Jumat, 02 September 2016

Bidayatul Mujtahid : Muqoddimah


Memahami akar perbedaan pendapat para ahli fiqih

Kitab yang dianggap paling bagus dalam tema ini adalah kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd Al-Qurthubi

Keahlian beliau dalam memetakan perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak zaman sahabat hingga zaman tersebarnya taqlid, dan tidak terbatas kepada empat madzhab saja, melainkan disebutkan pula pendapat para ulama yang lain.

Disertai dengan disebutkannya akar dari perbedaan pendapat tersebut dengan merujuk kepada dalil, menjadi keistimewaan tersendiri bagi kitab ini. Selain memang beliau juga ahli mantiq dan filsafat sehingga dapat kita rasakan dalam untaian kata-katanya yang sarat ilmu logika.

Tujuan kitab ini disusun adalah untuk menghilangkan sikap taqlid dan fanatik terhadap madzhab tertentu serta membuka pintu ijtihad dengan merujuk langsung kepada dalil, tentu mesti disertai ilmu-ilmu dan keahlian untuk memahaminya.

Kitab inilah yang banyak dirujuk oleh Ash-Shon'ani dalam kitabnya Subulussalam serta Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Author.

Dalam muqoddimahnya Al-Qadhi Ibnu Rusyd Al-Qurthubi memberikan kata pengantar tentang tujuan dari penyusunan kitab adalah agar menguatkan ilmu pada diri beliau tentang masalah2 hukum syariat baik yg disepakati oleh para ulama ataupun yg diperselisihkan, memperingatkan trhdp perselisihan yg tdk bermanfaat dan sikap taklid dan fanatik terhadap madzhab tertentu serta membuka pintu ijtihad, karena ia diperlukan di setiap zaman.

Dalam muqoddimah ilmiahnya beliau menjelaskan tiga hal penting sebelum masuk pada pembahasan, yaitu : 

1.      Macam-macam cara bagaimana hukum-hukum syariat bisa sampai kepada kita 
2.      Macam-macam hukum syariat 
3.      Sebab-sebab terjadi perselisihan pendapat.

A. Macam-macam cara sampainya hukum

Ada tiga cara hukum dapat sampai kepada kita yaitu melalui: 

1.      Lafazh 
2.      Perbuatan 
3.      Persetujuan (Iqror).

Itu adalah hal-hal yang datang langsung dari Nabi saw, sedangkan bagi hal-hal yang tidak dijelaskan langsung, bisa ditambahkan cara memahami hukumnya yang keempat yaitu dengan cara Qiyas.

Pembahasan Lafazh

Ada empat macam lafazh, tiga disepakati dan yang keempat diperselisihkan.

1.      Lafazh umum yang dimaksud umum dan lafazh khusus yang dimaksud khusus

2.      Lafazh umum yang dimaksud khusus

3.      Lafazh khusus yang dimaksud umum

4.      Dalilul khitob (Mafhum Mukholafah)

Lafazh-lafazh tersebut bisa berupa perintah atau berita yang bermakna perintah, bisa pula berupa larangan atau berita yang bermakna larangan. Para ulama berbeda pendapat apakah perintah itu menunjukkan wajib ataukah mandub, begitu pula dalam larangan, apakah menunjukkan haram ataukah makruh. Atau pula tawakkuf (ditangguhkan) sampai ada keterangan yang mengarahkan kepada salah satunya.

Lafazh-lafazh tersebut juga ada yang menunjukkan kepada satu makna dan tidak berkemungkinan menunjukkan kepada makna lain, disebut Nash. 

Ada juga lafazh yang memiliki kemungkinan makna lain. Hubungan kemungkinan antara satu makna dengan makna lainnya memiliki tingkatan yang berbeda. Dibagi kepada dua macam

1.       Suatu lafazh yang tingkat dilalahnya kepada satu makna dengan makna lain sama/sederajat. Ini disebut Mujmal

2.       Suatu lafazh yang tingkat dilalahnya kepada satu makna dengan makna lain berbeda. Kepada makna yang tingkat dilalahnya lebih kuat disebut Zhahir, sedangkan kepada makna yang tingkat dilalahnya lebih rendah disebut Muhtamal. Secara asal lafazh tersebut harus dipahami dengan makna zhahir kecuali jika ada keterangan yang memalingkan dia kepada makna yang muhtamal.

Perbedaan memahami makna dalam satu lafazh tersebut disebabkan oleh tiga hal :

1.      Isytirok (bermakna ganda) dalam lafazhnya itu sendiri
2.      Isytirok dalam huruf alif dan lam yang menyertai suatu lafazh, apakah bermakna sebagian ataukah seluruhnya
3.      Isytirok dalam lafazh-lafazh yang berisi perintah atau larangan

Adapun Qiyas, yang tidak terkandung dalam lafazh tersebut, Qiyas itu adalah mengikutkan suatu cabang (sesuatu yang tidak dijelaskan hukumnya secara langsung oleh dalil) kepada asal (sesuatu yang dijelaskan hukumnya secara langsung oleh dalil) ke dalam satu hukum dikarenakan ada kesamaan ‘illat (yang menyebabkan timbulnya hukum). Misalnya mengikutkan hukum serangga yang tidak disebutkan langsung oleh dalil kepada kucing yang disebutkan langsung oleh dalil dalam satu hukum yaitu suci (tidak najis) karena ada kesamaan illat yaitu berbaur dengan manusia (thowwafuuna ‘alaikum).

Qiyas ini diterapkan dalam sesuatu yang tidak ada dalilnya, dan tidak termasuk kepada dilalah lafazh seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pembahasan tengan perbuatan (Fi’il)

Para ulama berbeda pendapat dalam perbuatan yang dilakukan oleh Nabi saw. Suatu golongan mengatakan bahwa perbuatan tidak menunjukkan hukum apapun. Golongan lain berpendapat bahwa perbuatan menunjukkan kepada hukum, tetapi mereka juga berbeda pandangan apakah menunjukkan hukum wajib ataupun mandub. Pendapat yang benar setelah dianalisis bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi saw itu jika menjadi penjelasan dari sesuatu yang mujmal (yang butuh kepada penjelasan) yang hukumnya wajib maka perbuatan tersebut pun hukumnya wajib. Jika ia menjadi penjelasan dari mujmal yang mandub maka hukumnya pun mandub. Jika tidak menjadi penjelas dari yang mujmal, apabila perbuatan tersebut berbentuk qurbah (bentuk ibadah kepada Allah) maka hukumnya mandub, dan apabila termasuk kepada hal-hal yang mubah, maka hukumnya mubah.

Pembahasan tentang persetujuan (Iqror)

Sesuatu yang disetujui oleh Nabi saw hanya menunjukkan kepada hukum mubah.

Selain itu perlu juga dijelaskan tentang Ijma (kesepakatan para ulama mujtahid setelah Nabi saw di suatu zaman dalam suatu hukum syariat). Ijma ini bukanlah membuat syariat baru, tetapi tetap berlandaskan kepada dalil (Al-Qur’an dan Hadits), yang dihasilkan melalui empat cara tersebut (yaitu lafazh, perbuatan, iqror dan qiyas).

B. Macam-macam hukum syariat (maksudnya hukum syariat yang termasuk taklifi)

1.      Wajib
2.      Mandub
3.      Harom
4.      Makruh
5.      Mubah

C. Sebab-sebab perbedaan pendapat

1.      Ada perbedaan dalam memahami lafazh dengan empat caranya (Lafazh umum yang dimaksud umum dan lafazh khusus yang dimaksud khusus, Lafazh umum yang dimaksud khusus, Lafazh khusus yang dimaksud umum dan Dalilul khitob).

2.      Isytirok dalam lafazh (baik dalam lafazhnya sendiri –ada yang mufrod seperti lafazh qor’u apakah bermakna suci atau haid, ada pula yang murokkab seperti kata kecuali orang-orang yang bertaubat apakah maksud orang-orang tersebut adalah orang yang fasik ataukah orang yang bersaksi seperti disebutkan dalam ayat sebelumnya.- atau karena ada huruf alif dan lam yang menyertai lafazh tersebut, ataupun lafazh yang bermuatan perintah apakah menunjukkan wajib atau mandub dan yang berisi larangan apakah menunjukkan haram atau makruh

3.      Perbedaan dalam I’rob

4.      Perbedaan dalam memahami lafazh apakah dipahami dengan makna hakikat ataukah majaz

5.      Perbedaan dalam memahami lafazh apakah dipahami secara muthlaq ataukah muqoyyad

      6.   Ada pertentangan di antara dua dalil



Simak dan download Kajiannya :
Muqoddimah 1  
Muqoddimah 2  
Muqoddimah 3
 Muqoddimah 4

 




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar