Tentang aurat wanita para ulama berbeda pendapat. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan seluruh tubuh wanita adalah aurat selain wajah dan telapak tangan. Karena yang wajib ditutupi adalah aurat, maka yang selain aurat tidak wajib ditutupi yaitu wajah dan telapak tangan. Maka secara otomatis memakai cadar itu hukumnya tidak wajib. Pendapat ini dikatakan oleh imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, sedangkan Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyyah menambahkan kaki, karena ia adalah yang biasa nampak. Sedangkan sebagian ulama, seperti sebagian pengikut madzhab Hanbali dan juga ulama kontemporer di kalangan salafi seperti Ibnu Utsaimin, Al-Albani, Abdullah bin Baz dan yang lainnya mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat sehingga mereka menganggap memakai cadar bagi wanita hukumnya wajib.
Jika diamati dalil-dalil yang menjadi alasan pendapat di atas, menurut hemat saya, yang lebih kuat adalah pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita aurat selain wajah dan telapak tangan (luar dan dalam). Maka dengan begitu, memakai cadar bukanlah termasuk wajib, tetapi mubah.
Allah SWT berfirman,
وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ
“... dan janganlah mereka perempuan menampakkan perhiasan mereka (aurat) kecuali yang biasa nampak. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya...” (QS. An-Nuur : 31).
Ibnu Abbas ra –dari riwayat A’masy dari Sa’id bin Jubair- menafsirkan “kecuali yang biasa nampak” adalah wajah dan kedua telapak tangan, dan cincin.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/45, lihat juga Al-Mughni Ibnu Qudamah, 1/834). Adapun penafsiran Ibnu Mas’ud bahwa perhiasan yang biasa nampak itu adalah baju (lihat Tafsir Al-Qurthubi, 15/212), tidaklah bertentangan dari penafsiran sebelumnya, karena makna perhiasan itu bisa dalam kategori perhiasan yang berupa ciptaan (kholqiyah) yaitu seluruh tubuh wanita, dan bisa juga dalam kategori perhiasan yang dihasilkan manusia (muktasabah) seperti baju, perhiasan seperti emas, perak, mutiara, celak mata, dll, sebagaimana hal itu dijelaskan oleh para ahli tafsir. Maka dalam hal ini, Ibnu Abbas menafsirkan apa yang biasa nampak dari perhiasan kholqiyyah yaitu kedua wajah dan kedua telapak tangan, disamping juga menyebutkan cincin. Sedangkan Ibnu Mas’ud menafsirkan apa yang biasa nampak dari perhiasan muktasabah yaitu baju.
Adapun dalam riwayat lain –dari Abidah As-Salmani- Ibnu Abbas ketika ditanya tentang ayat di atas, ia mempraktekkan dengan menutup wajah dan menampakkan hanya satu mata, tidaklah menunjukkan bahwa dia mewajibkan menutup wajah, karena dalam riwayat sebelumnya secara tegas Ibnu Abbas memaknai bahwa perhiasan yang boleh nampak adalah wajah dan telapak tangan. Dimungkinkan saat itu Ibnu Abbas mencontohkan yang dilakukan oleh sebagian kaum wanita saat itu yang biasa menutupi wajah mereka.
Dalil lain yang menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat adalah hadits-hadits berikut :
Pertama, hadits tentang wanita dari Khats’am
عَنِ بْنْ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ يَوْمَ النَّحْرِ خَلْفَهُ عَلَى عَجُزِ رَاحِلَتِهِ وَكَانَ الْفَضْلُ رَجُلًا وَضِيئًا فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتْ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنْ النَّظَرِ إِلَيْهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِي الْحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ
Dari Abdullah bin Abbas ra dia berkata; "Pada hari Iedul Kurban, Al-Fadhl bin Abbas pernah membonceng Rasulullah saw dibelakang hewan tunggangannya, Al-Fadhl adalah orang yang tampan wajahnya, lalu Nabi saw berhenti sejenak untuk memberi fatwa di hadapan orang-orang, ternyata ada seorang wanita berwajah cantik dari Khats’am datang kepada Rasulullah saw untuk meminta fatwa, segera Al-Fadhl memandang wanita tersebut, ia merasa kagum dengan kecantikannya, ketika Nabi saw menoleh ke arah Al-Fadhl, dia masih saja memandangi wanita tersebut, akhirnya beliau memutar tangan ke arah belakang dan memegang dagu Al-Fadhl serta memalingkan wajahnya ke arah lain. Wanita tersebut bertanya; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji kepada para hamba-Nya, sementara ayahku baru mampu melaksanakan haji saat dia telah lanjut usia hingga menyebabkan ia tidak mampu naik kendaraan. Apakah saya boleh berhaji untuknya?" beliau menjawab; "Ya." (HR. Bukhari no.5760)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa kaum muslimah pada zaman Rasulullah saw itu tidak menutup wajahnya, seperti wanita dari Khats’am dalam riwayat di atas yang dilihat oleh Al-Fadhl. Kalaulah menutup wajah itu diwajibkan, tentu Rasulullah saw akan menyuruh wanita tersebut untuk menutupnya, tapi kenyataannya tidak.
Sebagian ulama Hanabilah menyanggah bahwa peristiwa di atas terjadi ketika perempuan Khats’am itu sedang dalam kondisi ihram, dan yang berihram tidak dibolehkan menutupi wajah dan kedua telapak tangan. Sanggahan ini dapat dijawab, bahwa kejadian itu justeru terjadi setelah tahallul (telah terlepas dari ihram), karena Nabi saw tidaklah membonceng Al-Fadhl kecuali setelah beliau keluar dari Mina ke Mekkah, dimana sebelumnya beliau membonceng Usamah bin Zaid dari Muzdalifah ke Jumrah, dan dari Jumrah ke Mekkah beliau membonceng Al-Fadhl.
Kedua, dibolehkannya membuka wajah dan telapak tangan dalam shalat dan Ihram. Kalaulah wajah dan telapak tangan itu aurat, tentu tidak akan dibolehkan, karena shalat dan Ihram itu disyaratkan untuk menutup aurat.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنْ الثِّيَابِ فِي الْإِحْرَامِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا الْبَرَانِسَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلَانِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا الْوَرْسُ وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلَا تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra berkata: Seorang laki-laki datang lalu berkata: “Wahai Rasulullah, pakaian apa yang baginda perintahkan untuk kami ketika ihram? Nabi saw menjawab: “Janganlah kalian mengenakan baju, celana, sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada di bawah mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan“. (H.R.Bukhari)
Ketiga, seorang perempuan yang bertanya kepada Rasulullah saw saat beliau berkhutbah ‘Ied dalam keadaan wajahnya terbuka.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتْ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Aku telah mengikuti shalat hari raya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau memulainya dengan shalat sebelum menyampaikan khutbah, tanpa disertai adzan dan Iqamah. Setelah itu beliau berdiri sambil bersandar pada tangan Bilal. Kemudian beliau memerintahkan untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan memberikan anjuran untuk selalu mentaati-nya. Beliau juga memberikan nasehat kepada manusia dan mengingatkan mereka. Setelah itu, beliau berlalu hingga sampai di tempat kaum wanita. Beliau pun memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka. Beliau bersabda: "Bersedekahlah kalian, karena kebanyakan kalian akan menjadi bahan bakar neraka jahannam." Maka berdirilah seorang wanita yang berada di tengah di antara mereka yang pucat kemerah-merahan dua pipinya seraya bertanya, "Kenapa ya Rasulullah?" beliau menjawab: "Karena kalian lebih banyak mengadu (mengeluh) dan mengingkari kelebihan dan kebaikan suami." Akhirnya mereka pun menyedekahkan perhiasan yang mereka miliki dengan melemparkannya ke dalam kain yang dihamparkan Bilal, termasuk cincin dan kalung-kalung mereka. (HR. Muslim no.885).
Keempat, hadits yang sorih (jelas) mengecualikan wajah dan dua telapak tangan dari aurat.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu‘anha, beliau berkata,
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam pun berpaling darinya dan bersabda, “wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Daud no.4140).
Meskipun dalam hadits ini terdapat rowi yang dhaif, tetapi karena kedhaifannya tidak dijelaskan sebabnya, dan ada banyak syawahid dan tawabi’nya, maka hadits ini bisa terangkat menjadi hasan.
Adapun hadits “Wanita itu adalah aurat” (HR. Tirmidzi) tidaklah menunjukkan seluruh tubuh wanita itu aurat, karena hadits itu umum dan telah dikhususkan oleh hadits di atas yaitu selain wajah dan telapak tangan. (lihat Al-Mughni, 1/834).
Sedangkan kewajiban menggunakan hijab (penghalang) dari laki-laki yang bukan mahram dan menggunakan cadar saat ada laki-laki bukan mahram adalah khusus bagi istri-istri Rasul saw saja tidak berlaku untuk muslimah yang lain.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab : 53).
Karena dalam ayat sebelumnya Allah SWT menegaskan perbedaan antara istri-istri Nabi saw dengan wanita muslimah lainnya, “Wahai istri-istri Nabi kalian tidaklah seperti wanita-wanita lainnya.” (QS. Al-Ahzab : 32).
عن عائشة قالت : " كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ ، فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا ، فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ " رواه أبو داود
Dari Aisyah ra ia berkata, “Ada kelompok orang yang berkendara melewat kepada kami dan kami sedang bersama Rasulullah saw dalam keadaan ihram, apabila mereka berpapasan dengan kami, salah seorang dari kamu menutupkan jilbabnya dari kepalanya ke wajahnya, dan apabila mereka telah melewati kami, kami membukanya.” (HR. Abu Dawud no.1833).
Dengan demikian dapat disimpulkan memakai cadar bagi muslimah selain istri-istri Rasul saw adalah mubah. Mubah artinya boleh dilakukan, boleh juga tidak. Namun melakukan sesuatu yang mubah juga harus dilihat situasi dan kondisinya, kalau memakai cadar itu malah mendatangkan madhorot, misalnya kesulitan berinteraksi, menimbulkan pandangan negatif dan kecurigaan orang lain, dsb, maka lebih baik ditinggalkan. Namun jika dirasa ada manfaatnya, tidak apa-apa untuk dilakukan. Wallohu A’lam.
(Muhammad Atim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar