Oleh : Muhammad Atim
Kita hanya bisa memahami makna luarnya saja (baca: makna zahir menurut madzhab salaf/atsari) dari sifat-sifat Allah yang Dia informasikan, sedangkan hakikatnya hanya Allah yang tahu. Kaidah ini bisa kita terapkan pada semua sifat Allah. Misalnya Allah Al-Qadir, kita artikan Maha Kuasa. Kita hanya memahami makna luarnya saja dan dampak-dampak dari kekuasaan-Nya, tapi hakikat kekuasaan-Nya tidak kita ketahui. Yang jelas kita tahu kekuasaan-Nya adalah kekuasaan yang besar dan sempurna. Dan tentu kekuasaan-Nya berbeda dengan kekuasaan makhluk. Tidak mungkin kita menyerupakan dengan kekuasaan makhluk. Kalau kekuasaan makhluk butuh kepada pengawal, prajurit, menteri-menteri, alat-alat, dll, sedangkan Allah tidak butuh kepada apapun (ghina mutlak). Begitu pula Allah memiliki sifat As-Sami' Al-Bashir, Maha Mendengar, Maha Melihat. Kita tidak tahu hakikatnya, yang jelas berbeda dengan makhluk. Kalau makhluk mendengar itu butuh alat yaitu telinga, dan melihat membutuhkan mata. Begitu pula ketika Allah menisbatkan kepada Dirinya "yadullah", tidak mengapa kita artikan "tangan Allah", karena kita memahami makna luarnya saja, tapi tidak dengan hakikatnya. Tidak sama dengan makhluk, kalau bagi makhluk tangan itu berupa organ tubuh (jisim), sedangkan bagi Allah tidak bisa kita katakan sebagai jisim. Kita hanya bisa memahami atsar/dampak dari sifat tangan Allah yaitu dengannya Allah menciptakan Nabi Adam as misalnya. Begitu pula ketika Allah menisbatkan kepada diri-Nya, Allah turun, Allah bersemayam/berada (istiwa), dst. Kita terjemahkan seperti itu, karena kita sebatas mengetahui makna luarnya saja, tidak dengan hakikatnya, dan berbeda dengan makhluk.
Kalau kita berhenti pada batas itu dan tidak merambah pada memikirkan hakikatnya, maka sebenarnya kita tidak butuh untuk mentakwilnya. Karena malah justru pada akhirnya memaksakan diri (takalluf). Kecuali memang yang ditakwilkan/ditafsirkan langsung oleh Allah dan rasul-Nya seperti pada sifat-sifat yang jelas menunjukkan kekurangan, seperti menisbatkan sakit dan lapar kepada-Nya, setelah itu Allah langsung menjelaskan bahwa yang sakit dan lapar itu adalah hamba-Nya, menisbatkannya kepada-Nya adalah memiliki tujuan lain yaitu sebagai bentuk penghormatan kepada hamba-Nya dan menekankan pentingnya menjenguk orang sakit dan memberi makan orang yang kelaparan. Juga takwil/tafsir yang dikemukakan oleh sebagian sahabat, karena diduga kuat mereka mendengar dari rasul. Juga yang termasuk musyakalah (menyebut lafazh yang sama dengan yang telah disebutkan tapi hakikatnya berbeda, di sini dalam rangka memberi balasan), misalnya ayat "wa makaru wa makarollah". Makar itu maknanya adalah melakukan rencana jahat dan tipudaya. Itu sifat kekurangan yang tidak mungkin disematkan kepada Allah, sehingga maknanya adalah "Mereka membuat makar, dan Allah membalas makar mereka".
Kalau memang tidak ada nash yang mentakwilkannya, maka tidak perlu kita memaksakan diri untuk mentakwilnya, karena dalam hal ini pengetahuan kita sangat terbatas. Karena kalau memang sifat itu menunjukkan kekurangan dan dapat menimbulkan prasangka (wahm), maka Allah akan menjelaskannya. Syekh Muhammad Salim bin 'Adud Asy-Syanqithi rahimahullah dalam nazhom aqidahnya mengatakan :
فَاللهُ لَمْ يَسْكُتْ مَا أَوْهَمَا حُدُوْثًا أَوْ نَقْصًا لَهُ بَلْ أَفْهَمَا
"Allah tidak diam pada apa yang menimbulkan prasangka, terhadap adanya sifat huduts dan kekurangan bagi-Nya, tapi Dia memberikan pemahaman" (bait ke-88).
Walaupun saya menghormati sebagian ulama dari kalangan Asy'ari dan Maturidi yang memilih jalan takwil, sebagai sebuah ijtihad dari mereka. Meski ijtihadnya bisa berkemungkinan salah. Tapi harus diingat bahwa metode takwil ini bagi mereka sebenarnya bukanlah asal, tapi digunakan hanya ketika timbul adanya wahm, prasangka adanya kesamaan dengan makhluk pada sebagian sifat Allah, seperti yang disebutkan oleh Al-Maqarri rahimahullah dalam nazhom aqidahnya (Idha'ah Ad-Dujunnah) :
وَالنَّصُّ إِنْ أَوْهَمَ غَيْرَ اللَّائِقِ بِاللهِ كَالتَّشْبِيْهِ بِالْخَلَائِقِ
فَاصْرِفْهُ عَنْ ظَاهِرِهِ إِجْمَاعًا وَاقْطَعْ عَنِ الْمُمْتَنِعِ الأَطْمَاعَا
"Dan nash jika menimbulkan wahm yang tidak layak bagi Allah seperti menyerupai makhluk. Maka palingkanlah ia dari zahirnya menurut ijma. Dan putuskanlah keinginan dari perkara yang terlarang ini”
Kalau yang dimaksud dengan zahir di sini adalah pemahaman zahir yang muncul dari orang awam yang menyangka ada keserupaan dengan makhluk, maka klaim ijma di sini bisa diterima, yaitu hendaklah menyingkirkan wahm pada zahir yang menyerupai makhluk tersebut. Tapi kalau membatasi bahwa makna zahir itu hanya yang menunjukkan keserupaan dengan makhluk sehingga harus ditakwil, maka ini yang perlu dikritisi, dan klaim ijma di sini tidak bisa diterima. Karena secara asal, nash tidak melazimkan menunjukkan makna zahir yang serupa dengan makhluk, itu anggapan orang awam saja. Ada makna zahir yang asal, yang layak dan sesuai dengan keagungan Allah ﷻ. Pakem terhadap batasan makna inilah yang membuat tidak memerlukan kepada takwil. Sehingga kalau begitu, pernyataan dalam nazhom itu bisa dikritisi, sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Muhammad Hasan bin Dadaw Asy-Syanqithi hafizhahullah dalam penjelasan beliau, bahwa ketika muncul wahm terhadap keserupaan dengan makhluk itu, tidak perlu memalingkan makna zahir dan beralih kepada takwil, tapi cukup yang dipalingkan adalah wahmnya saja, dan berpaku pada makna zahir yang layak bagi Allah.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar