Allah SWT menurunkan petunjuk yang tertuang di dalam Al-Qur'an dan Sunnah sebagai inti ajaran Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Kemaslahatan tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh orang-orang muslim saja, orang-orang non-muslim pun akan merasakannya meskipun terbatas pada urusan duniawinya.
Mushaf Al-Qur'an dan kitab-kitab
Hadits tidak akan memberi manfaat bagi manusia jika tanpa ada ulama yang
memahamkan makna dan maksud yang terkandung di dalamnya, menyimpulkan
hukum-hukumnya dan menerapkannya ke dalam realita. Melalui ulama, petunjuk
Allah dapat diterapkan di dalam kehidupan, baik berkenaan dengan urusan pribadi
seorang muslim, aturan dalam keluarga, aturan dalam masyarakat, dan aturan
dalam negara.
Jika suatu penduduk negeri ingin
mendapatkan kemaslahatan dan keberkahan yang datang dari langit dan bumi,
hendaklah para pemimpin yang diberi tanggungjawab mengurus negeri tersebut
menerapkan petunjuk Allah, sebagai bukti keimanan dan ketakwaan mereka kepada
Allah SWT. Maka dalam prakteknya, mereka mesti memiliki perangkat ilmu untuk
memahami dan menerapkan petunjuk Allah tersebut. Untuk itu, sudah barang tentu
seorang pemimpin itu tidak boleh orang yang bodoh terhadap ajaran Islam.
Idealnya ia adalah seseorang yang mampu berijtihad. Selain itu, karena betapa
pentingnya ajaran Islam dalam memajukan suatu negeri, maka para ulama yang
memiliki ilmu tinggi terhadap ajaran Islam harus ditempatkan pada posisi yang
tinggi di dalam negara, baik peran mereka sebagai pengajar, pemberi fatwa atau
hakim (qadhi) yang memutuskan hukum berbagai perkara, dan dengan mengacu kepada
ilmu merekalah berbagai kebijakan dalam negara ditetapkan. Termasuk penanaman
dan pengajaran ilmu-ilmu ajaran Islam harus menjadi prioritas dalam suatu
negara, agar lahir para ulama yang menerangi kehidupan manusia tersebut. Karena
merekalah yang meneruskan tugas kenabian, pewaris para Nabi.
Jika tidak seperti itu, petunjuk
Allah diabaikan dan peran ulama tidak ditegakkan dalam suatu negeri dan dalam
kehidupan, maka negeri tersebut tidak akan diberkahi oleh Allah. Sebaliknya,
Allah akan mengadzab mereka baik di dunia maupun di akhirat. Bentuk adzab di
dunia adalah dengan kesengsaraan yang mereka rasakan, ketidaktentraman hidup,
berbagai permasalahan yang tidak pernah selesai, dan kerusakan demi kerusakan
yang terjadi di negeri tersebut. Para pemimpinnya tersesat dan membawa
rakyatnya ke jurang kesesatan. Mereka mengikuti hawa nafsu mereka, hingga tak
ada bedanya dengan binatang. Karena mereka hanya memperhatikan kehidupan fisik
mereka saja, sedangkan para ulama itulah dengan ilmu dan ketakwaannya
membimbing rohani manusia ke jalan kebenaran.
Imam Bukhari rahimahullah di dalam
shahihnya di dalam kitab ilmu mencantumkan bab "Bagaimana dicabutnya
Ilmu". Beliau memberi sedikit ulasan tentang apa yang dilakukan oleh
khalifah Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah :
باب كيف يقبض العلم وكتب عمر بن عبد العزيز إلى أبي بكر بن حزم
انظر ما كان من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبه فإني خفت دروس العلم
وذهاب العلماء ولا تقبل إلا حديث النبي صلى الله عليه وسلم ولتفشوا العلم ولتجلسوا
حتى يعلم من لا يعلم فإن العلم لا يهلك حتى يكون سرا
"Bab bagaimana dicabutnya
ilmu". Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm :
"Lihatlah keberadaan (kumpulkanlah) hadits Rasulullah saw, lalu tulislah
ia, sesungguhnya aku khawatir lenyapnya ilmu dan hilangnya para ulama, dan
janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw. Agar mereka menyebarkan ilmu dan
mengadakan majelis agar orang yang tidak tahu dapat diajarkan, karena
sesungguhnya ilmu itu tidak akan lenyap kecuali dengan cara perlahan."
Lalu imam Bukhari mengemukakan
hadits, ia berkata :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي
مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ
مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا
لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا
فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
قَالَ الْفِرَبْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ قَالَ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ
قَالَ الْفِرَبْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ قَالَ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ
Telah menceritakan kepada kami
Isma'il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam
bin 'Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata; aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya
Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi
Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak
tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang
bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
menyesatkan". Berkata Al Firabri Telah menceritakan kepada kami 'Abbas
berkata, Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami
Jarir dari Hisyam seperti ini juga. (HR. Bukhari no.100).
Lihatlah, Umar bin Abdul Aziz
seorang khalifah yang adil bahkan dinobatkan sebagai khalifah rasyidah yang
kelima, ia adalah seorang memimpin yang 'alim, paham terhadap ajaran Islam dan
mampu berijtihad. Ia tidak mau memimpin dan membiarkan manusia tersesat tanpa
petunjuk Allah, dalam hal ini hadits-hadits Rasulullah saw.
Ketika kondisi manusia tidak lagi
seperti zaman sahabat yang senantiasa menjaga hadits-hadits Rasulullah saw
dengan hapalan mereka, ia khawatir hadits-hadits tersebut lenyap, maka ia
memerintahkan kepada Abu Bakar bin Hazm, salah seorang ulama besar pada saat
itu, untuk menuliskan hadits-hadits tersebut. Maka dalam sejarah ilmu hadits,
perintah Umar bin Abdul Aziz inilah merupakan awal dibukukannya hadits Nabi saw.
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah
telah menempatkan posisi ilmu dan para ulama dalam kehidupan dan
pemerintahannya di tempat yang tepat, dan menjadikannya sebagai acuan di dalam
menjalankan pemerintahannya. Maka lihatlah bagaimana kondisi kehidupan di bawah
pemerintahannya? Makmur dan sejahtera luar biasa, penuh dengan keberkahan.
Itulah peran penting ulama yang
menyinari kehidupan, tonggak berdirinya suatu negeri. Jika tanpa mereka dan
peran mereka yang difungsikan, niscaya manusia tersesat bagaikan binatang.
Benarlah apa yang dikatakan oleh
salafushaleh kita, diantaranya Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :
العلماء سرج الأزمنة فكل عالم مصباح زمانه يستضئ أهل عصره
ولولا العلماء لصار الناس كالبهائم
"Para ulama adalah pelita
zaman, maka setiap orang 'alim adalah pelita zamannya yang menerangi manusia di
zamannya, kalaulah tanpa ulama niscaya manusia menjadi seperti binatang".
(Muhammad Atim,
Markaz Ilmu Syar’i)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar