Selasa, 10 September 2019

Kunci Pemahaman Seputar Ijtihad dan Taqlid



Kunci Pemahaman
Seputar Ijtihad dan Taqlid


1. Yang wajib adalah taat kepada Allah dan rasul-Nya dengan mengetahui hukum-hukum syariat, baik dengan cara memahami dan menyimpulkan langsung dalil-dalilnya (ijtihad) (QS. An-Nisa : 83), atau dengan cara bertanya kepada ahli ilmu, yang disebut oleh ulama sebagai taqlid (QS. An-Nahl : 43).

2. Maka, ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menghasilkan hukum-hukum syariat yang dipahami dari dalil-dalilnya. Sedangkan taqlid adalah mengikuti suatu pendapat ulama tanpa memahami dalil-dalilnya. Keduanya sama-sama taat kepada Allah sesuai kemampuannya.

3. Jadi, taqlid itu hukumnya wajib bagi orang yang tidak mampu untuk memahami dalil-dalilnya dengan mengikuti pendapat ulama yang ia yakini keilmuannya.

4. Taqlid yang haram adalah taqlid buta yang menghalangi seseorang dari usaha untuk belajar memahami dalil-dalil. Ia tidak mau menggunakan pendengaran, penglihatan, akal dan hatinya untuk memahami, padahal itu semua akan dipertanggungjawabkan. Taqlid yang membuat seseorang fanatik padahal telah nampak jelas dalil di hadapannya dan masuk di akalnya yang bertentangan dengan pendapat yang ia taqlid kepadanya. Juga haram bertaqlid bagi orang yang mampu memahami dalil-dalil, dalam arti tidak boleh mengikuti suatu pendapat kecuali telah benar-benar paham dalil dan penyimpulannya.

5. Taqlid itu ada tingkatannya sebagaimana ijtihad juga ada tingkatannya.
Taqlid ditinjau dari usaha memahami syariat, tingkatan yang paling rendah adalah ketika seseorang sampai di usia baligh ia ingin bertanya tentang syariat kewajiban shalat, ketentuan dan tatacaranya, agar ia paham untuk dapat melaksanakan kewajiban. Tentu ia akan bertaqlid dulu, untuk segera melaksanakan shalat karena sudah dikenai kewajiban. Kalau menunggu sampai paham semua hukum dengan rincian dalil-dalilnya, maka ia akan tertunda dalam melaksanakan kewajiban.

Satu persatu hukum syariat yang ia dikenai kewajiban terhadapnya ia pelajari. Setelah shalat, lalu ia memiliki harta yang sudah dikenai kewajiban zakat, maka ia pelajari tentang syariat zakat, masuk Ramadhan ia pahami syariat shaum Ramadhan, lalu haji, lalu kepada ibadah-ibadah sunnah dan seterusnya. Semakin bertambah pemahaman terhadap hukum-hukum syariat, semakin meningkatlah keilmuannya.

Namun sebanyak apapun seorang yang taqlid paham terhadap hukum-hukum syariat, jika ia tidak berusaha mempelajari dan memahami dalil-dalilnya, ia tetap disebut sebagai orang yang bertaqlid, muqollid.

Ketika seorang muqollid berusaha memahami dalil-dalil, berarti dia sedang melalui tangga menuju mujtahid, orang yang mampu berijtihad. Seseorang tidak dikatakan mampu berijtihad kecuali telah tersingkap dalam dirinya pemahaman terhadap dalil dalam suatu permasalahan hukum syariat. Setelah tersingkap, barulah ia dikatakan berijtihad dalam satu permasalahan tersebut yang disebut "ijtihad juz'i" (ijtihad parsial). Tahap demi tahap orang tersebut mempelajari, semakin banyak hukum syariat ia kuasai pemahaman dalil-dalilnya, ia melangkah untuk sampai kepada "ijtihad kulli" (ijtihad menyeluruh dalam seluruh hukum syariat).

Pemahaman seorang mujtahid terhadap dalil-dalil tersebut bertingkat. Di sinilah letaknya tingkatan ijtihad itu,

1. Ada yang menukil suatu pendapat ulama tentang hukum syariat dan ia memahami betul dalil-dalilnya, tetapi tidak menguasai seluruh ushul dan furu dari ulama atau madzhab tersebut. Ini disebut Mujtahid Naqil.

2. Ada yang memahami berbagai pendapat ulama dan memahami betul dalil-dalilnya lalu memilih yang ia anggap paling kuat, tetapi tidak menguasai ushul dan furu dari ulama-ulama tersebut, tidak juga memahami seluruh ushul dan furu sebagai suatu metode yang ia tempuh. Ini namanya Mujtahid Mutabashir.

3. Ada yang menguasai seluruh ushul dan furu dari satu ulama atau madzhab, dan ia mampu mengeluarkan hukum sesuai metode ulama atau madzhab tersebut. Ini disebut Mujtahid Takhrij.

4. Ada yang menguasai seluruh ushul dan furu suatu ulama atau madzhab, dan ia mampu menganalisis berbagai pendapat di madzhab tersebut dan menguatkan suatu pendapat. Ini dinamakan Mujtahid Tarjih.

5. Ada yang menguasai seluruh ushul dan furu dan berpotensi untuk membangun sendiri ushul dan furunya dalam fiqih, namun ia memilih metode imam tertentu yang ia tempuh. Ini disebut Mujtahid Tabi'.

6. Ada yang menguasai seluruh ushul dan furu dan membangun sendiri metode dalam berijtihad tanpa terikat dengan metode imam yang lain. Ini disebut Mujtahid Mutlak. Di sinilah posisisnya para imam Madzhab seperti yang kita kenal, yaitu imam Malik, imam Abu Hanifah, imam Syafi'i, imam Ahmad, dan lainnya. Rahimahumullah jami'an.

Sekarang tinggal kita mengukur diri, sudah berada di posisi manakah kita?

Pemahaman yang saya tulis ini masih terbuka untuk didiskusikan jika ada koreksi atau kritik. Dan bisa saja suatu saat diralat kepada yang lebih tepat.

Wallahu A'lam

(Al-Faqir ilallah wa roji 'afwi robbihi, Muhammad Atim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar