Kamis, 01 September 2016

Kisah Terbaik Al-Qur’an




QS. Yusuf, 1-3

Oleh : Muhammad Atim
 
الر، تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِيْنِ (١) إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ (٢) نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِيْنَ (٣)
(1). Alif Lam Ro. Itulah ayat-ayat kitab yang jelas. (2). Sesungguhnya Kami telah menurunkannya sebagai Al-Qur’an yang berbahasa Arab agar kalian memahaminya. (3). Kami kisahkan kepadamu sebaik-baik kisah oleh sebab Kami mewahyukan kepadamu Al-Qur’an ini, dan meskipun keadaanmu dahulu lengah terhadapnya.”
Alloh SWT mengawali surat ini dengan menyebutkan huruf-huruf Muqotho’at “Alif Lam Ro”, makna sebenarnya hanya Alloh yang tahu karena ia termasuk ayat-ayat mutasyabih yang kita tidak diperkenankan mencari-cari ta’wilnya, kita hanya diperintahkan mengimaninya, “Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami”. Tetapi kita bisa memahaminya dari sisi hikmahnya yaitu bahwa ia sebagai bukti kemu’jizatan Al-Qur’an, dimana Al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf tersebut yang huruf-huruf itupun digunakan oleh manusia untuk menyusun bahasa Arab, tetapi tak ada seorang pun ahli bahasa Arab itu yang mampu membuat semisal dengan Al-Qur’an, untuk itulah selalu setelahnya disebutkan penjelasan tentang Al-Qur’an. Ia pun mengandung manfaat menarik perhatian (tanbih) kepada orang-orang untuk mendengarkannya. Ketika orang-orang kafir berusaha menutup telinga mereka dari bacaan Al-Qur’an, pada saat pertama kali huruf-huruf tersebut dibacakan justeru mereka malah mendengarkannya karena rasa penasaran.  
“Itulah ayat-ayat kitab yang jelas”. Ayat-ayat Al-Qur’an itu bersifat jelas dan terang benderang tak ada kerancuan di dalamnya, bahkan ia menjelaskan segala sesuatu (tibyanan likulli syai’in) dan merinci segala sesuatu (tafshila kulli syai’in). Tetapi tentu kejelasan itu hanya akan didapatkan oleh Ulul Albab (orang yang berpikir mendalam) yang selalu mengambil pelajaran dan mentadaburinya.
Alloh SWT menurunkan kitab itu sebagai Al-Qur’an baik nama maupun sifatnya yang selalu dibaca oleh orang-orang beriman, yang berbahasa Arab. Ini menunjukkan bahwa yang disebut Al-Qur’an adalah yang dengan bahasa Arab, adapun terjemahannya tidak dinamakan Al-Qur’an. Dan yang mengandung kemu’jizatan adalah yang dengan bahasa Arab bukan yang telah dialihkan ke bahasa lain. Ini juga menunjukkan kemuliaan bahasa Arab dibanding bahasa lainnya, karena Alloh telah memilihnya sebagai bahasa Al-Qur’an. Karena memang bahasa Arab adalah “bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas dan paling mampu mengungkapkan makna yang dibutuhkan oleh jiwa.”[1] Maka dengan kedudukan bahasa Arab yang telah diangkat oleh Alloh itulah setiap muslim tidak bisa dilepaskan darinya, ia mesti mempelajarinya, tidak boleh menyepelekannya atau menganggapnya sebagai pesaing bagi bahasa budayanya.
Kisah adalah metode yang menjadi sorotan penting bagi Al-Qur’an dalam menyampaikan petunjuknya, untuk itu satu pertiga isinya adalah kisah. Kisah menjadi penjelas dan perinci bagi petunjuk yang terkandung di dalamnya. Karena wahyu Alloh yang menjadi sumber kisah ini, maka kisah yang disampaikan adalah kisah yang terbaik (ahsanul qoshosh). Makna kisah terbaik berlaku baik pada isi kisahnya maupun pada gaya penuturannya (uslub).  
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir tentang Asbabun Nuzul ayat-ayat di atas dari Mush’ab bin Sa’ad, dari Sa’ad, ia berkata: “Telah turun kepada Nabi saw Al-Qur’an”. Ia berkata: “Maka beliau membacakannya kepada mereka beberapa waktu”. Lalu mereka berkata: “Wahai Rosululloh, andaisaja kiranya engkau berkisah kepada kami.” Maka Alloh menurunkan QS. Yusuf: 1-3. Kemudian beliau membacakannya kepada mereka beberapa waktu. Lalu mereka berkata: “Wahai Rosululloh, andaisaja kiranya engkau menyampaikan pembicaraan kepada kami.” Maka Alloh menurunkan QS. Az-Zumar: 23. (HR. Hakim).[2]
Al-Qur’an merupakan kasih sayang Alloh untuk orang-orang beriman. Ketika para sahabat memohon kisah, Alloh memberikan kisah yang terbaik. Ketika mereka memohon pembicaraan, Alloh memberikan pembicaraan yang terbaik (ahsanul hadits), sehingga lengkaplah Al-Qur’an menjadi panduan hidup orang beriman. Ia adalah sumber menggali petunjuk, menuai inspirasi, menempa motivasi, peneguh hati dan taman wisata jiwa. Dengan demikian mereka tidak memerlukan sumber lainnya. Kita mesti berusaha mencontoh mereka yang keseluruhan hidupnya bermesraan dengan Al-Qur’an. Saat mereka memohon jalan yang lurus, Al-Qur’an memberikan petunjuknya, saat mereka miskin cita-cita, ia memberikan inspirasi, saat mereka lemah semangat, ia memberi motivasi, saat ujian banyak dihadapi, ia meneguhkan hati, dan saat penuh dengan kegelisahan dan kesedihan ia memberi wisata bagi jiwa. Untuk itulah Rosululloh saw tegas dalam menepis pesaing-pesaingnya. Saat “Umar bin Khottob datang kepada Nabi saw dengan membawa kitab yang ia dapatkan dari sebagian ahli kitab, lalu ia membacakannya kepada Nabi saw, maka beliau marah. Beliau bersabda, “Apakah kamu ragu terhadap ayat-ayat Al-Qur’an wahai Ibnul Khottob? Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian membawanya yang putih jernih, janganlah kalian bertanya kepada mereka tentang sesuatu lalu mereka memberitahukan kepada kalian dengan kebenaran tetapi kalian mendustakannya, atau kebatilan tetapi kalian membenarkannya. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, kalaulah Musa masih hidup, maka tidak ada yang dia lakukan kecuali mengikutiku.” (HR. Ahmad).[3]
Lalu saat ini, berapa banyak pesaing-pesaing Al-Qur’an dari buku-buku yang berisi konsep, nilai, inspirasi, tokoh, bahkan keyakinan yang tanpa sadar bertentangan dengan Al-Qur’an?
Sejak awal da’wah Islam bahkan orang-orang beriman berusaha dilalaikan dengan pesaing-pesaing Al-Qur’an. An-Nadhr bin Al-Harits menjadi punggawanya dalam hal ini. Untuk menghalang-halangi orang beriman dari Al-Qur’an ia menyewa biduan wanita untuk menari dan melantunkan nyanyian-nyanyian penarik jiwa. Setiap kali ada orang yang hendak masuk Islam ia mendatanginya dan mengajaknya ke biduan itu, dan berkata kepada biduan, “Berilah ia makan, berilah minum, dan puaskanlah dia. Ini lebih baik daripada ajakan Muhammad kepadamu”. Untuk itulah turun ayat “Dan diantara manusia ada orang yang membeli perkataan sia-sia (lahwal hadits) untuk menyesatkan dari jalan Alloh.” (QS. Luqman: 6). Bahkan ia pergi ke Hirah untuk mempelajari kisah-kisah raja-raja Persia, kisah-kisah Rustum dan Asfandiyar. Setiap kali Rosululloh saw berada di suatu majlis untuk mengingatkan kepada Alloh dan agar takut terhadap siksanya, ia menguntit di belakang lalu mengatakan: “Demi Alloh! Muhammad tidak lebih baik dari perkataanku.” Kemudian dia bercerita tentang raja-raja Persia, Rustum dan Asfandiyar, kemudian berkata: “Apanya yang menjadikan Muhamamd lebih baik dari perkataanku?”[4]
Lalu saat ini, berapa banyak para penerus An-Nadhr bin Al-Harits tersebut, dari para pembuat acara-acara hiburan, game, dan konser-konser, para pengarang dan produsen cerita-cerita perusak pola pikir dan akhlaq yang mereka sebarkan dalam film, sinetron, kartun, novel, dan lain sebagainya?
Alloh SWT memberi penegasan bahwa kisah Al-Qur’an adalah kisah yang terbaik, agar kita orang yang beriman kepada-Nya mau menjadikannya satu-satunya sumber panduan kita, bahkan sebagai pelipur lara saat kesedihan melanda. Panduan Al-Qur’an ini juga tentu diikuti dengan kisah hidup Rosululloh saw dan hadits-haditnya yang merupakan pelaksanaan kongkritnya, kemudian juga keteladanan orang-orang sholeh yang telah berusaha mengikuti jejaknya.
Penjelasan ini Alloh SWT letakkan sebagai muqodimah dalam surat Yusuf, ini merupakan keistimewaan bagi kisah Nabi Yusuf sendiri yang Alloh ceritakan secara kronologis dari awal sampai akhir. Sebagai respon bagi tantangan orang-orang musyrik dan Yahudi akan bukti kebenaran Al-Qur’an yang mampu menceritakan kisah yang tidak mereka ketahui. Sebagai jawaban bagi kegelisahan Rosululloh saw dan orang-orang beriman dalam menghadapi ujian. Kisah yang dahulunya lengah dari pikiran beliau. Kisah yang selalu memberi solusi bagi permasalahan setiap zaman.



[1] Ibnu Katsir 2/282
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ar-Rohiqul Makhtum, hal.73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar