TAFSIR
Surat Al-Kautsar
(Ni’mat Yang Banyak/Sungai Al-Kautsar)
Ni’mat Yang Banyak untuk Nabi saw dan Umatnya
Oleh : Muhammad Atim
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ٢ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ٣
(1) Sesungguhnya Kami telah memberimu al-kautsar (ni’mat yang banyak/telaga al-kautsar)
(2) Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan menyembelihlah (hewan sembelihan)
(3) Sesungguhnya pembencimu itu, dialah yang mandul (terhalang dari kebaikan)
Pendahuluan
Para ulama berbeda pendapat tentang turunnya surat Al-Kautsar ini, apakah termasuk makiyyah atau madaniyyah. Ia makiyyah menurut pendapat Ibnu Abbas, Al-Kalbi dan Muqatil. Dan madaniyyah menurut pendapat Hasan Al-Bashri, Ikrimah, Mujahid dan Qatadah. Namun yang lebih kuat adalah madaniyyah. Berdasarkan hadits yang menjelaskan tentang surat ini, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan dia adalah sahabat junior dalam periode Madinah, ditambah dengan redaksi yang disebutkan oleh Nabi ﷺ : “telah diturunkan kepadaku barusan”.
Allah ﷻ memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya dengan diberinya ni’mat yang banyak. Di antara ni’mat yang banyak itu adalah sungai al-kautsar yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya. Sebagai sikap syukur atas ni’mat tersebut, maka diperintahkan untuk shalat dan menyembelih. Adapun orang yang membenci Nabi Muhammad ﷺ, dia adalah orang yang mandul, dalam arti terhalang dari kebaikan, tidak diberi ni’mat sebagaimana yang diberikan kepada beliau dan umatnya. Ini merupakan hiburan bagi beliau dan dorongan untuk tetap optimis dalam menghadapi celaan para musuh Allah.
Tafsir ayat 1 :
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ١
“Sesungguhnya Kami telah memberimu al-kautsar (ni’mat yang banyak/telaga al-kautsar)
Disebutkan huruf taukid (penguat arti) agar memberi perhatian terhadap berita yang disampaikan.
Menggunakan kata ganti “Kami” yang menunjukkan keagungan, biasa digunakan dalam rangka pemberian ni’mat yang besar.
Al-Kautsar berasal dari kata “katsura” (banyak), bentuk kata ini menunjukkan makna “sangat”. Al-Kautsar adalah bentuk mashdar yang berarti “kebaikan yang sangat banyak”, bisa juga digunakan sebagai sifat seseorang yaitu : “seseorang yang memperoleh kebaikan yang banyak”. Para ulama salaf beragam dalam menafsirkannya, yang paling umum adalah: kenikmatan yang banyak. Yang lainnya menafsirkan dengan macamnya, yaitu: islam, kenabian, Al-Qur’an, syafa’at, banyaknya umat, termasuk telaga al-kautsar.
Di dalam hadtis yang shahih, Al-Kautsar ditafsirkan sebagai nama dari suatu sungai di surga dan telaga Rasulullah ﷺ. Namun, makna ini bukanlah pembatasan. Al-Kautsar tetap mencakup makna umum, yaitu seluruh keni’matan yang banyak yang diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya. Hadits-hadits tersebut bahkan mutawatir, diriwayatkan lebih dari 30 orang sahabat. Bahkan Muhammad bin Ja’far Al-Kattani dalam kitabnya Nazhmul Mutanatsir minal Hadits Al-Mutawatir menghitungnya sampai 57 sahabat. Di antara haditsnya sebagai berikut :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ﴿إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ﴾ ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ فَقُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِي فَيَقُولُ مَا تَدْرِي مَا أَحْدَثَتْ بَعْدَكَ
Dari Anas dia berkata, "Pada suatu hari ketika Rasulullah di antara kami, tiba-tiba beliau tertidur, kemudian mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum, maka kami bertanya, 'Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah? ' Beliau menjawab, 'Baru saja diturunkan kepadaku suatu surat, lalu beliau membaca, 'Bismillahirrahmanirrahim, Inna A'thainaka al-Kautsar Fashalli Lirabbika Wanhar, Inna Syani'aka Huwa al-Abtar, ' kemudian beliau berkata, 'Apakah kalian tahu, apakah al-Kautsar itu? ' Kami menjawab, 'Allah dan rasul-Nya lebih tahu.' Beliau bersabda, 'Ia adalah sungai yang dijanjikan oleh Rabb-ku kepadaku. Padanya terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang umatku menemuiku pada hari kiamat, wadahnya sebanyak jumlah bintang, lalu seorang hamba dari umatku terhalang darinya, maka aku berkata, 'Wahai Rabb-ku, sesungguhnya dia termasuk umatku', maka Allah berkata, 'Kamu tidak tahu apa yang mereka ada-adakan setelahmu." (HR. Muslim, no.400).
عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَوْضِي مَسِيرَةُ شَهْرٍ مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنْ اللَّبَنِ وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنْ الْمِسْكِ وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ مَنْ شَرِبَ مِنْهَا فَلَا يَظْمَأُ أَبَدًا
Dari Ibnu Abi Mulaikah mengatakan; Abdullah bin Umar mengatakan, Nabi ﷺ bersabda, "Telagaku jauhnya sejauh perjalanan sebulan, airnya lebih putih daripada susu, dan baunya lebih wangi daripada minyak misik, dan cangkirnya bagaikan bintang di langit, siapa meminumnya ia tak akan haus selama-lamanya." (HR. Bukhari, no. 6579, Muslim no.2292).
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ الْكَوْثَرُ الْخَيْرُ الْكَثِيرُ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ قَالَ أَبُو بِشْرٍ قُلْتُ لِسَعِيدٍ إِنَّ أُنَاسًا يَزْعُمُونَ أَنَّهُ نَهَرٌ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ سَعِيدٌ النَّهَرُ الَّذِي فِي الْجَنَّةِ مِنْ الْخَيْرِ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ
Dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhu mengatakan; 'Kautsar adalah sekian banyak kebaikan yang Allah berikan kepadanya (Nabi Muhammad ﷺ). Abu Bisyr berkata; saya bertanya kepada Sa'id; 'banyak orang beranggapan bahwa al kautsar adalah nama sungai di surga.' Sa'id menjawab; 'Sungai di surga hanyalah satu diantara sekian banyak kebaikan yang Allah berikan kepadanya.' (HR. Bukhari, no.6578).
Berdasarkan hadits-hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-kautsar adalah nama sungai di surga yang diberikan kepada Rasulullah ﷺ, airnya memanjang ke telaga Rasulullah ﷺ di padang mahsyar, telaga tersebut dinamakan pula al-kautsar. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata : “Al-Kautsar adalah sungai di dalam surga sebagaimana telah terdahulu dan akan datang (penjelasannya), dan airnya memancar ke telaga. Telaga itu dinamakan pula al-kautsar karena ia merupakan perpanjangan dari sungai tersebut.” (Fathul Bari, 11/567).
Al-Qurthubi berkata : “Ada perbedaan pendapat tentang mizan (timbangan amal) dan haudh (telaga), manakah yang lebih dahulu? Ada yang mengakatan, mizan lebih dulu, dan ada yang mengatakan haudh lebih dulu. Abul Hasan Al-Qabisi berkata : “Yang benar, haudh lebih dulu.” Aku berkata : “Secara makna menuntut kepada hal itu. Karena sesungguhnya manusia keluar dari kuburan mereka dalam keadaan haus sebagaimana telah terdahulu (penjelasannya), maka ia didahulukanlah sebelum mizan dan sirath. Wallahu A’lam”. (At-Tadzkirah, hal.703).
Tafsir ayat 2 :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ٢
“Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan menyembelihlah (hewan sembelihan)”
Huruf fa dalam ayat tersebut bisa dipahami sebagai sababiyyah, artinya oleh sebab Allah telah memberikan ni’mat yang banyak, maka bersyukurlah engkau dengan melaksanakan shalat dan menyembelih qurban. Dua syariat ini disebutkan secara khusus menunjukkan keistimewaannya. Shalat merupakan ibadah yang paling utama, dan cerminan ketundukan kepada Allah. Ia merupakan ibadah secara vertical/mahdhah kepada Allah. Sedangkan menyembelih qurban, selain memiliki dimensi syiar ketauhidan kepada Allah, juga berdampak maslahat untuk mansuia, yaitu memberi makan daging qurban kepada orang-orang miskin khususnya. Dan ia merupakan bentuk pengorbanan harta. Titik tekan dari kedua syariat ini adalah agar semata dipersembahkan untuk Allah (ikhlas). Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi berkata menjelaskan ayat ini : “Sesungguhnya orang-orang shalat untuk selain Allah dan menyembelih untuk selain Allah. Sungguh Kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka janganlah engkau jadikan shalatmu dan sembelihanmu melainkan untuk Allah”. Sedangkan Ibnul Arabi memaknai shalat di sini sebagai ibadah secara umum. Ia mengatakan : “Menurutku, maksudnya adalah : “beribadahlah kepada Rabbmu, dan sembelihlah untuk-Nya. Jangan jadikan amalmu kecuali bagi yang telah mengkhususkan al-kautsar bagimu.” (Tafsir Al-Qurthubi, 22/525).
Shalat di sini disebutkan secara mutlak tanpa batasan. Artinya mencakup shalat wajib dan shalat sunnah. Ibnu Katsir berkata : “Sebagaimana Kami telah memberimu kebaikan yang banyak di dunia dan akhirat, diantaranya adalah sungai yang telah terdahulu penjelasan sifatnya, maka ikhlaskanlah untuk Rabbmu shalatmu yang wajib dan yang sunnah dan sembelihanmu. Beribadahlah kepada-Nya semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, sembelihlah dengan nama-Nya semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman : “Katakanlah sesungguhnya shalatku, nusukku (sembelihanku), hidupku dan matiku, untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan hal itu aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama berserah diri (kepada Allah)”. QS. Al-An’am : 162-163).
Kaitan dengan konteksnya, jika surat ini turun dalam periode Mekkah, di awal-awal dakwah, maka makna shalatnya mencakup shalat malam atau shalat dua rakaat pada waktu pagi dan petang, menurut sebagian ulama. Atau shalat lima waktu yang wajib setelah peristiwa isra mi’raj. Dan sembelihan qurbannya adalah sembelihan yang memang telah biasa dilakukan sejak sebelum diutus menjadi rasul. Meskipun Rasulullah ﷺ berada di tengah-tengah orang-orang musyrik yang melaksanakan shalat dan menyembelih qurbannya untuk berhala-berhala, namun beliau melakukannya semata-mata untuk Allah ﷻ.
Jika turun dalam periode Madinah, tepatnya pada peristiwa Hudaibiyyah tahun 6 H, dimana beliau dihalangi untuk melaksanakan umrah, maka maknanya adalah perintah untuk melaksanakan shalat dan menyembelih hewan-hewan hadyu yang mereka giring. Bisa juga kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji, yang di dalamnya ada nahr (penyembelihan), bahkan hari kesepuluhnya disebut sebagai hari nahr, sebagaimana dalam ayat ini secara jelas menggunakan istilah nahr. Bagi orang yang melaksanakan haji, maka makna shalat itu adalah shalat shubuh di Muzdalifah, lalu dilanjutkan dengan menyembelih hewan hadyu, karena keduanya beriringan. Bagi yang melaksanakan ibadah haji, menurut ijma ulama, tidak ada pelaksanaan shalat idul Adha. Sedangkan bagi yang tidak berhaji, maka makna shalat itu bisa ditujukan kepada shalat idul Adha, lalu dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban (udhiyyah).
Pengalihan kata ganti “Kami” kepada penyebutan “Tuhanmu” mengandung isyarat berhaknya Allah diibadahi karena sifat rububiyyah-Nya, lebih dari pemberian ni’mat yang banyak itu. Penisbatan kata “Rabb” kepada kata ganti untuk Nabi Muhammad ﷺ “Tuhanmu”, adalah sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, dekatnya Allah dengannya, dan memberikan kasih sayang secara khusus.
Tafsir ayat 3
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ٣
“Sesungguhnya pembencimu itu, dialah yang mandul (terhalang dari kebaikan)”
Menyebutkan dhamir ghaib (huwa) setelah isim zhahir (al-abtar) adalah berfungsi sebagai qashr (pengkhususan). Artinya, yang mandul itu hanyalah pembencimu. Ini merupakan sanggahan bagi para pembenci Nabi Muhammad ﷺ yang mencela beliau dengan menyebut “abtar” (mandul). “Al-abtar” secara bahasa bermakna “binatang yang terpotong bagian tubuhnya, atau terpotong ekornya”. Lalu digunakan untuk menyebut seseorang yang mandul, maksudnya adalah tidak memiliki anak laki-laki yang akan menjadi penerusnya, dan dengan begitu akan terputuslah penyebutan namanya. Perkataan itu diucapkan oleh para pembenci Nabi ﷺ bahkan sejak dalam periode Mekkah. Para ahli tafsir dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda penafsiran tentang pembenci yang ditujukan oleh yat ini. Ada yang mengatakan dia adalah Al-‘Ash bin Wail, adapula Uqbah bin Abi Mu’aith, Abu Jahal, Ka’ab bin Asyraf, dan sekelompok kaum kafir Quraisy. Yaitu ketika meninggal anak laki-laki Rasulullah ﷺ. Dimana semua anak laki-laki beliau meninggal dalam keadaan masih kecil, yaitu Qasim, Abdullah dan Ibrahim.
Surat ini merupakan hiburan dan dorongan kepada beliau agar tetap optimis dalam menghadapi celaan para musuh Allah itu. Bahwa tuduhan “abtar” yang mereka tuduhkan itu justru ada pada mereka. Buktinya Nabi Muhammad ﷺ justru diberikan banyak ni’mat dan keistimewaan, dan nama beliau tetap harum, selalu disebut-sebut sampai hari kiamat. Justru merekalah yang “abtar”, dalam arti terputus dari seluruh kebaikan, terputus dari rahmat Allah, bahkan akan diliputi dengan kesengsaraan dan siksaan. Dalam ayat ini mengandung apa yang disebut dalam ilmu balaghah sebagai uslubul hakim. Yaitu memberi pesan kepada pendengar dengan sesuatu yang tidak mereka perhatikan, dengan mengalihkan perkataan mereka kepada maksud yang berbeda, sebagai peringatan bahwa maksud tersebut lebih layak untuk diperhatikan. Yaitu bahwa kata “abtar” yang lebih penting untuk diperhatikan adalah maknanya terputus dari kebaikan, bukan sekedar tidak memiliki anak laki-laki yang menjadi penerus.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar