ada di sisi-Nya, meskipun dengan ilmu itu manusia terus menggalinya dan memperluasnya. Milyaran kalau tidak triliunan kitab yang telah ditulis oleh para ulama berkenaan dengan ilmu syar’i yang telah diturunkan Allah itu, adalah secuil ilmu yang Allah berikan, sebagaimana firman Allah, “Tidaklah kalian diberi ilmu kecuali hanya sedikit.” (QS. Al-Isra: 85). 

Ilmu yang Allah turunkan ini tujuannya bukanlah untuk ditumpuk-tumpuk sebanyak mungkin, untuk berhias dan berbangga diri, bukan pula untuk menghabiskan waktu dan menyibukkan diri dengannya belaka, tetapi tujannya semata-mata adalah untuk DIAMALKAN. Maka pada asalnya ilmu yang selanjutnya tidak melahirkan amal shaleh adalah ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang tidak bermanfaat itu tidak layak menjadi kesibukan orang yang berakal, karena umur itu pendek, dan umur manusia lebih berharga daripada sebatas disibukkan dengan sesuatu yang tidak melahirkan amal shaleh. Maka dalam menuntut ilmu yang banyak pun mesti disusun prioritas mempelajarinya, mana yang harus didahulukan untuk diamalkan, dalam hal ini para ulama mengatakan, “Al-‘Ilmu Katsir wal ‘Umru Qashir” (ilmu itu banyak sedangkan umur itu pendek). Karena yang akan ditimbang di hari kiamat kelak adalah amal, bukan ilmu, “Siapa yang beramal kebaikan seberat biji dzaroh, dia akan melihat hasilnya, dan siapa yang beramal keburukan seberat biji dzaroh, ia akan melihat hasilnya.” (QS. Al-Zalzalah: 7-8).

Allah SWT telah melebihkan manusia dari makhluk lainnya, bersamaan dengan itu Allah masih mengajak mereka untuk naik lagi ke derajat yang tinggi dengan ilmu, “Allah menaikan orang-orang beriman dari kalian dan orang-orang yang diberi ilmu kepada beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah : 11). Oleh karena itu, orang berilmu sangat tinggi kedudukannya. Mereka dijadikan saksi dalam kesaksian yang paling besar, yaitu kesaksian akan keesaan Allah setelah Allah sendiri menjadi saksi, kemudian para malaikat dan disusul oleh para ahli ilmu, “Allah menjadi saksi bahwa tiada tuhan selain Dia, dan para malaikat dan orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Ali Imran: 18). Allah mengabarkan bahwa merekalah yang sampai kepada derajat paling takut kepada Allah, “Hanyalah yang sangat takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fathir : 28). Allah menilai keshalehan orang yang berilmu dibanding selain mereka, “Katakanlah apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu, hanya saja yang dapat mengambil pelajaran itu adalah orang-orang yang memiliki pemikiran mendalam.” (QS. Az-Zumar: 9). Allah memberitahukan bahwa hanya merekalah yang dapat menerima pengajaran dari-Nya dan dapat memahami firman-firman-Nya, “Dan itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami buat untuk manusia, dan tidak ada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabut : 43).   

Rasulullah saw menjelaskan kedudukan orang-orang yang berilmu, dalam hadits yang shahih beliau bersabda, “Ulama adalah pewaris para Nabi”. Beliau juga bersabda, “Siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Dia akan membuatnya paham dalam agama.” Hadits dari Utsman dalam shahih Bukhari Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” Begitu pula Rasulullah saw membuat perumpamaan bagi orang yang belajar dan mengajar, orang yang belajar tetapi tidak mampu mengajar, dan orang yang berpaling, seperti dikeluarkan oleh imam Bukhari dari Abu Musa Al-‘Asy’ari, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah kirimkan untukku seperti hujan yang menimpa bumi.” Beliau menjelaskan bahwa ilmu tidak bisa diraih kecuali dengan belajar, sebagaimana hadits yang disebutkan oleh Bukhari secara ta’liq dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah, bahwa Nabi saw bersabda, “Ilmu itu hanyalah didapatkan dengan belajar, dan sifat lemah lembut itu didapatkan dengan berlemah lembut.” 

Beliau juga menjelaskan bahwa Allah memilih sekelompok orang dari setiap zaman yang akan menjadi saksi bagi Allah terhadap orang-orang yang ada pada zaman itu. Mereka adalah orang-orang yang dipercaya sebagai saksi bagi-nya yang memikul wahyu-Nya. Allah tidak menjadikan wahyu-Nya di dalam diri orang-orang yang hina, karena wahyu adalah sesuatu yang paling terbaik di muka bumi ini, Allah tidak memilih orang-orang yang kurang ketaatannya kepada-Nya yang tidak layak menempati level ini. Tetapi Allah memilih orang-orang yang terbaik untuk mengemban wahyu-Nya di muka bumi ini. Maka siapa yang Allah pilih sebagai pemegang amanah untuk mengemban wahyu-Nya, sungguh Allah memuliakannya dengan kemuliaan yang besar. Oleh karena itu, imam Bukhari menyebutkan dari sebagian salaf, bahwa mereka berkata, “Tidak sepantasnya bagi orang yang dalam dirinya ada sesuatu dari ilmu ini untuk menyia-nyiakan dirinya.” Yang dimaksud dengan menyia-nyiakan diri adalah beberapa hal berikut: (1) Tidak beramal dengan ilmunya, karena hal itu adalah kerugian di dunia dan di akhirat. (2) Menghinakan diri kepada orang lain dengan menjadi pelayan mereka, maka dengan hal itu ia melenyapkan kedudukan dan keilmuannya. (3) Menghindar dari manusia dan tidak mengajarkan ilmu yang diamanahkan kepadanya. Ini menyia-nyiakan dirinya, ilmu dan amanah Allah. 

Allah telah mengambil perjanjian yang kuat dari orang yang diberi amanah untuk menyampaikan amanah-Nya, bahkan ada ancaman yang keras bagi orang yang tidak menunaikannya, “Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian yang besar dari orang-orang yang diberikan kitab, hendaklah kalian benar-benar menyampaikannya kepada manusia dan janganlah kalian menyembunyikannya.” (QS. Ali Imran : 187). Rasulullah saw menjelaskan, “Siapa yang menyembunyikan ilmu, pada hari kiamat mulutnya akan diikat dengan pengikat besi dari neraka.” Maka beliau mendorong untuk menyampaikan ilmu, sebagaimana telah shahih dalam Shahihain beliau bersabda, “Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat, dan ceritakanlah dari Bani Israil, tidak ada masalah.” Beliau juga bersabda, “Hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir, berapa banyak orang yang diberitahu melalui penyampaian lebih memahami daripada yang mendengar langsung.” Juga dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ashab As-Sunan, imam As-Suyuthi dan yang lainnya memasukkannya ke dalam hadits yang mutawatir, Rasulullah saw bersabda, “Allah senang kepada seseorang yang mendengar perkataanku, lalu ia menghapalnya, lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, berapa banyak orang yang membawa fiqih (pemahaman) sedangkan ia tidak paham, berapa banyak yang menyampaikan pemahaman kepada orang yang lebih paham darinya.” 

Siapa yang mampu untuk bergabung dalam kafilah para ahli ilmu ini dan menempuh jalannya, tetapi kemudian ia tidak melakukannya, sungguh itu adalah orang yang paling rugi. Karena telah dibukakan kesempatan baginya untuk meraih yang terbaik di muka bumi ini, namun ia malah sibuk dengan yang lain. Allah SWT berfirman, “Apakah kalian mengganti sesuatu yang baik dengan sesuatu yang rendahan.” (QS. Al-Baqarah : 61). Yang terbaik di muka bumi ini adalah wahyu yang diturunkan dari sisi Allah, maka orang yang mampu untuk menjadi ahlinya dan pengemban amanah wahyu tersebut lalu ia tidak melakukannya, sungguh ia menjadi orang yang paling rugi. Allah tidak butuh kepada selain-Nya, sedangkan selain-Nya butuh kepada-Nya. Sedangkan orang yang menyibukkan diri untuk mempelajari ilmu syar’i ini dan berkhidmat dengannya, Allah akan menjamin kebutuhannya di dunia. Sebagaimana dalam hadits, “Siapa yang menuntut ilmu, Allah menjamin rizkinya.” (HR. Syihab, dll).     
Menuntut ilmu juga merupakan ibadah kepada Allah meskipun penuntutnya tidak sempat mengamalkannya apabila ia meniatkan untuk mengamalkannya dan menjaganya untuk orang-orang. Oleh karena itu, Abu Abdillah Malik bin Anas ditanya, jika tersisa waktu sesaat saja bagi seseorang menjelang ajal, “ibadah apa yang layak ia lakukan?” Ia menjawab, “Ilmu yang ia pelajari.” Kemudian ditanyakan lagi, “Wahai Abu Abdillah, ia belum mengamalkannya?” Ia menjawab, “Mempelajarinya lebih baik daripada mengamalkannya.” Imam Asy-Syafi’i berkata, “Menuntut ilmu lebih baik daripada shalat sunnah.” Ia memandang bahwa sibuknya orang-orang dengan ilmu lebih baik daripada sibuknya orang-orang yang melakukan shalat setiap malam. Imam As-Suyuthi berkata dalam Al-Kaukab As-Sathi’, “Ilmu itu lebih baik dari pada shalat sunnah, sungguh Allah menyegerakan dengan rizki yang terjamin.” 
Imam Baihaqi mengeluarkan dalam Sunannya, Abu Umar Ibnu Abdil Bar dalam muqaddimah kitab Tamhidnya, Al-Hafizh Al-Baghdadi dalam kitab Syarof Ashabil Hadits dengan 11 jalur, dan diriwayatkan dari imam Ahmad bahwa ia menshahihkannya, dari Ibnu Mas’ud ra, 

يَحْمِلَ هذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ 

“Membawa ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang yang dipercaya darinya, mereka melenyapkan dari ilmu itu penyelewengan orang-orang yang ghuluw (melampau batas), klaim para pendusta dan ta’wil orang-orang yang jahil.”

Ilmu syariat yang mulia ini dengan segala keistimewaan dan keutamaan sebagaimana yang telah disebutkan, tidaklah diraih oleh setiap orang yang menyibukkan diri dengannya, tetapi mesti dengan manhaj dan cara yang seimbang. Seimbang dalam ilmu dan pengamalannya, seimbang dalam macam-macamnya, maqashid dan wasailnya, seimbang dalam hasil dan kesungguhan yang dikerahkan. Keseimbangan dalam segala hal adalah dituntut secara syariat. Sedangkan ghuluw (berlebihan dan melampaui batas) dalam menuntut ilmu adalah seseorang yang tidak mencapai tujuan sebenarnya. Seperti orang yang hanya menelusuri yang aneh-aneh saja dalam ilmu. Begitu pula orang yang berpaling dari menuntut ilmu, seperti orang yang menyibukkan diri dengan da’wah tetapi pada saat yang sama membiarkan dirinya tidak menambah ilmu, seperti juga orang yang sibuk mengumpulkan harta dan melupakan ilmu, mereka merasa cukup dengan yang paling sedikit dari ilmu. Begitu pun orang yang hanya sibuk dengan satu ilmu saja sambil menelantarkan yang lainnya, padahal semua ilmu dari Allah, ilmu itu –khususnya ilmu syar’i- satu sama lain saling menyempurnakan. Merupakan kelemahan manhaj menuntut ilmu sekarang adalah dengan adanya spesialisasi, ia menjadikan orang hanya belajar satu bagian dari ilmu sembari menelantarkan ilmu lainnya, padahal ilmu yang lain itu merupakan syarat untuk dapat mencapai karya dalam ilmu yang sedang ia geluti tersebut. Akhirnya banyak pencapaian ilmu yang cacat.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar