Senin, 04 Desember 2017

Posisi kedua tumit ketika sujud, rapat ataukah renggang?

Ini bukanlah permasalahan baru yang nampak belakangan, tetapi telah dibicarakan oleh ulama terdahulu khususnya dalam madzhab Syafi’i dan Hanbali, sedangkan dalam madzhab lain tidak ditemukan perincian dalam masalah ini. Madzhab Syafi’i dan Hanbali sepakat bahwa posisi kedua tumit dalam sujud itu direnggangkan, dan ia merupakan sunnah. 

An-Nawawi menukil, Asy-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya berkata, “Disunnahkan bagi orang yang bersujud untuk merenggangkan kedua lututnya dan kedua kaki (qodam)nya.” Al-Qadhi Abu Thayyib berkata dalam Ta’liqnya, “Sahabat-sahabat kami berkata, “Antara kedua kaki itu seukuran satu jengkal.” (Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, Penerbit Mimbariyah, 3/408).

Dalam madzhab Hanbali, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Suatu pasal. Dan disunnahkan untuk merenggangkan antara kedua lutut dan kedua kaki, karena hadits yang diriwayatkan oleh Abu Humaid ra, ia berkata : “Dan apabila beliau sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya, tanpa membebankan perutnya pada pahanya sedikitpun.” (Al-Mughni, Penerbit Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi, 1/308).

Alasan kesimpulan di atas adalah didasari hadits sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Qudamah, secara lengkapnya sebagai berikut :

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ فِي صِفَةِ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ

Dari Abu Humaid as-Sa’idi tentang sifat (salat) Rasulullah saw., ia mengatakan, “Dan apabila (Nabi) sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya tanpa membebankan perutnya pada pahanya sedikit pun.” (HR. Abu Dawud, No.735).

Dalam hadits tersebut hanya disebutkan “merenggangkan kedua pahanya”. Meski disebutkan hanya paha, tetapi jika dipahami, lafazh tersebut memberikan petunjuk (dilalah) secara iltizam, bahwa jika paha direnggangkan maka secara otomatis lutut dan betis pun direnggangkan, karena tidak terbayang dalam pikiran kita jika paha direnggangkan lalu lutut dan betis dirapatkan. Adapun kedua tumit atau kaki bagian bawah (qodam), apakah juga secara otomatis direnggangkan? Ini yang masih menimbulkan kemungkinan bisa saja dirapatkan. Dan inilah yang menjadi celah munculnya pendapat bahwa tumit itu dirapatkan. Namun jika mengamati pendalilan para ulama khususnya dalam madzhab Syafi’i dan Hanbali, mereka memahami bahwa hadits ini memberi petunjuk direnggangkannya tumit karena tumit itu mengikut kepada kedua betis dan kedua lutut. Bisa juga diperkuat dengan dalil istishhab, yaitu posisi asal kaki itu sendiri pada saat berdiri, ruku dan i’tidal yang direnggangkan. Asy-Syaukani bahkan menegaskan bahwa merenggangkan kedua paha maksudnya adalah termasuk juga merenggangkan kedua lutut dan kedua kakinya, “Beliau merenggangkan kedua pahanya” maksudnya merenggangkan kedua pahanya, kedua lututnya dan kedua kakinya.” (Nailul Authar, Penerbit Darul Hadits, 2/297).

Pendapat merapatkan tumit dalam sujud dikatakan oleh Al-Albani dan  Ibnu Utsaimin, sebagaimana juga dijadikan judul oleh Al-Baihaqi dalam kitab Sunannya “Bab apa yang datang dalam menggabungkan kedua tumit dalam sujud.” Begitu pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya “Bahwa Rasulullah saw merapatkan kedua tumitnya.” Ibnu Utsaimin menjelaskan alasannya, “Akan tetapi yang nampak bagiku dalam sunnah bahwa kedua kaki (qodam) itu keadaannya dirapatkan, yakni kedua kaki itu satu sama lain dirapatkan, sebagaimana dalam shahih (Muslim) dari hadits Aisyah ketika ia kehilangan Nabi saw lalu tangannya menyentuh kedua telapak kakinya, kedua kaki itu tegak dan beliau dalam keadaan sujud. Satu tangan itu tidak menyentuh kedua telapak kaki kecuali dalam keadaan dirapatkan. Dan sungguh hal itu juga telah datang dalam Shahih Ibnu Khuzaimah dalam hadits Aisyah yang telah lalu, “Bahwa Rasul saw merapatkan kedua tumitnya.” Oleh karena itu, sunnah dalam kedua kaki adalah dirapatkan berbeda dengan kedua lutut dan kedua tangan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, Penerbit Dar Ibnu Jauzi, 3/122). 

Alasan pendapat ini perlu diteliti ulang (fiihi nazhor). 

Pertama, berdalil dengan hadits, 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ « اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Dari Abu Hurairah, dari Aisyah, ia berkata : “Pada  suatu malam aku kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur. Lalu aku mencarinya di mesjid, maka tanganku menyentuh bagian perut (dampal) kedua telapak kaki beliau dalam keadaan tegak berdiri, dan beliau berdoa, “Ya Allah! Aku berlindung kepada ridha-Mu dari kemurkaan-Mu dan kepada ampunan-Mu dari siksaan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu.” (HR. Muslim, No.486).    

Kesimpulan “satu tangan tidak bisa menyentuh kedua telapak kaki kecuali dalam keadaan dirapatkan” tidak dapat dipastikan karena masih memberi kemungkinan kedua telapak kaki itu direnggangkan dan dapat diraba dengan satu tangan, juga karena makna “yad” itu bukan hanya dibatasi dengan makna telapak tangan tetapi juga berlaku untuk keseluruhan tangan, dan bisa juga dari kata iltamasa yang berarti mencarinya berkemungkinan rabaan Aisyah itu terjadi tidak hanya sekali. Maka dengan berbagai kemungkinan itu, jika tidak ada qarinah (keterangan pendukung), gugurlah pendalilan tersebut. Sebagaimana dalam kaidah ushul dikatakan,

مَعَ الْإِحْتِمَالِ سَقَطَ الْإِسْتِدْلَالُ

“Bersamaan dengan adanya kemungkinan, maka gugurlah pendalilan.”

Kedua, mencoba untuk mendatangkan qarinah bahkan secara sharih dengan hadits berikut,

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ القِبْلَةَ

Dari urwah bin Zubair dari Aisyah, isteri Nabi saw. berkata, “Saya kehilangan Rasulullah saw., padahal ia bersama saya di atas tempat tidur. Lalu saya mendapatkan sedang sujud, beliau merapatkan kedua tumitnya sambil menghadapkan ujung jari-jari (kaki) ke kiblat…” (HR. Al-Baihaqi, Al-Hakim, Ibnu Hiban dan Ibnu Khuzaimah)

Hadits tersebut gharib muthlaq atau fardhu muthlaq (bersanad tunggal), meskipun diriwayatrkan oleh empat mukharrij (periwayat hadits), karena hanya diriwayatkan oleh Aisyah, dan yang meriwayatkan dari Aisyah hanya Urwah bin al-Zubair saja. Dari urwah pun hanya diriwayatkan oleh Abu Nadir saja. Dari Abu Nadr diriwayatkan oleh Amarah bin ghaziyyah saja. Dari Amarah hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Ayyub. Dari Yahya diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abu Maryam saja.

Selain itu, dalam sanadnya terdapat rowi yang dhaif yaitu Yahya bin ayyub Al-Ghafiqi Abul Abbas al-Mishri. Ia di-jarh oleh beberapa ulama hadits, meskipun ada sebagian ulama yang men-ta’dil-kannya, namun karena disebutkan alasan kedhaifannya, maka sesuai dengan kaidah ilmu hadits “Al-Jarhu muqoddamun ‘ala At-Ta’dil” (Jarh lebih didahulukan daripada Ta’dil). Dengan demikian, karena hadits ini dhaif, tidak bisa dijadikan hujjah.

Maka penulis berkesimpulan, dalam masalah ini yang rajih adalah merenggangkan kedua tumit dalam sujud. Wallahu A’lam.  

(Muhammad Atim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar