Oleh : Muhammad Atim
Segala puji bagi Allah yang
masih terus menerus memberikan kita ni’mat tiada tara. Shalawat dan
salam selalu terlimpah kepada nabi kita Muhammad saw, sebagai teladan
bagi kita sepanjang zaman.
Dalam kesempatan kali ini, kita
kembali membahas di antara sumber hukum syariat, yaitu perbuatan
Nabi. Kali ini yang termasuk kategori yang bersifat manusiawi.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa
Nabi saw, selain sebagai nabi dan rasul, beliau memiliki sisi
manusiawi, karena beliau diutus dari kalangan manusia seperti kita.
Hikmahnya adalah agar kita dapat meneladaninya.
Allah SWT berfirman,
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ
يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ
إِلَهٌ وَاحِدٌ (الكهف
:
١١٠)
“Katakanlah
aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diberikan wahyu
kepadaku, bahwa Tuhan kalian adalah tuhan yang satu.” (QS.
Al-Kahfi : 110).
Orang-orang
kafir heran mengapa utusan Allah itu berasal dari kalangan manusia.
وَقَالُوا
مَالِ هذَا الرَّسُوْلِ يَأْكُلُ
الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ
لََوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ
فَيَكُوْنَ مَعَهُ نَذِيْرًا
(الفرقان
:
٧)
“Dan
mereka berkata, mengapa
rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa
malaikat tidak diturunkan kepadanya agar ia memberikan peringatan
bersamanya.
(QS. Al-Furqan
: 7).
Padahal
jelas, agar kita dapat meneladaninya. Andaikan rasul itu diutus dari
kalangan malaikat, tentu ia adalah makhluk yang berbeda dari kita
sehingga kita tidak akan mampu meneladaninya.
Sebagai
manusia, Rasulullah saw butuh kepada kebutuhan primer manusia yaitu
makan, minum, berpakaian dan bertempat tinggal. Sebagaimana
diisyaratkan dalam ayat berikut ini,
إِنَّ
لَكَ أَلَّا تَجُوْعَ فِيْهَا وَلَا
تَعْرَى.
وَإنَّكَ
لَا تَظْمَأُ فِيْهَا وَلَا تَضْحَى
(طه
:
١١٨-١١٩)
“Sesungguhnya
bagimu di dalam surga itu tidak akan lapar dan tidak telanjang.
Dan
sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak akan terkena
panas matahari.
(QS. Thaha
:
118-119).
Begitu
pula beliau butuh kepada kebutuhan-kebutuhan yang lebih dari itu
(sekunder ataupun tersier) seperti berkendaraan, memiliki peralatan
perang dan lain sebagainya.
Beliau
juga
kadang
terjatuh kepada sifat manusiawi yaitu lupa. Seperti saat beliau lupa
terhadap shalat yang harusnya beliau lakukan empat rakaat, beliau
melakukannya dua rakaat. Yang kemudian beliau sempurnakan rakaatnya
dan
mengakhirinya
dengan sujud sahwi. Beliau
mengatakan,
وَلكِنْ
إِنَّمَا
أَنَا
بَشَرٌ،
أَنْسَى
كَمَا
تَنْْسَوْنَ،
فَإِذَا
نَسِيْتُ
فَذَكِّرُوْنِي
“Tetapi
aku hanyalah seorang manusia, aku lupa sebagaimana kalian lupa,
apabila aku lupa maka ingatkanlah aku.” (Muttafaq
‘alaih).
Namun
tentu saja, lupa beliau ini tidak mengurangi kesempurnaan syariat
Islam. Karena urusan syariat dan wahyu yang Allah turunkan, Allah
senantiasa menjaganya. Justru sifat lupa yang terjadi pada diri
beliau dalam kisah di atas menjadi latar belakang adanya syariat
sujud sahwi. Ini menunjukkan bahwa seluruh syariat yang diturunkan
untuk manusia akan selalu sesuai dengan kondisi manusia.
Para
ulama ushul fiqih menyebutkan bahwa perbuatan nabi yang berkaitan
dengan sifat manusiawi ini, atau disebut dengan jibilli,
yang
merupakan adat atau kebiasaan manusiawi, seperti berdiri, duduk,
makan, minum, tidur
dan
lainnya, hukumnya jelas menunjukkan mubah. Al-Isnawi (704-772 H)
menyebutkan tidak ada perbedaan di kalangan ulama. Perbuatan dalam
kategori ini bukan termasuk bagian dari ibadah, karena ia merupakan
tuntutan hidup manusia. Kecuali di dalam kitab Tanqih
Al-Fushul karya
Al-Qarafi (626-684
H) disebutkan ada satu pendapat yang menyebutkan bahwa ia termasuk
mandub karena dianjurkannya meneladani Rasulullah saw. Hal ini juga
ditegaskan oleh Az-Zarkasyi (745-794), dan Abu Ishak Asy-Syirazi
(393-476 H) menisbatkan pendapat ini kepada kebanyakan para ahli
hadits. Sedangkan
As-Suyuthi (849-911 H) menjelaskan bahwa kedua pendapat ini tidak
bertentangan. Secara hukum dia adalah mubah, tetapi jika seseorang
melakukannya dengan niat meneladani Rasul maka ia akan diberi pahala
dengan pahala mandub. Tetapi khitob di awalnya tidak menunjukkan
hukum mandub. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Umar yang
memberhentikan hewan tunggangannya di suatu jalan di belakang pohon.
Ia ditanya atas yang ia lakukan. Lalu ia menjawab, “Aku melihat
Rasulullah saw melakukannya.” Perbuatan dalam kategori ini tidaklah
dianggap sebagai hal yang mandub, meskipun dalam mengerjakannya yang
disertai niat meneladani akan mendapatkan pahala. Menurut
beliau, pahala yang diberikan itu semata-mata karena niatnya tidak
karena perbuatannya. Berbeda dengan mandub, yang dari sisi
perbuatannya mengandung pahala. Maka hendaklah diperhatikan perbedaan
ini. (Lihat
Syarah
Al-Kaukab As-Sathi’ karya
As-Suyuthi, jilid 2, hal.441-442).
Syekh
Dr. Abdul Karim Zaidan menambahkan yang termasuk dalam kategori ini
adalah yang berkaitan dengan pengalaman manusiawi dalam urusan dunia
seperti mengatur pasukan dan strategi perang, urusan perdagangan dan
yang semisalnya. Perbuatan ini tidak diangggap sebagai tasyri’
(pensyariatan) bagi umat, karena dibangun di atas pengalaman bukan
atas dasar wahyu, dan rasul tidak mewajibkan kaum muslimin terhadap
hal itu. Oleh karena itu, ketika beliau hendak memilih markas pasukan
di dalam perang Badar,
di
antara sahabat ada yang bertanya, “Apakah tempat yang engkau pilih
ini adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah ataukah suatu pemikiran,
strategi perang dan taktik?” Beliau menjawab, “Justru ini adalah
suatu pemikiran, strategi perang dan taktik”. Lalu sahabat itu
berkata, “Tempat ini kurang tepat”. Lalu
menunjukkan tempat yang lebih tepat dan mengemukakan alasannya. Maka
beliaupun mengambil pendapat sahabat tersebut. (Al-Wajiz
fi Ushul Al-Fiqh
karya Dr. Abdul Karim Zaidan, hal.154-155).
Jelaslah
bahwa perbuatan Nabi saw yang bersifat manusiawi atau dengan kata
lain karena tuntutan tabiat manusiawi adalah termasuk mubah. Jika
kita ingin mengikuti beliau dalam hal ini tentu boleh-boleh saja,
apalagi dengan niat meneladani dan rasa cinta kepada beliau, itu akan
berbuah pahala. Namun perlu diingat, meneladani beliau dalam hal
jibilli
ini jangan sampai mendatangkan kemadhorotan atau bertentangan dengan
tujuan syariat sacara umum. Misalnya kita ingin berkendaraan seperti
Nabi yang menggunakan unta atau keledai, tentu saja ini tidak sesuai
dengan tradisi dan zaman kita saat ini. Ia malah akan mendatangkan
kemadhorotan. Inilah yang ditegaskan oleh Dr. Abdullah bin Yusuf
Al-Judayyi’, beliau menegaskan bahwa justru yang termasuk sunnah
dalam perkara ini dengan makna yang lebih tinggi adalah setiap orang
melakukan sesuai dengan tabiat kemanusiaannya dan tradisi yang
berlaku di lingkungan dan zamannya. Jangan memaksakan diri untuk
seperti nabi, seperti berjalan dan duduk seperti nabi padahal tidak
sesuai dengan kondisi dirinya. Begitu
pula dalam hal berpakaian dan berpenampilan. Jangan memaksakan diri
seperti nabi tetapi justru terjerumus ke dalam sikap ingin
menonjolkan diri, merasa diri lebih suci dan lebih sesuai sunnah
Nabi. Dan tentu saja sikap seperti ini bertentangan dengan syariat.
(Lihat
Tasir
Ilmi Ushul Al-Fiqh karya
Dr. Abdullah bin Yusuf Al-Judayyi’, hal. 32).
Juga
perlu diingat, bahwa perbuatan Nabi yang bersifat manusiawi yang
menunjukkan hukum mubah ini adalah dilihat dari sisi semata-mata
karena perbuatan beliau yang tidak disertai dengan adanya qarinah
(keterangan lain yang memalingkan) yang menunjukkan kepada hukum
lain. Qarinah
tersebut saya simpulkan sebagai berikut,
Pertama,
adanya perintah dari beliau untuk melakukannya. Jika ada perintah
dari beliau, berarti tidak semata-mata perbuatan tetapi sudah
disertai dengan perkataan yang dapat menunjukkan kepada hukum yang
lain. Hukum
tersebut ada yang berupa wajib, adapula yang berupa sunnah. Dan ada
juga yang menunjukkan hukum mubah dalam arti perintah tersebut
sebagai izin untuk melakukannya setelah sebelumnya dilarang. Seperti
perintah beliau untuk berziarah kubur, sebagai izin setelah ada
larangan dari beliau sebelumnya.
Yang
termasuk wajib misalnya perintah beliau untuk makan dan minum dengan
tangan kanan. Dikatergorikan wajib karena perintah beliau disertai
ketegasan dan adanya ancaman bahwa makan dan minum dengan tangan kiri
adalah perbuatan syetan dan ketika seseorang menolaknya dikategorikan
sebagai kesombongan.
Yang
termasuk sunnah adalah
jika perintah beliau tidak disertai ketegasan dan ancaman dari
meninggalkannya. Misalnya perintah beliau untuk tidur dengan
berbaring di atas lambung sebelah kanan. Juga
makan dan minum sambil duduk, karena ada larangan dari makan dan
minum berdiri, tetapi larangan itu beralih kepada hukum makruh,
karena dalam kondisi tertentu beliau pernah minum sambil berdiri
untuk suatu kebutuhan. Tentu saja beliau minum sambil berdiri saat
itu hukumnya menjadi mubah, karena tidak mungkin beliau melakukan
sesuatu yang makruh. Dari sini sebenarnya para ulama membuat kaidah
bahwa sesuatu yang makruh itu bisa hilang kemakruhannya jika ada
suatu kebutuhan terhadapnya.
Jika
kita lebih jauh lagi mengkaji permasalahan ini, perintah beliau ini
ada yang termasuk kategori dapat dipahami illat (alasan)nya oleh akal
manusiawi dan ada pula yang tidak bisa dipahami illatnya. Jika tidak
dipahami illatnya maka hukumnya berlaku secara terus menerus,
misalnya makan dan minum dengan tangan kanan. Secara akal manusiawi
tentu ini tidak dipahami, karena dengan tangan kiri pun sebetulnya
sudah bisa dipenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Jika alasannya
supaya tidak bercampur dengan membersihkan suatu yang kotor, bisa
saja seseorang membaliknya yaitu makan dan minum dengan tangan kiri
dan membersihkan kotoran dengan tangan kanan. Berarti alasannya
memang tidak dipahami akal manusiawi di dunia, tetapi kemaslahatannya
lebih tertuju ke akhirat nanti. Dan jika illatnya bisa dipahami oleh
akal manusiawi, tentu hukumnya akan dipengaruhi oleh illat tersebut.
Ketika illat itu ada, maka hukumnya berlaku, dan sebaliknya ketika
illat itu tidak ada maka hukumnya menjadi tidak berlaku lagi. Inilah
kaidah yang dirumuskan oleh para ulama “Al-Hukmu
yaduru ma’al ‘illah wujudan wa ‘adaman” (hukum itu beredar
bersama illatnya, ada dan tidak adanya)
Misalnya,
perintah beliau untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Juga
perintah beliau untuk mengangkat pakaian di atas mata kaki bahkan
disertai dengan ancaman neraka jika menjulurkan pakaian di bawah mata
kaki (isbal). Apakah
perintah ini disertai dengan illat ataukah tidak? Atau bahkan beliau
secara tegas menyebutkan alasannya? Jika
kita amati hadits yang berkenaan dengan hal
ini, justru beliau menyebutkan alasannya. Yaitu perintah beliau
memanjangkan jenggot dan mencukur kumis adalah agar berbeda dengan
orang-orang Yahudi. Dan juga larangan untuk tidak isbal adalah dengan
disertai kesombongan. Jika
ini disepakati, maka berlakulah kaidah di atas. Yaitu jika illatnya
ada maka berlakulah hukumnya, dan jika tidak ada maka hukumnya tidak
berlaku. Jika memang zaman sekarang masih relevan untuk dapat berbeda
dengan orang-orang Yahudi, maka hukumnya masih berlaku. Jika tidak,
tentu saja menjadi tidak berlaku lagi. Sehingga kembali kepada hukum
asal yaitu mubah, dan sebagaimana dalam penjelasan sebelumnya jika
seseorang melakukannya dengan niat meneladani dan mencintai rasul,
tentu ia akan mendapatkan pahala. Begitu pula tentang isbal, jika
disertai kesombongan maka ia adalah haram, dan jika tidak disertai
kesombongan maka tidak haram.
Kedua,
tidak ada perintah langsung dari beliau, tetapi perbuatan jibilli
yang
beliau lakukan itu mengandung makna syar’i dan makna kemaslahatan
duniawi. Artinya tidak semata-mata tuntutan tabiat manusiawi beliau.
Maka hukumnya beralih menjadi mandub dengan tingkatan yang paling
rendah yang disebut oleh para ulama sebagai fadhilah,
sunnah zawaid atau
sunnah
‘adah.
Misalnya
beliau tidak makan sambil bersandar. Memang tidak ada perintah
langsung dari beliau untuk tidak makan sambil bersandar. Tetapi
perbuatan beliau ini mengandung makna syar’i dalam arti dengan
tidak bersandar menunjukkan ketawadhuan dalam hal makan, seperti yang
beliau sebutkan dalam hadits lain, “Aku
makan sebagaimana seorang hamba sahaya makan dan aku duduk sebagai
mana seorang hamba sahaya duduk.” (HR.
Ahmad dalam Az-Zuhd, Al-Bazzar, dan lainnya). Juga mengandung makna
kemaslahatan duniawi dalam hal ini kesehatan. Yaitu jika sambil
bersandar artinya posisi terlalu nyaman saat makan dan perut siap
untuk diisi penuh, ini akan membuat berlebihan dalam makan yang tidak
baik untuk kesehatan.
Ketiga,
adanya
dalil lain yang menunjukkan bahwa perbuatan Nabi tersebut adalah
khusus bagi beliau sedangkan umatnya dilarang. Seperti menikah dengan
lebih dari empat istri. Menikah tentu termasuk kebutuhan manusiawi.
Tetapi menikahi lebih dari empat istri yang dilakukan oleh beliau
adalah merupakan kekhususan, karena bagi umatnya hanya dibolehkan
sampai empat saja sebagaimana
ditegaskan di dalam Al-Qur’an.
Inilah
rincian dari perbuatan Nabi yang bersifat manusiawi yang menunjukkan
hukum mubah jika tidak ada qarinah. Dan jika ada qarinah, ia bisa
menunjukkan hukum wajib dan bisa pula menunjukkan hukum mandub, dan
ada pula yang menjadi kekhususan bagi beliau.
Dan ini menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh Nabi tidak akan keluar
dari tiga hukum ini: wajib, mandub dan mubah. Tidak mungkin beliau
melakukan sesuatu yang makruh, apalagi yang haram.
Berkenaan
dengan hal-hal yang bersifat tabiat manusiawi ini baik yang termasuk
kebutuhan primer maupun yang lainnya, memang secara asal hukumnya
mubah, tetapi mesti diperhatikan jika ada larangan di dalam syariat
baik menunjukkan haram maupun makruh. Dan hal-hal yang diharamkan
dalam syariat justru kebanyakannya adalah berkaitan dengan urusan
duniawi
manusia seperti
ini. Baik keharaman itu bersifat umum misalnya larangan kesombongan,
serakah, berlebihan,
mengambil
yang bukan hak, dan lain sebagainya. Ataupun larangan secara khusus
misalnya makan babi, minum khomer, berzina,
memakai
emas dan sutera bagi laki-laki, menjadikan emas dan perak sebagai
alat untuk makan dan minum, dan
lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar