Oleh : Muhammad Atim
Inilah keistimewaan umat Nabi Muhammad ﷺ dibanding umat sebelumnya. Meskipun usianya lebih pendek
tetapi dapat mengungguli umat lain. Rahasianya adalah diberikan pelipatgandaan
pahala.
Seperti syariat yang satu ini; shaum 6 hari di bulan Syawal. Siapa yang
shaum Ramadhan lalu diikuti dengan shaum 6 hari di bulan Syawal, maka ia
seperti shaum satu tahun penuh.
عَنْ عُمَرَ بْنِ
ثَابِتٍ بْنِ الْحَارِثِ الخَزْرَجِي عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ : « مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
»
Dari Umar bin
Tsabit bin Al-Harits Al-Khazraji, dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu
bahwanya ia (Abu Ayyub) menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : “Siapa yang shaum Ramadhan
kemudian ia mengikutinya (menyambungnya) (dengan shaum) enam hari dari bulan
Syawal, ia seperti shaum satu tahun.” (HR. Muslim, no. 1164).
Mengapa dianggap
sebagai shaum satu tahun penuh? Karena bagi umat Nabi Muhammad ﷺ, satu amal ibadah dibalas dengan 10 pahala
kebaikan. Hitungannya, shaum Ramadhan selama satu bulan itu dilipatkan sepuluh
kali lipat menjadi 300 hari atau sepuluh bulan. Berdasarkan zahir hadits ini,
tidak berbeda apakah jumlah Ramadhan itu 30 atau 29 hari, karena ini hanya
hitungan matematis manusia. Lalu ditambah dengan 6 hari, artinya menjadi 60
hari atau dua bulan. Maka genaplah menjadi 12 bulan atau satu tahun penuh. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Nabi ﷺ
sendiri dari riwayat Tsauban radhiyallahu ‘anhu,
عَنْ ثَوْبَانَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ : « صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ
وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ فَذٰلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ »
Dari Tsauban radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : “Shaum
bulan Ramadhan itu sama dengan sepuluh bulan dan shaum 6 hari itu sama dengan
dua bulan, maka itulah shaum satu tahun.” (HR. Nasai dalam As-Sunan
Al-Kubro, no. 2873).
عَنْ ثَوْبَانَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
يَقُوْلُ : « جَعَلَ اللهُ الْحَسَنَةَ بِعَشْرٍ، فَشَهْرٌ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ،
وَسِتَّةُ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ تَمَامُ السَّنَةِ »
Dari Tsauban radhiyallahu
‘anhu maula (budak yang dibebaskan oleh) Rasulullah ﷺ bahwanya ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Allah
menjadikan satu kebaikan itu sama dengan sepuluh. Maka, satu bulan sama dengan
sepuluh bulan, dan enam hari setelah idul fitri adalah untuk menyempurkan
menjadi satu tahun.” (HR. Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro, no. 2874).
Berdasarkan hadits
shahih di atas, jelaslah hukum shaum 6 hari di bulan Syawal adalah sunnah. Adapun
yang memakruhkannya yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah, hal itu merupakan
ijtihad keduanya karena khawatir dianggap wajib. Namun karena haditsnya shahih,
maka kuatlah hujjah akan kesunnahannya. Shaum ini bisa dilakukan secara
berturut-turut ataupun secara terpisah, karena keduanya tercakup dalam makna atba’ahu
(mengikutinya/menyammbungnya). Hanya jika berturut-turut dan diawalkan
tentu lebih baik, karena amal shaleh itu lebih baik jika disegerakan. Karena kalau
ditunda-tunda akan mengakibatkan
munculnya rasa malas ataupun terhalang oleh sebab-sebab lain. Wallahu A’lam.
Imam Nawawi rahimahullah
menjelaskan :
فيه دلالة
صريحة لمذهب الشافعي وأحمد
وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة، وقال مالك وأبو حنيفة : يكره ذلك، قال مالك في الموطأ : ما
رأيت أحدا من أهل العلم يصومها، قالوا : فيكره، لئلا يظن وجوبه. ودليل الشافعي وموافقيه هذا
الحديث الصحيح الصريح، وإذا ثبتت السنة لا تترك لترك بعض الناس أو أكثرهم أو كلهم
لها، وقولهم : قد يظن وجوبها، ينتقض بصوم عرفة وعاشوراء وغيرهما من الصوم المندوب.
قال أصحابنا : والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر، فإن فرقها أو أخرها
عن أوائل شوال إلى أواخره حصلت فضيلة المتابعة؛ لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال.
“Di dalam hadits
tersebut terdapat petunjuk yang sharih (jelas) bagi madzhab Syafi’i, Ahmad dan
Dawud (Azh-Zhahiri), dan orang-orang yang sepakat dengan mereka dalam
kesunnahan shaum enam hari ini. Sedangkan Malik dan Abu Hanifah berkata : “Hal
itu dimakruhkan”. Malik berkata di dalam Al-Muwatha : “Aku tidak melihat
seorang pun dari ahli ilmu yang shaum padanya. Mereka berkata : “Maka
dimakruhkan, agar tidak disangka sebagai kewajiban”. Dalil Asy-Syafi’i dan yang
sepakat dengannya adalah hadits yang shahih dan sharih ini. Apabila sunnah
telah tetap, tidak boleh ditinggalkan disebabkan sebagian orang atau kebanyakan
atau seluruhnya meninggalkannya. Perkataan mereka “bisa jadi disangka sebagai
kewajiban”, terbantahkan dengan shaum Arofah, Asyura dan yang lainnya dari
shaum yang mandub. Para sahabat kami berkata : “Yang lebih utama agar shaum
enam hari ini dilakukan secara berturut-turut setelah hari ‘Id. Namun apabila melakukannya
secara terpisah atau mengakhirkannya dari awal-awal Syawal ke akhir-akhirnya,
tercapai pula keutamaan mengikutinya. Karena benarlah bahwa ia mengikutinya
dengan shaum enam hari dari bulan Syawal.” (Syarah Shahih Muslim, jilid 8,
hal.80-81).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar