Kebenaran dan kebatilan akan selalu ada di
atas muka bumi ini, karena dunia adalah tempat ujian. Namun Allah SWT telah
mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab suci-Nya yang terakhir sebagai pembeda
antara yang haq dan yang batil. Telah jelaskan bagi orang yang beriman bahwa
Islam adalah kebenaran, sedangkan di luar Islam adalah kebatilan. Namun
perbedaan ini tidak lantas membuat terjadi pertikaian dan pertumpahan darah
yang berkepanjangan, karena Islam mengajarkan kasih sayan, kedamaian dan
keadilan. Kita diperintah untuk menyikapi kebatilan dengan cara yang terbaik.
Kita bisa mengayomi orang-orang non muslim selama mereka berkomitmen dalam
perjanjian untuk damai. Kita bersikap baik kepada mereka sambil berda’wah
kepada mereka dengan cara paling baik tanpa memaksa. Namun jika terjadi
kezhaliman, kita diperintahkan untuk berjihad, sampai suasana kembali kepada
kedamaian.
Itu menyikapi perbedaan dengan di luar Islam.
Lalu apakah dalam Islam sendiri terjadi perbedaan? Tentu terjadi. Karena tabiat
manusia itu ada saja perbedaan, Allah memberikan rizki pemahaman yang
berbeda-beda bagi masing-masing akal manusia. Namun bukan berarti Islam itu
menjadi banyak macamnya, agama Islam yang diturunkan oleh Allah hanya satu.
Dalam Islam ada perkara yang disebut ushul (dasar) dan ada yang disebut furu’
(cabang). Dalam ushul inilah tidak boleh terjadi perbedaan, karena ushul itu
ditetapkan oleh dalil-dalil yang tegas (qoth’i) yang tidak berkemungkinan makna
lain, seperti MEYAKINI : keesaan Allah, Nabi Muhammad saw dalah nabi dan rasul
terakhir, dua sumber utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, rukun iman yang enam dan
rukun Islam yang lima, haramnya membunuh, mencuri, khomer, dsb. Jika ada yang
menyelisihi perkara ushul itu, sudah bisa kita katakan dia keluar dari Islam.
Atau jika karena kebodohannya, kita wajib memberi tahunya.
Adapun dalam perkara
furu’, di sinilah wilayah terjadinya perbedaan, karena ia di dasari dalil-dalil
yang tidak tegas (zhonni). Kita tidak boleh menyesatkan, membid’ahkan bahkan mengkafirkan
dalam perkara ini. Kita dituntut untuk bertolerasi dalam perbedaan ini, karena
di sini Allah membagi-bagi rizki ilmu dan pemahaman yang berbeda kepada setiap
orang. Misalnya boleh tidak menta’wilkan sifat Allah? Ini wilayah para ulama
untuk berijtihad. Dari sini lahirlah madzhab besar dalam aqidah: madzhab Atsari
yang tidak membolehkan ta’wil, dan madzhab Asy’ari dan Maturidi yang
membolehkannya. Begitu juga dalam urusan fiqih, misalnya apakah mengusap kepala
dalam wudhu itu seluruhnya ataukah sebagian? Itu wilayah ijtihad, karena
dalilnya zhanni tidak qoth’i. Ayat “dan usaplah kepala-kepala kalian” itu
bisa berkemungkinan seluruhnya bisa pula sebagian. Begitu pula apakah basmalah
termasuk Al-Fatihah atau bukan, apakah qunut shubuh itu sunnah atau bukan? Dsb.
Di sinilah lahir madzhab-madzhab fiqih, seperti empat madzhab yang masyhur:
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Di sini kita harus toleransi dan juga
bersikap ilmiah. Toleransi dengan menghargai perbedaan, dan bersikap ilmiah
dengan mengikuti pendapat berdasarkan dalilnya dan memilih pendapat yang paling
kuat. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar