Inspirasi pemuda Ashabul Kahfi (3)
(QS. Al-Kahfi : 14-15)
Oleh : Muhammad Atim
Simak dan download kajiannya : di sini
“Dan Kami
teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri lalu mereka berkata, “Tuhan kami
adalah Tuhan langit dan bumi, kami tidak menyeru Tuhan selain Dia. Sungguh,
kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat
jauh dari kebenaran. Mereka itu kaum kami yang telah menjadikan tuhan-tuhan
(untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang
jelas (tentang kepercayaan mereka)? Maka siapakah yang lebih zalim daripada
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? ”. (QS. Al-Kahfi : 14-15).
Mereka begitu
sedih melihat tersebarnya fitnah di antara kaumnya. Seorang raja zalim yang bernama Dekianus yang menguasai salah
satu negeri Romawi yaitu Thorthus setelah zaman Nabi Isa as, mengajak
orang-orang untuk menyembah berhala dan membunuh setiap orang mu’min yang tidak
menerima ajakan sesatnya, sampai fitnah itu menjadi besar bagi orang-orang yang
beriman. Anak-anak muda Ashabul Kahfi itu berada di kaumnya masing-masing. Pada
suatu hari raya besar yang diadakan setiap tahun, mereka mengikuti ayah dan
kaum mereka pada pertemuan yang di adakan di luar kota. Ketika itu mereka menyaksikan
langsung kemungkaran yang dilakukan kaumnya yaitu menyembah berhala dan
menyembelih hewan yang dipersembahkan untuk berhala tersebut. Iman yang ada di
dalam hati mereka mengingkari kemungkaran tersebut. Mereka mengetahui bahwa apa
yang dilakukan oleh kaumnya tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi. Mereka masing-masing meloloskan diri dari
kaumnya.
Salah seorang
di antara mereka telah tiba bernaung di bawah pohon. Lalu datanglah yang
lainnya, disusul oleh yang lain lagi. Satu persatu mereka datang untuk duduk di
bawah pohon tersebut hingga berkumpul ketujuh anak muda tersebut. Tetapi
justeru mereka tidak saling kenal satu sama lain. Inilah menariknya. Jika jiwa
itu ada kesamaan prinsip maka ia akan menyatu dengan sendirinya seperti yang
dijelaskan oleh Rasulullah saw melalui hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra,
الأًرْوَاحُ جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا
اِئْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اِخْتلَفَ
“Ruh-ruh itu bagaikan tentara
yang terlatih, mana yang saling kenal (karena kesamaan prinsipnya) akan
menyatu, dan mana yang berbeda (prinsipnya) akan berpecah”. (HR. Muslim).
Awalnya mereka
diam karena khawatir dan tidak tahu bahwa mereka itu seakidah. Sampai ada salah
seorang di antara mereka memberanikan diri berkata, “Kalian tahu –demi Allah
wahai kaum- tidak ada yang mengeluarkan kalian dari kaum kalian dan membuat
kalian terpisah dari mereka kecuali ada sesuatu, maka hendaklah masing-masing
kalian mengemukakannya.” Satu orang
berkata, “Adapun aku, demi Allah, sesungguhnya aku melihat apa yang
dilakukan oleh kaumku dan aku tahu itu adalah kebatilan, yang berhak disembah
dan tidak disekutukan dengan sesuatu apapun adalah Allah yang telah menciptakan
segala sesuatu; langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” Yang lain
berkata, “Aku pun -demi Allah- seperti itu”. Yang lain lagi berkata, “Aku juga
begitu”. Hingga mereka semua bersepakat dalam satu kata. Mereka memegang erat
persaudaraan yang dibangun di atas kebenaran. Akhirnya mereka membangun tempat
ibadah untuk beribadah bersama.
Tetapi kemudian
kabar mereka terdengar oleh raja. Raja menyuruh mereka untuk datang ke istana.
Ia menanyakan perihal mereka, dan mereka tak ragu lagi menjawab dengan kebenaran,
mengumumkan keimanan mereka bahkan berani berda’wah di hadapannya. “Dan Kami
teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri lalu mereka berkata, “Tuhan kami
adalah Tuhan langit dan bumi, kami tidak menyeru Tuhan selain Dia. Sungguh,
kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat
jauh dari kebenaran. Mereka itu kaum kami yang telah menjadikan tuhan-tuhan
(untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang
jelas (tentang kepercayaan mereka)? Maka siapakah yang lebih zalim daripada
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? ”. Mereka berdiri di
hadapan raja berda’wah kepadanya. Ini merupakan jihad yang paling baik. Diriwayatkan
dari Abu Abdillah Thariq bin Syihab Al-Bajali Al-Ahmasi bahwa seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah saw –dan dia dalam keadaan meletakkan kakinya di
atas pijakan kendaraannya- “Jihad apakah
yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Kalimat kebenaran di hadapan raja
yang zalim.” (HR. Nasai).
Firman Allah “Dan
Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri”. Kata “berdiri” atau
“bangkit” menyiratkan makna adanya tekad yang kuat di dalam diri. Ia
bermakna melakukan suatu amal yang besar dan penting. Bangkit untuk menolak
kemungkaran yang terjadi. Pada saat kita bertekad untuk bangkit, maka ketika
itu Allah akan meneguhkan hati kita, membuat kita tentram kepada kebenaran,
merasa bangga dengan keimanan, dan istiqomah di jalan-Nya. Ini menjadi syarat.
Sedangkan jika tak ada kemauan untuk bangkit, tentu Allah tidak akan memberi
keteguhan kepada kita.
Perkataan
mereka “Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang jelas (tentang
kepercayaan mereka)?” Menunjukkan mereka telah paham bahwa alasan-alasan
orang yang melakukan kesesatan itu sama sekali tidak berdasarkan argumen yang
kuat sehingga tidak layak untuk dipegang, sementara mereka telah memiliki
argumen yang kuat terhadap keimanan mereka. Jika orang mengklaim kepercayaan
tanpa dilandasi dengan argumen yang benar maka itu merupakan kebohongan
terhadap Allah, dan itu merupakan kezaliman yang paling besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar