Apakah Al-Qur’an hanya boleh ditafsirkan
generasi salaf saja?
Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar dan abadi
bagi Rasulullah saw. Karena umat Rasulullah saw bukan hanya pada masa beliau
hidup saja, tetapi seluruh manusia sampai hari kiamat, maka meskipun beliau
telah wafat, mu’jizat itu harus tetap ada, itulah Al-Qur’an. Sehingga kemu’jizatan
Al-Qur’an itu akan terus dapat disingkap sesuai perkembangan zaman. Untuk itu
penafsiran Al-Qur’an tidak terbatas pada generasi salaf saja.
Allah SWT membagikan pemahaman kepada manusia
di setiap generasi adalah sebagai sebuah rizki. “Dan pemberian Tuhanmu tidak
dapat dihalangi” (QS. Al-Isro : 20). Ali bin Abi Thalib ra menjelaskan,
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَلْ عِنْدَكُمْ
كِتَابٌ قَالَ لَا إِلَّا كِتَابُ اللهِ أَوْ فَهْمٌ أُعْطِيَهُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ أَوْ
مَا فِي هذِهِ الصَّحِيْفَةِ قَالَ قُلْتُ فَمَا فِي هذِهِ الصَّحِيْفَةِ قَالَ العَقْلُ
وَفِكَاكُ الْأَسِيْرِ وَلَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Dari Abi
Juhaifah ia berkata, Aku bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, “Apakah kalian
memiliki kitab?” Ia menjawab, “Tidak, kecuali Kitab Allah atau pemahaman
yang diberikan kepada seorang muslim, atau apa yang ada pada lembaran ini.”
Aku katakan, “Apa yang ada dalam lembaran ini?” Dia menjawab, “Tebusan,
membebaskan tawanan, dan jangan seorang muslim dibunuh karena membunuh seorang
kafir (yang berhak dibunuh).” (HR. Bukhari, Kitab Al-Ilmi Bab Kitabatul Ilmi, no.111).
Hal itu karena Rasulullah saw menjelaskan
Al-Qur’an dengan pengamalan beliau dan menafsirkan secara maknanya melalui
hadits-hadits beliau. Adapun tafsir secara lafazh, tidak semua lafazh Al-Qur’an
beliau tafsirkan, bahkan hanya sedikit hadits-hadits yang menafsirkan lafazh
Al-Qur’an secara langsung. Para sahabat, meski perkataan mereka didahulukan
dalam tafsir karena lebih memahami situasi turunnya Al-Qur’an, dan ada yang
diberikan pemahaman yang lebih banyak seperti Ibnu Abbas ra, tetapi penafsiran
tidak terbatas pada mereka. Begitu pun tabi’in. Karena kalau terbatas pada
mereka, tertutuplah pintu ijtihad dan tidak ada keistimewaan pada generasi
selain mereka. Seperti kata Ibnu Taimiyyah dalam kitab Muqoddimah fi Ushul
At-Tafsir, bahwa dalam tafsir bisa saja generasi salaf menyebutkan sebagian
macam dari hal yang umum sebagai sebuah contoh dan untuk menarik perhatian
pendengar terhadap salah satu macam itu –bukan sebagai sebuah pembatasan makna
dalam keumuman dan kekhususannya- seperti seorang non-arab yang bertanya
tentang makna al-hubzu (roti), lalu diperlihatkan roti dan dikatakan “Ini”.
Tentu itu bukan sebuah pembatasan makna roti tapi menyebutkan salah satu
contohnya saja.
Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkam
(yang sangat jelas maknanya) dan ada ayat-ayat yang mutasyabih (yang
belum jelas maknanya). Yang mutasyabih itu ada yang tetap dalam keadaan
seperti itu selamanya seperti huruf-huruf muqotho’ah di awal-awal surat,
ada pula yang sementara waktu saja, ia akan disingkap oleh orang yang diberikan
rizki pemahaman oleh Allah pada suatu zaman. Tentu saja penyingkapan itu harus
berdasarkan ilmu tidak sembarangan seperti pemahaman mendalam terhadap
ilmu-ilmu bahasa Arab, ushul fiqih, dsb. Seperti kata jalan orang-orang
beriman dalam ayat “Barangsiapa yang mendurhakai rasul setelah jelas
baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman. Kami biarkan
dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke
dalam neraka jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa
: 115). Pada zaman Rasul saw dan para sahabat ini masih mutasyabih, bukankah
jalan orang-orang beriman itu adalah jalan Rasulullah saw, mengapa dibedakan? Barulah
kemudian imam Syafi’i dapat menyingkapnya bahwa yang dimaksud dengan jalan
orang-orang beriman itu adalah Ijma’.
Begitu pula sepanjang sejarah umat Islam, di
setiap zamannya ada saja para ulama yang mampu menyingkap makna-makna Al-Qur’an
yang dalam itu yang mereka tuangkan dalam kitab-kitab tafsir mereka. Ini menujukkan
kemu’jizatan serta keluasan dan kedalaman makna yang dikandung oleh Al-Qur’an
yang mampu menjawab permasalahan di setiap zaman. Begitu pun di zaman ini, di
saat teknologi berkembang yang mampu melakukan berbagai penelitian, telah ada
ribuan ayat-ayat tentang alam semesta yang dapat disingkap kebenaran dan kemu’jizatannya.
Seperti ayat “Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai untuk
kalian tunggangi dan menjadi perhiasan, dan Allah menciptakan apa yang tidak
kalian ketahui.” (QS. An-Nisa : 8). Pada zaman Rasulullah saw, masih belum
jelas kata Allah menciptakan apa yang tidak kalian ketahui, tapi hari
ini kita bisa menyaksikannya ada sepeda, motor, mobil, kereta, pesawat, kapal
laut, dsb, dan mungkin juga hari ini ada kendaraan yang belum kita ketahui,
tapi akan ada di masa depan. Untuk itulah Syekh M. Thahir Ibnu Asyur meluruskan
pemahaman orang yang terpaku kepada penafsiran generasi salaf atau juga sebaliknya
menolak penafsiran salaf yang dianggap kuno dan hanya menerima penafsiran
modern, “Kedua keadaan itu sangat berbahaya. Ada keadaan lain yang dapat
memperbaiki sayap yang retak itu, yaitu kita berpegang teguh kepada apa yang
telah dibangun oleh generasi terdahulu lalu kita menyeleksinya, dan kita
menambahkannya.” (At-Tahrir wat Tanwir, hal.7). untuk itulah ada dua metode
penafsiran yang tidak bisa dipisahkan yaitu bil ma’tsur dan bir ro’yi.
Ini menunjukkan kemu’jizatan Al-Qur’an yang tidak pernah habis. Sebagaimana
hadits mauquf dari Ali ra tentang Al-Qur’an “Dia adalah tali Allah yang
kokoh, peringatan dan penuh hikmah, jalan yang lurus, yang dengannya hawa nafsu
tidak melenceng, lisan-lisan tidak terpeleset, para ulama tidak pernah kenyang
darinya, tidak lecek karena banyak dibolak-balik, dan tidak pernah habis
keajaiban-keajaibannya.” (HR. Tirmidzi, Ad-Darimi, dll).
Oleh karena itu Ibnu Malik berkata dalam muqoddimah
Tashilnya,
وَإِذَا كَانَتِ الْعُلُوْمُ مِنَحًا إِلهِيَّةً، وَمَوَاهِبَ اِخْتِصَاصِيَّةً،
فَغَيْرُ مُسْتَبْعَدٍ أَنْ يُدَّخَرَ لِبَعْضِ الْمُتَأَخِّرِيْنَ مَا عُسِرَ عَلَى
كَثِيْرٍ مِنَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ
“Apabila ilmu-ilmu itu adalah pemberian Allah
dan karunia keistemewaan, maka tidak aneh jika disimpan untuk sebagian
orang-orang belakangan apa yang terasa sulit bagi kebanyakan orang-orang
terdahulu.” (At-Tashil, hal.2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar