Rabu, 06 Desember 2017

Duduk Tasyahud, Iftirasy ataukah Tawaruk?

Pertanyaan :

Bismillaah...Kmh daramang para asatidz di grup penuh hikmah ini ? Ada sebagian umat islam ketika shalat khusus pada saat tawaruq (di raka 'at terakhir) namun posisi duduknya iftirosy...apakah ada hadits  mnjadi rujukannya ? Syukron..

Jawaban :

Cara duduk dalam tasyahud/tahiyat ada dua :

1.      Duduk Iftirasy; yaitu duduk di atas kaki kiri dengan menegakkan kaki kanan
2.      Duduk Tawaruk; yaitu duduk dengan posisi mengedepankan kaki kiri di bawah kaki kanan dan menegakkan kaki kanan lalu duduk pada tempat duduknya di atas lantai

Para ulama berbeda pendapat kepada lima pendapat :

1.      Pendapat imam Malik : duduk tasyahud baik awal maupun akhir adalah dengan cara tawaruk
2.      Pendapat imam Abu Hanifah : duduk tasyahud baik awal maupun akhir adalah dengan cara iftirasy
3.      Pendapat imam Syafi’i : duduk tasyahud awal dengan iftirasy dan duduk tasyahud akhir dengan tawaruk
4.      Pendapat imam Ahmad : dalam setiap dua rakaat baik pada tasyahud awal ataupun dalam tasyahud akhir pada shalat yang dua rakaat adalah dengan cara iftirasy, dan pada tasyahud akhir yang lebih dari dua rakaat dengan cara tawaruk
5.      Pendapat imam Ibnu Jarir Ath-Thabari : baik dalam tasyahud awal maupun akhir dibolehkan memilih antara dengan iftirasy atau tawaruk

Sudah menjadi kebiasaan ulama bahwa pendapat mereka senantiasa dilandasi dengan dalil, karena mereka sangat takut berbicara dalam urusan agama tanpa ilmu yang diturunkan oleh Allah. Walaupun dalil-dalil dan cara memahami dalil mereka perlu dikaji ulang.
Berikut hadits-hadits tentang masalah ini:

Pertama, hadits dari Abu Humaid As-Sa’idi, riwayat Bukhari

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا ، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ ، فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .

“Aku adalah orang yang paling menghafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihatnya tatkala bertakbir, beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya) dan menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk). (HR. Bukhari no. 828).

Kedua, hadits dari Abdullah bin Umar ra, riwayat Bukhari

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِىَ الْيُسْرَى

Sesungguhnya sunnah ketika shalat (saat duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu. (tawaruk)” (HR. Bukhari no.827)

Ketiga, hadits Wail bin Hujr ra, riwayat Ibnu Khuzaimah

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى.

Dari Wail bin Hujr ia berkata : Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat, beliau duduk iftirosy pada kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1/343)

Keempat, hadits ‘Aisyah ra, riwayat Muslim

وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau duduk iftirosy pada kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” (HR. Muslim no.498)

Dan hadits-hadits lain yang semakna dengan hadits-hadits di atas.

Cara memahami dalil-dalil tersebut,

Pertama, imam Malik memilih cara tarjih (menguatkan) hadits dari Ibnu Umar (hadits ke-2) yaitu zahirnya cara duduk setiap tasyahud adalah dengan tawaruk
Kedua, imam Abu Hanifah memilih cara tarjih (menguatkan) hadits dari Wail bin Hujr (hadits ke-3) yang zahirnya cara duduk setiap tasyahud adalah dengan iftirasy

Ketiga, imam Syafi’i memilih cara jam’i (menggabungkan) dua hadits tersebut dengan tambahan hadits dari Abu Humaid As-Sa’idi (hadit ke-1) yang secara jelas menunjukkan duduk dalam tasyahud awal dengan cara iftirasy dan tasyahud akhir dengan tawaruk

Keempat, sedangkan imam Ahmad juga memilih cara jam’i (menggabungkan) dua hadits tersebut dengan tambahan hadits dari Abu Humaid As-Sa’idi (hadit ke-1). Namun beliau membedakan tasyahud akhir yang dua rakaat (tasyahudnya sekali) dengan yang lebih dari dua rakaat (tasyahudnya dua kali), kalau yang dua rakaat dengan iftirasy, sedangkan yang lebih dari dua rakaat dengan tawaruk. Pembedaan ini didasarkan dengan memahami lafazh “Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy).” Beliau memahaminya duduk dalam rakaat kedua ini secara umum baik dalam tasyahud awal maupun tasyahud akhir, dan itu dikuatkan oleh hadits Aisyah yang menyebutkan setiap dua rokaat dengan cara iftirasy.

Kelima, sedangkan Ath-Thabari memilih cara takhyir (pembolehan untuk memilih) dengan berkesimpulan bahwa baik cara iftirasy ataupun tawaruk, dua-duanya datang dari Rasul saw, sehingga dua-duanya boleh dipilih untuk dilakukan.

Analisis :

Jika kita cermati, saya berkesimpulan bahwa yang paling kuat adalah pendapat imam Syafi’i yang membedakan antara duduk tasyahud awal dengan iftirasy dan duduk tasyahud akhir dengan tawaruk tanpa harus dibedakan antara tasyahud akhir yang memiliki satu tasyahud ataupun dua tasyahud, karena dalam hadits Abu Humaid As-Sa’idi disebutkan secara jelas dalam lafazh “Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).” Bahkan dalam riwayat An-Nasai dari Abu Humaid As-Sa’idi disebutkan secara jelas :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.  (HR. An-Nasai no.1262).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa dalam dua rakaat pun, jika merupakan tasyahud akhir adalah dengan tawaruk. Maka hadits ini jelas membantah pendapat imam Ahmad yang menyebutkan bahwa dalam setiap tasyahud dua rakaat mesti iftirasy. Bahkan pendapat imam Ahmad tersebut sebenarnya juga bertentangan dengan hadits Abu Humaid, Asy-Syaukani  rahimahullah mengatakan:

وَالتَّفْصِيلُ الَّذِي ذَهَبَ إلَيْهِ أَحْمَدُ يَرُدُّهُ قَوْلُ أَبِي حُمَيْدٍ فِي حَدِيثِهِ الْآتِي { فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ } . وَفِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُد حَتَّى { إذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ }

“Pendapat yang dirinci oleh Imam Ahmad tertolak sendirinya dengan ucapan Abu Humaid dalam haditsnya “jika duduk pada raka’at terakhir”, dan pada riwayat Abu Dawud “hingga pada raka’at yang padanya terdapat salam” (Nailul Author, 4/15)

Adapun pendapat imam Malik dan imam Abu Hanifah yang memilih hanya salah satu hadits, padahal hadits yang lainnya shahih adalah kurang tepat, karena jika hadits-hadits itu shahih mesti dipahami secara kompromi (jam’i). Hadits-hadits yang menyebutkan secara umum bahwa beliau duduk tasyahud dengan tawaruk itu menunjukkan berlaku pada tasyahud akhir, begitu pun yang menyebutkan secara umum duduk tasyahud beliau dengan iftirasy mesti dipahami bahwa itu berlaku untuk tasyahud awal.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

قال الشافعي والاصحاب فحديث ابى حميد واصحابه صريح في الفرق بين التشهدين وباقى الاحاديث مطلقة فيجب حملها علي موافقته فمن روى التورك اراد الجلوس في التشهد الاخير ومن روى الافتراش اراد الاول وهذا متعين للجمع بين الاحاديث الصحيحة لا سيما وحديث أبى حميد وافقه عليه عشرة من كبار الصحابة رضي الله عنهم والله أعلم

Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya berkata, “Hadits Abu Humaid dan para sahabatnya secara tegas membedakan antara duduk tasyahhud awwal dan akhir. Sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang sifatnya mutlak. Sehingga wajib untuk dipahami dengan hadits yang cocok dengannya. Hadits yang meriwayatkan duduk tawarruk, yang dimaksud adalah duduk pada tasyahud akhir. Sedangkan hadits yang meriwayatkan duduk iftirosy, yang dimaksud adalah tasyahud awwal. Inilah cara yang tepat dilakukan untuk menggabungkan hadits-hadits yang shahih. Terlebih lagi hadits Abu Humaid telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar sahabat radhiyallahu anhum. Wallahu a’lam.” (Al-Majmu’, 3/451)

Al Mubarakfuri rahimahullah berkata,

وَالْإِنْصَافُ أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ حَدِيثٌ يَدُلُّ صَرِيحًا عَلَى اِسْتِنَانِ الْجُلُوسِ عَلَى الرِّجْلِ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَةِ الْأَخِيرَةِ ، وَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ مُفَصَّلٌ فَلْيُحْمَلْ الْمُبْهَمُ عَلَى الْمُفَصَّلِ اِنْتَهَى .

“Pendapat yang lebih tepat, tidak didapatkan satu pun hadits yang menunjukkan secara gamblang tentang disunnahkannya duduk di atas kaki kiri (duduk iftirasy) pada duduk tasyahud terakhir. Hadits Abu Humaid jelas sudah terperinci. Sehingga hadits yang bersifat global dibawa maknanya kepada yang terperinci.” (Tuhfatul Ahwadzi, 2/156).

Wallahu A’lam.

(Muhammad Atim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar