Oleh : Muhammad Atim
Manusia diciptakan dalam keadaan merdeka, bebas untuk menentukan pilihan-pilihan hidup. Yaitu tentang apa yang dia yakini dan apa yang dia perbuat. Walaupun akan ada konsekwensi terhadap pilihan-pilihan itu di akhirat. Dunia ini adalah tempat ujian, agar manusia menggunakan kebebasannya untuk memilih, sehingga ia layak kelak diberikan balasan yang setimpal.
Allah SWT berfirman :
فَمَن شَاۤءَ فَلۡیُؤۡمِن وَمَن شَاۤءَ فَلۡیَكۡفُرۡۚ
"Maka siapa yang berkendak, silahkan ia beriman, dan siapa yang berkehendak silahkan kafir."
Ini adalah potongan ayat dalam surat Al-Kahfi ayat 29. Kalau kita baca secara utuh, kita akan tahu bahwa pemberian kebebasan memilih tersebut bukan berarti membiarkan tersesat dan tanpa balasan, justru telah datang kebenaran dari Allah sebagai petunjuk dan akan ada balasan dari setiap pilihan yang diambil.
وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَاۤءَ فَلۡیُؤۡمِن وَمَن شَاۤءَ فَلۡیَكۡفُرۡۚ إِنَّاۤ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّـٰلِمِینَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن یَسۡتَغِیثُوا۟ یُغَاثُوا۟ بِمَاۤءࣲ كَٱلۡمُهۡلِ یَشۡوِی ٱلۡوُجُوهَۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَاۤءَتۡ مُرۡتَفَقًا
"Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek." (QS. Al-Kahfi : 29).
Oleh karena itu, ini menjadi prinsip dalam agama yang Allah turunkan. Yaitu tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 256).
Kita tidak perlu memaksa orang untuk masuk ke dalam agama Islam, sebagaimana kita tidak perlu merasa terpaksa memeluk agama Islam. Hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Peperangan-peperangan yang menghiasi sejarah hidup mereka, tujuannya bukanlah untuk memaksa orang lain memeluk agama Islam, tetapi semata-mata untuk menghentikan kezaliman. Menghentikan perbudakan yang memaksa manusia untuk tunduk di bawah kekuasaan pemimpin yang zalim. Sehingga, peperangan dalam Islam kepentingannya adalah memerangi para pemimpin zalim tersebut. Lalu ditegakkanlah keadilan, dan Islam membawa hukum yang adil, yang dapat diterima oleh setiap akal sehat manusia. Ketika kebebasan telah dirasakan oleh manusia, maka mereka dibiarkan untuk memilih apakah mau menjadi muslim ataukah tidak. Walaupun mereka tetap memilih menjadi non-muslim, maka mereka dapat hidup berdampingan dengan orang-orang Islam di bawah hukum yang adil, yang disepakati bersama. Dalam perspektif orang Islam, hukum yang adil tersebut mestilah didasarkan pada hukum Islam, sebagai konsekwensi dari keimanannya. Dan orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah, dengan sendirinya secara sadar, ketika kebenaran Islam itu telah nampak di dalam pikirannya, ia akan memeluk agama Islam. Ini terjadi ketika Rasulullah ﷺ berhasil menguasai Mekkah dan menghentikan kezaliman orang-orang Quraisy, mereka diberikan kebebasan untuk memilih keyakinannya masing-masing. Dan dengan sendirinya justeru mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Oleh karena itu, kita mesti bersyukur termasuk orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah dengan memeluk agama Islam. Satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah dan menjadi jalan keselamatan. Andaikan kita tidak menjadi muslim, tentulah kita akan celaka di akhirat kelak. Allah ﷻ telah menyediakan neraka sebagai tempat bagi orang yang tidak beriman kepada-Nya, yang dihuni untuk selama-lamanya. Baik keislaman itu didapat melalui keturunan, artinya dilahirkan dalam keluarga muslim, ataupun dilahirkan dalam keluarga non-muslim tetapi kemudian Allah memberikan hidayah untuk memeluk agama Islam, semuanya adalah jalan hidayah yang Allah berikan.
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran : 19).
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi”. (QS. Ali Imran : 85).
Inilah keyakinan sebagai seorang muslim yang mesti kita pegang teguh secara sadar. Tidak boleh bagi orang yang mengaku muslim meyakini kebenaran agama lain atau meyakini kebenaran semua agama. Karena hal itu kontradiktif yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Menurut akal sehat, tidak mungkin dua hal yang berlawanan itu berkumpul dalam satu waktu. Tidak dapat diterima orang yang meyakini bahwa Allah sebagai satu-satunya tuhan, tetapi pada saat yang sama meyakini kebenaran tuhan yang lain. Jika ada yang seperti itu, itu hanya bermain-main saja terhadap agama. Mereka disebut sebagai orang-orang munafik secara aqidah, yang berpura-pura masuk Islam.
Secara sadar menjadi muslim, artinya tidak ada seorang pun dan sesuatu pun yang memaksa kita. Ini adalah pilihan kita sendiri. Meskipun wasilahnya melalui keturunan, ketika akal kita sudah berfungsi, kita memilih agama Islam ini dengan pikiran dan pemahaman kita sendiri, bukan dengan paksaan keluarga kita. Karena ini adalah pilihan kita sendiri, maka sewajarnya kita berkomitmen terhadap ajaran Islam sebagai konsekwensi dari pilihan kita itu. Bisa jadi tidak sedikit orang yang mengaku muslim, tetapi komitmen keislamannya masih perlu dipertanyakan. Dimulai dari komitmen keyakinan (aqidah), lalu komitmen perbuatan dan komitmen sikap yang selaras dengan Islam. Jika dalam hal komitmen aqidah masih dipertanyakan, ragu-ragu dan abu-abu dalam meyakini kebenaran Islam seperti yang disebutkan sebelumnya, tentu sebenarnya identitas keislaman pada dirinya telah hilang. Klaim kosong dan menjadi kafir tanpa sadar. Karena komitmen aqidah ini adalah standar untuk dikatakan sah menjadi muslim. Komitmen aqidah ini tertuang dalam dua kalimat syahadat yang diucapkan. Yaitu meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah dan menerima kenabian Nabi Muhammad ﷺ. Serta menerima kebenaran enam rukun iman, yaitu beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir atau hari kiamat, dan kepada qadha dan qadar, takdir baik dan buruk yang ditetapkan oleh Allah ﷻ. Adapun komitmen perbuatan dan sikap, adalah konsekwensi dari komitmen aqidah itu sendiri. Kalau kita beriman bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan yang harus disembah, hal itu mengharuskan kita mentaati syariat-Nya. Namun komitmen perbuatan dan sikap ini bukanlah syarat sah seseorang menjadi muslim. Tetapi sebagai konsekwensi dari keimanan itu sendiri yang dapat menyempurnakannya. Artinya, jika ada orang Islam yang melanggar syariat, baik dengan meninggalkan kewajiban ataupun melakukan yang diharamkan, selama masih meyakini kebenaran Islam, ia tetap dianggap sebagai muslim dan orang yang beriman. Namun ia disebut sebagai orang fasik karena perbuatan dosa besarnya yang dapat menyebabkan ia disiksa di neraka.
Oleh karena itu, sah menjadi muslim saja belum tentu membuat selamat dari siksa neraka, walaupun ada kesempatan untuk kemudian dikeluarkan darinya. Komitmen di dalam aqidah Islam itu, mesti dilanjutkan dengan komitmen perbuatan dan sikap mentaati syariatnya, sehingga betul-betul terbebas dari siksa neraka. Selalu berkomitmen untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Karena sejatinya dua hal ini dapat dilakukan oleh setiap muslim tanpa ada kesulitan. Ketika benar-benar terjadi adanya kesulitan dalam melakukannya, Allah pasti memberikan keringanan di dalamnya. Karena prinsip dalam agama Islam ini adalah kemudahan. Jika kemudian terjerusumus melakukan dosa besar karena tergoda oleh syetan, maka senantiasa berkomitmen untuk menyesal dan bertobat, sehingga Allah mengampuninya. Lalu berusaha untuk melakukan yang disunnahkan (jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa) serta meninggalkan yang dimakruhkan (jika ditinggalkan mendapat pahala dan jika dikerjakan tidak berdosa), serta memilih hal-hal yang mubah (boleh memilih antara melakukan dan meninggalkan) yang bermanfaat untuk kehidupan. Yang menjadi penyempurna amalan dan memperbanyak pahala, artinya membuat derajat kita di surga menjadi lebih tinggi.
Tulisan ini mengajak kita untuk kembali dan lebih menyadari keislaman kita. Agar tidak merasa cukup dengan pengakuan sebagai muslim, identitas ktp beragama Islam. Tetapi mulai bersungguh-sungguh berkomitmen terhadap agama Islam yang kita pilih dengan sadar ini. Mulai menguatkan kembali komitmen dalam hal keyakinan (aqidah) Islam, agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang membatalkan keislaman kita. Lalu berkomitmen dalam perbuatan dan sikap yang selaras dengan Islam. Hal itu tidak dapat kita lakukan kecuali dengan terus mempelajari Islam dengan benar (thalabul ‘ilmi) dan menancapkan tekad yang kuat (‘azam) untuk mengamalkannya. Ketika dasar-dasar komitmen ini telah kita pegang, baik dalam hal keyakinan, perbuatan dan sikap, maka kita memiliki kewajiban untuk mengajak orang lain agar juga berkomitmen terhadap Islam, dan tidak perlu menunggu pengamalan kita yang sempurna, karena manusia pasti memiliki kekurangan, untuk itu kita diperintahkan bertakwa sekuat kemampuan. Sembari terus meningkatkan kualitas diri, agar mampu mempersembahkan amalan terbaik kepada Allah, sebagai bentuk penghambaan kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar