Oleh : Muhammad Atim
Harus dipahami di zaman sekarang ini ada dua aliran, yaitu ada aliran yang mengikatkan diri (intisab) kepada salah satu madzhab, dan ada yang tidak berintisab pada salah satu madzhab.
Aliran kedua ini biasa disebut dengan aliran tarjih, atau talfiq. Tarjih di situ maksudnya memilih yang lebih kuat secara mandiri dari berbagai madzhab yang ada, atau dalam menyikapi permasalahan yang baru. Adapun tarjih secara mutlak, di dalam madzhab-madzhab pun tentu ada proses tarjih yang melahirkan pendapat mu'tamad/resmi.
Aliran kedua ini merupakan ciri khas dari kelompok muslim yang sering disebut dengan istilah "muslim modernis". Ia adalah perpanjangan dari gerakan tajdid yang dilakukan oleh tokoh semisal Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Yaitu untuk mengeluarkan umat dari fanatik pada madzhab. Ia menjadi corak semisal para ulama ikhwanul muslimin. Kalau di Indonesia semisal Persis, Muhammadiyyah dan Al-Irsyad. Termasuk kelompok Salafi/Wahabi memiliki kesamaan dalam hal tidak terikat kepada salah satu madzhab, meski dengan corak yang agak berbeda. Ini untuk membedakan dengan kelompok yang disebut "muslim tradisionalis" seperti NU di Indonesia yang berintisab kepada madzhab Syafi'i.
Jadi, kalau ada yang berpandangan tidak berintisab pada salah satu madzhab, atau mengkritik madzhab, bagi kelompok tradisionalis, jangan memukul rata semuanya dengan isu "wahabi". Kalian harus pahami juga sejarah dan eksistensi dari kelompok modernis, khususnya yang sudah mengakar lama di Indonesia ini.
Mengapa harus ada tarjih lagi, mengapa tidak cukup dengan madzhab yang ada?
Hal itu karena produk fiqih itu sendiri tidak final, tidak qath'i, kekuatannya tetap saja zhanni, masih membuka ruang untuk didiskusikan. Setiap orang wajib mengamalkan pilihan fiqih yang lebih kuat (rojih), baik menurut ulama atau madzhab yang ia percayai maupun berdasarkan pemahaman hasil penelitian yang meyakinkan. Fiqih itu lahir dari ijtihad, sedangkan ijtihad itu selalu hidup dalam setiap zaman untuk menjawab setiap realita. Ulama yang mengikatkan dirinya (intisab) pada satu madzhab pun, tidak akan sepenuhnya mengikuti ijtihad pendahulunya. Apalagi yang tidak berintisab, ia lebih bebas meramu dari madzhab-madzhab yang ada, baik dari sisi metodologi (manhaj) yang digunakan, maupun dari sisi produk-produk ijtihad yang dihasilkan.
Baik yang berintisab atau tidak pada madzhab, yang jelas fiqih itu butuh kepada pembaharuan (tajdid) pada setiap zaman. Ini sesuai dengan tabiatnya, juga prinsip agama Islam itu sendiri, pada wilayah-wilayah yang tidak qath'i, karena Allah akan mengutus kelompok orang yang akan memperbaharui agama-Nya pada setiap seratus tahun (satu abad), dan fiqih adalah di antaranya.
Di sini sebenarnya ada hal yang disepakati. Yaitu tidak boleh fanatik (ta'ashub) madzhab, dan tidak boleh pula anti terhadap madzhab. Dua hal ini harus dihindari oleh kedua belah pihak dan tidak boleh mudah menuduh. Karena berintisab pada salah satu madzhab itu bukan berarti fanatik madzhab, begitu pula yang tidak berintisab itu bukan berarti anti madzhab. Karena meski tidak terikat kepada salah satu madzhab, tetap saja akan menggunakan perangkat ijtihad yang telah dirumuskan oleh para ulama madzhab itu, serta meneliti hasil ijtihad yang telah mereka lakukan.
Melakukan pembaharuan itu tidak mungkin dilakukan tanpa merujuk kepada warisan ilmu sebelumnya (turats). Sehingga, kekayaan dan ketersambungan ilmu ini harus dijaga. Maka, tidak ada salahnya, misalnya dalam metode pembelajaran fiqih, baik yang berintisab pada madzhab ataupun yang tidak, untuk menggunakan kitab-kitab fiqih madzhab tertentu, dengan alasan kitab-kitab tersebut telah disusun dengan lengkap dan sistematis. Meski pada masalah-masalah tertentu diambil pilihan yang rojih yang berbeda dengan madzhab tersebut. Karena seorang pembelajar, di permulaan pembelajaran harus mempelajari terlebih dahulu satu pendapat dalam setiap permasalahan, dengan mengambil mana yang dianggap paling kuat oleh ulamanya atau madrasahnya, agar mudah dipahami dan diamalkan. Kecuali kelompok tarjih tadi telah melahirkan karya kitab fiqih secara khusus sesuai hasil tarjihnya yang lengkap dan sistematis yang mudah untuk dipelajari. Hal itu bisa saja dilakukan.
Barulah setelah itu masuk pada jenjang mempelajari perbandingan (muqoronah) madzhab, pendalaman dalil-dalilnya dan penerapan kaidah-kaidahnya, agar semakin kokoh dalam pilihan fiqihnya, menghargai pendapat yang berbeda, serta mampu melakukan pembaharuan fiqih dan ijtihad dalam masalah-masalah dan tantangan baru.
Wallahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar