Senin, 05 September 2016

Keteguhan hati saat bangkit menolak kemungkaran

Inspirasi pemuda Ashabul Kahfi (3)
(QS. Al-Kahfi : 14-15)


Oleh : Muhammad Atim

Simak dan download kajiannya : di sini
“Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri lalu mereka berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi, kami tidak menyeru Tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran. Mereka itu kaum kami yang telah menjadikan tuhan-tuhan (untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang jelas (tentang kepercayaan mereka)? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? ”. (QS. Al-Kahfi : 14-15).
Mereka begitu sedih melihat tersebarnya fitnah di antara kaumnya. Seorang raja zalim  yang bernama Dekianus yang menguasai salah satu negeri Romawi yaitu Thorthus setelah zaman Nabi Isa as, mengajak orang-orang untuk menyembah berhala dan membunuh setiap orang mu’min yang tidak menerima ajakan sesatnya, sampai fitnah itu menjadi besar bagi orang-orang yang beriman. Anak-anak muda Ashabul Kahfi itu berada di kaumnya masing-masing. Pada suatu hari raya besar yang diadakan setiap tahun, mereka mengikuti ayah dan kaum mereka pada pertemuan yang di adakan di luar kota. Ketika itu mereka menyaksikan langsung kemungkaran yang dilakukan kaumnya yaitu menyembah berhala dan menyembelih hewan yang dipersembahkan untuk berhala tersebut. Iman yang ada di dalam hati mereka mengingkari kemungkaran tersebut. Mereka mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh kaumnya tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi. Mereka masing-masing meloloskan diri dari kaumnya.
Salah seorang di antara mereka telah tiba bernaung di bawah pohon. Lalu datanglah yang lainnya, disusul oleh yang lain lagi. Satu persatu mereka datang untuk duduk di bawah pohon tersebut hingga berkumpul ketujuh anak muda tersebut. Tetapi justeru mereka tidak saling kenal satu sama lain. Inilah menariknya. Jika jiwa itu ada kesamaan prinsip maka ia akan menyatu dengan sendirinya seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw melalui hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra,
الأًرْوَاحُ جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا اِئْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اِخْتلَفَ
   “Ruh-ruh itu bagaikan tentara yang terlatih, mana yang saling kenal (karena kesamaan prinsipnya) akan menyatu, dan mana yang berbeda (prinsipnya) akan berpecah”. (HR. Muslim).
Awalnya mereka diam karena khawatir dan tidak tahu bahwa mereka itu seakidah. Sampai ada salah seorang di antara mereka memberanikan diri berkata, “Kalian tahu –demi Allah wahai kaum- tidak ada yang mengeluarkan kalian dari kaum kalian dan membuat kalian terpisah dari mereka kecuali ada sesuatu, maka hendaklah masing-masing kalian mengemukakannya.” Satu orang  berkata, “Adapun aku, demi Allah, sesungguhnya aku melihat apa yang dilakukan oleh kaumku dan aku tahu itu adalah kebatilan, yang berhak disembah dan tidak disekutukan dengan sesuatu apapun adalah Allah yang telah menciptakan segala sesuatu; langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” Yang lain berkata, “Aku pun -demi Allah- seperti itu”. Yang lain lagi berkata, “Aku juga begitu”. Hingga mereka semua bersepakat dalam satu kata. Mereka memegang erat persaudaraan yang dibangun di atas kebenaran. Akhirnya mereka membangun tempat ibadah untuk beribadah bersama.
Tetapi kemudian kabar mereka terdengar oleh raja. Raja menyuruh mereka untuk datang ke istana. Ia menanyakan perihal mereka, dan mereka tak ragu lagi menjawab dengan kebenaran, mengumumkan keimanan mereka bahkan berani berda’wah di hadapannya. “Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri lalu mereka berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi, kami tidak menyeru Tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran. Mereka itu kaum kami yang telah menjadikan tuhan-tuhan (untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang jelas (tentang kepercayaan mereka)? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? ”. Mereka berdiri di hadapan raja berda’wah kepadanya. Ini merupakan jihad yang paling baik. Diriwayatkan dari Abu Abdillah Thariq bin Syihab Al-Bajali Al-Ahmasi bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw –dan dia dalam keadaan meletakkan kakinya di atas pijakan kendaraannya-  “Jihad apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Kalimat kebenaran di hadapan raja yang zalim.” (HR. Nasai).
Firman Allah “Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri”. Kata “berdiri” atau “bangkit” menyiratkan makna adanya tekad yang kuat di dalam diri. Ia bermakna melakukan suatu amal yang besar dan penting. Bangkit untuk menolak kemungkaran yang terjadi. Pada saat kita bertekad untuk bangkit, maka ketika itu Allah akan meneguhkan hati kita, membuat kita tentram kepada kebenaran, merasa bangga dengan keimanan, dan istiqomah di jalan-Nya. Ini menjadi syarat. Sedangkan jika tak ada kemauan untuk bangkit, tentu Allah tidak akan memberi keteguhan kepada kita.  
Perkataan mereka “Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang jelas (tentang kepercayaan mereka)?” Menunjukkan mereka telah paham bahwa alasan-alasan orang yang melakukan kesesatan itu sama sekali tidak berdasarkan argumen yang kuat sehingga tidak layak untuk dipegang, sementara mereka telah memiliki argumen yang kuat terhadap keimanan mereka. Jika orang mengklaim kepercayaan tanpa dilandasi dengan argumen yang benar maka itu merupakan kebohongan terhadap Allah, dan itu merupakan kezaliman yang paling besar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar