Oleh : Muhammad Atim
Para ulama sepakat (ijma) bahwa mengusap kepala itu hukumnya wajib di dalam wudhu, berdasarkan firman Allah SWT :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak mendirikan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai sikut, dan usaplah kepala-kepala kalian, dan (cucilah) kaki-kaki kalian sampai kedua mata kaki”. (QS. Al-Maidah : 6).
Dalam ayat di atas ada perintah “usaplah kepala-kepala kalian”. Dalam ilmu Ushul Fiqih diketahui bahwa asal dalam perintah itu menunjukkan wajib kecuali ada dalil lain yang memalingkannya. Dalam masalah ini tidak diketahui ada dalil lain yang memalingkannya, yaitu bahwa seluruh wudhu yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits, tidak pernah meninggalkan mengusap kepala. Dan hal ini telah menjadi ijma, karena tidak pernah diketahui adanya perbedaan pendapat tentang kewajiban mengusap kepala dalam wudhu ini sejak zaman sahabat.
Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang kadar yang wajib dalam mengusap kepala, yaitu apakah wajib mengusap seluruhnya ataukah cukup sebagiannya saja? Ulama madzhab Maliki dan Hanbali, menurut yang masyhur dari mereka, serta Al-Muzanni dari kalangan ulama Syafi’i berpendapat wajib mengusap kepala seluruhnya. Sedangkan yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i dan Hanafi, dan juga pendapat Muhammad bin Salamah, salah seorang ulama Maliki, mengusap sebagian kepala sudah cukup memenuhi kewajiban. Adapun mengusap kepala secara menyeluruh dianggap sebagai hal yang sunnah. Hanya mereka berbeda dalam menentukan ukuran sebagian tersebut. Madzhab Syafi’i tidak menentukan batasannya, berapapun ukurannya meskipun sedikit selama masih tercakup dalam makna kepala, maka itu sudah mencukupi. Sedangkan madzhab Hanafi menentukan batasannya, yaitu ada yang menyebut minimal dengan tiga jari, dan ada juga yang menyebut seperempat kepala atau seukuran ubun-ubun.
Titik perselisihan (mahallun niza) dari perbedaan pendapat di atas adalah terletak dalam memahami dalalah (petunjuk makna) dari lafazh “Al-mashu” (mengusap) yang dikaitkan dengan kepala, dan makna dari “Ar-ro’su” (kepala) itu sendiri yang digunakan dalam bahasa Arab. Yaitu apakah dapat terealisasi dengan mengusap sebagiannya ataukah harus mencakup seluruhnya, dan juga dalam memaknai huruf “ba” apakah memberi fungsi makna sebagian (at-tab’idh) ataukah tidak. Juga dalam memahami sunnah, dalam hal ini berupa bayan bil-fi’li (penjelasan dengan perbuatan), yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ saat mengusap kepala dalam wudhu, apakah ada petunjuk yang menunjukkan kebolehan mengusap sebagiannya ataukah mesti seluruhnya.
Para ulama yang berpendapat wajib mengusap kepala seluruhnya beralasan bahwa kata “al-mashu” di sini menunjukkan makna mencakup keseluruhannya, karena suatu hukum apabila dikaitkan dengan suatu isim (kata benda), maka wajib memenuhi keseluruhan cakupannya. Seperti dikatakan, “Makanlah satu roti dan berikanlah satu dirham.” Perintah ini tidak dapat terlaksana kecuali dengan mencakup keseluruhannya, yaitu dengan memakan satu roti secara keseluruhannya dan memberikan satu dirham secara keseluruhannya. Hal itu karena sigot (bentuk lafazh) tersebut menunjukkan umum. Ciri ia menunjukkan umum adalah dapat dimasuki pengecualian dan pengkhususan, serta dapat diberikan taukid (penguat) dengan lafazh umum (seperti kulla, jami’a, dll). Hukum mengusap di sini dikaitkan dengan kata benda “kepala”. Karena kepala adalah satu anggota tubuh, zahirnya ia dalam ayat ini disebutkan secara mutlak tanpa batasan, maka ini mirip dengan wajah. Karena ia satu anggota wudhu, maka kewajibannya tidak cukup dengan kadar paling minimal yang dicakup isim tersebut, ataupun seperempatnya seperti halnya anggota-anggota wudhu yang lain. Dan karena kalau ia merupakan asal dalam wudhu, yaitu dengan lafazh “wamsahu biru’usikum” yang dimaknai secara keseluruhan, maka begitu pula dalam tayamum yang lebih utama untuk dimaknai secara keseluruhan, yaitu dengan lafazh ‘wamsahu biwujuhikum”. Juga karena kepala adalah anggota wudhu yang terhitung dapat diusap secara langsung secara merata, maka wajib mengusap seluruhnya, sebagaimana mengusap wajah dalam tayamum. Hal ini seperti diuraikan oleh Qadhi Abdul Wahab dari madzhab Maliki (Al-Isyraf ‘ala nakti masailil khilaf, 1/43) dengan sedikit tambahan penjelasan.
Mereka memandang huruf “ba” dalam ayat ini tidak berfungsi sebagai tab’idh (sebagian), tetapi menunjukkan makna aslinya saja yaitu al-ilshaq (menempelkan/menyambungkan). Dimana makna al-ilshaq ini makna asli, sedangkan makna-makna lainnya sebagai makna tambahan. Oleh karena itu Sibawaih hanya menyebutkan makna ini saja untuk huruf “ba”. (Lihat Ibnu Hisyam, Mughnil Labib, hal.106, Asy-Syathibi, Al-Maqashid Asy-Syafiyah, 3/634). Dalam arti antara yang mengusap dengan yang diusap itu harus benar-benar menempel/bersambung. Meskipun secara asal makna “mengusap” itu sudah menunjukkan menempel antara yang mengusap dan diusap, adanya tambahan huruf “ba” ini untuk menguatkan bahwa ia benar-benar menempel (mubalaghah). Oleh karena itu, di antara mereka juga ada yang menyebut fungsi “ba” di sini adalah ziyadah (tambahan) yang memberikan makna penguat (taukid). Sedangkan makna tab’idh (sebagian) adalah makna tambahan bagi huruf “ba”, untuk dapat dimaknai dengan makna tersebut mesti ada alasan yang mengarahkan kepadanya. Menurut mereka, tidak ada alasan yang kuat untuk mengarahkan huruf ba kepada makna sebagian. Bahkan sebagian ulama mengingkari adanya fungsi makna tab’idh untuk huruf “ba”, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 1/176), salah seorang ulama madzhab Hanbali, dan beliau mengutip perkataan Ibnu Burhan : “Siapa yang menganggap bahwa huruf “ba” memberi fungsi tab’idh sungguh dia membawa sesuatu yang tidak dikenal oleh ahli bahasa”. Pernyataan tersebut senada dengan yang diucapkan oleh Ibnu Jinni (lihat Al-Maqashid Asy-Syafiyah, 3/638).
Adapun dari aspek sunnah, diketahui bahwa Rasulullah ﷺ mempraktekkan mengusap kepala itu dengan mengusap keseluruhannya. Dalam hadits dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu tetang tatacara wudhu Nabi ﷺ, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani meringkasnya dalam Bulughul Maram :
وَمَسَحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِرَأْسِهِ، فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ
“Dan Rasulullah ﷺ mengusap kepalanya, maka beliau mengusap ke arah depan dengan kedua tangannya dan mengusap ke arah belakang.” (Muttafaq ‘Alaih, Bukhari no. 185, Muslim no.235).
Dalam suatu lafazh dari keduanya (Bukhari dan Muslim) berbunyi :
بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِيْ بَدَأَ مِنْهُ
“Beliau memulai dengan bagian depan kepala beliau, hingga menarik kedua tangannya sampai pada bagian tengkuknya, lalu menariknya kembali ke tempat semula.”
Perbuatan Nabi ﷺ ini menjadi penjelas bagi kewajiban mengusap kepala yang diperintahkan dalam ayat di atas, yaitu bahwa yang wajib diusap adalah seluruh bagian kepala.
Adapun hadits yang menyebutkan Rasulullah ﷺ mengusap ubun-ubun dan di atas sorban, atau mengusap di atas sorban saja, sebagaimana dalam hadits berikut :
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Ja’far bin Amr bin Umayyah, dari ayahnya ia berkata :
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ
"Aku melihat Nabi ﷺ mengusap di atas sorbannya dan di atas sepasang sepatu khufnya."
Hadits ini memiliki mutaba’ah (diikuti jalur perowi lain yang bertemu pada rowi sahabat yang sama) dari Ma'mar dari Yahya dari Abu Salamah dari 'Amr, ia berkata, "Aku melihat Nabi ﷺ." (HR. Bukhari no.205).
Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Urwah bin Mughirah bin Syu’bah dari ayahnya, ia berkata :
وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ
"Dan beliau (Rasulullah ﷺ) mengusap diatas ubun-ubunnya dan di atas sorban.” (HR. Muslim no.274).
Kedua hadits di atas tidak menunjukkan kebolehan mengusap sebagian kepala. Menurut madzhab Hanbali, hanya menunjukkan kebolehan mengusap di atas sorban, baik mengusap di atas sorban saja maupun mengusap ubun-ubun yang dilengkapi dengan mengusap di atas sorban. Adapun mengusap ubun-ubun saja tanpa menyempurnakannya dengan mengusap di atas sorban, hal itu tidak diperbolehkan, karena tidak didasari dengan dalil yang kuat. Ini menunjukkan bahwa yang wajib diusap adalah seluruh bagian kepala, dan mengusap di atas sorban pun masih terhitung kategori mengusap seluruh bagian kepala. Adapun madzhab Malik, mereka tidak membolehkan mengusap di atas sorban. Baik karena dianggap bertentangan dengan asal perintah mengusap kepala, yaitu bahwa mengusap di atas sorban bukanlah mengusap kepala. Juga karena hadits di atas tidak dapat diamalkan baik karena tidak populer dalam pengamalan penduduk Madinah, maupun karena menilai hadits tersebut dhaif, yaitu seperti penilaian Ibnu Abdil Bar yang menganggap bahwa dalam hadits tersebut terdapat kecacatan (ma’lul), dalam salah satu jalurnya tidak menyebutkan mengusap ubun-ubun, tetapi hanya menyebutkan mengusap di atas sorban. (Biyatul Mujtahid, hal.17).
Adapun ulama yang berpendapat bahwa yang wajib diusap adalah sebagian kepala beralasan bahwa makna kalimat “mengusap sesuatu” itu bisa berlaku untuk sebagian ataupun seluruhnya, tidak mesti menunjukkan seluruhnya. Lalu perbuatan Nabi ﷺ yang memperjelas hal itu, dan diketahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengusap ubun-ubun saja, ini menunjukkan bolehnya mengusap sebagian kepala. Lalu makna huruf “ba” dalam ayat tersebut, menurut mereka menunjukkan makna sebagian (tab’idh). Alasannya, mereka mengutip perkataan sebagian ahli bahasa yang mengatakan bahwa jika huruf “ba” masuk ke fi’il yang muta’addi (kata kerja yang membutuhkan objek) maka huruf “ba” tersebut bermakna tab’idh (sebagian), seperti dalam ayat ini “wamsahu biru’usikum” (usaplah kepala-kepala kalian). Kata masaha (mengusap) itu fi’il muta’addi. Dan jika masuk ke fi’il yang lazim/tidak muta’addi (kata kerja yang tidak membutuhkan objek), maka huruf “ba” bermakna ilshaq (menyambungkan/menempelkan), seperti dalam ayat “wal yath-thawwafu bil baitil ‘atiq” (dan hendaklah mereka thawaf mengelilingi ka’bah). Kata thawaf adalah kata kerja yang tidak membutuhkan objek, maka huruf “ba” di sini bermakna ilshaq, dalam arti bahwa thawaf yang dilakukan mesti dekat dengan ka’bah, seakan-akan seperti menempel. Adapun mengqiyaskan kepada mengusap wajah dalam tayamum yang mesti diusap seluruhnya karena dengan redaksi yang sama yaitu wamsahu bi.. tidak dapat diterima. Karena pengambilan kesimpulannya bukan semata-mata karena petunjuk makna secara bahasa. Secara bahasa justru ia berkemungkinan bermakna sebagian ataupun seluruhnya. Tetapi dengan penjelasan perbuatan Nabi ﷺ. Dengan perbuatan beliau jelaslah bahwa mengusap wajah dalam tayamum itu mesti seluruhnya, sedangkan mengusap kepala dalam wudhu itu boleh sebagian. Selain itu, karena wudhu itu asal dalam thaharah sedangkan tayamum hanya sebagai pengganti, maka mengusap kepala dalam wudhu harus dipahami secara mandiri dari petunjuk redaksinya, sedangkan mengusap wajah dalam tayamum, ia mesti mengikuti dalam asal thaharahnya, yaitu mencuci wajah secara keseluruhannya. (Lihat Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, 1/220-221).
Memilih pendapat yang paling kuat (rojih).
Pendapat-pendapat para ulama di atas dilandasi dengan hujjah-hujjah yang kuat sebagai bentuk ijtihad mereka. Mereka berhak untuk memegang teguh ijtihad mereka. Namun, dalam rangka pengamalan, karena ilmu fiqih pada hakikatnya untuk diamalkan, di tengah perbedaan pendapat tersebut tetap kita harus bersikap dan memilih pendapat yang lebih menentramkan hati, yang lebih kuat sesuai yang nampak dalam pemahaman kita. Terlepas dari pilihan fiqih tersebut apakah dipilih melalui taqlid, dalam arti bermodalkan kepercayaan yang lebih kepada ulama tertentu untuk diikuti ijtihadnya, ataupun melalui penelitian, yaitu memeriksa dalil-dalilnya sejauh ilmu yang dimiliki. Sebagai bentuk amalan terbaik yang kita persembahkan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Dalam masalah ini, berdasarkan pengamatan penulis yang masih sangat fakir terhadap ilmu ini, yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa wajib mengusap seluruh bagian kepala dalam wudhu. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan :
Pertama, dari sisi dalalah lafazh. Memang dari berbagai seginya masih berkemungkinan (muhtamal) antara diarahkan kepada makna sebagian dan kepada makna keseluruhan. Namun diarahkan kepada makna keseluruhan itu lebih kuat karena merupakan asal (petunjuk asli). Bisa saja diarahkan kepada makna sebagian, namun memerlukan bukti penguat (qarinah), jika tidak ada bukti penguat maka mesti diambil yang asal ini. Makna “kepala” yang terkait dengan perintah “mengusap kepala” secara asal menunjukkan makna keseluruhan kepala, sama seperti petunjuk makna “cucilah wajah kalian” menunjukkan keseluruhan wajah.
Begitu pula petunjuk makna huruf “ba”, makna aslinya adalah al-ilshaq (menempelkan/menyambungkan), dengan makna asli ini lebih menguatkan makna mengusap kepala secara keseluruhannya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Memang kita tidak perlu memungkiri bahwa salah satu makna huruf “ba” adalah untuk sebagian (tab’idh). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh muhaqqiq ilmu Nahwu, Muhammad ibnu Malik dalam alfiyahnya menyebutkan bahwa di antara makna huruf “ba” adalah “min” (dari), dalam syarah Al-Kafiyah Asy-Syafiyah beliau lebih memperjelas lagi maksudnya adalah min at-tab’idhiyyah (bermakna sebagian). Diantara bukti penggunaannya adalah pada perkataan Abu Dzuaib Al-Hudzali :
شَرِبْنَ بِمَاءِ الْبَحْرِ ثُمَّ تَرَفَّعَتْ مَتَى لُجَجٍ خُضْرٍ لَهُنَّ نَئِيْجُ
"(Awan-awan itu) meminum sebagian air laut kemudian naik
Dari sebagian besar air laut yang hijau, awan itu memiliki kecepatan dan suara yang keras”
Huruf “ba” pada kata bimail bahri (dengan air laut) maksudnya menunjukkan makna sebagian (tab’idh) yaitu “sebagian air laut”.
Dalam Al-Qur’an juga terdapat penggunaan huruf “ba” untuk makna sebagian, yaitu pada ayat :
عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللهِ
“Yaitu mata air yang meminum darinya (sebagiannya) hamba-hamba Allah” (QS. Al-Insan : 6).
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكُمْ فَاعْلَمُوْا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللهِ
"Jika mereka tidak memenuhi seruan kalian, maka ketahuilah sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan (dari sebagian) ilmu Allah.” (QS. Hud : 14).
Keberadaan huruf “ba” yang bermakna sebagian ini ditegaskan oleh para ulama ahli bahasa, diantaranya Al-Ashma’i, Al-Farisi, Al-Qutbi, Ibnu Malik dan Ibnu Hisyam. (Lihat Syarh Al-Kafiyah Asy-Syafiyah, hal.805-806, Mughnil Labib, hal.111-112, Al-Maqashid Asy-Syafiyah, 3/635-636).
Namun permasalahannya bukan terletak pada apakah ada atau tidak penggunaan huruf “ba” untuk makna sebagian, tetapi apakah dalam ayat mengusap kepala ini, tepat ataukah tidak huruf “ba” dimaknai sebagian. Makna tab’idh ini bukanlah makna asal bagi huruf “ba”, tetapi makna tambahan, sehingga memperlukan bukti penguat untuk diarahkan kepada makna tersebut. Jika tidak ada, maka tidak dapat diterima.
Kedua, dari sisi penjelasan sunnah. Dari hadits-hadits yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mengusap seluruh bagian kepala. Lalu beliau juga pernah mengusap di atas sorban, ini tidak menafikan kewajiban mengusap keseluruhan kepala, karena mengusap di atas sorban sebagai pengganti mengusap kepala secara langsung dalam kondisi tertentu. Lalu beliau juga pernah mengusap di atas ubun-ubun dan mengusap di atas sorban, ini juga tidak menafikan kewajiban mengusap keseluruhan kepala, karena buktinya ketika mengusap ubun-ubun pun, tidak cukup ubun-ubun saja, tetapi mesti disempurnakan dengan mengusap ke atas sorban. Sehingga tetap saja semakna dengan mengusap keseluruhan kepala. Adapun hadits yang menyebutkan mengusap ubun-ubun saja, tanpa disempurnakan dengan mengusap di atas sorban, tidak dapat dijadikan hujjah karena terdapat kedhaifan di dalamnya. Bisa jadi hadits inilah yang menjadi pegangan kuat bagi madzhab yang membolehkan mengusap sebagian.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ ﷺ يَتوضَّأُ وعَليهِ عِمَامَةٌ قِطْرِيَّةٌ، فَأَدْخَلَ يَدَهُ مِن تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضِ الْعِمَامَةَ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu : “Aku melihat Rasulullah ﷺ berwudhu dan beliau memakai sorban qithriyyah, lalu beliau memasukkan tangannya ke bawah sorban, lalu mengusap bagian depan kepalanya (ubun-ubunnya) dan tidak melepaskan sorban.” (HR. Abu Dawud no.147, Ibnu Majah, no.564).
Ibnu Mulaqqin (w.804 H) mengatakan : “Seluruh perowinya tsiqat kecuali Abdul Aziz bin Muslim dan Abu Ma’qil, keduanya tidak dikenal, aku tidak mengetahui orang yang men-jarh-nya dan orang yang men-tsiqah-kannya, meskipun yang pertama ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban semata. Yang paling tepat adalah bahwa keduanya tidak dapat dijadikan hujjah, dan kondisinya memang seperti itu. (Al-Badrul Munir, 1/676). Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (w.852 H) mengatakan : “Dalam sanadnya ada yang perlu ditinjau ulang.” (Talkhishul Habir, 1/95).
Kalaupun shahih, hadits tersebut belum dapat dipahami secara jelas (sharih) bahwa Rasulullah ﷺ mengusap ubun-ubun saja. Karena berkemungkinan tidak melepaskan sorban itu, maknanya beliau menyempurnakan mengusap ke atas sorban. Diamnya Anas tidak menunjukkan penafiannya. Karena justru dalam hadits shahih Muslim sebelumnya dari Mughirah menyebutkan secara jelas mengusap ubun-ubun dan menyempurnakan ke atas sorban. Begitupula yang diriwayatkan oleh imam Asy-Syafi’i di dalam kitab Al-Umm (1/22) dari Mughirah, yang disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ mengusap ubun-ubun. Bukan berarti membatasi hanya mengusap ubun-ubun saja, tetapi maksudnya telah diperjelas bahwa mengusap ubun-ubun dan menyempurnakannya mengusap ke atas sorban.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar