Jumat, 02 September 2016

Semangat mendalami Islam seperti lari berperang

Selalu ada makna menarik dari uraian Syekh Thohir bin ‘Asyur dalam tafsirnya At-Tahrir wat Tanwir, karena kepiawaian beliau dalam menelaah bahasa Al-Qur’an, sehingga tersingkaplah kemu’jizatan bahasa Al-Qur’an yang lafadz-lafadznya sangat rapih dan mengandung makna yang mandalam. Berkenaan dengan ayat berikut,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang Mu’min itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk Tafaquh Fi Diin (memperdalam agama) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga diri.” (QS. At-Taubah: 122)
Beliau menjelaskan bahwa di antara keindahan penjelasannya, memberikan pembanding pada bentuk kalimat tahridh (memberi dorongan kuat) untuk berperang dengan bentuk kalimat tahridh pula untuk menuntut ilmu. Yaitu, dorongan kuat untuk berperang dengan kalimat “Tidak layak bagi penduduk Madinah dan yang di sekitarnya berupa orang-orang Arab badui untuk tertinggal perang dari Rosululloh”, dan dorongan kuat untuk menuntut ilmu dengan kalimat “Tidak layak bagi orang-orang beriman untuk berangkat seluruhnya ke medan perang, mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk tafaqquh fid diin.” Yang kedua-duanya menggunakan huruf Lam Al-Juhud, yang berfungsi sebagai dorongan meninggalkan sejauh-jauhnya yang dilarang. Artinya, baik pergi ke medan jihad atau pun mendalami agama Islam, kedua-duanya adalah keharusan yang ditekankan, kedua-duanya adalah wajib kifayah. Tentu jihad yang dimaksud di sini adalah perang yang dinamakan Sariyah (yang tidak dipimpin langsung oleh Rosululloh saw tetapi beliau mengirimkan utusan) yang hukumnya fardu kifayah, bukan perang yang disebut Ghozwah yang dipimpin langsung oleh beliau yang hukumnya fardu ‘Ain.
Selain itu, perhatikan pula penggunaan kata nafaro yang berarti lari baik untuk berperang maupun untuk memperdalam agama. Untuk berperang Alloh SWT menyebut لِيَنْفِرُوا dan untuk memperdalam agama Alloh SWT menyebut نَفَرَ. Ini mengandung makna, kita didorong untuk lari mengejar ilmu dan memperdalam agama seperti halnya kita lari menuju medan perang.
Seperti halnya berangkat menuju medan perang diperlukan persiapan dan perlengkapan maka untuk menuntut ilmu Islam pun diperlukan hal yang sama. Di medan perang dibutuhkan kesungguhan dan kesabaran dalam menghadapi musuh, begitu pula saat menuntut ilmu dibutuhkan kesungguhan dan kesabaran melawan hawa nafsu sendiri yang akan menghalanginya dari keberhasilan dalam menuntut ilmu. Terlebih, dalam konteks ini Alloh SWT menggunakan kata tafaqquh yang berarti bersusah payah mencapai fiqih, sedangkan fiqih itu sendiri bermakna pemahaman yang mendalam. Untuk itulah Alloh SWT memberikan kebaikan kepada orang yang mencapai fiqih. 
عَنْ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ. رواه البخاري
“Dari Muawiyyah ra ia berkata, Aku mendengar Nabi saw bersabda: “Siapa yang Alloh kehendaki kebaikan terhadapnya, maka Alloh menjadikannya faqih dalam agama.” (HR. Bukhori)
Berjihad dan menuntut ilmu kedua-duanya menempati kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat muslim. Dengan jihad akan diraihlah kemuliaan Islam, tersebarnya da’wah dan semakin memperluas kekuasaan Islam yang menyebarkan keadilan. Dan dengan ilmu Islam yang mendalam akan tegaknya bangunan masyarakat yang kokoh yang mampu memikul tugas mengurus bumi dengan petunjuk-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar