Kamis, 30 Maret 2017

Inspirasi Siroh - Lebih berharga dari kasih sayang ibu


Inspirasi siroh adalah program menghayati jejak inspirasi kehidupan Rasulullah saw dan orang-orang yang ada di sekitarnya serta insan-insan shaleh yang tersentuh percikan tarbiyah beliau, karena kisah-kisah itu sangat kuat membangun kehidupan orang-orang beriman





Sa’ad bin Abi Waqqash ra menceritakan, “Aku bermimpi sebelum aku masuk Islam, seolah-olah aku tenggelam di dalam kegelapan yang pekat, aku tidak dapat melihat apapun. Tiba-tiba muncullah cahaya bulan menerangi malam. Segera kuikuti bulan itu, lalu seakan-akan aku melihat orang yang telah mendahuluiku mengikuti bulan itu. Aku melihat Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Aku bertanya kepada mereka, “Sejak kapan kalian di sini?” Mereka menjawab, “Baru beberapa saat yang lalu”.
Sa’ad melanjutkan, “Setelah itu sampai kepadaku kabar bahwa Rasulullah saw menyeru kepada Islam secara sembunyi-sembunyi, maka aku menemuinya di lembah Ajyad. Beliau baru saja melaksanakan shalat pada waktu Ashar ketika itu. Maka aku menyatakan keislamanku, dan tidak ada yang mendahuluiku masuk Islam kecuali mereka bertiga.”[1] Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ia masuk Islam setelah diajak oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.[2]
 Saat mengetahui anaknya masuk Islam, ibunya yang sangat ia sayangi itu marah besar kepadanya. Ia mengancamnya, “Wahai Sa’ad, agama apa yang baru kamu anut ini? Kau tinggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati dan kau akan dicela dan disebut orang sebagai pembunuh ibunya!”
Ancaman ibunya itu begitu menyambar di telinganya. Namun iman yang telah merasuk di hatinya tidak dapat terkalahkan oleh apapun. Ia berusaha memberikan jawaban dengan baik, “Ibu, jangan lakukan itu. Aku benar-benar tak bisa menukar agamaku dengan apa pun.”
Ibunya benar-benar membuktikan ancamannya. Ia mulai mogok makan dan minum sehingga dalam beberapa hari saja kondisi kesehatannya menurun drastis dan tubuhnya menjadi kurus.
Setiap saat Sa’ad datang dan menanyakan apakah ia sudah makan dan minum. Berulang kali ia menawarkan kepadanya agar mau makan dan minum. Tapi ia tetap tidak mau bahkan bersumpah untuk terus melakukan itu sampai mati selama ia tidak meninggalkan agamanya.
Kondisi seperti itu memang sulit bagi Sa’ad yang senantiasa berbakti kepada orang tuanya. Tetapi ia berhasil menjalaninya dengan baik. Ia sangat sadar bahwa taat kepada Allah lebih didahulukan daripada taat kepada orang tua. Orang tua memang sebagai perantara bagi keberadaan kita, tetapi Allahlah yang sesungguhnya menciptakan dan memberikan rezeki kepada kita.
Sa’ad memberikan jawaban yang tegas kepada ibunya, “Wahai ibuku, engkau tahu demi Allah, seandainya ibu memiliki seribu nyawa, lalu nyawa tersebut keluar satu persatu, aku tetap tidak akan melepaskan agamaku ini. Jika berkenan, silahkan ibu makan, dan jika tidak, tidak usah makan.”
Melihat kesungguhan anaknya tersebut, akhirnya ibunya mengalah. Akhirnya ia pun mau makan dan minum meskipun dengan terpaksa.
Kisah Sa’ad ini menjadi cerminan sikap berbakti kepada orang tua yang benar, hingga ia menjadi sebab turunnya ayat berikut ini,
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya di dunia dengan baik...” (QS. Lukman : 15).

Sa'ad telah berhasil menjadi teladan, karena kisahnya menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut, artinya ia menjadi model dalam hal mempertahankan keimanan ketika terbentur oleh sang ibu sendiri, oleh orang tua sendiri. Meskipun dengan begitu ia tetap bersikap lembut kepada orang tuanya. Oleh karena itu, iman ketika telah merasuk ke dalam hati seseorang, ia menjadi lebih berharga dari apapun. Sentuhan kasih sayang sebesar apapun hingga kasih sayang ibu yang tak akan terbalas itu, tak mampu menggoyahkan keimanan. Karena, bagi orang yang telah yakin, adakah yang lebih besar dari karunia dan kasih sayang Alloh? Karena semuanya sesungguhnya berasal dari Alloh.  

[1] Lihat Asadul Ghabah fi ma’rifati Ash-Shahabah, hal.474
[2] Lihat Sirah Ibnu Hisyam, hal.117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar