Rabu, 08 November 2017

ILMU QIRO’AT



Serial Muqaddimah Ilmu Syar’i - 6

Nama. Nama ilmu ini adalah ilmu Qiro’at. Qiro’at (قِرَاءَات) jama’ dari qiro’ah (قِرَاءَة), artinya bentuk bacaan.
Definisi. Menurut bahasa berasal dari kata qoroa-yaqrou-qiroatan yang berarti membaca. Disebutkan mashdar tetapi yang dimaksud adalah isim maf’ul, berarti yang dibaca atau bacaan. Menurut istilah,
هُوَ عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ كَيْفِيَّةُ النُّطْقِ بِالْكَلِمَاتِ الْقُرْآنِيَّةِ وَطَرِيْقُ أَدَاءِهَا اِتِّفَاقًا وَاخْتِلَافًا مَعَ عَزْوِ كُلِّ وَجْهٍ لِنَاقِلِهِ
“Yaitu suatu ilmu yang diketahui dengannya tatacara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan cara membacanya baik bacaan yang disepakati ataupun yang terdapat perbedaan disertai dengan menisbatkan setiap bentuk bacaan kepada pembawanya.” (Abdul Fattah Al-Qadhi, Al-Budur Az-Zahirah, hal.7)
Objek ilmu. Objek yang dibahas dalam ilmu ini adalah kata-kata Al-Qur’an dari segi cara mengucapkan dan membacanya
Pembahasan. Yang dibahas dalam ilmu ini adalah kaidah-kaidah keseluruhannya seperti perkataan para ahli qiroat: setiap “alif” yang berasal dari “ya” dibaca imalah dalam qiroah Hamzah, Kisai dan Khalaf, berbeda dengan Warasy yang menyedikitkannya, setiap huruf “ro” yang berharokat fathah dan dommah yang terletak setelah kasroh asli atau “ya” sukun dibaca tarqiq oleh Warsy, dst.  
Istimdad. Ilmu ini diambil dari riwayat-riwayat shahih dan mutawatir dari para imam Qiroah yang sampai kepada Nabi saw
Penisbatan kepada ilmu lain. Ilmu Qiroat ini dinisbatkan kepada ilmu lainnya dalam ilmu syar’i adalah tabayun (berlainan), karena ilmu ini tidak diambil dari ilmu lain, semata-mata ilmu yang dinukil dari riwayat yang sampai kepada Nabi saw.
Buah. Buah dari ilmu Qiroat ini adalah terjaga dari kesalahan ketika mengucapkan kata-kata dalam Al-Qur’an dan menjaga dari perubahan. Serta mengetahui bacaan yang dibaca oleh para imam Qiroat.
Keutamaan. Ilmu ini sangat mulia karena berkaitan langsung dengan firman Allah SWT.
Hukum. Hukum mempelajari ilmu Qiroat ini adalah fardu kifayah untuk menjaga bacaan Al-Qur’an itu sendiri, baik belajar maupun mengajarkannya.
Peletak.
Kemunculan ilmu ini berawal dari firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Dan Kami bacakan Al-Qur’an secara tartil.” (QS. Al-Furqan : 32), “Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” (QS. Al-Muzammil : 4). Rasulullah saw kemudian mempraktekkan bacaan Al-Qur’an secara tartil tersebut, yang kemudian diikuti oleh para sahabat dan disampaikan kepada tabi’in hingga sampai kepada para imam ahli Qiroah. Kita tidak boleh membaca Al-Qur’an kecuali dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, dan yang dicontohkan itu ternyata ada perbedaan-perbedaan, inilah kemudian yang melahirkan adanya ilmu Qiroat. Sesuai sabda Rasulullah saw,
أَقْرَأَنِي جِبْرِيْلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ، وَيَزِيْدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ 
“Jibril membacakan kepadaku (Al-Qur’an) dengan suatu huruf (bentuk), maka aku memohon kembali kepadanya, aku tetap meminta tambahan kepadanya dan ia memberi tambahan kepadaku hingga sampai pada tujuh huruf (bentuk).” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami tujuh huruf tersebut sampai kepada 40 pendapat, karena makna huruf dalam bahasa Arab mengandung makna banyak. Namun yang paling populer adalah tiga pendapat.
Pertama, tujuh huruf di sana maksudnya adalah bahasa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh bahasa kabilah. Namun pendapat ini lemah karena kabilah-kabilah Arab ketika itu lebih dari tujuh. Dan memang Al-Qur’an turun dengan bahasa kabilah-kabilah tersebut, meskipun yang dominannya adalah kabilah Quraisy.
Kedua, maksudnya adalah tujuh sinonim kata (murodif), untuk menyebut satu makna dengan berbagai lafazh. Pendapat ini juga lemah karena sinonim-sinonim kata itu sangat sedikit terjadi, dan jarang hingga mencapai tujuh. Bahkan sebagian ahli bahasa menafikan adanya murodif, seperti waqofa dan qoma meskipun artinya sama “berdiri”, namun tetap memiliki perbedaan. Para ahli tafsir banyak menguatkan pendapat ini, karena mereka berpatokan bahwa pendapat ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud. Namun sebenarnya ini merupakan ijtihadnya saja, tidak memastikannya menjadi pendapat paling kuat.
Ketiga, maksud tujuh huruf adalah perbedaan bentuk bacaan. Inilah pendapat yang paling kuat, pendapat ini dikatakan oleh Ar-Razi, Ibnu Qutaibah, Ibnu Al-Jazari, Ibnu Thayyib, dll. Abu Fadhl Ar-Razi (w.454 H) dalam kitabnya Al-Lawaih menyebutkan bahwa perbedaan bentuk bacaan Al-Qur’an itu tidak keluar dari tujuh bentuk: (1) perbedaan isimnya berupa mufrod, mutsanna, jama’, mudzakkar dan muannatsnya, (2) perbedaan perubahan fi’il baik madhi, mudhari dan amr, (3) perbedaan bentuk i’rab (4) perbedaan dalam pengurangan dan penambahan (5) perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan (6) perbedaan dengan penggantian (7) perbedaan dalam lahjah-lahjah bahasa seperti tafkhim, tarqiq, imalah, fathah, izhar, idham, dll. (Lihat Az-Zarqani, Manahilul ‘Irfan, jilid 1, hal.132).
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan juga yang lainnya, bahwa suatu hari Umar bin Khattab ra mendengar Hisyam bin Hakim ra membaca surat Al-Furqan dalam shalat dengan bacaan yang berbeda dari yang diketahui oleh Umar dari Rasulullah saw. Selesai shalat Umar membawanya kepada Rasulullah saw untuk melaporkannya karena ia mengganggap bahwa Hisyam membaca dengan bacaan yang menyimpang. Tapi kemudian Rasulullah saw menyuruh kedua membaca, dan kepada masing-masingnya dikatakan, “begitulah Al-Qur’an diturunkan”. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf (bentuk), maka bacalah apa yang mudah darinya.” Ini menunjukkan dengan jelas adanya bentuk perbedaan bacaan. Kisah ini merupakan asbabul-wurud dari hadits tentang tujuh huruf, dan asbabul wurud adalah yang paling kuat menafsirkan maknanya.
Tujuh bentuk perbedaan bacaan ini dalam prakteknya terjadi dalam bacaan para imam ahli Qiro’ah. Namun yang dimaksud dengan tujuh perbedaan ini bukanlah berarti tujuh imam qiroat, karena riwayat qiroat yang mutawatir itu ada sepuluh. Perbedaannya tidak dilihat dari jumlah imamnya, tetapi pada bacaannya, yang bisa jadi suatu bentuk bacaan disepakati semua ataupun diperselisihkan oleh sebagian atau seluruhnya.
Yang pertama meletakkan ilmu ini adalah para imam ahli Qiroat, namun ada juga yang mengatakan Abu Umar bin Hafsh bin Umar Ad-Duri (w.246 H).
Qiroah Al-Qur’an itu riwayatnya ada yang mutawatir dan ada yang syadz. Yang bisa diterima hanyalah mutawatir, karena Al-Qur’an tidak bisa ditetapkan kecuali dengan riwayat yang mutawatir. Mutawatir dalam makna di sini maksudnya yang diriwayatkan oleh suatu penduduk negeri secara keseluruhan, dan penisbatannya kepada seorang Qari tidak menafikan hal itu. Jika dikatakan, ini qiroah Nafi’, ini qiroah ‘Ashim, maknanya bukan berarti tidak ada yang meriwayatkan dalam tingkatan sanadnya selain qari tersebut, tetapi itu adalah qiroahnya suatu negeri. Misalnya qiroah Nafi’ adalah yang terkenal di Madinah, qiroah ‘Ashim adalah qiroah penduduk Kufah, qiroah Abu ‘Amr Al-Bashri qiroahnya penduduk Bashrah, qiroah Ibnu Katsir qiroahnya penduduk Makkah, qiroah Ibnu Amir qiroahnya penduduk Syam, dst.  
Qiroah yang mutawatir itu belum terkumpul pada generasi awal, sampai Ibnu Mujahid (w.324 H) mengumpulkannya, dan ia memilih tujuh qiroah yang mutawatir sebagaimana dalam kitabnya As-Sab’ah fil Qiroat. Yaitu qiroah Nafi’ di Madinah, Ibnu Katsir di Makkah, Abu ‘Amr di Bashrah, Ibnu Amir di Damaskus, ‘Ashim, Kisai dan Hamzah di Kufah. Inilah yang disebut dengan para qori yang tujuh (Al-Qurro As-Sab’ah). Juga oleh Abu Amr Ad-Dani (w.444 H) dalam kitabnya At-Taisir fi Qiroah As-Sab’i. Tujuh qiroah ini kemudian disusun secara nazhom oleh Abu Muhammad Al-Qasim bin Firuh Asy-Syathibi (w.590 H) dalam kitab nazhom Hirzul Amani wa Wajhut Tahani yang dikenal dengan Matan Asy-Syatibiyyah. Kemudian ditambahkan tiga lainnya oleh Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Yusuf Ibnu Al-Jazari (w.833 H) yang dikenal dengan Al-Qurro Al-‘Asyroh (para qori yang sepuluh). Mereka adalah Abu Ja’far Al-Madani di Madinah beliau guru dari Nafi’, Ya’qub Al-Bashri di Bashrah, dan Kholaf bin Hisyam yang merupakan perowi dari qiroah Hamzah Al-Kufi, tetapi ia memiliki qiroah tersendiri. Ibnu Al-Jazari menguatkan bahwa sepuluh qiroah inilah yang mutawatir, sedangkan selainnya adalah qiroah yang syadz, yang tidak bisa disebut sebagai bacaan Al-Qur’an. Beliau menyusun qiroah sepuluh ini dalam kitab nazhomnya Ad-Durrah Al-Mudhiyyah yang kemudian diperluas dalam kitab Tahbir At-Taisir yang merupakan ringkasan dari kitab At-Taisir fi Qiroah As-Sab’i karya Abu Amr Ad-Dani sebagaimana telah disebutkan, dalam kitab itu beliau menambahkan tiga qori lainnya yang tidak disebutkan oleh Ad-Dani. Kitab ini kemudian disusun dalam bentuk nazhom yang diberi nama Thayyibatun Nasyr fi Al-Qiroah Al-‘Asyr. Selain itu ada kitab yang membahas salah satu qiroah saja seperti nazhom Ad-Durar Al-Lawami’ karya Ibnu Barri (w.730 H) tentang qiroah Nafi’. Syarah yang paling bagus bagi nazhom ini adalah An-Nujum Ath-Thawali’ ‘ala Ad-Durar Al-Lawami’ karya Syekh Sayyidi Ibrahim Al-Marigini (w.1349 H). Selain itu juga kitab syarah yang paling penting bagi matan Asy-Syatibiyyah Sirajul Muqri yang ditulis oleh Abul Qasim Al-Udzri Al-Baghdadi (w.801 H) bersama dengan hamisynya Ghaits An-Naf’u karya Abul Hasan An-Nuri Ash-Shafaqusi (w.1118 H). Itulah kitab-kitab rujukan utama dalam ilmu Qiroat. Sepuluh bentuk qiroah yang mutawatir ini tidak mencerminkan perbedaan bentuk tulisan (rosm) Al-Qur’an yang ditulis pada zaman Utsman bin Affan ra yang dikenal dengan rosm Utsmani, tetapi rosm itu justeru bisa dibaca dengan sepuluh qiroah itu. Karena rosm Al-Qur’an itu punya ciri khas dari tulisan Arab biasa, misalnya kata “kalimah” ditulis كَلِمتُ dalam ayat وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا  (QS. Al-An’am : 115) dengan menggunakan huruf “ta maftuhah” tidak dengan “ta marbuthah”, sehingga dapat dibaca dengan dua bentuk, yaitu dengan bentuk mufrod dengan memendekkan fathah di huruf mim, dan bentuk jama dengan memanjangkan fathah di huruf mim. Termasuk juga mushaf pada saat itu belum bertitik dan bersyakal, sehingga memungkinkan dibaca dengan berbagai bacaan. Ini merupakan salah satu kemu’jizatan Al-Qur’an.
Adapun dalam tahap pembelajaran, hendaklah memulai dengan matan Asy-Syatibiyah disertai dengan syarah dan hamisy yang telah disebutkan. Kemudian matan Ad-Durrah Al-Mudhiyyah. Kemudian matan Thayyibah An-Nasyr. Dan untuk muthala’ah berikutnya dengan Tahbir At-Taisir, serta kitab-kitab yang lainnya yang disebutkan di atas. Tentu pembelajaran qiroah ini dalam prakteknya mesti dibimbing oleh guru yang memang memiliki keahlian dalam ilmu qiroah. Baik metode pembelajarannya dengan al-Jam’u yaitu membahas ayat per-ayat dengan bacaan semua qori, ataupun metode al-Farq yaitu mempelajari bacaan Al-Qur’an dengan qiroah satu persatu secara terpisah. Dan tentu seorang pelajar memulai pembelajaran qiroahnya dengan qiroah yang masyhur di negerinya, misalnya di Indonesia dan kebanyakan negara-negara lain adalah qiroah ‘Ashim dengan riwayat Hafsh.
Qiroah para qori itu kemudian diriwayatkan oleh orang-orang yang disebut rowi. Dari setiap qori ada dua rowi yang terkenal. Dari para rowi diriwayatkan oleh orang yang disebut thariq (jalur), dan setiap rowi memiliki dua jalur yang terkenal. Sehingga hasilnya dikenal dengan sebutan sepuluh qori, dua puluh rawi, dan empat puluh jalur. Berikut rinciannya :  
1. Nafi' Al-Madani (w.169 H)
Perowi : Qolun (w.220 H) dan Warsy (w.197 H)
Jalur : Qalun (Abu Nasyith dan Halwani), Warsy (Abu Ya’qub Al-Azraq dan Al-Ashbahani)

2. Ibnu Katsir Al-Makki (w.120 H)
Perowi : Al-Bazzi (w. 250 H) dan Qunbul (w.291 H)
Jalur : Al-Bazzi (Abu Robi’ah dan Ibnu Al-Habbab), Qunbul (Ibnu Mujahid dan Ibnu Syunbudz)

3. Abu 'Amr Al-Bashri (w.154 H)
Perowi : Ad-Duri (w.246 H) dan As-Susi (w.261 H)
Jalur  : Ad-Duri (Abu Za’ra dan Ibnu Farh), As-Susi (Ibnu Jarir dan Ibnu Jumhur)
 
4. Ibnu 'Amir Asy-Syami (w.118 H)
Perowi : Hisyam (w.245 H) dan Ibnu Dzakwan (w.242 H)
Jalur : Hisyam (Halwani dan Dajuni), Ibnu Dzakwan (Al-Akhfasy dan Ash-Shuri)

5. 'Ashim Al-Kufi (w.128 H)
Perowi : Syu'bah (w.193 H) dan Hafsh (w.180 H)
Jalur : Syu’bah (Yahya bin Adam dan Yahya Al-‘Ulaimi), Hafsh (Ubaid bin Ash-Shabbah dan Amr bin Ash-Shabbah)

6. Hamzah Al-Kufi (w.156 H)
Perowi : Kholaf bin Hisyam (w.229 H) dan Kholad bin Kholid (w.220 H)
Jalur : Kholaf bin Hisyam (Idris dan Ibnu Muqsim), Kholad bin Kholid (Ibnu Syadzan dan Ibnu Haisyam)

7. Al-Kisai Al-Kufi (w.189 H)
Perowi : Abu Al-Harits Al-laits (w.240 H) dan Ad-Duri (w.246 H)
Jalur : Abu Al-Harits Al-laits (Muhammad bin Yahya dan Salamah bin ‘Ashim Al-Baghdadi), Ad-Duri (Ja’far bin Muhammad dan Abu Utsman)

8. Abu Ja’far Al-Madani (w.128 H)
Perowi : Isa ibnu Wardan (w.160 H) dan Ibnu Jammaz (w.170 H)
Jalur  : Isa ibnu Wardan (Fadhl bin Syadzan dan Hibatullah bin Ja’far) dan Ibnu Jammaz (Al-Hasyimi dan Ad-Duri)

9. Ya’qub Al-Bashri (w. 205 H)
Perowi : Ruwais (w.238 H) dan Rouh (w.235 H)
Jalur : Ruwais (Abul Qasim dan At-Tammar), Rouh (Muhammad bin Wahab dan Zubairi)

10. Kholaf Al-‘Asyir (w.229 H)
Perowi : Ishaq bin Ibrahim (w.286 H) dan Idris bin Abdul Karim Al-Haddad (w.292 H)
Jalur : Ishaq bin Ibrahim (Muhammad bin Ishaq dan Ibnu Abi Umar), Idris bin Abdul Karim Al-Haddad (Al-Mathu’i dan Al-Qathi’i)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar