Oleh : Muhammad Atim
Ketika kita menyadari betapa pentingnya pendidikan, selanjutnya
seringkali muncul pertanyaan, siapakah yang bertanggung jawab terhadap
berjalannya pendidikan tersebut? Tak jarang terjadi sikap saling melemparkan
tanggung jawab. Orang tua yang menyekolahkan anaknya ke suatu lembaga sekolah,
ia merasa telah lepas tanggung jawab dan membebankan sepenuhnya kepada sekolah.
Begitu pula sebaliknya, seringkali sekolah menyalahkan orang tuanya ketika sang
murid memiliki sikap yang tidak baik. Rakyat seringkali mencela pemerintah
karena tidak benar menjalankan program pendidikan. Begitu pun sebaliknya,
pemerintah melemparkan kesalahan kepada rakyat. Sikap saling melempar tanggung
jawab dan kesalahan ini tidak akan menyelesaikan masalah. Karena sebenarnya,
setiap pihak, memiliki bagian tanggung jawab yang mesti ditunaikan dalam
pendidikan.
Allah SWT menciptakan manusia dengan bekal fitrah yang dilekatkan
kepadanya. Fitrah adalah sifat bawaan dari penciptaan yang siap menerima
kebenaran Islam, mengesakan Allah SWT. Allah SWT memerintahkan kita untuk
menjaga dan menggunakan fitrah tersebut dengan mengikuti agama Islam. Usaha
menjaga dan menggunakan fitrah itu dilalui dengan proses pendidikan.
Allah SWT berfirman, “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Ruum : 30).
Dalam
hadits dijelaskan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ
إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ
فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ " ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ:
"فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّم" [الروم ٣٠]. رَوَاهُ الْبُخَارِي
“Dari Abu
Hurairah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda : “Tidak ada seorang anak yang
dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah
yang menjadikannya Yahudi, Kristen atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak
yang melahirkan binatang ternak yang sempurna. Apakah kamu melihat padanya ada
kecacatan? Kemudian Abu Hurairah ra membacakan “fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS.
Ar-Ruum : 30).” (HR. Bukhari).[1]
Dalam ayat lain
dijelaskan, “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Ibnu
Katsir menafsirkan ayat di atas, “Sufyan Ats-Tsauri berkata dari Manshur, dari
seorang laki-laki, dari Ali ra tentang firman-Nya “Peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka”, ia berkata, “Ajarkanlah mereka adab,
ajarkanlah mereka ilmu”. Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, “Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka”, ia berkata, “Beramallah dengan
ketaatan kepada Allah, bertakwalah dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah,
suruhlah keluargamu dengan dzikir yang dapat menyelamatkan kalian dari neraka.”
Mujahid berkata, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, ia
berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan wasiatkanlah keluarga kalian dengan
ketakwaan kepada Allah”. Qatadah berkata, “Kamu memerintahkan mereka dengan
ketaatan kepada Allah dan melarang mereka dari kemaksiatan kepada Allah,
ditegakkannya perintah Allah atas mereka, memerintahkan mereka dengannya dan
membantu mereka, jika kamu melihat kemaksiatan kepada Allah, cegahlah mereka
darinya dan laranglah mereka.” Begitu pula yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak dan
Muqotil, “Kewajiban bagi seorang muslim untuk mengajari keluarganya dari
kerabatnya, hamba sahaya perempuan dan laki-lakinya, apa yang Allah wajibkan
atas mereka dan apa yang Ia larang.”
“Semakna
dengan ayat ini, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud dan
Tirmidzi, dari hadits Abdul Malik bin Rabi’ bin Sabrah, dari bapaknya, dari
kakeknya, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Perintahkanlah anak kecil
untuk shalat apabila ia mencapai usia tujuh tahun, maka jika ia mencapai usia
sepuluh tahun pukullah jika ia menolaknya.” Ini lafadz Abu Dawud. Tirmidzi
berkata, “Ini hadits hasan”. Abu Dawud meriwayatkan dari hadits Amr bin
Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi saw seperti itu. Para ahli
fiqih berkata, “Dan begitu pula dalam shaum, agar hal itu menjadi latihan
baginya terhadap ibadah, supaya ketika ia balig sudah terbiasa dengan ibadah,
taat, menjauhi maksiat dan meninggalkan kemungkaran.” Allah-lah yang memberi
taufiq.”[2]
Dengan
penjabaran di atas jelaslah bahwa orang tua yang khitob dari ayat dan
hadits di atas ditujukan langsung kepadanya, menjadi pemegang inti dari amanah
pendidikan terhadap anak-anaknya. Barulah setelah itu ada bagian amanah yang
dipikul oleh sekolah yang termasuk guru di dalamnya, begitu pula masyarakat dan
negara.
Imam Abu Hamid
Al-Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa jalan dalam mendidik anak-anak merupakan
perkara yang paling penting dan paling ditekankan. Anak adalah amanah di sisi
kedua orang tuanya. Hatinya yang bersih adalah mutiara berharga, jernih dan
kosong dari setiap pahatan dan gambar. Ia siap menerima setiap apa yang
diukirkan kepadanya, akan condong kepada apa yang ia dibuat condong kepadanya.
Maka jika ia dibiasakan dengan kebaikan dan diajari dengannya, ia akan tumbuh
di atasnya dan bahagia di dunia dan akhirat. Bersama-samalah di dalam
mendapatkan pahalanya, kedua orang tuanya dan setiap pengajar (mu’allim)
dan pendidik (muaddib). Tetapi jika dibiasakan dengan kejelekan,
ditelantarkan seperti ditelantarkannya hewan ternak, ia celaka dan binasa, dan
dosanya ditanggung oleh orang yang bertanggung jawab terhadapnya. Sungguh Allah
SWT telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka.”[3]
Muhammad
Quthb menyebutkan empat elemen penting yang masing-masing punya peran dan
tanggung jawab dalam suatu proses pendidikan. Empat elemen tersebut yaitu
rumah, jalan, sekolah dan masyarakat. Beliau mengatakan, “Jika kita ingin
mendidik anak-anak kita dengan pendidikan yang islami –dan hal itu merupakan
konsekwensi yang alami karena keadaan kita sebagai orang muslim- maka harus
–tanpa perlu pemikiran lagi- kita memiliki rumah yang islami, jalan yang
islami, sekolah yang islami dan masyarakat yang islami. Jika tidak, hasil di
akhirnya tidak akan sesuai dengan yang kita harapkan. Rumah, sebagaimana kami
katakan, adalah pemberi pengaruh pertama dan ia merupakan faktor terkuat dari
empat elemen tersebut, dikarenakan melekatnya anak dengannya, menghabiskan masa
yang paling panjang sejak kecil di dalamnya, dan karena rumahlah yang pertama
menerima benih sang anak dan memberi pengaruh dalam pembentukkan pribadinya.”[4]
Tanggung
jawab pendidikan itu pertama dipikul di dalam rumahnya oleh orang tuanya atau
siapapun yang menggantikan posisinya. Berikutnya jalan. Yang dimaksud dengan
jalan adalah setiap lingkungan yang ada di sekitarnya yang tentu akan dilalui
oleh anak, dan ini merupakan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur
fasilitas-fasilitas umum serta peraturan-peraturan yang berlaku, termasuk juga
mengendalikan media-media yang banyak memberi pengaruh terhadap anak, serta
lebih khusus pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menjalankan program
pendidikan. Begitu pula sekolah dari mulai pimpinan pengelolanya, guru-guru
bahkan petugas sekolah sekalipun. Selanjutnya masyarakat baik dari kalangan
dewasa maupun teman sebayanya karena teman memberikan pengaruh yang cukup besar
pada prilaku anak.
Semua
elemen tersebut memegang bagian amanah dalam pendidikan yang akan dipertanggung
jawabkan di hadapan Allah. Dalam sebuah hadits diingatkan,
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ
رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ
فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ
سَيِّدِهِ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ
رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيْهِ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِي
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata, aku
mendengar Rasulullah saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah
pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami
adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya.
Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas rumah tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam
urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan tanggung
jawabnya tersebut.” Aku menduga Ibnu Umar menyebutkan, “Dan seorang laki-laki
adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban
atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari).[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar