Jumat, 15 September 2017

[Butir Pencerahan 1] Bagaimana menyikapi perbedaan?



Kebenaran dan kebatilan akan selalu ada di atas muka bumi ini, karena dunia adalah tempat ujian. Namun Allah SWT telah mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab suci-Nya yang terakhir sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Telah jelaskan bagi orang yang beriman bahwa Islam adalah kebenaran, sedangkan di luar Islam adalah kebatilan. Namun perbedaan ini tidak lantas membuat terjadi pertikaian dan pertumpahan darah yang berkepanjangan, karena Islam mengajarkan kasih sayan, kedamaian dan keadilan. Kita diperintah untuk menyikapi kebatilan dengan cara yang terbaik. Kita bisa mengayomi orang-orang non muslim selama mereka berkomitmen dalam perjanjian untuk damai. Kita bersikap baik kepada mereka sambil berda’wah kepada mereka dengan cara paling baik tanpa memaksa. Namun jika terjadi kezhaliman, kita diperintahkan untuk berjihad, sampai suasana kembali kepada kedamaian.
Itu menyikapi perbedaan dengan di luar Islam. Lalu apakah dalam Islam sendiri terjadi perbedaan? Tentu terjadi. Karena tabiat manusia itu ada saja perbedaan, Allah memberikan rizki pemahaman yang berbeda-beda bagi masing-masing akal manusia. Namun bukan berarti Islam itu menjadi banyak macamnya, agama Islam yang diturunkan oleh Allah hanya satu. Dalam Islam ada perkara yang disebut ushul (dasar) dan ada yang disebut furu’ (cabang). Dalam ushul inilah tidak boleh terjadi perbedaan, karena ushul itu ditetapkan oleh dalil-dalil yang tegas (qoth’i) yang tidak berkemungkinan makna lain, seperti MEYAKINI : keesaan Allah, Nabi Muhammad saw dalah nabi dan rasul terakhir, dua sumber utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima, haramnya membunuh, mencuri, khomer, dsb. Jika ada yang menyelisihi perkara ushul itu, sudah bisa kita katakan dia keluar dari Islam. Atau jika karena kebodohannya, kita wajib memberi tahunya. 
Adapun dalam perkara furu’, di sinilah wilayah terjadinya perbedaan, karena ia di dasari dalil-dalil yang tidak tegas (zhonni). Kita tidak boleh menyesatkan, membid’ahkan bahkan mengkafirkan dalam perkara ini. Kita dituntut untuk bertolerasi dalam perbedaan ini, karena di sini Allah membagi-bagi rizki ilmu dan pemahaman yang berbeda kepada setiap orang. Misalnya boleh tidak menta’wilkan sifat Allah? Ini wilayah para ulama untuk berijtihad. Dari sini lahirlah madzhab besar dalam aqidah: madzhab Atsari yang tidak membolehkan ta’wil, dan madzhab Asy’ari dan Maturidi yang membolehkannya. Begitu juga dalam urusan fiqih, misalnya apakah mengusap kepala dalam wudhu itu seluruhnya ataukah sebagian? Itu wilayah ijtihad, karena dalilnya zhanni tidak qoth’i. Ayat “dan usaplah kepala-kepala kalian” itu bisa berkemungkinan seluruhnya bisa pula sebagian. Begitu pula apakah basmalah termasuk Al-Fatihah atau bukan, apakah qunut shubuh itu sunnah atau bukan? Dsb. Di sinilah lahir madzhab-madzhab fiqih, seperti empat madzhab yang masyhur: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Di sini kita harus toleransi dan juga bersikap ilmiah. Toleransi dengan menghargai perbedaan, dan bersikap ilmiah dengan mengikuti pendapat berdasarkan dalilnya dan memilih pendapat yang paling kuat. Wallahu A’lam.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar