Hari ini masih ada muslim yang memandang
dirinya suci, telah bertakwa, merasa akidahnya paling benar, ibadahnya paling
sesuai sunnah, sembari dengan mudah menyebut muslim lainnya ahli bid’ah, sesat,
bahkan kufur. Merasa kelompoknya sendiri adalah satu-satunya yang akan selamat
(firqoh najiyah) yang akan masuk surga, sedangkan yang lainnya dianggap
berpecah belah (firqoh), hizbi, dan ahli neraka. Maka di sini perlu
diingatkan,
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Janganlah
kalian mengganggap diri kalian suci, Dialah yang lebih mengetahui orang yang
bertakwa.” (QS. An-Najm : 32).
Dengan mudah menuduh akidah di luar kelompoknya
sesat, menyalah-nyalahkan syahadatnya, menguji akidahnya. Padahal imam Bukhari
berkata bahwa menguji akidah seseorang itu adalah perkara bid’ah. Saat beliau
dituduh berpaham mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk,
orang-orang Naisabur menguji akidahnya, maka beliau berkata,
القُرْآنُ كَلَامُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ وَأَفْعَالُ الْعِبَادِ
مَخْلُوْقَةٌ وَالْإِمْتِحَانُ بِدْعَةٌ
“Al-Qur’an itu kalam Allah bukan makhluk,
perbuatan hamba itu makhluk dan menguji orang dalam aqidahnya adalah bid’ah”. (Lihat Hadyus Sari Muqoddimah Fathul Bari
karya Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, hal. 515, Siyar A’lam An-Nubala karya
Ad-Dzahabi, Jilid 12, hal.454).
Menguji akidah orang itu hanya boleh dilakukan
dalam dua hal;
Pertama, kepada orang yang datang dari negeri kafir menuju
negeri muslim untuk diketahui apakah dia adalah mata-mata orang kafir atau
bukan, berdasarkan firman Allah, “Wahai orang-orang beriman apabila datang
kepada kalian perempuan-perempuan beriman yang berhijrah, maka ujilah iman
mereka.” (QS. Al-Mumtahanah : 10).
Kedua, kepada hamba sahaya yang hendak dimerdekakan karena
disyaratkan ia beriman yang dikhawatirkan kekafirannya karena berasal dari
negeri kafir. Sebagaimana hadits seorang hamba perempuan (jariyah),
yaitu ada seorang lelaki Anshar yang ingin memerdekakan hamba sahaya
perempuannya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkan aku memerdekakannya? Rasulullah
saw bersabda, “Datangkanlah ia kepadaku”. Maka akupun mendatangkannya
kepada beliau. Lalu ia bertanya kepadanya, “Dimana Allah?” Ia menjawab, “Di
langit”. Beliau bertanya lagi, “Siapa aku?” Ia menjawab, “Engkau
adalah Rasulullah saw.” Beliau bersabda, “Merdekakanlah ia sesungguhnya
ia adalah seorang mu’minah.” (HR. Muslim, hadits no. 537).
Mereka secara serampangan menggunakan dalil di
atas untuk menguji akidah siapa saja tanpa batasan seperti di atas, padahal
imam Bukhari beserta para ulama lainnya menyatakan bahwa hal seperti itu adalah
bid’ah.
Untuk menjadi seorang muslim dan beriman itu
sangat mudah, tak perlu dibuat rumit. Hanya menyatakan syahadat, lalu meyakini
rukun iman dan rukun Islam secara global, melaksanakan kewajiban dan menjauhi
larangan. Tidak semua orang dituntut untuk paham masalah rincian-rincian
akidah, disamping itu merupakan wilayah ijtihad para ulama yang bisa saja
menimbulkan perbedaan kesimpulan. Meyakini madzhab dan pendapatnya saja yang
benar sembari menyesatkan pendapat lain dan men-tahdzir orang-orangnya dalam
wilayah ijtihad ini merupakan sikap Ghuluw, berlebih-lebihan dalam agama,
sehingga menimbulkan perpecahan.
Mentahdzir atau memperingatkan dari bahaya
orang akan kesesatannya itu tidak mudah, ada dowabith, ada aturannya. Kalau ada
orang atau kelompok yang jelas-jelas menyalahi dasar-dasar agama maka boleh
kita katakan bahwa ia sesat, atau bahkan murtad, keluar dari Islam. Tapi itupun
harus dibuktikan terlebih dahulu kemurtadannya oleh Qadhi, karena ada syaratnya
misalnya ia tidak mengatakan itu karena dipaksa, atau ketidaktahuannya, atau
bermaksud lain, telah disampaikan hujjah (iqomatul hujjah) di
hadapannya, dsb.
Adapun mentahdzir dalam perkara yang
sebenarnya merupakan perbedaan pendapat para ulama karena wilayah ijtihad, itu
sangat tidak boleh. Atau karena masalah-masalah yang tidak disengaja, atau
masalah sepele, kita harus saling menutupi aib sesama muslim, jangan
mencari-cari kesalahan saudara kita sendiri. Lagi pula urusan
tahdzir-mentahdzir itu bukan urusannya para ulama, da’i apalagi orang awam, ia
adalah haknya Qadhi / Hakim yang dapat menentukan dengan ilmunya. Termasuk berdalih
dengan ilmu jarh wat ta’dil, menyebutkan kecacatan dan keshalehan
seseorang, menggunakannya dalam wilayah da’wah dengan mentahdzir ustadz-ustadz
tertentu, adalah salah kaprah. Ilmu jarh wat ta’dil itu hanya digunakan dalam
ilmu hadits dan untuk perowi hadits, tidak untuk di luar itu. Seperti perkataan
Yahya bin Ma’in :
إِنَّا لَنَتَكَلَّمُ
فِي رِجَالٍ يُوْشِكُ أَنْ يَكُوْنُوا حَطُّوا أَرْجُلَهُمْ بِالْجَنَّةِ قَبْلَ مِائَةِ عَامٍ، وَلكِنْ لِأَنْ يَكُوْنُوا
خَصْمًا لَنَا أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ أَنْ يَكُوْنَ رَسُوْلُ اللهِ ـ صلى الله
عليه وسلم ـ خَصْمًا لَنَا
“Sesungguhnya kami berbicara tentang (kecacatan)
orang- orang, bisa jadi mereka telah melangkahkan kaki mereka ke surga seratus
tahun lebih dulu. Tetapi mereka itu menjadi seteru kami (di hari kiamat) lebih
kami sukai dari pada Rasulullah saw menjadi seteru kami.”
Lupakah kita kepada hadits-hadits Rasulullah
saw yang menyuruh kita sibuk dengan aib sendiri dari pada sibuk dengan aib
orang lain, bahkan kita disuruh untuk menutupi aib saudara seiman kita. Di antaranya,
“Siapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di dunia
dan akhirat.” (HR. Muslim, hadits no.2699). “Beruntunglah orang yang
disibukkan oleh aibnya sendiri dari pada aib orang lain.” (HR. Al-Bazzar,
hadits no. 6237).
Sekelas imam Syafi’i saja, kita tahu bagaimana
ketinggian keshalehan dan ilmunya, beliau tidak berani menyatakan dirinya
shaleh, beliau berkata :
أُحِبُّ الصَّالِحِيْنَ وَلَسْتُ
مِنْهُمْ وَأَرْجُو أَنْ أَنَالَ بِهِمُ الشَّفَاعَةَ
وَأَكْرَهُ مَنْ تِجَارَتُهُ
الْمَعَاصِي وَإِنْ كُنَّا سَوَاءً فِي الْبِضَاعَةِ
"Aku mencintai orang-orang
shaleh dan aku bukan termasuk mereka
Aku berharap mendapatkan syafaat
dari mereka
Dan aku membenci orang yang
perdagangannya adalah maksiat
Meskipun keadaan kita sama dalam
barang dagangannya"
(Diwan Imam Asy-Syafi’i, hal. 90)
Beliau juga mengatakan,
رَأْيِي صَوَابٌ
يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيِ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
"Pendapatku benar berkemungkinan salah
dan pendapat selainku salah berkemungkinan benar.”
Kumpulan ataupun organisasi-organisasi umat
Islam itu hanyalah sebagai sebuah ijtihad dan wadah mereka untuk dapat
merealisasikan Islam secara bersama-sama, selama mereka berlandaskan kepada
Al-Qur’an dan Sunnah, tidak menyalahi dasar-dasar Islam, mereka adalah
orang-orang beriman. Tidak ada satu kelompok umat Islam pun yang 100% benar,
yang namanya ijtihad, pasti ada benar dan salahnya, ada lebih dan kurangnya.
Akhirnya, mari kita merenungkan nasihat
berharga dari Nabi Isa as,
لَا
تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللهِ فَتَقْسُوَ قُلُوْبُكُمْ فَإِنَّ الْقَلْبَ
الْقَاسِي بَعِيْدٌ مِنَ اللهِ وَلكِنْ لَا تَعْلَمُوْنَ وَلَا تَنْظُرُوا فِي ذُنُوْبِ
النَّاسِ كَأَنَّكُمْ أَرْبَابٌ وَانْظُرُوا فِي ذُنُوْبِكُمْ كَأَنَّكُمْ عَبِيْدٌ
فَإِنَّمَا النَّاسَ مُبْتَلَى وَمُعَافَى فَارْحَمُوا أَهْلَ الْبَلَاءِ وَاحْمَدُوا
اللهَ عَلَى الْعَافِيَةِ
"Janganlah kalian memperbanyak bicara
selain dzikir kepada Allah, maka hati kalian menjadi keras, karena sesungguhnya
hati yang keras itu jauh dari Allah tetapi kalian tidak mengetahui. Dan janganlah
melihat dosa-dosa orang lain seakan-akan kalian adalah ahli ibadah, lihatlah
dosa-dosa kalian seakan-akan kalian adalah hamba sahaya. Sesungguhnya manusia
diberi cobaan (dengan berbuat dosa) dan dimaafkan. Maka sayangilah orang-orang
yang diberi cobaan itu dan pujilah Allah atas ampunan-Nya.” (HR. Malik,
hadits no. 1994).
Wallohu A'lam.
*****
Yang ingin memiliki buku Ringkasan Sirah Nabawiyyah, Butir-butir Perjalanan Hidup Rasulullah saw karya penulis, silahkan order melalui WA 085320759353 Harga 55rb, diskon jadi 40rb
Join Channel : telegram.me/kajianilmusyari
Versi webnya silahkan kunjungi : muhaatim.blogspot.com
Yang ingin ikut serta dalam pahala da'wah ini silahkan like dan share!
Muhammad Atim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar