Senin, 09 Oktober 2017

[Butir Pencerahan 5] Antara Wahyu dan Akal






Masih ada orang yang menganggap bahwa wahyu dan akal itu bertentangan, sehingga salah menempatkan. Maka lahirlah dua kubu yang sama-sama ekstrim, yaitu kubu yang mengambil wahyu sembari mengesampingkan akal, dari sini lahir sikap tekstual yang memahami teks terbatas pada zahirnya saja. Yang kedua, kubu yang berlebihan menggunakan akal sehingga mengesampingkan teks wahyu, dari sini lahir orang-orang seperti mu’tazilah dan liberal. Padahal, antara wahyu dan akal sama sekali tidak bertentangan, justeru ia berkaitan erat, bahkan saling membutuhkan. Akal manusia yang terbatas tidak akan sampai kepada kebenaran yang hakiki sehingga ia membutuhkan bimbingan wahyu, dan wahyu tidak bisa dipahami kecuali dengan akal dan akal adalah alasan berlaku-tidaknya syariat diterapkan kepada seseorang (manath at-taklif).
Seperti halnya panca indra manusia memiliki batas terendah dan batas tertinggi, misalnya penglihatan, kita tidak bisa melihat kelopak mata kita sendiri karena sangat dekat, begitu pun yang ada di seberang lautan kita tidak bisa melihatnya karena ada batas pandangan, begitu pun pendengaran, kita tidak bisa mendengar suara yang sangat kecil dan juga suara yang sangat keras di luar batas pendengaran kita, maka sama halnya juga dengan akal yang memiliki batas terendah yang disebut dengan permulaan akal (bidayatul ‘aql) dan batas tertinggi yang disebut dengan akhir jangkauan akal (nihayatul ‘aql).
Para ahli ilmu logika (mantiq) menjelaskan, permulaan akal itu ada enam, yaitu Al-Awwaliyat (sesuatu yang dapat dipahami akal ketika disodorkan pertama kali) misalnya : satu itu setengah dari dua, seluruhnya lebih besar dari sebagian. Al-Mahsusat (yang dipahami akal melalui panca indra) misalnya mengetahui madu itu manis setelah merasakannya. Al-Wijdaniyyat (yang dipahami akal melalui indra batin) misalnya rasa lapar itu menyakitkan. Al-Mujarrobat (yang dipahami akal melalui percobaan yang berulang-ulang) misalnya api itu membakar. Al-Mutawatirot (yang dipahami akal melalui mendengar kabar dari orang dengan jumlah yang banyak yang dimustahilkan kebohongannya) misalnya mengetahui adanya Mekkah padahal belum melihat langsung. Dan Al-Hadasiyyat (yang dipahami akal melalui perpindahan yang cepat dari mukoddimah kepada kesimpulan akal tanpa adanya proses pemikiran) misalnya mengetahui bahwa bumi itu bulat dan cahaya bulan itu berasal dari cahaya matahari.    
Sedangkan akhir jangkauan akal atau hal-hal yang mustahil ada sembilan yang disimpulkan dengan kata عِجْلٌ وَقِتْبٌ huruf ‘ain untuk makna al-‘uruwwu min an-naqidhain (terlepas dari dua hal yang berlawanan) misalnya diam dan bergerak, mustahil jika dikatakan suatu benda itu tidak diam dan tidak pula bergerak, ia harus berada dalam keadaan salah satunya. Huruf jim untuk makna al-jam’u baina an-naqidhain (menggabungkan dua hal yang berlawanan) misalnya mengatakan seseorang itu sedang duduk dan sedang berdiri dalam waktu yang bersamaan. Huruf lam untuk makna luzum ad-daur wat tasalsul (memastikan terjadinya daur [perputaran] yakni misalnya keberadaan A tergantung keberadaan B dan keberadaan B juga tergantung kepada keberadaan A, ia akan terus berputar, dan terjadinya tasalsul [sambung menyambung tiada henti] misalnya keberadaan A tergantung keberadaan B, keberadaan B tergantung pada keberadaan C, dst tiada henti). Contoh daur: jika meyakini tidak adanya Sang Pencipta maka terjadi daur pada ayam dan telur, keberadaan ayam tergantung pada keberadaan telur dan keberadaan telur tergantung pada keberadaan ayam, dan seterusnya. Contoh tasalsul: jika tidak meyakini adanya Sang Pencipta maka terjadi tasalsul pada keberadaan anak tergantung keberadaan ayahnya, ayahnya tergantung kakeknya, kakeknya tergantung ayah kakeknya dst tanpa henti. Huruf “wawu” untuk makna wuqu’ al-‘adad la nihayata lahu (adanya bilangan yang tidak ada batasnya), setiap bilangan itu pasti ada batasnya maka mustahil adanya bilangan yang tidak ada batasnya. Huruf “qaf” untuk makna qolbul haqiqah (memindahkan suatu hakikat kepada hakikat lain dalam hukum akal), maksudnya hukum akal itu ada tiga, wajib, jaiz (boleh) dan mustahil, tidak mungkin yang wajib dikatakan mustahil, dst. Huruf “ta” untuk tiga makna, yaitu ta’addud al-fa’il (berbilangnya pelaku untuk satu pekerjaan), tahshil al-hashil (mengadakan sesuatu yang sudah ada) dan tarjih bila murojjih (menguatkan salah satu dari dua hal yang sejajar tanpa adanya penguat). Dan huruf “ba” untuk makna buthlan al-hashr (menggugurkan sesuatu yang terbatas) misalnya sesuatu itu terbatas kepada dua kemungkinan yaitu ada dan tidak ada, maka tidak mungkin membatalkan keduanya dengan menetapkan sifat yang ketiga dari ada dan tidak ada.
Dengan keterbatasan akal tersebut, maka tak dapat disangkal lagi bahwa akal membutuhkan wahyu yang dapat membimbingnya. Jika diibaratkan akal itu seperti mata yang melihat dan wahyu itu seperti cahaya matahari atau lampu. Meskipun mata dapat melihat namun ketika tidak ada cahaya dari matahari ataupun lampu, maka tetap saja tidak dapat melihat, begitu pula sebaliknya adanya cahaya matahari dan lampu itu tak berguna jika mata tidak melihat.
Tiga tokoh besar Islam yang kemudian masing-masing melahirkan madzhab pemikiran besar, yaitu Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M), Ibnu Rusyd Al-Qurthubi (520-595 H / 1126 – 1198 M) dan Ibnu Taimiyyah (661 – 728 H / 1263 – 1328 M). Terlepas dari perbedaan pemikiran yang tajam di antara ketiganya, namun ketiganya sepakat bahwa wahyu tidak bisa dipertentangkan dengan akal, keduanya saling membutuhkan.
Abu Hamid Al-Ghazali berkata dalam kitab Ma’arij Al-Quds fi Madarij Ma’rifati An-Nafs (Tempat naik yang suci dalam titian mengenal jiwa) :   
اِعْلَمْ أَنَّ الْعَقْلَ لَنْ يَهْتَدِيَ إِلَّا بِالشَّرْعِ، وَالشَّرْعُ لَمْ يَتَبَيَّنْ إِلَّا بِالْعَقْلِ   
“Ketahuilah, sesungguhnya akal tidak akan pernah dapat terbimbing kecuali dengan syariat, dan syariat tidak akan jelas kecuali dengan akal.”
Beliau menjelaskan,
فَالشَّرْعُ عَقْلٌ مِنْ خَارِجٍ وَالْعَقْلُ شَرْعٌ مِنْ دَاخِلٍ وَهُمَا مُتَعَضِّدَانِ بَلْ مُتَّحِدَانِ، وَلِكَوْنِ الشَّرْعِ عَقْلًا مِنْ خَارِجٍ سَلَبَ اللهُ تَعَالَى اِسْمَ الْعَقْلِ مِنَ الْكَافِرِ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ مِنَ الْقُرْآنِ نَحْوَ قَوْلِهِ تَعَالَى : صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ (البقرة ١٧١) وَلِكَوْنِ الْعَقْلِ شَرْعًا مِنْ دَاخِلٍ، قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي صِفَةِ الْعَقْلِ : فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ (الروم ۳٠) فَسَمَّى الْعَقْلَ دِيْنًا وَلِكَوْنِهِمَا مُتَّحِدَيْنِ قَالَ : نُوْرٌ عَلَى نُوْرٍ (النور ۳٥) أَيْ نُوْرُ الْعَقْلِ وَنُوْرُ الشَّرْعِ.   
“Maka syariat adalah akal dari luar, dan akal adalah syariat dari dalam, keduanya saling berkaitan erat, bahkan menyatu. Karena keadaan syariat adalah akal dari luar, Allah menafikan nama akal dari orang kafir dalam lebih dari satu tempat di dalam Al-Qur’an, seperti firman-Nya, “Mereka tuli, bisu, buta, mereka tidak berakal.” (QS. Al-Baqarah : 171). Dan karena keadaan akal adalah syariat dari dalam, Allah berfirman tentang sifat akal, “Fitrah Allah yang Dia ciptakan manusia di atas fitrah itu, tidak ada perubahan untuk ciptaan Allah, itulah agama yang lurus.” (QS. Ar-Rum : 30). Allah menamakan akal dengan agama. Dan karena keadaan keduanya itu menyatu, Allah berfirman, “Cahaya dia atas cahaya.” (QS. An-Nur : 35). Yaitu cahaya akal dan cahaya syariat.” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ma’arij Al-Quds fi Madarij Ma’rifati An-Nafs, hal. 57-58).
Ibnu Rusyd Al-Qurthubi berkata dalam kitab Fashl Al-Maqol fiimaa baina al-hikmah wasy-syari’ah minal ittishal (penjelasan tegas tentang hubungan antara hikmah dan syariah) :
أَعْنِي أَنَّ الْحِكْمَةَ هِيَ صَاحِبَةُ الشَّرِيْعَةِ، وَالْأُخْتُ الرَّضِيْعَةُ، فَالْأَذِيَّةُ مِمَّنْ يُنْسَبُ إِلَيْهَا هِيَ أَشَّدُ الْأَذِيَّةِ، مَعَ مَا يَقَعُ بَيْنَهُمَا مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ وَالْمُشَاجَرَةِ، وَهُمَا الْمُصْطَحِبَتَانِ بِالطَّبْعِ، الْمُتَحَابَّتَانِ بِالْجَوْهَرِ وَالْغَرِيْزَةِ       
“Yang saya maksud, bahwa hikmah (penggunaan akal) adalah sahabat bagi syariat dan merupakan saudara sesusuan. Maka, menyakiti keduanya dari siapapun adalah perbuatan menyakiti yang paling keras dengan menyatakan bahwa di antara keduanya terjadi permusuhan, kebencian dan pertikaian. Padahal keduanya adalah sahabat secara tabiat, dan saling mencintai secara esensi dan insting.” (Fashl Al-Maqol fiimaa baina al-hikmah wasy-syari’ah minal ittishal, hal.67).
Ibnu Taimiyyah juga menyatakan dalam kitabnya Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql (Menolak adanya pertengangan antara akal dan wahyu) :
فَتَبَيَّنَ أَنَّ كُلَّ مَا قَامَ عَلَيْهِ دَلِيْلٌ قَطْعِيٌّ سَمْعِيٌّ يَمْتَنِعُ أَنْ يُعَارِضَهُ قَطْعِيٌّ عَقْلِيٌّ       
“Maka jelaslah, bahwa setiap yang tegak dengan dalil qothi’ sam’i (wahyu) mustahil bertentangan dengan dalil qath’i dari akal.” (Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, hal.80).

Wallohu A'lam.

*****
Yang ingin memiliki buku Ringkasan Sirah Nabawiyyah, Butir-butir Perjalanan Hidup Rasulullah saw karya penulis, silahkan order melalui WA 085320759353 Harga 55rb, diskon jadi 40rb
Join Channel : telegram.me/kajianilmusyari

Versi webnya silahkan kunjungi : muhaatim.blogspot.com
Subscriber channels youtube kumpulan kajian https://www.youtube.com/channel/UCxsvJsKhHIVNv6dkm1a0IQw

Yang ingin ikut serta dalam pahala da'wah ini silahkan like dan share!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar