Serial Muqaddimah Ilmu
Syar’i - 6
Nama. Nama ilmu ini adalah ilmu Qiro’at. Qiro’at
(قِرَاءَات) jama’ dari qiro’ah (قِرَاءَة), artinya bentuk bacaan.
Definisi. Menurut bahasa berasal dari kata qoroa-yaqrou-qiroatan
yang berarti membaca. Disebutkan mashdar tetapi yang dimaksud adalah isim
maf’ul, berarti yang dibaca atau bacaan. Menurut istilah,
هُوَ عِلْمٌ
يُعْرَفُ بِهِ كَيْفِيَّةُ النُّطْقِ بِالْكَلِمَاتِ الْقُرْآنِيَّةِ وَطَرِيْقُ
أَدَاءِهَا اِتِّفَاقًا وَاخْتِلَافًا مَعَ عَزْوِ كُلِّ وَجْهٍ لِنَاقِلِهِ
“Yaitu suatu ilmu yang
diketahui dengannya tatacara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan cara
membacanya baik bacaan yang disepakati ataupun yang terdapat perbedaan disertai
dengan menisbatkan setiap bentuk bacaan kepada pembawanya.” (Abdul Fattah Al-Qadhi, Al-Budur
Az-Zahirah, hal.7)
Objek ilmu. Objek yang dibahas dalam ilmu ini adalah
kata-kata Al-Qur’an dari segi cara mengucapkan dan membacanya
Pembahasan. Yang dibahas dalam ilmu ini adalah
kaidah-kaidah keseluruhannya seperti perkataan para ahli qiroat: setiap “alif”
yang berasal dari “ya” dibaca imalah dalam qiroah Hamzah, Kisai dan Khalaf, berbeda
dengan Warasy yang menyedikitkannya, setiap huruf “ro” yang berharokat fathah
dan dommah yang terletak setelah kasroh asli atau “ya” sukun dibaca tarqiq
oleh Warsy, dst.
Istimdad. Ilmu ini diambil dari riwayat-riwayat
shahih dan mutawatir dari para imam Qiroah yang sampai kepada Nabi saw
Penisbatan kepada ilmu
lain. Ilmu Qiroat ini
dinisbatkan kepada ilmu lainnya dalam ilmu syar’i adalah tabayun (berlainan),
karena ilmu ini tidak diambil dari ilmu lain, semata-mata ilmu yang dinukil
dari riwayat yang sampai kepada Nabi saw.
Buah. Buah dari ilmu Qiroat ini adalah terjaga
dari kesalahan ketika mengucapkan kata-kata dalam Al-Qur’an dan menjaga dari
perubahan. Serta mengetahui bacaan yang dibaca oleh para imam Qiroat.
Keutamaan. Ilmu ini sangat mulia karena berkaitan
langsung dengan firman Allah SWT.
Hukum. Hukum mempelajari ilmu Qiroat ini adalah
fardu kifayah untuk menjaga bacaan Al-Qur’an itu sendiri, baik belajar maupun
mengajarkannya.
Peletak.
Kemunculan ilmu ini berawal
dari firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Dan Kami bacakan Al-Qur’an secara
tartil.” (QS. Al-Furqan : 32), “Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” (QS.
Al-Muzammil : 4). Rasulullah saw kemudian mempraktekkan bacaan Al-Qur’an secara
tartil tersebut, yang kemudian diikuti oleh para sahabat dan disampaikan kepada
tabi’in hingga sampai kepada para imam ahli Qiroah. Kita tidak boleh membaca
Al-Qur’an kecuali dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, dan yang
dicontohkan itu ternyata ada perbedaan-perbedaan, inilah kemudian yang melahirkan
adanya ilmu Qiroat. Sesuai sabda Rasulullah saw,
أَقْرَأَنِي جِبْرِيْلُ
عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ، وَيَزِيْدُنِي حَتَّى
انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
“Jibril membacakan
kepadaku (Al-Qur’an) dengan suatu huruf (bentuk), maka aku memohon kembali
kepadanya, aku tetap meminta tambahan kepadanya dan ia memberi tambahan
kepadaku hingga sampai pada tujuh huruf (bentuk).” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Para ulama berbeda pendapat
dalam memahami tujuh huruf tersebut sampai kepada 40 pendapat, karena makna
huruf dalam bahasa Arab mengandung makna banyak. Namun yang paling populer
adalah tiga pendapat.
Pertama, tujuh huruf di sana maksudnya adalah
bahasa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh bahasa kabilah. Namun pendapat ini
lemah karena kabilah-kabilah Arab ketika itu lebih dari tujuh. Dan memang
Al-Qur’an turun dengan bahasa kabilah-kabilah tersebut, meskipun yang
dominannya adalah kabilah Quraisy.
Kedua, maksudnya adalah tujuh sinonim kata (murodif),
untuk menyebut satu makna dengan berbagai lafazh. Pendapat ini juga lemah
karena sinonim-sinonim kata itu sangat sedikit terjadi, dan jarang hingga
mencapai tujuh. Bahkan sebagian ahli bahasa menafikan adanya murodif,
seperti waqofa dan qoma meskipun artinya sama “berdiri”, namun
tetap memiliki perbedaan. Para ahli tafsir banyak menguatkan pendapat ini,
karena mereka berpatokan bahwa pendapat ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud. Namun sebenarnya
ini merupakan ijtihadnya saja, tidak memastikannya menjadi pendapat paling
kuat.
Ketiga, maksud tujuh huruf adalah perbedaan
bentuk bacaan. Inilah pendapat yang paling kuat, pendapat ini dikatakan oleh
Ar-Razi, Ibnu Qutaibah, Ibnu Al-Jazari, Ibnu Thayyib, dll. Abu Fadhl Ar-Razi
(w.454 H) dalam kitabnya Al-Lawaih menyebutkan bahwa perbedaan bentuk
bacaan Al-Qur’an itu tidak keluar dari tujuh bentuk: (1) perbedaan isimnya
berupa mufrod, mutsanna, jama’, mudzakkar dan muannatsnya, (2) perbedaan
perubahan fi’il baik madhi, mudhari dan amr, (3) perbedaan
bentuk i’rab (4) perbedaan dalam pengurangan dan penambahan (5)
perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan (6) perbedaan dengan penggantian
(7) perbedaan dalam lahjah-lahjah bahasa seperti tafkhim, tarqiq,
imalah, fathah, izhar, idham, dll. (Lihat Az-Zarqani, Manahilul ‘Irfan,
jilid 1, hal.132).
Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan juga yang lainnya, bahwa suatu hari
Umar bin Khattab ra mendengar Hisyam bin Hakim ra membaca surat Al-Furqan dalam
shalat dengan bacaan yang berbeda dari yang diketahui oleh Umar dari Rasulullah
saw. Selesai shalat Umar membawanya kepada Rasulullah saw untuk melaporkannya
karena ia mengganggap bahwa Hisyam membaca dengan bacaan yang menyimpang. Tapi
kemudian Rasulullah saw menyuruh kedua membaca, dan kepada masing-masingnya
dikatakan, “begitulah Al-Qur’an diturunkan”. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya
Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf (bentuk), maka bacalah apa yang
mudah darinya.” Ini menunjukkan dengan jelas adanya bentuk perbedaan
bacaan. Kisah ini merupakan asbabul-wurud dari hadits tentang tujuh
huruf, dan asbabul wurud adalah yang paling kuat menafsirkan maknanya.
Tujuh bentuk perbedaan
bacaan ini dalam prakteknya terjadi dalam bacaan para imam ahli Qiro’ah. Namun
yang dimaksud dengan tujuh perbedaan ini bukanlah berarti tujuh imam qiroat,
karena riwayat qiroat yang mutawatir itu ada sepuluh. Perbedaannya tidak
dilihat dari jumlah imamnya, tetapi pada bacaannya, yang bisa jadi suatu bentuk
bacaan disepakati semua ataupun diperselisihkan oleh sebagian atau seluruhnya.
Yang pertama meletakkan ilmu
ini adalah para imam ahli Qiroat, namun ada juga yang mengatakan Abu
Umar bin Hafsh bin Umar Ad-Duri (w.246 H).
Qiroah Al-Qur’an itu
riwayatnya ada yang mutawatir dan ada yang syadz. Yang bisa diterima hanyalah
mutawatir, karena Al-Qur’an tidak bisa ditetapkan kecuali dengan riwayat yang
mutawatir. Mutawatir dalam makna di sini maksudnya yang diriwayatkan oleh suatu
penduduk negeri secara keseluruhan, dan penisbatannya kepada seorang Qari tidak
menafikan hal itu. Jika dikatakan, ini qiroah Nafi’, ini qiroah ‘Ashim,
maknanya bukan berarti tidak ada yang meriwayatkan dalam tingkatan sanadnya
selain qari tersebut, tetapi itu adalah qiroahnya suatu negeri. Misalnya qiroah
Nafi’ adalah yang terkenal di Madinah, qiroah ‘Ashim adalah qiroah penduduk
Kufah, qiroah Abu ‘Amr Al-Bashri qiroahnya penduduk Bashrah, qiroah Ibnu Katsir
qiroahnya penduduk Makkah, qiroah Ibnu Amir qiroahnya penduduk Syam, dst.
Qiroah yang mutawatir itu
belum terkumpul pada generasi awal, sampai Ibnu Mujahid (w.324 H) mengumpulkannya,
dan ia memilih tujuh qiroah yang mutawatir sebagaimana dalam kitabnya As-Sab’ah
fil Qiroat. Yaitu qiroah Nafi’ di Madinah, Ibnu Katsir di Makkah, Abu ‘Amr
di Bashrah, Ibnu Amir di Damaskus, ‘Ashim, Kisai dan Hamzah di Kufah. Inilah
yang disebut dengan para qori yang tujuh (Al-Qurro As-Sab’ah). Juga oleh
Abu Amr Ad-Dani (w.444 H) dalam kitabnya At-Taisir fi Qiroah As-Sab’i.
Tujuh qiroah ini kemudian disusun secara nazhom oleh Abu Muhammad Al-Qasim
bin Firuh Asy-Syathibi (w.590 H) dalam kitab nazhom Hirzul Amani wa
Wajhut Tahani yang dikenal dengan Matan Asy-Syatibiyyah. Kemudian
ditambahkan tiga lainnya oleh Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ali bin Yusuf Ibnu Al-Jazari (w.833 H) yang dikenal dengan Al-Qurro
Al-‘Asyroh (para qori yang sepuluh). Mereka adalah Abu Ja’far Al-Madani di
Madinah beliau guru dari Nafi’, Ya’qub Al-Bashri di Bashrah, dan Kholaf bin
Hisyam yang merupakan perowi dari qiroah Hamzah Al-Kufi, tetapi ia memiliki
qiroah tersendiri. Ibnu Al-Jazari menguatkan bahwa sepuluh qiroah inilah yang
mutawatir, sedangkan selainnya adalah qiroah yang syadz, yang tidak bisa disebut
sebagai bacaan Al-Qur’an. Beliau menyusun qiroah sepuluh ini dalam kitab
nazhomnya Ad-Durrah Al-Mudhiyyah yang kemudian diperluas dalam kitab Tahbir
At-Taisir yang merupakan ringkasan dari kitab At-Taisir fi Qiroah
As-Sab’i karya Abu Amr Ad-Dani sebagaimana telah disebutkan, dalam kitab
itu beliau menambahkan tiga qori lainnya yang tidak disebutkan oleh Ad-Dani.
Kitab ini kemudian disusun dalam bentuk nazhom yang diberi nama Thayyibatun
Nasyr fi Al-Qiroah Al-‘Asyr. Selain itu ada kitab yang membahas salah satu
qiroah saja seperti nazhom Ad-Durar Al-Lawami’ karya Ibnu Barri (w.730
H) tentang qiroah Nafi’. Syarah yang paling bagus bagi nazhom ini adalah An-Nujum
Ath-Thawali’ ‘ala Ad-Durar Al-Lawami’ karya Syekh Sayyidi Ibrahim
Al-Marigini (w.1349 H). Selain itu juga kitab syarah yang paling penting
bagi matan Asy-Syatibiyyah Sirajul Muqri yang ditulis oleh Abul Qasim
Al-Udzri Al-Baghdadi (w.801 H) bersama dengan hamisynya Ghaits An-Naf’u karya
Abul Hasan An-Nuri Ash-Shafaqusi (w.1118 H). Itulah kitab-kitab rujukan
utama dalam ilmu Qiroat. Sepuluh bentuk qiroah yang mutawatir ini tidak
mencerminkan perbedaan bentuk tulisan (rosm) Al-Qur’an yang ditulis pada zaman
Utsman bin Affan ra yang dikenal dengan rosm Utsmani, tetapi rosm itu
justeru bisa dibaca dengan sepuluh qiroah itu. Karena rosm Al-Qur’an itu punya
ciri khas dari tulisan Arab biasa, misalnya kata “kalimah” ditulis كَلِمتُ
dalam ayat وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا
وَعَدْلًا (QS. Al-An’am : 115) dengan menggunakan huruf
“ta maftuhah” tidak dengan “ta marbuthah”, sehingga dapat dibaca dengan dua
bentuk, yaitu dengan bentuk mufrod dengan memendekkan fathah di huruf mim, dan
bentuk jama dengan memanjangkan fathah di huruf mim. Termasuk juga mushaf pada
saat itu belum bertitik dan bersyakal, sehingga memungkinkan dibaca dengan
berbagai bacaan. Ini merupakan salah satu kemu’jizatan Al-Qur’an.
Adapun dalam tahap
pembelajaran, hendaklah memulai dengan matan Asy-Syatibiyah disertai dengan
syarah dan hamisy yang telah disebutkan. Kemudian matan Ad-Durrah
Al-Mudhiyyah. Kemudian matan Thayyibah An-Nasyr. Dan untuk
muthala’ah berikutnya dengan Tahbir At-Taisir, serta kitab-kitab yang
lainnya yang disebutkan di atas. Tentu pembelajaran qiroah ini dalam prakteknya
mesti dibimbing oleh guru yang memang memiliki keahlian dalam ilmu qiroah. Baik
metode pembelajarannya dengan al-Jam’u yaitu membahas ayat per-ayat
dengan bacaan semua qori, ataupun metode al-Farq yaitu mempelajari
bacaan Al-Qur’an dengan qiroah satu persatu secara terpisah. Dan tentu seorang
pelajar memulai pembelajaran qiroahnya dengan qiroah yang masyhur di negerinya,
misalnya di Indonesia dan kebanyakan negara-negara lain adalah qiroah ‘Ashim
dengan riwayat Hafsh.
Qiroah para qori itu
kemudian diriwayatkan oleh orang-orang yang disebut rowi. Dari setiap qori ada
dua rowi yang terkenal. Dari para rowi diriwayatkan oleh orang yang disebut
thariq (jalur), dan setiap rowi memiliki dua jalur yang terkenal. Sehingga
hasilnya dikenal dengan sebutan sepuluh qori, dua puluh rawi, dan
empat puluh jalur. Berikut rinciannya :
1. Nafi' Al-Madani (w.169 H)
Perowi : Qolun (w.220 H) dan Warsy (w.197 H)
Jalur : Qalun (Abu Nasyith dan Halwani), Warsy (Abu Ya’qub Al-Azraq dan
Al-Ashbahani)
2. Ibnu Katsir Al-Makki (w.120 H)
Perowi : Al-Bazzi (w. 250 H) dan Qunbul (w.291 H)
Jalur : Al-Bazzi (Abu Robi’ah dan Ibnu Al-Habbab), Qunbul (Ibnu Mujahid dan Ibnu
Syunbudz)
3. Abu 'Amr Al-Bashri (w.154 H)
Perowi : Ad-Duri (w.246 H) dan As-Susi (w.261 H)
Jalur : Ad-Duri (Abu Za’ra dan Ibnu Farh), As-Susi (Ibnu Jarir dan Ibnu Jumhur)
4. Ibnu 'Amir Asy-Syami (w.118 H)
Perowi : Hisyam (w.245 H) dan Ibnu Dzakwan (w.242 H)
Jalur : Hisyam (Halwani dan Dajuni), Ibnu Dzakwan (Al-Akhfasy dan Ash-Shuri)
5. 'Ashim Al-Kufi (w.128 H)
Perowi : Syu'bah (w.193 H) dan Hafsh (w.180 H)
Jalur : Syu’bah (Yahya bin Adam dan Yahya Al-‘Ulaimi), Hafsh (Ubaid bin
Ash-Shabbah dan Amr bin Ash-Shabbah)
6. Hamzah Al-Kufi (w.156 H)
Perowi : Kholaf bin Hisyam (w.229 H) dan Kholad bin Kholid (w.220 H)
Jalur : Kholaf bin Hisyam (Idris dan Ibnu Muqsim), Kholad bin Kholid (Ibnu
Syadzan dan Ibnu Haisyam)
7. Al-Kisai Al-Kufi (w.189 H)
Perowi : Abu Al-Harits Al-laits (w.240 H) dan Ad-Duri (w.246 H)
Jalur : Abu Al-Harits Al-laits (Muhammad bin Yahya dan Salamah bin ‘Ashim Al-Baghdadi),
Ad-Duri (Ja’far bin Muhammad dan Abu Utsman)
8. Abu Ja’far Al-Madani (w.128 H)
Perowi : Isa ibnu Wardan (w.160 H) dan Ibnu Jammaz (w.170 H)
Jalur : Isa ibnu Wardan (Fadhl bin Syadzan
dan Hibatullah bin Ja’far) dan Ibnu Jammaz (Al-Hasyimi dan Ad-Duri)
9. Ya’qub Al-Bashri (w. 205 H)
Perowi : Ruwais (w.238 H) dan Rouh (w.235 H)
Jalur : Ruwais (Abul Qasim dan At-Tammar), Rouh (Muhammad bin Wahab dan Zubairi)
10. Kholaf Al-‘Asyir (w.229 H)
Perowi : Ishaq bin Ibrahim (w.286 H) dan Idris bin Abdul Karim Al-Haddad (w.292
H)
Jalur : Ishaq bin Ibrahim (Muhammad bin Ishaq dan Ibnu Abi Umar), Idris bin
Abdul Karim Al-Haddad (Al-Mathu’i dan Al-Qathi’i)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar