Rabu, 06 Desember 2017

Hukum Imam berbalik arah setelah selesai Shalat




عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جَنْدُبٍ قَالَ : (كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ) رَوَاهُ الْبُخَارِي

“Dari Samuroh bin Jandub, ia berkata: “Keadaan Rosululloh saw apabila telah selesai melaksanakan suatu sholat, ia menghadap kepada kami dengan wajahnya.” (HR. Bukhori).

Bagaimana kesimpulan hukum dari hadits tersebut?

Hadtis tersebut berupa perbuatan Rasul saw. Perbuatan Rasul itu bisa memberi tiga faidah hukum, sebagaimana tahqiq (pengukuhkan) yang dilakukan oleh para ulama ushul,

Pertama, jika menjelaskan kemujmalan (yang global) dalam al-Qur’an maka hukumnya mengikuti yang mujmal tersebut. Jika wajib maka ikut kepada wajib, kecuali ada qorinah yang memalingkan kepada sunnah. Misalnya perintah sholat lima waktu itu adalah wajib, maka contoh yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam pelaksanaan shalat lima waktu pun mengikuti, tapi pada kenyataannya, ada juga yang dilakukan dalam shalat hukumnya sunnah karena ada dalil lain yang menjadi qarinah yang membuatnya menjadi sunnah.

Kedua, jika tidak menjelaskan yang mujmal, perbuatan Nabi saw jika merupakan qurbah (bentuk ketaatan) atau dalam istilah lain ibadah mahdoh, maka ia termasuk sunnah (mandub). Namun jika bukan termasuk qurbah, ia hanya menunjukkan hukum mubah.

Nah, untuk berpalingnya imam dalam dzikir setelah shalat, jika dipahami sebagai penjelasan kemujmalan perintah shalat lima waktu, kurang tepat, karena ia bukan termasuk shalat. Lebih tepatnya, karena ia merupakan bentuk qurbah, yaitu karena berkaitan dengan tatacara dzikir setelah shalat khususnya bagi imam, maka ia dikategorikan sebagai sunnah (mandub). Atau bisa juga dipahami ia sebagai penjelas dari kemujmalan perintah dzikir yang hukumnya sunnah. Dan tidak tepat jika dikatakan mubah karena ia merupakan bentuk qurbah. Bahkan, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa zahir hadits itu Rasulullah saw senantiasa merutinkannya (lihat Fathul Bari 2/334), sehingga dengan demikian, bisa masuk dalam kategori sunnah muakkadah. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar