Oleh : Muhammad Atim
Tulisan bernada propokatif yang mengharuskan shaum Arafah bagi semua orang di seluruh dunia bertepatan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, cukup memberi pengaruh negatif bagi sebagian masyarakat. Ia mengesankan buruk bagi yang tidak mengikuti pendapatnya, bahkan dianggap sebagai pelaku maksiat, menyelisihi sunnah. Seakan hal itu telah disepakati oleh para ulama, bahkan bisa jadi mereka berdusta atas nama ijma. Dibumbui dengan narasi ketidakpercayaan kepada pemerintah. Kita boleh saja tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, tapi bukan berarti harus mengaburkan dan mengabaikan prinsip dan landasan ilmiah dalam persoalan menyangkut agama, karena berbicara dalam masalah agama tanpa ilmu amatlah besar dosanya.
Tidak ada ijma dalam masalah tersebut. Bahkan pendapat mayoritas ulama juga tidak. Bahkan saya belum mengetahui ulama mana yang mu'tabar (diakui kridebilitas keilmuannya) yang berpendapat seperti itu.
Hal itu karena dalilnya teramat lemah. Hanya karena namanya sama yaitu "arafah", ia terburu-buru berkesimpulan namanya juga shaum arafah berarti harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah. Ini dalil cocoklogi saja, tidak ada hadits yang secara jelas menyebutkan keharusan itu.
Kalau bagi penduduk negeri Saudi dan yang penanggalannya sama dengan mereka, maka tentu hal itu bisa diterima. Karena orang yang berhaji melakukan wukuf di Arafah tiada lain melainkan tanggal 9 Dzulhijjah, dan bagi yang tidak sedang berhaji disunnahkan melaksanakan shaum Arafah pada tanggal tersebut. Sedangkan bagi penduduk negeri yang lain, yang penanggalannya berbeda, mereka melaksanakan shaum arafah tanggal 9 Dzulhijjah sesuai penanggalan mereka, bukan berpatokan kepada pelaksanaan wukuf. Karena kalau patokannya harus bersamaan dengan wukuf, berapa banyak negeri-negeri lain yang waktunya berbeda jauh, yaitu pada saat mereka memulai shaum, orang-orang telah selesai wukuf ataupun ketika wukuf dimulai, di sebagian lain sudah masuk waktu malam. Juga kalau dilihat dari segi pensyariatannya, shaum arafah lebih dulu disyariatkan yaitu tahun 2 H, sedangkan haji baru dilaksanakan oleh kaum muslimin tahun 9 H. Kalaulah pelaksanaan wukuf di Arafah itu menjadi sebab adanya syariat shaum Arafah, lalu apa gunanya Rasulullah saw dan para sahabat melaksanakan shaum Arafah sejak tahun 2 H tersebut karena belum ada kaum muslimin yang melaksanakan wukuf ketika itu?
Secara prinsip, ibadah-ibadah yang terkait dengan waktu, jelas syariat memberi kemudahan, tidak mempersulit, yaitu sesuai dengan waktu dimana kita berada. Shalat misalnya, kita hanya diwajibkan sesuai waktu dimana kita berada. Kita tidak dibebankan untuk mengikuti waktu shalat di Saudi atau di tempat lainnya. Begitu pula ibadah-ibadah lainnya, shaum Ramadhan, idhul fitri, idul adha, termasuk shaum arafah, dll.
Soal penentuan awal bulan hijriyyah, memang ada ulama yang berpendapat dengan rukyat global, yaitu jika di satu negeri ada yang telah melihat hilal, maka berlaku untuk seluruh negeri. Tapi, sejauh penelaahan saya, tidak ada ulama yang mengkhususkan harus mengikuti rukyat atau penentuan awal bulan di Mekkah atau di Saudi, terlebih dikhususkan hanya untuk bulan Dzulhijjah saja. Di sini saja terlihat ke-tidakkonsistenan-nya. Kalau mau konsisten, harusnya setiap bulan mengikuti Saudi. Disamping penentuan awal bulan itu baik di Saudi atau lainnya sifatnya adalah ijtihad dan zhanni, tidak bisa sesuatu yang sifatnya ijtihad dan zhanni, tidak qath'i, menafikan ijtihad lain yang dilakukan oleh negeri-negeri yang lainnya.
Pendapat rukyat global itu memang ada, tetapi juga dilemahkan oleh banyak ulama lainnya yang menyebut ada perbedaan rukyat atau penentuan awal bulan di masing-masing negeri. Karena memang tidak berdasar dalil yang jelas, melainkan dengan dalil-dalil umum perintah Nabi saw untuk shaum karena melihat hilal yang diterapkan untuk keumuman muslimin di seluruh dunia. Sedangkan ada dalil yang jelas yang menyebutkan adanya perbedaan penanggalan antara satu negeri dengan negeri lainnya (ikhtilaf mathali), yaitu disebutkan oleh Abdullah bin Abbas ra. Bahkan ia menyebut, inilah yang diperintahkan oleh Nabi saw, atau dengan kata lain sebagai sunnah Nabi saw. Selain juga didukung oleh fakta ilmiah tentang adanya perbedaan waktu dan munculnya hilal antara satu negeri dengan negeri lainnya. Perhatikan hadits berikut.
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Kuraib bahwasanya; Ummul Fadhl binti Al Harits mengutusnya menghadap Mu'awiyah di Syam. Kuraib berkata; Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jumat. Kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku tentang hilal, ia bertanya, "Kapan kalian melihatnya?" Aku menjawab, "Kami melihatnya pada malam Jumat." Ia bertanya lagi, "Apakah kamu yang melihatnya?" Aku menjawab, "Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu'awiyah." Ibnu Abbas berkata, "Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Dan kamipun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi tiga puluh hari atau hingga kami melihat hilal." Aku pun bertanya, "Tidakkah cukup bagimu untuk mengikuti ru'yah Mu'awiyah dan puasanya?" Ia menjawab, "Tidak, beginilah Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada kami." (HR. Muslim, no. 1087).
Dalam hadits tersebut jelas sekali Ibnu Abbas ra memahami adanya perbedaan melihat hilal antara satu negeri dengan negeri lainnya, yaitu dalam hal ini Ibnu Abbas di Madinah dan Mu'awiyyah di Syam. Maka Imam Nawawi rahimahullah dengan jelas memberi judul bagi hadits ini dalam syarahnya :
باب بيان أن لكل بلد رؤيتهم وأنهم إذا رأوا الهلال ببلد لا يثبت حكمه لما بعد عنهم
"Bab penjelasan bahwa untuk setiap negeri memiliki rukyat mereka masing-masing, dan bahwa apabila mereka melihat hilal di satu negeri, tidak ditetapkan hukumnya untuk negeri yang jauh dari mereka" (Syarh An-Nawawi 'ala Shahih Muslim, 7/161).
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar