Suatu kebanggan yang perlu kita syukuri dan apresiasi adalah kembali maraknya majelis-majelis sama' bersanad baik sanad qiro’at, hadits-hadits Nabi saw maupun sanad-sanad kitab yang sampai kepada penulisnya.
Sanad adalah suatu ciri khas dan keistimewaan bagi umat Islam. Dengan mengetahui sanad, dapat ditentukanlah validitas suatu riwayat. Sah dan tidaknya suatu hadits dinisbatkan kepada Nabi saw dan suatu kitab kepada penulisnya, dan mutawatir atau tidaknya suatu qiro’at Al-Qur’an. Sehingga, menjadi jelaslah sumber pengambilan ilmu di dalam Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mubarok rahimahullah,
الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
"Sanad itu bagian dari agama Islam, dan kalaulah tidak ada sanad, niscaya siapa saja bisa bicara apa saja"
(Perkataan Ibnu Mubarok ini diriwayatkan diantaranya oleh imam Muslim di dalam kitab Shahihnya).
Selain itu, ketika seseorang memiliki sanad qiro’at atau hadits, hal itu merupakan tali ruhiyah yang menghubungkannya dengan Rasulullah saw. Karena untaiannya ibarat tali, yang ujung atasnya adalah nama Rasulullah saw dan ujung bawahnya adalah nama kita. Begitupun kepada penulis suatu kitab, ada kedekatan ruhiyah yang dirasakan.
Meskipun urgensinya berbeda, antara sebelum terkodifikasinya hadits dalam kitab-kitab hadits dengan masa setelahnya. Pada masa sebelumnya memang dalam rangka meneliti para perowinya, sedangkan setelah terkodifikasi, sanad-sanad berikutnya menjadi suatu keutamaan saja, tidak menentukan validitas suatu hadits. Begitupun sanad-sanad qiro’at, ketika telah terkodifiasi di tangan para ulama ahli ilmu qiro’at.
Namun ada satu poin yang ingin lebih saya tekankan dalam tulisan ini, yaitu di tengah maraknya majelis sanad ini, jangan sampai membuat para thalib lebih disibukkan dengannya sehingga membuat mereka lalai dari mempelajari diroyahnya. Baik diroyah Al-Qur’an, Hadits dan juga bidang-bidang ilmu syar’i lainnya. Padahal diroyah ini lebih penting dan menjadi maksud inti dari ilmu-ilmu syar’i. Karena inti dari suatu ilmu adalah untuk dipahami lalu diamalkan. Juga jangan sampai menjerumuskan kepada sikap ujub apalagi sombong karena telah memiliki sanad, serta membawanya kepada tingkatan rendah dengan memperjual-belikannya.
Ini bukan dalam rangka mengecilkan kedudukan sanad, karena keistimewaannya sudah jelas dan telah saya sebutkan di awal. Juga bukan ajakan untuk tidak menghadiri majelis sanad. Selama kita punya waktu dan kesempatan untuk itu silahkan. Karena saya pun di antaranya telah mengikuti sebagian majelis-majelis sanad itu seperti shahih Bukhari, shahih Muslim dan lainnya. Justeru seharusnya dari majelis sanad itu mendorong kita untuk lebih giat dan sungguh-sungguh dalam mempelajari diroyahnya. Peringatan seperti ini telah disampaikan oleh para ulama dahulu, di antaranya oleh Badruddin Ibnu Jama’ah di dalam kitabnya Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, beliau mengatakan :
وَلَا يَقْنَعُ بِمُجَرَّدِ السَّمَاعِ كَغَالِبِ
مُحَدِّثِي هٰذَا الزَّمَانِ، بَلْ يَعْتَنِي بِالدِّرَايَةِ أَشَّدَ مِنْ
اِعْتِنَائِهِ بِالرِّوَايَةِ، قَالَ الشَّافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ :
"مَنْ نَظَرَ فِي الْحَدِيْثِ قَوِيَتْ حُجَّتُهُ"، وَلِأَنَّ الدِّرَايَةَ
هِيَ الْمَقْصُوْدُ بِنَقْلِ الْحَدِيْثِ وَتَبْلِيْغِهِ
Wallahu A'lam
(Muhammad Atim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar