Kamis, 16 Juni 2022

Standar Keimanan, Cukup Mengimani Pokok Aqidah Secara Global

 


Oleh : Muhammad Atim

 

Standar keimanan dalam Islam itu simpel dan mudah. Cukup mengimani pokok aqidah dan syariah secara global. Dalam arti meyakini dengan hati dan mengikrarkannya dalam lisan dengan bersyahadat, diiringi dengan sikap tunduk (idz'an) kepada Allah.

Adapun amal, ia adalah konsekwensi dari iman. Saking eratnya kaitan keduanya, amal seringkali disebut sebagai bagian dari iman yang tak terpisahkan. Namun, amal tidak termasuk dalam kategori standar keimanan. Sehingga, pelaku dosa besar baik meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman tidak dihukumi kafir, selama standar keimanan tersebut masih ada dalam dirinya. Hanya, meninggalkan kewajiban dan melakukan keharaman itu terancam siksa neraka, meskipun masih ada harapan masuk surga setelahnya, oleh sebab masih ada iman dalam dirinya. Yang harus menjadi perhatian dan kewaspadaan adalah, ketika orang terbiasa meninggalkan kewajiban dan melakukan keharaman, itu sangat rentan pada akhirnya akan menganggapnya tidak wajib dan tidak haram. Meyakini tidak wajib sesuatu yang jelas-jelas wajib dan meyakini tidak haram sesuatu yang jelas-jelas haram adalah termasuk pembatal keimanan, sehingga ia menjadi murtad dan kafir. -Wal'iyadzu billah-

Pokok aqidah dalam Islam adalah mengimani enam rukun iman secara global. Termasuk meyakini pokok-pokok syariah seperti wajibnya shalat lima waktu, zakat, shaum ramadhan, haji, haramnya khomer, babi, dll, yang termasuk hal-hal yang disebut ma'lum minaddin bidh-dharurah (diketahui dari agama secara mudah, tanpa perlu pembelajaran secara mendalam). Meyakini hal tersebut adalah termasuk aqidah, karena termasuk yakin dan tunduk pada ketetapan Allah.

Adapun rincian dari enam rukun iman, bukanlah termasuk standar keimanan. Ketidaktahuan seseorang terhadap rincian aqidah ini, tidaklah membuatnya menjadi kafir. Asalkan beriman kepada pokok aqidah, ia tidak akan terhalang masuk surga hanya gara-gara tidak tahu pembagian sifat Allah, tidak tahu tentang istilah tafwidh, takwil dan itsbat makna zahir dalam memahami sifat-sifat Allah, tidak tahu istilah jisim, jauhar, 'ardh, hayyiz, jihhah, tapi ia mengimani secara global dengan menetapkan setiap yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dan tidak menyerupakannya dengan makhluk, tidak tahu rincian nama-nama malaikat, kitab-kitab, nabi dan rasul, tidak tahu tanda-tanda kiamat, tidak tahu rincian perjalanan setelah kiamat, tidak tahu rincian takdir Allah, bahkan tidak tahu tentang adanya adzab kubur sekalipun. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada Aisyah Ummul Mu'minin radhiyallahu 'anha, istri Nabi yang dikenal paling ahli dalam ilmu, sebagaimana dalam riwayat berikut :

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ يَهُودِيَّةً جَاءَتْ تَسْأَلُهَا فَقَالَتْ لَهَا أَعَاذَكِ اللَّهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَسَأَلَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُعَذَّبُ النَّاسُ فِي قُبُورِهِمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَائِذًا بِاللَّهِ مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ غَدَاةٍ مَرْكَبًا فَخَسَفَتْ الشَّمْسُ فَرَجَعَ ضُحًى فَمَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ الْحُجَرِ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي وَقَامَ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَفَعَ فَسَجَدَ ثُمَّ قَامَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَفَعَ فَسَجَدَ وَانْصَرَفَ فَقَالَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ ثُمَّ أَمَرَهُمْ أَنْ يَتَعَوَّذُوا مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

Dari 'Aisyah istri Nabi , bahwa ada seorang wanita Yahudi datang bertanya kepadanya, ia katakan, "Apakah Allah akan melindungi Anda dari siksa kubur?" Maka Aisyah menanyakan hal itu kepada Rasulullah , "Apakah manusia akan disiksa dalam kubur mereka?" Rasulullah lalu menjawab, "Aku berlindung darinya." Kemudian di pagi hari Rasulullah pergi mengendarai tunggangannya, tiba-tiba terjadi gerhana matahari. Lalu beliau segera kembali saat masih waktu Duha, beliau melewati di antara kamar-kamar (istrinya), beliau kemudian mendirikan shalat dengan diikuti oleh orang-orang di belakangnya. Beliau berdiri dengan lama, lalu rukuk dengan rukuk yang panjang, lalu mengangkat (kepala) kemudian berdiri dengan panjang, namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian rukuk kembali dengan panjang namun tidak sepanjang rukuk yang pertama, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan sujud. Kemudian beliau kembali berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama, lalu rukuk dengan panjang namun tidak sepanjang rukuk yang pertama, lalu mengangkat (kepala) dan berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian beliau rukuk dengan panjang namun tidak sepanjang rukuk yang pertama. Kemudian beliau mengangkat kepalanya, lalu sujud dan mengakhiri shalatnya. Kemudian beliau bersabda sebagaimana yang dikendaki Allah, kemudian memerintahkan orang-orang agar mereka memohon perlindungan dari siksa kubur." (HR. Bukhari, no.1049).

Dalam hadits di atas jelas bahwa Aisyah sebelumnya belum mengetahui tentang adzab kubur. Ia baru mengetahui justru karena ada orang Yahudi yang bertanya, lalu Rasulullah saw memberitahukan kepadanya. Ini menunjukkan bahwa adzab kubur termasuk rincian atau furu (cabang) aqidah, karena kalau termasuk pokok aqidah, tentulah beliau memberitahunya sejak awal. Rasulullah ketika itu tidak menyuruh Aisyah memperbaharui iman atau syahadatnya, tidak pula memperbaharui akad nikahnya, tetapi beliau memberi udzur atas ketidaktahuannya.

Meskipun tentu, setiap orang yang telah beriman diwajibkan untuk terus menambah ilmu sesuai kemampuannya. Agar semakin bertambah ilmunya, maka semakin bertambah pula keimanannya, dan juga bertambah amal shalehnya. Ketika kemudian ia mendapatkan ilmu baru dalam rincian aqidah ini, berdasarkan dalil yang kuat, tentu ia wajib menerima dan mengimaninya. Kalau kemudian ia tidak menerima setelah mengetahuinya, maka ini termasuk sebab kemurtadan.

Inilah yang disebut dengan furu (cabang) aqidah, yang tidak semua orang diwajibkan untuk mengetahuinya. Bahkan tidak semua dalil dan dilalahnya bersifat qath'i, ada pula yang zhanni yang menimbulkan khilafiyyah (perbedaan pendapat). Dan hal itu merupakan fakta yang tidak bisa dihindari. Perbedaan itu akhirnya melahirkan aliran pemahaman atau madzhab. Maka Ahlus Sunnah terbagi kepada tiga madzhab, yaitu Atsari/Salafi, Asy'ari dan Maturidi. Perbedaan mereka tidak keluar dari furu aqidah yang bersifat ijtihadiyyah, yang tentu ijtihad itu bisa benar dan bisa salah. Tapi mereka semua adalah ahlus sunnah, karena mereka meyakini pokok aqidah yang sama. Mempelajari rincian dan bahasan yang mendalam dalam disiplin ilmu aqidah dari ketiga madzhab ahlus sunnah ini hukumnya fardhu kifayah, yaitu untuk mengokohkan hujjah dalam menetapkan aqidah Islam dan membantah syubhat-syubhat penyimpangan pada kelompok yang jelas-jelas menyimpang seperti syiah, mu'tazilah, liberal, dll.

Terjadinya kegaduhan bahkan perpecahan di antara sesama ahlus sunnah ini adalah karena memposisikan furu aqidah sebagai ushul aqidah. Perkara yang zhanni dianggap sebagai qath'i yang tidak boleh berbeda pendapat. Akhirnya memaksakan pemahaman madzhabnya kepada semua. Akhirnya mudah melakukan vonis bid'ah, bukan ahlus sunnah, bahkan kafir. Madzhab atau manhaj yang sejatinya merupakan aliran keilmuan, dianggap sebagai tolok ukur standar keimanan. Orang awam yang telah mengimani pokok aqidah, tidak perlu ditanya apa manhaj dan madzhabnya, tidak perlu ditanya apakah mereka salafi, asy'ari atau maturidi. Karena tidak ada kebutuhan pada mereka terhadap hal itu. Jangan lagi salah paham terhadap manhaj salaf yang dianggap satu-satunya yang benar. Karena yang dimaksud seringkali adalah salah satu aliran keilmuan/madzhab dalam aqidah ahlus sunnah, karena baik madzhab salaf maupun kholaf (dalam hal ini asy'ari dan maturidi) adalah sama-sama ahlus sunnah. Jangan dikira madzhab kholaf ini melenceng dari salafush shaleh, justru ijtihad mereka juga berusaha dilandaskan kepada pemahaman salaf dan meneladani mereka. Disamping ijtihad itu tidak terpaku kepada apa yang ada pada suatu zaman, karena setiap zaman memiliki permasalahannya yang berbeda, yang menuntut adanya pembaharuan (tajdid) dalam pemahaman keagamaan.

Tidakkah cukup bagi kita pernyataan yang Allah tegaskan untuk kita semua "Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara" ?

Wallahu A'lam.

Semoga Allah membimbing kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar