Sabtu, 23 September 2017

[Butir Pencerahan 4] Jangan Marasa Diri Suci



Hari ini masih ada muslim yang memandang dirinya suci, telah bertakwa, merasa akidahnya paling benar, ibadahnya paling sesuai sunnah, sembari dengan mudah menyebut muslim lainnya ahli bid’ah, sesat, bahkan kufur. Merasa kelompoknya sendiri adalah satu-satunya yang akan selamat (firqoh najiyah) yang akan masuk surga, sedangkan yang lainnya dianggap berpecah belah (firqoh), hizbi, dan ahli neraka. Maka di sini perlu diingatkan,
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Janganlah kalian mengganggap diri kalian suci, Dialah yang lebih mengetahui orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm : 32).
Dengan mudah menuduh akidah di luar kelompoknya sesat, menyalah-nyalahkan syahadatnya, menguji akidahnya. Padahal imam Bukhari berkata bahwa menguji akidah seseorang itu adalah perkara bid’ah. Saat beliau dituduh berpaham mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, orang-orang Naisabur menguji akidahnya, maka beliau berkata,
القُرْآنُ كَلَامُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ وَأَفْعَالُ الْعِبَادِ مَخْلُوْقَةٌ وَالْإِمْتِحَانُ بِدْعَةٌ
“Al-Qur’an itu kalam Allah bukan makhluk, perbuatan hamba itu makhluk dan menguji orang dalam aqidahnya adalah bid’ah”. (Lihat Hadyus Sari Muqoddimah Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, hal. 515, Siyar A’lam An-Nubala karya Ad-Dzahabi, Jilid 12, hal.454).
Menguji akidah orang itu hanya boleh dilakukan dalam dua hal;
Pertama, kepada orang yang datang dari negeri kafir menuju negeri muslim untuk diketahui apakah dia adalah mata-mata orang kafir atau bukan, berdasarkan firman Allah, “Wahai orang-orang beriman apabila datang kepada kalian perempuan-perempuan beriman yang berhijrah, maka ujilah iman mereka.” (QS. Al-Mumtahanah : 10).
Kedua, kepada hamba sahaya yang hendak dimerdekakan karena disyaratkan ia beriman yang dikhawatirkan kekafirannya karena berasal dari negeri kafir. Sebagaimana hadits seorang hamba perempuan (jariyah), yaitu ada seorang lelaki Anshar yang ingin memerdekakan hamba sahaya perempuannya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkan aku memerdekakannya? Rasulullah saw bersabda, “Datangkanlah ia kepadaku”. Maka akupun mendatangkannya kepada beliau. Lalu ia bertanya kepadanya, “Dimana Allah?” Ia menjawab, “Di langit”. Beliau bertanya lagi, “Siapa aku?” Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah saw.” Beliau bersabda, “Merdekakanlah ia sesungguhnya ia adalah seorang mu’minah.” (HR. Muslim, hadits no. 537).
Mereka secara serampangan menggunakan dalil di atas untuk menguji akidah siapa saja tanpa batasan seperti di atas, padahal imam Bukhari beserta para ulama lainnya menyatakan bahwa hal seperti itu adalah bid’ah.
Untuk menjadi seorang muslim dan beriman itu sangat mudah, tak perlu dibuat rumit. Hanya menyatakan syahadat, lalu meyakini rukun iman dan rukun Islam secara global, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan. Tidak semua orang dituntut untuk paham masalah rincian-rincian akidah, disamping itu merupakan wilayah ijtihad para ulama yang bisa saja menimbulkan perbedaan kesimpulan. Meyakini madzhab dan pendapatnya saja yang benar sembari menyesatkan pendapat lain dan men-tahdzir orang-orangnya dalam wilayah ijtihad ini merupakan sikap Ghuluw, berlebih-lebihan dalam agama, sehingga menimbulkan perpecahan.
Mentahdzir atau memperingatkan dari bahaya orang akan kesesatannya itu tidak mudah, ada dowabith, ada aturannya. Kalau ada orang atau kelompok yang jelas-jelas menyalahi dasar-dasar agama maka boleh kita katakan bahwa ia sesat, atau bahkan murtad, keluar dari Islam. Tapi itupun harus dibuktikan terlebih dahulu kemurtadannya oleh Qadhi, karena ada syaratnya misalnya ia tidak mengatakan itu karena dipaksa, atau ketidaktahuannya, atau bermaksud lain, telah disampaikan hujjah (iqomatul hujjah) di hadapannya, dsb.
Adapun mentahdzir dalam perkara yang sebenarnya merupakan perbedaan pendapat para ulama karena wilayah ijtihad, itu sangat tidak boleh. Atau karena masalah-masalah yang tidak disengaja, atau masalah sepele, kita harus saling menutupi aib sesama muslim, jangan mencari-cari kesalahan saudara kita sendiri. Lagi pula urusan tahdzir-mentahdzir itu bukan urusannya para ulama, da’i apalagi orang awam, ia adalah haknya Qadhi / Hakim yang dapat menentukan dengan ilmunya. Termasuk berdalih dengan ilmu jarh wat ta’dil, menyebutkan kecacatan dan keshalehan seseorang, menggunakannya dalam wilayah da’wah dengan mentahdzir ustadz-ustadz tertentu, adalah salah kaprah. Ilmu jarh wat ta’dil itu hanya digunakan dalam ilmu hadits dan untuk perowi hadits, tidak untuk di luar itu. Seperti perkataan Yahya bin Ma’in :
إِنَّا لَنَتَكَلَّمُ فِي رِجَالٍ يُوْشِكُ أَنْ يَكُوْنُوا حَطُّوا أَرْجُلَهُمْ بِالْجَنَّةِ قَبْلَ مِائَةِ عَامٍ، وَلكِنْ لِأَنْ يَكُوْنُوا خَصْمًا لَنَا أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ أَنْ يَكُوْنَ رَسُوْلُ اللهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ خَصْمًا لَنَا
“Sesungguhnya kami berbicara tentang (kecacatan) orang- orang, bisa jadi mereka telah melangkahkan kaki mereka ke surga seratus tahun lebih dulu. Tetapi mereka itu menjadi seteru kami (di hari kiamat) lebih kami sukai dari pada Rasulullah saw menjadi seteru kami.”
Lupakah kita kepada hadits-hadits Rasulullah saw yang menyuruh kita sibuk dengan aib sendiri dari pada sibuk dengan aib orang lain, bahkan kita disuruh untuk menutupi aib saudara seiman kita. Di antaranya, “Siapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim, hadits no.2699). “Beruntunglah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri dari pada aib orang lain.” (HR. Al-Bazzar, hadits no. 6237).
Sekelas imam Syafi’i saja, kita tahu bagaimana ketinggian keshalehan dan ilmunya, beliau tidak berani menyatakan dirinya shaleh, beliau berkata :

أُحِبُّ الصَّالِحِيْنَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَأَرْجُو أَنْ أَنَالَ بِهِمُ الشَّفَاعَةَ
وَأَكْرَهُ مَنْ تِجَارَتُهُ الْمَعَاصِي وَإِنْ كُنَّا سَوَاءً فِي الْبِضَاعَةِ

"Aku mencintai orang-orang shaleh dan aku bukan termasuk mereka
Aku berharap mendapatkan syafaat dari mereka
Dan aku membenci orang yang perdagangannya adalah maksiat
Meskipun keadaan kita sama dalam barang dagangannya"

(Diwan Imam Asy-Syafi’i, hal. 90)

Beliau juga mengatakan,
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيِ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
"Pendapatku benar berkemungkinan salah dan pendapat selainku salah berkemungkinan benar.”

Kumpulan ataupun organisasi-organisasi umat Islam itu hanyalah sebagai sebuah ijtihad dan wadah mereka untuk dapat merealisasikan Islam secara bersama-sama, selama mereka berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tidak menyalahi dasar-dasar Islam, mereka adalah orang-orang beriman. Tidak ada satu kelompok umat Islam pun yang 100% benar, yang namanya ijtihad, pasti ada benar dan salahnya, ada lebih dan kurangnya.
Akhirnya, mari kita merenungkan nasihat berharga dari Nabi Isa as,
لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللهِ فَتَقْسُوَ قُلُوْبُكُمْ فَإِنَّ الْقَلْبَ الْقَاسِي بَعِيْدٌ مِنَ اللهِ وَلكِنْ لَا تَعْلَمُوْنَ وَلَا تَنْظُرُوا فِي ذُنُوْبِ النَّاسِ كَأَنَّكُمْ أَرْبَابٌ وَانْظُرُوا فِي ذُنُوْبِكُمْ كَأَنَّكُمْ عَبِيْدٌ فَإِنَّمَا النَّاسَ مُبْتَلَى وَمُعَافَى فَارْحَمُوا أَهْلَ الْبَلَاءِ وَاحْمَدُوا اللهَ عَلَى الْعَافِيَةِ
"Janganlah kalian memperbanyak bicara selain dzikir kepada Allah, maka hati kalian menjadi keras, karena sesungguhnya hati yang keras itu jauh dari Allah tetapi kalian tidak mengetahui. Dan janganlah melihat dosa-dosa orang lain seakan-akan kalian adalah ahli ibadah, lihatlah dosa-dosa kalian seakan-akan kalian adalah hamba sahaya. Sesungguhnya manusia diberi cobaan (dengan berbuat dosa) dan dimaafkan. Maka sayangilah orang-orang yang diberi cobaan itu dan pujilah Allah atas ampunan-Nya.” (HR. Malik, hadits no. 1994).

Wallohu A'lam.

*****
Yang ingin memiliki buku Ringkasan Sirah Nabawiyyah, Butir-butir Perjalanan Hidup Rasulullah saw karya penulis, silahkan order melalui WA 085320759353 Harga 55rb, diskon jadi 40rb
 
Join Channel : telegram.me/kajianilmusyari

Versi webnya silahkan kunjungi : muhaatim.blogspot.com

Yang ingin ikut serta dalam pahala da'wah ini silahkan like dan share!

Muhammad Atim
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar