Memahami
akar perbedaan pendapat para ahli fiqih
Kitab
yang dianggap paling bagus dalam tema ini adalah kitab Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd Al-Qurthubi
Keahlian
beliau dalam memetakan perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak zaman
sahabat hingga zaman tersebarnya taqlid, dan tidak terbatas kepada empat
madzhab saja, melainkan disebutkan pula pendapat para ulama yang lain.
Disertai
dengan disebutkannya akar dari perbedaan pendapat tersebut dengan merujuk
kepada dalil, menjadi keistimewaan tersendiri bagi kitab ini. Selain memang
beliau juga ahli mantiq dan filsafat sehingga dapat kita rasakan dalam untaian
kata-katanya yang sarat ilmu logika.
Tujuan
kitab ini disusun adalah untuk menghilangkan sikap taqlid dan fanatik terhadap
madzhab tertentu serta membuka pintu ijtihad dengan merujuk langsung kepada
dalil, tentu mesti disertai ilmu-ilmu dan keahlian untuk memahaminya.
Kitab
inilah yang banyak dirujuk oleh Ash-Shon'ani dalam kitabnya Subulussalam serta
Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Author.
Dalam
muqoddimahnya Al-Qadhi Ibnu Rusyd Al-Qurthubi memberikan kata pengantar tentang
tujuan dari penyusunan kitab adalah agar menguatkan ilmu pada diri beliau
tentang masalah2 hukum syariat baik yg disepakati oleh para ulama ataupun yg
diperselisihkan, memperingatkan trhdp perselisihan yg tdk bermanfaat dan sikap
taklid dan fanatik terhadap madzhab tertentu serta membuka pintu ijtihad,
karena ia diperlukan di setiap zaman.
Dalam
muqoddimah ilmiahnya beliau menjelaskan tiga hal penting sebelum masuk pada
pembahasan, yaitu :
1.
Macam-macam cara bagaimana hukum-hukum syariat
bisa sampai kepada kita
2.
Macam-macam hukum syariat
3.
Sebab-sebab terjadi perselisihan pendapat.
A.
Macam-macam cara sampainya hukum
Ada tiga
cara hukum dapat sampai kepada kita yaitu melalui:
1.
Lafazh
2.
Perbuatan
3.
Persetujuan (Iqror).
Itu adalah hal-hal yang datang langsung dari Nabi saw,
sedangkan bagi hal-hal yang tidak dijelaskan langsung, bisa ditambahkan cara memahami
hukumnya yang keempat yaitu dengan cara Qiyas.
Pembahasan
Lafazh
Ada
empat macam lafazh, tiga disepakati dan yang keempat diperselisihkan.
1.
Lafazh umum yang dimaksud umum dan lafazh
khusus yang dimaksud khusus
2.
Lafazh umum yang dimaksud khusus
3.
Lafazh khusus yang dimaksud umum
4.
Dalilul khitob (Mafhum Mukholafah)
Lafazh-lafazh
tersebut bisa berupa perintah atau berita yang bermakna perintah, bisa pula
berupa larangan atau berita yang bermakna larangan. Para ulama berbeda pendapat
apakah perintah itu menunjukkan wajib ataukah mandub, begitu pula dalam larangan,
apakah menunjukkan haram ataukah makruh. Atau pula tawakkuf (ditangguhkan)
sampai ada keterangan yang mengarahkan kepada salah satunya.
Lafazh-lafazh
tersebut juga ada yang menunjukkan kepada satu makna dan tidak berkemungkinan
menunjukkan kepada makna lain, disebut Nash.
Ada juga
lafazh yang memiliki kemungkinan makna lain. Hubungan kemungkinan
antara satu makna dengan makna lainnya memiliki tingkatan yang berbeda. Dibagi
kepada dua macam
1.
Suatu lafazh yang tingkat dilalahnya kepada
satu makna dengan makna lain sama/sederajat. Ini disebut Mujmal
2.
Suatu lafazh yang tingkat dilalahnya kepada
satu makna dengan makna lain berbeda. Kepada makna yang tingkat dilalahnya
lebih kuat disebut Zhahir, sedangkan kepada makna yang tingkat
dilalahnya lebih rendah disebut Muhtamal. Secara asal lafazh
tersebut harus dipahami dengan makna zhahir kecuali jika ada keterangan yang
memalingkan dia kepada makna yang muhtamal.
Perbedaan
memahami makna dalam satu lafazh tersebut disebabkan oleh tiga hal :
1.
Isytirok
(bermakna ganda) dalam lafazhnya itu sendiri
2.
Isytirok dalam
huruf alif dan lam yang menyertai suatu lafazh, apakah bermakna
sebagian ataukah seluruhnya
3.
Isytirok dalam
lafazh-lafazh yang berisi perintah atau larangan
Adapun Qiyas, yang tidak terkandung dalam lafazh
tersebut, Qiyas itu adalah mengikutkan suatu cabang (sesuatu yang tidak
dijelaskan hukumnya secara langsung oleh dalil) kepada asal (sesuatu yang
dijelaskan hukumnya secara langsung oleh dalil) ke dalam satu hukum dikarenakan
ada kesamaan ‘illat (yang menyebabkan timbulnya hukum). Misalnya
mengikutkan hukum serangga yang tidak disebutkan langsung oleh dalil kepada
kucing yang disebutkan langsung oleh dalil dalam satu hukum yaitu suci (tidak
najis) karena ada kesamaan illat yaitu berbaur dengan manusia (thowwafuuna
‘alaikum).
Qiyas ini diterapkan dalam sesuatu yang tidak ada
dalilnya, dan tidak termasuk kepada dilalah lafazh seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Pembahasan tengan perbuatan (Fi’il)
Para ulama berbeda pendapat dalam perbuatan yang
dilakukan oleh Nabi saw. Suatu golongan mengatakan bahwa perbuatan tidak
menunjukkan hukum apapun. Golongan lain berpendapat bahwa perbuatan menunjukkan
kepada hukum, tetapi mereka juga berbeda pandangan apakah menunjukkan hukum
wajib ataupun mandub. Pendapat yang benar setelah dianalisis bahwa suatu
perbuatan yang dilakukan oleh Nabi saw itu jika menjadi penjelasan dari sesuatu
yang mujmal (yang butuh kepada penjelasan) yang hukumnya wajib maka
perbuatan tersebut pun hukumnya wajib. Jika ia menjadi penjelasan dari mujmal
yang mandub maka hukumnya pun mandub. Jika tidak menjadi penjelas dari yang mujmal,
apabila perbuatan tersebut berbentuk qurbah (bentuk ibadah kepada
Allah) maka hukumnya mandub, dan apabila termasuk kepada hal-hal yang mubah,
maka hukumnya mubah.
Pembahasan tentang persetujuan (Iqror)
Sesuatu yang disetujui oleh Nabi saw hanya menunjukkan
kepada hukum mubah.
Selain itu perlu juga dijelaskan tentang Ijma
(kesepakatan para ulama mujtahid setelah Nabi saw di suatu zaman dalam suatu
hukum syariat). Ijma ini bukanlah membuat syariat baru, tetapi tetap
berlandaskan kepada dalil (Al-Qur’an dan Hadits), yang dihasilkan melalui empat
cara tersebut (yaitu lafazh, perbuatan, iqror dan qiyas).
B. Macam-macam hukum syariat (maksudnya hukum syariat
yang termasuk taklifi)
1.
Wajib
2.
Mandub
3.
Harom
4.
Makruh
5.
Mubah
C. Sebab-sebab perbedaan pendapat
1.
Ada perbedaan dalam memahami lafazh dengan empat caranya
(Lafazh umum yang dimaksud umum dan lafazh khusus yang dimaksud khusus, Lafazh
umum yang dimaksud khusus, Lafazh khusus yang dimaksud umum dan Dalilul
khitob).
2.
Isytirok dalam lafazh (baik dalam lafazhnya sendiri –ada yang
mufrod seperti lafazh qor’u apakah bermakna suci atau haid, ada pula
yang murokkab seperti kata kecuali orang-orang yang bertaubat apakah maksud
orang-orang tersebut adalah orang yang fasik ataukah orang yang bersaksi
seperti disebutkan dalam ayat sebelumnya.- atau karena ada huruf alif dan
lam yang menyertai lafazh tersebut, ataupun lafazh yang bermuatan
perintah apakah menunjukkan wajib atau mandub dan yang berisi larangan apakah
menunjukkan haram atau makruh
3.
Perbedaan dalam I’rob
4.
Perbedaan dalam memahami lafazh apakah dipahami dengan
makna hakikat ataukah majaz
5.
Perbedaan dalam memahami lafazh apakah dipahami secara
muthlaq ataukah muqoyyad
6. Ada pertentangan
di antara dua dalil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar