Kamis, 05 Juli 2018

Adab kepada Rasulullah saw


Tafsir Al-Hujurot 3

Setelah disebutkan adab kepada Allah dan rasul-Nya agar ditaati dan dijadikan sebagai penuntun jalan hidup, selanjutnya disebutkan adab kepada Rasulullah saw secara khusus. Menariknya dalam surat Al-Hujurot ini, setiap adab yang diajarkan kepada orang-orang beriman, selalu diawali dengan panggilan "Wahai orang-orang beriman" agar menjadi perhatian secara khusus pada masing-masing adab yang diajarkan, dan juga agar orang-orang beriman tersebut menghidupkan imannya yang dibuktikan dengan mengaplikasikan adab-adab tersebut. Ada lima panggilan terhadap orang beriman dalam surat ini. Pertama, berisi adab kepada Allah dan rasul-Nya. Kedua, berisi adab kepada Rasulullah saw. Ketiga, berisi adab terhadap orang beriman yang melenceng dari ketaatan (fasik). Keempat, berisi adab kepada orang beriman sejati ketika hadir di hadapan. Kelima, berisi adab kepada orang beriman sejati ketika tidak ada di hadapan.

Dari sekian banyak adab kepada Rasulullah saw, dalam ayat ini hanya disebutkan adab agar tidak mengeraskan suara di majelis Rasulullah saw. Selain memang sebagai koreksi bagi permasalahan yang terjadi, juga jika dipahami, sikap ini adalah ketidakberadaban yang terendah kepada Rasulullah saw, sehingga dapat diterapkan istidlal (cara berdalil) "mafhum muwafaqoh / fahwal khitob" (logika "apalagi"). Artinya, kalau mengeraskan suara saja tidak boleh, apalagi yang lebih dari itu. Dan tentu saja larangan yang berlaku kepada orang-orang beriman secara umum, juga berlaku untuk beliau: melecehkan, mencela, memanggil dengan panggilan buruk, berburung sangka, mencari-cari kesalahan dan membicarakan kejelekannya. Di sini terlihat ada keistimewaan adab kepada Rasulullah saw dibanding kepada orang-orang beriman secara umum. Dari larangan ini berlaku perintah terhadap kebalikannya. Yaitu agar merendahkan suara di majelisnya, memuliakan namanya termasuk membaca shalawat ketika disebutkan namanya, mencintainya, menjadikannya teladan, membelanya, meneruskan da'wahnya, dst.

Dalam pengajaran adab-adab ini, Allah menggunakan metode larangan dibanding perintah, ini sesuai dengan kaidah yang dirumuskan oleh para ulama,

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

"Menolak kemafsadatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemanfaatan"

Selain memang larangan tersebut mengandung perintah terhadap kebalikannya.

"Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mengeraskan suara di atas suara Nabi dan janganlah mengeraskan suara kepadanya dengan suatu pembicaraan, seperti mengeraskan sebagian dari kalian kepada sebagian lain, hal itu dapat menyebabkan gugurnya amal-amal kalian sedangkan kalian tidak menyadarinya. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara mereka di sisi Rasulullah saw, mereka itulah yang telah diuji hatinya oleh Allah kepada ketakwaan, bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggilmu dari balik kamar-kamar kebanyakan mereka tidak berakal. Kalaulah mereka bersabar sampai engkau keluar kepada mereka niscaya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurot : 2-5)

Dalam ayat di atas ada dua larangan, pertama: jangan mengeraskan suara di majelis/tempat berada Rasulullah saw, kedua: jangan mengeraskan suara ketika berbicara kepada beliau. 

Melebihi suara beliau, maknanya tentu saja melebihi suara beliau yang biasa. Larangan ini dikecualikan pada momen-momen yang memang diizinkan seperti: adzan, takbir 'ied, termasuk ketika beliau menyuruh Abbas bin Abdul Muttalib untuk memanggil para sahabat yang berlari di perang Hunain, Abbas menyeru dengan suara yang sangat keras, dll.

Selanjutnya diberi peringatan, mengeraskan suara di tempat Rasulullah saw, artinya tidak beradab kepada Rasulullah saw, dapat menyebabkan gugurnya amal-amal. 

Gugurnya amal-amal shaleh yang dilakukan, artinya menjadi sia-sia belaka tidak mendatangkan pahala, tidak diterima di sisi Allah SWT, sebabnya adalah kemusyrikan atau kekufuran yang membuat gugur iman seseorang alias murtad. Rasulullah saw adalah perkara aqidah, salah satu rukun iman yang wajib diimani. Keberanian bersikap tidak beradab kepada Rasulullah saw sekecil apapun akan mencederai aqidah yang secara perlahan akan menggerogoti aqidah tersebut menjadi semakin besar. Jika seseorang berani mengeraskan suara di hadapan Rasulullah saw, selanjutnya ia akan berani merendahkan beliau, mencela beliau, dst, dan itu merupakan kemurtadan yang dapat menggugurkan amal-amal shaleh. Proses penggerogotan aqidah yang semakin membesar tersebut tidak akan disadari oleh pelakunya, untuk itulah Allah menyebutkan setelahnya "dan kalian tidak menyadarinya".

Oleh karena itu, jika kita berada di suatu majelis orang-orang yang memandang rendah apalagi mengolok-olok perkara-perkara agama dan itu merupakan bentuk kemurtadan, kita disuruh untuk menghindarinya jika kita tidak mampu menegurnya dan menghentikannya. Tentu saja, iman yang bersemayam di hati seseorang akan mendorongnya untuk menolak dengan keras segala bentuk pelecehan terhadap agama.

Ayat ini pada awalnya sebagai bentuk koreksi terhadap sikap yang salah dari Abu Bakar dan Umar ra yang mengeraskan suara di majelis Rasulullah saw karena berselisih tentang siapa pemimpin Bani Tamim. Begitu juga sikap Bani Tamim yang disebutkan bahwa kebanyakan mereka tidak berakal karena memanggil-manggil dengan panggilan yang tidak layak kepada Rasulullah saw dengan suara yang keras. 

Orang-orang beriman itu sangat tersentuh hatinya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Kedua sahabat yang sangat mulia itu sangat menyesal atas perbuatannya. Keduanya tidak pernah lagi mengeraskan suara melebihi suara Rasulullah saw sepanjang hayat mereka, bahkan ketika mereka berbicara kepada beliau seperti orang yang berbisik. Bahkan ketika Rasul saw telah tiada, Umar pernah memarahi dua anak muda yang mengeraskan suara di masjid Nabi saw, ini menunjukkan bahwa adab tidak mengeraskan suara di majelis Rasulullah saw itu tidak hanya berlaku saat beliau masih hidup, tetapi juga setelah beliau tidak ada.

Selain mereka berdua, ada sahabat lain yang sangat tersentuh dengan ayat ini yaitu Tsabit bin Qais. Ia sangat merasa bahwa ayat itu turun menegur dirinya yang punya karakter berbicara keras termasuk di hadapan Rasulullah saw. Ia pun mengurung dirinya di rumahnya, sambil menangis dengan kesedihan yang mendalam, ia tidak berani menemui Rasulullah saw kecuali beliau memaafkannya, bahkan dia berkata bahwa dirinya termasuk penghuni neraka. Ketika Rasulullah saw mengetahui ketidakhadirannya, belia menyuruh kepada sahabat lain untuk mengecek ke rumahnya. Sahabat tersebut memberitahukan kondisi Tsabit dan perkataannya, kemudian beliau menyuruh sahabat tersebut untuk memberikan kabar gembira kepada Tsabit bahwa justru dia termasuk penghuni surga.
Orang-orang Arab baduy dari Bani Tamim yang berwatak keras dan tidak beradab tersebut selain tidak beradab dalam memanggil Rasulullah saw, mereka juga bersikap sombong dengan mengatakan, "Sesungguhnya pujian kami adalah kebaikan dan celaan kami adalah keburukan, kami adalah semulia-mulia orang Arab." Maka wajar mereka dicela dengan keras bahwa kebanyakan mereka tidak berakal. Tetapi, teguran Allah SWT tidak hanya memberikan celaan, tetapi juga memberikan arahan dan solusi yaitu jikalau mereka bersabar sampai Rasulullah saw keluar tentu itu ada hal yang baik/ lebih baik bagi mereka. Jika mereka mau merubah karakter mereka, yang tidak beradab menjadi orang yang beradab, tentu Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Wallahu A'lam.

(M. Atim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar