Selasa, 15 November 2016

Tunduk pada Islam ataukah menundukkan Islam?


Muhammad Atim

Orang yang belajar Islam itu perlu dicek niat dan metodenya, apakah nanti berujung untuk tunduk pada Islam, ataukah menundukkan Islam. Tunduk dengan segala ketentuan yang telah jelas, dari sistem aqidah, syariah dan akhlaqnya. Ataukah menundukkan Islam sesuai akal picik dan hawa nafsunya.

Cara pertama dilalui oleh para ulama rabbani, dimana semakin bertambah ilmu semakin bertambah pula ketundukkannya kepada Alloh. Semakin bertambah iman dan amal sholehnya. Inilah yang digambarkan dalam QS. Fathir : 28, "Sesungguhnya yang takut kepada Alloh dari hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama".

Jalan para ulama ini bukanlah jalan yang telah terkubur oleh zaman lalu tak bisa digali kembali. Jalan ini terus dilalui oleh orang-orang pilihan. Ia tetap ada hingga akhir zaman. Karena tidak mungkin Alloh membiarkan hamba-Nya tersesat. Bahkan sudah menjadi janji-Nya, untuk tetap menjaga kemurnian agama-Nya dan orang-orang yang senantiasa berada di jalan-Nya.

Waris mewarisi ilmu itu tetap berjalan hingga saat ini bahkan sampai kapan pun. Karena ilmu dalam Islam jelas sumbernya dan terjaga sanad ketersambungannya.

Jalan ini juga bukanlah jalan yang telah kuno yang telah tersisihkan oleh zaman. Sebagaimana sumbernya (Al-Qur'an dan Sunnah) yang tak pernah habis dipakai zaman. Tapi ia senantiasa memberikan petunjuk baru yang dapat menyelesaikan permasalahan di setiap zaman. Karena memang kemukjizatannya. Begitu pula para ulama dengan kedalaman ijtihad mereka, mampu memberikan solusi bagi permasalahan yang baru. Bahkan sudah menjadi janji Alloh melalui rasul-Nya, bahwa di setiap abad akan ada ulama yang memperbaharui agama-Nya.

Hal itu karena dalam sistem ajaran Islam yang jelas ini, ada hal-hal yang tsawabit (tetap) yang tidak akan pernah mengalami perubahan, yang berupa dasar-dasar dari agama ini semisal rukun iman, dan ada pula hal-hal yang mutagoyirot, yang menerima perubahan berupa cabang-cabang dari agama ini semisal alat da'wah, yang memungkinkan untuk diperbaharui.

Sedangkan jalan yang kedua, yang justeru berujung menundukkan Islam sesuai akal picik dan hawa nafsunya, ini digambarkan dalam QS. Al-A'raf : 175, yang menjadikan ilmunya untuk kepentingan dunia dan hawa nafsunya. Bahkan seperti anjing yang selalu menjulurkan lidahnya, sebagai perumpamaan kerakusannya.

Di zaman modern ini, jalan ini ditempuh oleh para orientalis yang menyadari bahwa Islam tidak bisa dikalahkan dari luar, tetapi justru dari dalam. Maka mulailah mereka melakukan study-study Islam, yang tujuannya telah jelas, semata-mata mencari-cari celah untuk diserang dan merusak tatanan ajaran Islam. Mereka belajar Islam bukan untuk mengetahui hakikatnya, dan menyingkap kebenarannya untuk diikuti, tetapi mereka bertindak menghakimi Islam.

Dibuatlah metode sendiri untuk mempelajari Islam yang tak dikenal dalam tradisi keilmuan Islam. Digulirkanlah metode hermeneutika untuk memahami nash-nash Al-Qur'an. Untuk mempelajari hadits, fiqih, sejarah dan sebagainya mereka memiliki metode sendiri yang tidak ada kaitannya dengan keilmuan Islam.

Dibuat pula istilah-istilah yang mencerminkan kerancuan pemikiran. Seperti Islam inklusif, ekslusif, progresif, liberal, pluralis, sosialis, radikalis, dsb. Untuk memecah belah juga mereka mengelompokkan umat Islam menjadi: fundamentalis, modernis, tradisionalis, moderat, dsb.

Sayangnya, jalan kedua ini diikuti oleh kalangan muslim sendiri. Banyak anak-anak muda muslim yang belajar ke mereka, lalu pulang ke negerinya masing-masing menyebarkan cara belajar Islam seperti itu. Tak terkecuali di Indonesia. Banyak anak muda muslim yang telah memilih jalan kedua ini. Mereka tak tertarik dengan cara pertama. Hal itu dikarenakan masih sangat minimnya pengenalan mereka terhadapnya, ataupun karena sudah tertanam dalam benak mereka bahwa itu adalah cara yang kuno. Dan memang, kebanyakan perguruan tingginya telah didominasi oleh metode belajar Islam ala orientalis barat tersebut.

Maka bermunculanlah para mahasiswa dan sarjana-sarjananya yang secara indentitas muslim, secara sadar ataupun tidak mereka menempatkan posisi mereka di luar agamanya sendiri. Dengan mengkritik sekeras-kerasnya, memandang secara negatif setiap apapun yang bersumber dari Islam, membela kesesatan, merendahkan para ulama, dan sebaliknya mengagumi para orientalis. Akal mereka telah terjungkir balik. Mereka pun bangga menjadi liberalis dan sekularis, yang memandang Islam secara liberal dan sekuler.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar