Selalu ada makna menarik dari uraian Syekh Thohir bin ‘Asyur dalam
tafsirnya At-Tahrir wat Tanwir, karena kepiawaian beliau dalam menelaah bahasa
Al-Qur’an, sehingga tersingkaplah kemu’jizatan bahasa Al-Qur’an yang
lafadz-lafadznya sangat rapih dan mengandung makna yang mandalam. Berkenaan
dengan ayat berikut,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ
لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang Mu’min itu semuanya
pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka
tidak pergi untuk Tafaquh Fi Diin (memperdalam agama) dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat
menjaga diri.” (QS. At-Taubah: 122)
Beliau menjelaskan bahwa di antara keindahan penjelasannya,
memberikan pembanding pada bentuk kalimat tahridh (memberi dorongan
kuat) untuk berperang dengan bentuk kalimat tahridh pula untuk menuntut
ilmu. Yaitu, dorongan kuat untuk berperang dengan kalimat “Tidak layak bagi
penduduk Madinah dan yang di sekitarnya berupa orang-orang Arab badui untuk tertinggal
perang dari Rosululloh”, dan dorongan kuat untuk menuntut ilmu dengan
kalimat “Tidak layak bagi orang-orang beriman untuk berangkat seluruhnya ke
medan perang, mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk tafaqquh fid diin.” Yang kedua-duanya menggunakan huruf Lam
Al-Juhud, yang berfungsi sebagai dorongan meninggalkan sejauh-jauhnya yang
dilarang. Artinya, baik pergi ke medan jihad atau pun mendalami agama Islam,
kedua-duanya adalah keharusan yang ditekankan, kedua-duanya adalah wajib kifayah.
Tentu jihad yang dimaksud di sini adalah perang yang dinamakan Sariyah (yang
tidak dipimpin langsung oleh Rosululloh saw tetapi beliau mengirimkan utusan)
yang hukumnya fardu kifayah, bukan perang yang disebut Ghozwah yang dipimpin
langsung oleh beliau yang hukumnya fardu ‘Ain.
Selain itu, perhatikan pula penggunaan kata nafaro yang
berarti lari baik untuk berperang maupun untuk memperdalam agama. Untuk
berperang Alloh SWT menyebut لِيَنْفِرُوا dan untuk memperdalam agama
Alloh SWT menyebut نَفَرَ. Ini mengandung makna, kita didorong untuk
lari mengejar ilmu dan memperdalam agama seperti halnya kita lari menuju medan
perang.
Seperti halnya
berangkat menuju medan perang diperlukan persiapan dan perlengkapan maka untuk
menuntut ilmu Islam pun diperlukan hal yang sama. Di medan perang dibutuhkan
kesungguhan dan kesabaran dalam menghadapi musuh, begitu pula saat menuntut
ilmu dibutuhkan kesungguhan dan kesabaran melawan hawa nafsu sendiri yang akan
menghalanginya dari keberhasilan dalam menuntut ilmu. Terlebih, dalam konteks
ini Alloh SWT menggunakan kata tafaqquh yang berarti bersusah payah
mencapai fiqih, sedangkan fiqih itu sendiri bermakna pemahaman yang mendalam.
Untuk itulah Alloh SWT memberikan kebaikan kepada orang yang mencapai
fiqih.
عَنْ
مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي
الدِّيْنِ. رواه البخاري
“Dari Muawiyyah ra ia berkata, Aku mendengar Nabi saw
bersabda: “Siapa yang Alloh kehendaki kebaikan terhadapnya, maka Alloh menjadikannya faqih dalam agama.” (HR.
Bukhori)
Berjihad dan
menuntut ilmu kedua-duanya menempati kedudukan yang sangat penting dalam
masyarakat muslim. Dengan jihad akan diraihlah kemuliaan Islam, tersebarnya
da’wah dan semakin memperluas kekuasaan Islam yang menyebarkan keadilan. Dan
dengan ilmu Islam yang mendalam akan tegaknya bangunan masyarakat yang kokoh
yang mampu memikul tugas mengurus bumi dengan petunjuk-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar