Masih ada orang yang menganggap bahwa wahyu
dan akal itu bertentangan, sehingga salah menempatkan. Maka lahirlah dua kubu
yang sama-sama ekstrim, yaitu kubu yang mengambil wahyu sembari mengesampingkan
akal, dari sini lahir sikap tekstual yang memahami teks terbatas pada zahirnya
saja. Yang kedua, kubu yang berlebihan menggunakan akal sehingga mengesampingkan
teks wahyu, dari sini lahir orang-orang seperti mu’tazilah dan liberal.
Padahal, antara wahyu dan akal sama sekali tidak bertentangan, justeru ia
berkaitan erat, bahkan saling membutuhkan. Akal manusia yang terbatas tidak
akan sampai kepada kebenaran yang hakiki sehingga ia membutuhkan bimbingan
wahyu, dan wahyu tidak bisa dipahami kecuali dengan akal dan akal adalah alasan
berlaku-tidaknya syariat diterapkan kepada seseorang (manath at-taklif).
Seperti halnya panca indra manusia memiliki batas
terendah dan batas tertinggi, misalnya penglihatan, kita tidak bisa melihat
kelopak mata kita sendiri karena sangat dekat, begitu pun yang ada di seberang
lautan kita tidak bisa melihatnya karena ada batas pandangan, begitu pun
pendengaran, kita tidak bisa mendengar suara yang sangat kecil dan juga suara
yang sangat keras di luar batas pendengaran kita, maka sama halnya juga dengan
akal yang memiliki batas terendah yang disebut dengan permulaan akal (bidayatul
‘aql) dan batas tertinggi yang disebut dengan akhir jangkauan akal (nihayatul
‘aql).
Para ahli ilmu logika (mantiq)
menjelaskan, permulaan akal itu ada enam, yaitu Al-Awwaliyat (sesuatu
yang dapat dipahami akal ketika disodorkan pertama kali) misalnya : satu itu
setengah dari dua, seluruhnya lebih besar dari sebagian. Al-Mahsusat (yang
dipahami akal melalui panca indra) misalnya mengetahui madu itu manis setelah
merasakannya. Al-Wijdaniyyat (yang dipahami akal melalui indra batin)
misalnya rasa lapar itu menyakitkan. Al-Mujarrobat (yang dipahami akal
melalui percobaan yang berulang-ulang) misalnya api itu membakar. Al-Mutawatirot
(yang dipahami akal melalui mendengar kabar dari orang dengan jumlah yang
banyak yang dimustahilkan kebohongannya) misalnya mengetahui adanya Mekkah
padahal belum melihat langsung. Dan Al-Hadasiyyat (yang dipahami akal
melalui perpindahan yang cepat dari mukoddimah kepada kesimpulan akal tanpa
adanya proses pemikiran) misalnya mengetahui bahwa bumi itu bulat dan cahaya
bulan itu berasal dari cahaya matahari.
Sedangkan akhir jangkauan akal atau hal-hal
yang mustahil ada sembilan yang disimpulkan dengan kata عِجْلٌ وَقِتْبٌ
huruf ‘ain untuk makna al-‘uruwwu min an-naqidhain (terlepas dari dua
hal yang berlawanan) misalnya diam dan bergerak, mustahil jika dikatakan suatu
benda itu tidak diam dan tidak pula bergerak, ia harus berada dalam keadaan
salah satunya. Huruf jim untuk makna al-jam’u baina an-naqidhain (menggabungkan
dua hal yang berlawanan) misalnya mengatakan seseorang itu sedang duduk dan
sedang berdiri dalam waktu yang bersamaan. Huruf lam untuk makna luzum
ad-daur wat tasalsul (memastikan terjadinya daur [perputaran] yakni
misalnya keberadaan A tergantung keberadaan B dan keberadaan B juga tergantung
kepada keberadaan A, ia akan terus berputar, dan terjadinya tasalsul [sambung
menyambung tiada henti] misalnya keberadaan A tergantung keberadaan B, keberadaan
B tergantung pada keberadaan C, dst tiada henti). Contoh daur: jika
meyakini tidak adanya Sang Pencipta maka terjadi daur pada ayam dan
telur, keberadaan ayam tergantung pada keberadaan telur dan keberadaan telur
tergantung pada keberadaan ayam, dan seterusnya. Contoh tasalsul: jika
tidak meyakini adanya Sang Pencipta maka terjadi tasalsul pada
keberadaan anak tergantung keberadaan ayahnya, ayahnya tergantung kakeknya,
kakeknya tergantung ayah kakeknya dst tanpa henti. Huruf “wawu” untuk
makna wuqu’ al-‘adad la nihayata lahu (adanya bilangan yang tidak ada
batasnya), setiap bilangan itu pasti ada batasnya maka mustahil adanya bilangan
yang tidak ada batasnya. Huruf “qaf” untuk makna qolbul haqiqah (memindahkan
suatu hakikat kepada hakikat lain dalam hukum akal), maksudnya hukum akal itu
ada tiga, wajib, jaiz (boleh) dan mustahil, tidak mungkin yang wajib dikatakan
mustahil, dst. Huruf “ta” untuk tiga makna, yaitu ta’addud al-fa’il (berbilangnya
pelaku untuk satu pekerjaan), tahshil al-hashil (mengadakan sesuatu yang
sudah ada) dan tarjih bila murojjih (menguatkan salah satu dari dua hal
yang sejajar tanpa adanya penguat). Dan huruf “ba” untuk makna buthlan
al-hashr (menggugurkan sesuatu yang terbatas) misalnya sesuatu itu terbatas
kepada dua kemungkinan yaitu ada dan tidak ada, maka tidak mungkin membatalkan keduanya
dengan menetapkan sifat yang ketiga dari ada dan tidak ada.
Dengan keterbatasan akal tersebut, maka tak
dapat disangkal lagi bahwa akal membutuhkan wahyu yang dapat membimbingnya.
Jika diibaratkan akal itu seperti mata yang melihat dan wahyu itu seperti cahaya
matahari atau lampu. Meskipun mata dapat melihat namun ketika tidak ada cahaya
dari matahari ataupun lampu, maka tetap saja tidak dapat melihat, begitu pula
sebaliknya adanya cahaya matahari dan lampu itu tak berguna jika mata tidak
melihat.
Tiga tokoh besar Islam yang kemudian
masing-masing melahirkan madzhab pemikiran besar, yaitu Abu Hamid Al-Ghazali
(450-505 H / 1058-1111 M), Ibnu Rusyd Al-Qurthubi (520-595 H / 1126 – 1198 M)
dan Ibnu Taimiyyah (661 – 728 H / 1263 – 1328 M). Terlepas dari perbedaan
pemikiran yang tajam di antara ketiganya, namun ketiganya sepakat bahwa wahyu
tidak bisa dipertentangkan dengan akal, keduanya saling membutuhkan.
Abu Hamid Al-Ghazali berkata dalam kitab Ma’arij Al-Quds fi Madarij
Ma’rifati An-Nafs (Tempat naik yang suci dalam titian mengenal jiwa) :
اِعْلَمْ أَنَّ الْعَقْلَ لَنْ يَهْتَدِيَ إِلَّا بِالشَّرْعِ، وَالشَّرْعُ
لَمْ يَتَبَيَّنْ إِلَّا بِالْعَقْلِ
“Ketahuilah,
sesungguhnya akal tidak akan pernah dapat terbimbing kecuali dengan syariat,
dan syariat tidak akan jelas kecuali dengan akal.”
Beliau menjelaskan,
فَالشَّرْعُ عَقْلٌ مِنْ خَارِجٍ وَالْعَقْلُ شَرْعٌ مِنْ دَاخِلٍ وَهُمَا مُتَعَضِّدَانِ
بَلْ مُتَّحِدَانِ، وَلِكَوْنِ الشَّرْعِ عَقْلًا مِنْ خَارِجٍ سَلَبَ اللهُ تَعَالَى
اِسْمَ الْعَقْلِ مِنَ الْكَافِرِ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ مِنَ الْقُرْآنِ نَحْوَ قَوْلِهِ
تَعَالَى : صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ (البقرة ١٧١) وَلِكَوْنِ
الْعَقْلِ شَرْعًا مِنْ دَاخِلٍ، قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي صِفَةِ الْعَقْلِ : فِطْرَةَ
اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّيْنُ
الْقَيِّمُ (الروم ۳٠) فَسَمَّى الْعَقْلَ دِيْنًا وَلِكَوْنِهِمَا مُتَّحِدَيْنِ
قَالَ : نُوْرٌ عَلَى نُوْرٍ (النور ۳٥) أَيْ نُوْرُ الْعَقْلِ وَنُوْرُ الشَّرْعِ.
“Maka syariat
adalah akal dari luar, dan akal adalah syariat dari dalam, keduanya saling
berkaitan erat, bahkan menyatu. Karena keadaan syariat adalah akal dari luar,
Allah menafikan nama akal dari orang kafir dalam lebih dari satu tempat di
dalam Al-Qur’an, seperti firman-Nya, “Mereka tuli, bisu, buta, mereka tidak
berakal.” (QS. Al-Baqarah : 171). Dan karena keadaan akal adalah syariat
dari dalam, Allah berfirman tentang sifat akal, “Fitrah Allah yang Dia
ciptakan manusia di atas fitrah itu, tidak ada perubahan untuk ciptaan Allah,
itulah agama yang lurus.” (QS. Ar-Rum : 30). Allah menamakan akal dengan
agama. Dan karena keadaan keduanya itu menyatu, Allah berfirman, “Cahaya dia
atas cahaya.” (QS. An-Nur : 35). Yaitu cahaya akal dan cahaya syariat.” (Abu
Hamid Al-Ghazali, Ma’arij Al-Quds fi Madarij Ma’rifati An-Nafs, hal.
57-58).
Ibnu Rusyd Al-Qurthubi berkata dalam kitab Fashl Al-Maqol fiimaa
baina al-hikmah wasy-syari’ah minal ittishal (penjelasan tegas tentang
hubungan antara hikmah dan syariah) :
أَعْنِي أَنَّ الْحِكْمَةَ هِيَ صَاحِبَةُ الشَّرِيْعَةِ، وَالْأُخْتُ
الرَّضِيْعَةُ، فَالْأَذِيَّةُ مِمَّنْ يُنْسَبُ إِلَيْهَا هِيَ أَشَّدُ الْأَذِيَّةِ،
مَعَ مَا يَقَعُ بَيْنَهُمَا مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ وَالْمُشَاجَرَةِ،
وَهُمَا الْمُصْطَحِبَتَانِ بِالطَّبْعِ، الْمُتَحَابَّتَانِ بِالْجَوْهَرِ وَالْغَرِيْزَةِ
“Yang saya
maksud, bahwa hikmah (penggunaan akal) adalah sahabat bagi syariat dan
merupakan saudara sesusuan. Maka, menyakiti keduanya dari siapapun adalah
perbuatan menyakiti yang paling keras dengan menyatakan bahwa di antara
keduanya terjadi permusuhan, kebencian dan pertikaian. Padahal keduanya adalah
sahabat secara tabiat, dan saling mencintai secara esensi dan insting.” (Fashl
Al-Maqol fiimaa baina al-hikmah wasy-syari’ah minal ittishal, hal.67).
Ibnu Taimiyyah juga menyatakan dalam kitabnya Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql
wa An-Naql (Menolak adanya pertengangan antara akal dan wahyu) :
فَتَبَيَّنَ أَنَّ كُلَّ مَا قَامَ عَلَيْهِ دَلِيْلٌ قَطْعِيٌّ سَمْعِيٌّ
يَمْتَنِعُ أَنْ يُعَارِضَهُ قَطْعِيٌّ عَقْلِيٌّ
“Maka jelaslah, bahwa setiap yang tegak dengan dalil qothi’
sam’i (wahyu) mustahil bertentangan dengan dalil qath’i dari akal.” (Dar’u
Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, hal.80).
Wallohu A'lam.
*****
Yang ingin
memiliki buku Ringkasan Sirah Nabawiyyah, Butir-butir Perjalanan Hidup
Rasulullah saw karya penulis, silahkan order melalui WA 085320759353
Harga 55rb, diskon jadi 40rb
Join Channel : telegram.me/kajianilmusyari
Versi webnya silahkan kunjungi : muhaatim.blogspot.com
Subscriber channels youtube kumpulan kajian https://www.youtube.com/channel/UCxsvJsKhHIVNv6dkm1a0IQw
Yang ingin ikut serta dalam pahala da'wah ini silahkan like dan share!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar