Selasa, 11 Juli 2017

Tanggung Jawab Pendidikan


Oleh : Muhammad Atim

Ketika kita menyadari betapa pentingnya pendidikan, selanjutnya seringkali muncul pertanyaan, siapakah yang bertanggung jawab terhadap berjalannya pendidikan tersebut? Tak jarang terjadi sikap saling melemparkan tanggung jawab. Orang tua yang menyekolahkan anaknya ke suatu lembaga sekolah, ia merasa telah lepas tanggung jawab dan membebankan sepenuhnya kepada sekolah. Begitu pula sebaliknya, seringkali sekolah menyalahkan orang tuanya ketika sang murid memiliki sikap yang tidak baik. Rakyat seringkali mencela pemerintah karena tidak benar menjalankan program pendidikan. Begitu pun sebaliknya, pemerintah melemparkan kesalahan kepada rakyat. Sikap saling melempar tanggung jawab dan kesalahan ini tidak akan menyelesaikan masalah. Karena sebenarnya, setiap pihak, memiliki bagian tanggung jawab yang mesti ditunaikan dalam pendidikan.
Allah SWT menciptakan manusia dengan bekal fitrah yang dilekatkan kepadanya. Fitrah adalah sifat bawaan dari penciptaan yang siap menerima kebenaran Islam, mengesakan Allah SWT. Allah SWT memerintahkan kita untuk menjaga dan menggunakan fitrah tersebut dengan mengikuti agama Islam. Usaha menjaga dan menggunakan fitrah itu dilalui dengan proses pendidikan.
Allah SWT berfirman, Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Ruum : 30). 
Dalam hadits dijelaskan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ " ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: "فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّم" [الروم ٣٠]. رَوَاهُ الْبُخَارِي
“Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda : “Tidak ada seorang anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Kristen atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak yang sempurna. Apakah kamu melihat padanya ada kecacatan? Kemudian Abu Hurairah ra membacakan “fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Ruum : 30).” (HR. Bukhari).[1] 
Dalam ayat lain dijelaskan, Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. At-Tahrim: 6).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas, “Sufyan Ats-Tsauri berkata dari Manshur, dari seorang laki-laki, dari Ali ra tentang firman-Nya “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, ia berkata, “Ajarkanlah mereka adab, ajarkanlah mereka ilmu”. Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, ia berkata, “Beramallah dengan ketaatan kepada Allah, bertakwalah dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah, suruhlah keluargamu dengan dzikir yang dapat menyelamatkan kalian dari neraka.” Mujahid berkata, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, ia berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan wasiatkanlah keluarga kalian dengan ketakwaan kepada Allah”. Qatadah berkata, “Kamu memerintahkan mereka dengan ketaatan kepada Allah dan melarang mereka dari kemaksiatan kepada Allah, ditegakkannya perintah Allah atas mereka, memerintahkan mereka dengannya dan membantu mereka, jika kamu melihat kemaksiatan kepada Allah, cegahlah mereka darinya dan laranglah mereka.” Begitu pula yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak dan Muqotil, “Kewajiban bagi seorang muslim untuk mengajari keluarganya dari kerabatnya, hamba sahaya perempuan dan laki-lakinya, apa yang Allah wajibkan atas mereka dan apa yang Ia larang.”
“Semakna dengan ayat ini, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, dari hadits Abdul Malik bin Rabi’ bin Sabrah, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Perintahkanlah anak kecil untuk shalat apabila ia mencapai usia tujuh tahun, maka jika ia mencapai usia sepuluh tahun pukullah jika ia menolaknya.” Ini lafadz Abu Dawud. Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan”. Abu Dawud meriwayatkan dari hadits Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi saw seperti itu. Para ahli fiqih berkata, “Dan begitu pula dalam shaum, agar hal itu menjadi latihan baginya terhadap ibadah, supaya ketika ia balig sudah terbiasa dengan ibadah, taat, menjauhi maksiat dan meninggalkan kemungkaran.” Allah-lah yang memberi taufiq.”[2]  
Dengan penjabaran di atas jelaslah bahwa orang tua yang khitob dari ayat dan hadits di atas ditujukan langsung kepadanya, menjadi pemegang inti dari amanah pendidikan terhadap anak-anaknya. Barulah setelah itu ada bagian amanah yang dipikul oleh sekolah yang termasuk guru di dalamnya, begitu pula masyarakat dan negara.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa jalan dalam mendidik anak-anak merupakan perkara yang paling penting dan paling ditekankan. Anak adalah amanah di sisi kedua orang tuanya. Hatinya yang bersih adalah mutiara berharga, jernih dan kosong dari setiap pahatan dan gambar. Ia siap menerima setiap apa yang diukirkan kepadanya, akan condong kepada apa yang ia dibuat condong kepadanya. Maka jika ia dibiasakan dengan kebaikan dan diajari dengannya, ia akan tumbuh di atasnya dan bahagia di dunia dan akhirat. Bersama-samalah di dalam mendapatkan pahalanya, kedua orang tuanya dan setiap pengajar (mu’allim) dan pendidik (muaddib). Tetapi jika dibiasakan dengan kejelekan, ditelantarkan seperti ditelantarkannya hewan ternak, ia celaka dan binasa, dan dosanya ditanggung oleh orang yang bertanggung jawab terhadapnya. Sungguh Allah SWT telah berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”[3]
Muhammad Quthb menyebutkan empat elemen penting yang masing-masing punya peran dan tanggung jawab dalam suatu proses pendidikan. Empat elemen tersebut yaitu rumah, jalan, sekolah dan masyarakat. Beliau mengatakan, “Jika kita ingin mendidik anak-anak kita dengan pendidikan yang islami –dan hal itu merupakan konsekwensi yang alami karena keadaan kita sebagai orang muslim- maka harus –tanpa perlu pemikiran lagi- kita memiliki rumah yang islami, jalan yang islami, sekolah yang islami dan masyarakat yang islami. Jika tidak, hasil di akhirnya tidak akan sesuai dengan yang kita harapkan. Rumah, sebagaimana kami katakan, adalah pemberi pengaruh pertama dan ia merupakan faktor terkuat dari empat elemen tersebut, dikarenakan melekatnya anak dengannya, menghabiskan masa yang paling panjang sejak kecil di dalamnya, dan karena rumahlah yang pertama menerima benih sang anak dan memberi pengaruh dalam pembentukkan pribadinya.”[4]
Tanggung jawab pendidikan itu pertama dipikul di dalam rumahnya oleh orang tuanya atau siapapun yang menggantikan posisinya. Berikutnya jalan. Yang dimaksud dengan jalan adalah setiap lingkungan yang ada di sekitarnya yang tentu akan dilalui oleh anak, dan ini merupakan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur fasilitas-fasilitas umum serta peraturan-peraturan yang berlaku, termasuk juga mengendalikan media-media yang banyak memberi pengaruh terhadap anak, serta lebih khusus pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menjalankan program pendidikan. Begitu pula sekolah dari mulai pimpinan pengelolanya, guru-guru bahkan petugas sekolah sekalipun. Selanjutnya masyarakat baik dari kalangan dewasa maupun teman sebayanya karena teman memberikan pengaruh yang cukup besar pada prilaku anak. 
Semua elemen tersebut memegang bagian amanah dalam pendidikan yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Dalam sebuah hadits diingatkan,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيْهِ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِي
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rumah tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” Aku menduga Ibnu Umar menyebutkan, “Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari).[5]


[1] Shahih Bukhari, hadits no.1271
[2] Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, hal.167
[3] Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal.955
[4] Muhammad Quthb, Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyyah, hal.330
[5] Shohih Bukhari, hadits no.844

Tidak ada komentar:

Posting Komentar