Kamis, 16 Juni 2022

Makna "Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah"


 

Oleh : Muhammad Atim

 

Jargon "Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah" (الرجوع إلى القرآن والسنة) adalah jargon yang benar. Karena maksudnya adalah, pertama, agar umat terbiasa membaca, mempelajari dan menggali ilmu dari keduanya, agar tidak merasa asing, bahkan dianggap misteri, takut untuk memahami dan membaca terjemahannya, bahkan dahulu ada larangan dari membaca terjemahannya, hanya mencukupkan dengan kalam para ulama saja, sehingga madzhab-madzhab yang merupakan kumpulan ijtihad para ulama dalam masalah-masalah zhanni dianggap sebagai agama yang qath'i tidak boleh berbeda dengannya. Sehingga inilah yang menjadi penyebab fanatik terhadap madzhab, dan taklid buta. Bahkan menjadi alat penjajah untuk membuat umat Islam tetap dalam keadaan bodoh terhadap agamanya.

Kedua, jargon ini juga bernilai persatuan di antara sesama muslim. Karena, meski umat Islam memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam masalah ijtihadiyyah furu'iyyah zhanniyyah, tapi mereka adalah umat yang satu yang sama-sama berpegang dan merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Ini juga untuk mengikis fanatisme umat yang berujung perpecahan. Meski umat berbeda dalam hal-hal yang zhanni, tapi mereka sepakat dalam hal-hal yang qath'i, yang tertuang jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Jargon ini jelas mengandung semangat mempersatukan umat.

Namun, belakangan jargon ini disalahpahami. Bahkan dijadikan alat fanatisme baru. Yaitu untuk mengklaim dalam masalah ijtihadiyyah furuiyyah zhanniyyah, bahwa pendapatnyalah yang berdasar kepada Al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak. Mempertentangkan Al-Qur'an dan Sunnah dengan ijtihad para ulama dalam mengistinbat hukum, padahal mereka berijtihad dalam masalah zhanni yang memungkinkan untuk menimbulkan perbedaan pendapat. Artinya, mereka juga berpijak kepada Al-Qur'an dan Sunnah dalam mengistinbat hukum.

Kita tidak menafikan bahwa ulama itu tidak ma'shum, bisa salah dalam ijtihad dan mengistinbat hukum. Kesalahan mereka diberi udzur bahkan bernilai pahala, jangan dianggap sebagai kesesatan dan bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Di tengah perbedaan pendapat para ulama dalam masalah-masalah yang zhanni itu, tetap saja kita harus berusaha memilih untuk pemahaman dan pengamalan kita yang dapat menentramkan hati, baik dengan mengikatkan diri kepada salah satu madzhab, ataupun dengan penelitian mandiri diantara berbagai madzhab yang ada. Jadi, usaha memilih ini adalah usaha memilih yang lebih kuat (rojih) di antara pendapat-pendapat yang mu'tabar (diakui) di kalangan ulama, sesuai capaian ilmu yang Allah bukakan kepada masing-masing, bukan memilih antara haq dan batil, antara hidayah dan dhalalah (kesesatan). Dan kekuatan ilmu terhadap yang rojih ini tetap saja zhanni, paling tinggi prosentasenya 99%, tidak sampai qath'i (100%). Sehingga tidak mudah bagi kita mempertentangkannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Jadi, sebenarnya mudah agar umat Islam bersatu, hanya masalahnya mereka mau ataukah tidak, ataukah masih terus doyan dalam pertikaian. Yaitu kembali kepada jati dirinya sebagai muslim. Karena semuanya berada di jalur yang sama, yaitu sepakat dalam hal-hal yang qath'i, seperti mentauhidkan Allah, wajibnya shalat lima waktu, haramnya khomer dan babi, dll. Kembali kepada panduan hidup yang sama dan rujukan utama, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Inilah standar kebenaran. Adapun dalam masalah ijtihadiyyah, dalam masalah aqidah misalnya, apakah memilih madzhab atsari, asy'ari atau matudiri dalam permasalahan-permasalahan yang sebenarnya tidak banyak, yang diakui sebagai sama-sama ahlus sunnah, atau dalam masalah fiqih, apakah mau memilih madzhab maliki, hanafi, syafi'i, hanbali, zhahiri, atau meramu kembali dengan pijakan kaidah yang mereka wariskan sebagai kesinambungan ijtihad, itu silahkan saja. Allah menurunkan agama Islam ini sebagai agama yang mudah, kenapa ko doyan mempersulitnya? Yaitu menilai perkara zhanni sebagai qath'i, akhirnya menjadi ribet dan sulit, mudah sekali mengkategorikan banyak umat Islam yang tidak seafiliasi dalam kesesatan. Cukuplah label "muslim" yang Allah berikan untuk kita semua sebagai alasan kita bersatu dalam persaudaraan. Saya muslim, sebelum sebagai apapun. Ana muslim qobla kulli syai'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar